Ahad, 30 Julai 2023

Kesultan Serdang : Sebuah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur, Indonesia. (Bahagian 1)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Saya sangat minat tentang kesultanan Melayu. Lebih lebih lagi dengan kesultanan Melayu di Pulau Sumatra yang jarang orang Melayu di luar Indonesia tahu. Setelah bertemu dengan Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II, Sultan kerajaan Serdang. Dan sempat beli buku karangannya, Buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Da disini akan kemukakan sebuah artikel ilmiah tajuknya, “Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya” yang disiarkan di jurnal Local History & Heritage, Volume 1, Issue 2, September 2021. Artikel ini asal dari Sripsi Fivi Herviyunita, dengan 2 orang penyelia, iaitu Irwansyah dan Rina Devianty di Universiti Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia. Isi artikel tersebut adalah berikut:-


Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya

Pendahuluan


Istana Kesultanan Serdang merupakan sebuah peninggalan kesultanan yang dibangun sebagai tempat peristirahatan atau singgasana para Sultan Serdang. Selain menjadi tempat peristirahatan, Istana Kesultanan Serdang juga menjadi tempat melakukan berbagai aktivitas dan sistem pemerintahan dalam melakukan hal kegiatan apapun yang berhubungan erat dengan Kesultanan. Pembangunan istana ini dimulai dari waktu masa Kesultanan Tuanku Umar Djohan Alamsyah Raja Junjungan 1723 M hingga masa Kesultanan Sulaiman Shariful Alamshah 1881 M.

Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II

Pusat pemerintahan Kesultanan Serdang pertama berada di Istana Tanjung Puteri, Kampong besar Serdang, pada masa kepemimpinan Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan Junjongan (1723-1767). Namun ketika berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Serdang ke Rantau Panjang, pemerintahan dipimpin pada masa Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880 M), dibutuhkan segala sarana kelengkapan pemerintahan. Maka didirikanlah istana kesultanan yang disebut dengan Istana Bogok Rantau Panjang atau Istana Darul Arif Rantau Panjang, kerana beberapa hal maka kembali dipindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Serdang. Tidak berhenti hanya di situ saja, perpindahan pusat pemerintahan dilanjutkan masa kepemimpinan Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah (1866-1946) yang mendirikan Istana Darul Arif Kota Galuh, pusat pemerintahan Kesultanan Serdang akhirnya berada di Kota Galuh Perbaungan di Istana Darul Arif pada masa kepemimpinan Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah.


Berpindahnya Istana pertama Tanjung Puteri yang berada di Kampong Besar mengakibatkan sering terjadinya banjir bandang yang membuat Kesultanan Serdang merasa tidak nyaman berada di Kampong Besar. Didirikanlah Istana di Rantau panjang yang disebut Istana Darul Arif Rantau Panjang, namun Istana Rantau Panjang masih membuat kesultanan merasa tidak nyaman yang disebabkan kerana kondisi alam yang sering terjadi banjir bandang atau luapan

air sungai Serdang dan karakter tanahnya yang rawan, saat itu dipindahkanlah Istana Rantau Panjang ke Perbaungan yang disebut Istana Darul Arif Kota Galuh.


Keberadaan Istana Kesultanan Serdang ini cukup berpengaruh terhadap budaya Islam. Beberapa di antaranya ialah; istana digunakan menjadi tempat pengajian, perayaan hari besar Islam, sering diadakannya pertunjukan budaya Islam di lingkungan istana ataupun berfungsi sebagai tempat sanggar seni. Bangunan istana menjadi tempat yang digemari penduduk setempat, hal itu mengakibatkan istana semakin diperindah dan dipercantik. Keadaan istana yang berada di Tanjung Puteri sayangnya tidak ada yang tersisa lagi, bagian yang tertinggal hanyalah puing-puing istana. Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab hancurnya istana. 

Bendera Kerajaan Serdang

                                      Jata Kerajaan Serdang


Tak lama setelah itu, didirikan dan dibangunlah Istana Darul Arif di Kota Galuh, Perbaungan. Nasib yang sama juga terjadi pada istana ini, sisa peninggalan dari Istana hanya menara air, umpak, dasar tiang bendera dan puing-puing fondasi istana. Hancurnya Istana ini berbeda dengan Istana- istana sebelumnya. Istana ini hancur disebabkan karena dibakar oleh orang-orang Belanda. Beruntungnya pemerintah berinisiatif untuk membuat replika istana yang menjadi salah satu peninggalan dari Istana Kesultanan Serdang.


Tulisan ini memiliki fokus pada “Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya.” Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan sumber dari beberapa buku, jurnal dan juga arsip mengenai Kesultanan Serdang dan Jejak peninggalannya. Penulis juga wawancara langsung dengan Tengku Mira, observasi langsung ke lapangan untuk melihat jejak dan juga bekas peninggalan dari Kesultanan Serdang.


Pembahasan

Sejarah Berdirinya Kesultanan Serdang


Berdirinya Kesultanan Serdang berkaitan erat dengan Panglima Armada Kesultanan Aceh Darussalam, Panglima ini dikenal dengan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Menurut Tengku Lukman Sinar, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan merupakan tokoh sentral terbentuknya embrio Kesultanan Serdang (Azhari, 2013). Di bawah pemerintahan Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Aceh Darussalam yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Timur Sumatera. 

Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan merupakan pemimpin militer Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya melawan bangsa Portugis pada tahun 1629 M. Berkat pengabdiannya yang luar biasa terhadap Kesultanan Aceh Darussalam, pada tahun 1632 M Sultan Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan mengangkat Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai Wakil Sultan Aceh untuk memimpin wilayah Haru (Sumatera Timur). Kerajaan Haru merupakan salah satu kerajaan yang berhasil ditaklukkan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, tidak lama kemudian Kerajaan Haru dikenal dengan nama Kesultanan Deli (Khairuddin, 2017).

Kepemimpinan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan di Kesultanan Deli mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa di antaranya kerajaan-kerajaan kecil seperti, Kerajaan Surbakti dan Kerajaan Sunggal, tidak hanya itu Kerajaan Sunggal berkenan menikahkan adik perempuannya yang bernama Puteri Nan Baluan Beru Surbakti dengan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan pada tahun 1632 M. Secara tidak langsung pengakuan dari kerajaan-kerajaan lokal tersebut semakin membuat roda pemerintahan Kesultanan Deli yang saat itu masih berada di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam berjalan sangat lancar. Tahun 1641 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit, yang kemudian bergelar sebagai Panglima Deli (1614-1700 M). Pada kurun waktu yang sama, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam mulai melemah seiring wafatnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636 M (Azhari, 2013).


Pada tahun 1669 M, Tuanku Panglima Perunggit berupaya memerdekakan Kesultanan Deli dari Penguasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun yang sama, iaitu tahun 1669 dideklarasikan kemerdekaan Kesultanan Deli,

Belanda yang saat itu membangun benteng pertahanan di Melaka segera memberikan dukungan terhadap Kesultanan Deli. Tuanku Panglima Perunggit memerintah sampai tahun 1700 M, ia digantikan oleh Tuanku Panglima Paderap yang saat itu memerintah sampai tahun 1720 M. Pasca wafatnya Sultan Deli kedua ini, muncul konflik dan perpecahan di wilayah Kesultanan Deli. Konflik itu dipicu oleh beberapa hal, di antaranya ialah: adanya pengaruh Kerajaan Siak di wilayah Sumatera Timur, adanya perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. 


Perpecahan yang terjadi antara anak Tuanku Panglima Paderap di antaranya ialah; Tuanku Jalaluddin, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar Johan Alamshah, puncak konflik terjadi pada tahun 1723 M, Tuanku Umar Johan Alamshah mengalami kekalahan di Medan pertempuran ketika melawan saudaranya (Tuanku Panglima Pasutan). Seharusnya Tuanku Umar Johan Alamsyah yang menjadi pewaris takhta Kesultanan Deli kerana dia anak dari permaisuri, Tuanku Puan Sampali (Permaisuri Tuanku Panglima Paderap). Kekalahan itu mengakibatkan Tuanku Umar Johan Alamshah dan ibundanya (permaisuri) terpaksa mengungsi ke Kampung Besar (Sinar, 1986).


Secara otomatis kekuasaan Kesultanan Deli jatuh ke tangan Tuanku Panglima Pasutan. Tidak semua pihak setuju dengan naiknya Tuanku Panglima Pasutan dan memilih serta mendukung Tuanku Umar Johan Alamsyah. Beberapa pihak yang memberikan dukungan kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah ialah, Raja Urung Sunggal, Senembah, dan lainnya. Mereka kemudian menobatkan Tuanku Umar Johan Alamshah sebagai pemimpin sebuah pemerintahan baru yang berkedudukan di Kampung Besar. Pemerintahan baru inilah yang kemudian dikenal dengan nama Kesultanan Serdang. Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang raja. Pada saat itu peranan seorang raja adalah sebagai kepala Pemerintahan, kepala agama, dan kepala Adat Melayu (Khairuddin, 2017).


Masa Pemerintahan Kesultanan Serdang

1. Zaman Keemasan

Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817-1850). Pada masa pemerintahannya, banyak rakyat Batak Hulu yang memeluk agama Islam. Hal itu dikarenakan dijunjung tingginya penerapan adat Melayu yang bersandikan Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah, Serdang dalam kondisi aman, tentram dan makmur, ditambah lagi perdagangan saat itu cukup maju. 


Akibat kemajuan yang dicapai Serdang, nama kesultanan ini terkenal sampai ke negeri-negeri lain bahkan sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Tidak hanya sampai di situ saja, banyak kerajaan-kerajaan yang meminta bantuan militer ke Kesultanan Serdang. Beberapa kerajaan itu ialah; Kerajaan Padang, Bedagai, dan Senembah (Azhari, 2013, pp. 38–39). Berdasarkan catatan John anderson, ketika ia mengunjungi Serdang tahun 1823 (Anderson, 1971).


•      Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).

•      Sultan Thaf Sinar Baharshah, sangat memajukan ilmu pengetahuan.

•      Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari Pantai Barat Sumatera yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.

•      Sultan Thaf Sinar Baharshah sangan toleran dan suka bermusyawarah.

•      Cukai di Serdang cukup Moderat.


2.     Zaman Kemunduran

Kesultanan Serdang mulai mengalami kemunduran di bawah Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah (1819-1880). Hal ini ditandai dengan munculnya penjajah Belanda, pada akhirnya Sultan Serdang terpaksa meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam yang sudah terbiasa berperang melawan penjajah. Pada tahun 1854 M, Sultan Aceh Darussalam menganugerahi gelar Wazir Sultan Aceh kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah yang dikenal dengan Mahor Cap Sembilan. 


Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah dibantu oleh Orang- orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan Serdang. Akibat konflik yang berkepanjangan mengakibatkan sering terjadi pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir.


Pada masa pemerintahan Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah, sering sekali terjadi peperangan, baik dari dalam maupun dari luar. Selain konflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah. Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada tahun 1862 M. Namun, hegemoni yang kuat dari Belanda menyebabkan Serdang harus takluk dan mengakui kekuasaan Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862 M (Azhari, 2013, pp. 39–40).


Referensi

Anderson, J. (1971). Mission to the East Coast of Sumatra, in 1823. Oxford University.

Azhari, I. (2013). Kesultanan Serdang: Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah. Medan.

Khairuddin. (2017). Peran Kesultanan Serdang dalam Pengembangan Islam di Serdang Bedagai. Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogya: PT.Tiara Wacana.

Sinar, Tuanku Luckman. (1986). Sari Sejarah Serdang 1`. Medan: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerali. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Tuanku Luckman Sinar Basarshah. (2006). Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Y. K. Serdang, Ed.). Medan.


 

Tiada ulasan: