Rabu, 27 November 2019

Mengenal Tipologi Nisan Kuno Sultan-sultan Kerajaan Aceh Darussalam

Oleh: Ambo Asse Ajis,
(Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh)

Makam kuno peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam dapat dikenali dengan ciri khas yang dimilikinya. Ciri yang dimaksud , pertama, penggunaan material khusus untuk nisan (kaki dan kepala) serta badan makam(jirat); kedua, bentuk atau tipologi nisan kuno dan badan makam; ketiga, keletakan makam yang istimewa dalam lansekap lingkungan sekitarnya; dan keempat, lokasi makam kuno umumnya berkarakter pemakaman keluarga dengan ditandai adanya tokoh utama yang memiliki nisan yang lebih baik dari segi ukiran, ukuran dan posisi makamnya. 

Dalam tulisan ini, penulis tertarik membahas khusus tipologi nisan kuno yang digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam semenjak didirikan oleh Ali Mughayat Syah tahun 1514 Masehi sampai era sebelum perang dengan kolonial Belanda di Tahun 1873. Untuk mempermudah pemahaman bagi siapapun yang tertarik menelaah historiografi nisan kuno para sultan Kerajaan Aceh Darussalam ataupun tokoh-tokoh Kerajaan Aceh Darussalam lainnya,

sangat disarankan agar memperhatikan betul kerangka waktu (inskripsi) yang ada di nisan-nisan tersebut. Dari dasar kerangka waktu inilah kita bisa mengurut urutan peristiwa sekaligus menanda tipe nisan yang digunakan. Jika hal ini bisa dilakukan, maka setiap orang akan mudah mengetahui berapa jumlah tipologi nisan Kerajaan Aceh Darussalam, 

pada era apa tipe nisan tertentu digunakan dan banyak lagi hal yang bisa diperoleh darinya. Kronik Nisan Kuno Sultan-Sultan Kerajaan Aceh Darussalam Secara historis, nisan kuno yang pertamakali digunakan Sultan Kerajaan Aceh Darussalam adalah nisan Sultan Ali Mughayat Syah, tertera angka wafatnya tahun 1530. Ciri nisannya, mulai dari kaki sampai badan berbentuk segi empat (balok); di bagian bahu (sebelum puncak) ada ornamen bungong awang; di bagian puncak (kepala/atas) berbentuk bulatan (sering disebut mahkota) yang bersusun 3 (tiga). 

Bahan batuan yang digunakan jenis batu pasir (sands stone) yang bisa dilihat di Situs Kompleks Makam Kandang XII. Saya menyebut tipe nisan ini sebagai tipe Ali Mughayat Syah karena sebelum tahun 1530 , belum ditemukan nisan sejenis yang usianya lebih tua dari nisan Sultan Ali Mughayat Syah. Rentang masa penggunaan tipe nisan ini berlanjut hingga era Sultan Iskandar Muda yang meninggal tahun 1636 dan diduga juga digunakan pada nisan Sultan Iskandar Tsani yang wafat tahun 1641. 

Jika dihitung usai penggunaan tipe nisan ini dari Sultan Ali Mughayat Syah sampai dengan Sultan Iskandar Tsani maka tipe nisan Ali Mughayat Syah telah digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam kurang lebih 111 tahun, meliputi 15 (lima belas) orang sultan Aceh. Setelah wafatnya Sultan Iskandar Tsani (1641), Kerajaan Bandar Aceh Darussalam mulai berada di bawah kepemimpinan keturunan bugis garis matrilineal yang pangkalnya dari Tengku Chiek Di Ribe/Daeng Mansur (mertua sekaligus guru Sultan Iskandar Muda). 

Pernikahan Iskandar Muda dengan anak Tengku Chiek Di Ribe/Daeng Mansur melahirkan keturunan “tuwanku putroe” yang kelak menjadi sultanah-sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika memegang jabatan sebagai pemimpin agung Kerajaan Aceh menjadi sultanah. Mereka adalah Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (wafat 1675), Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Akam (wafat 1678), Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (wafat 1688) dan Sri Ratu Zainatuddin Kemalat Syah (wafat 1699). Sampai hari ini, makam dan nisan para sultanah ini belum ditemukan dan sehingga sangat terbuka melakukan riset untuk menginvestigasi keberadaannya. 

Pasca kekuasaan para sultanah, Kerajaan Aceh Darussalam kembali dipimpin seorang sultan, dimulai dari suami sultanan keempat (terakhir) Ratu Zainatuddin Kemalat Syah, bernama Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (wafat 1702) yang asalnya dari Mekkah Al-Mukarram. Dalam beberapa literatur, kepmeimpinan sultan ini menandai era kepemimpinan Dinasti Arab di Kerajaan Aceh Darussalam. Sampai hari ini, makam Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin belum diketahui keberadaanya. Sepeninggal Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin, penguasa berikutnya bernama Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui yang dalam beberapa sumber wafat tahun 1703 dan lokasi makamnya disebut berada satu kompleks dengan lokasi makam anaknya bernama Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (wafat 1726). 

Baik badan makam dan nisan Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui tidak ada lagi, disinyalir sengaja dimusnahkan kolonial Belanda karena mendirikan rumah di atas badan makam sultan dan istrinya. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (wafat 1726) adalah Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke-22 dimakamkan ditanah wakafnya, sisi selatan Mesjid Baturrahman, yang sekarang berada di belakang usaha Bakso Hendra Hendri. Dahulu, lokasi makam ini memiliki luasan areal 100 depa x 100 depa sebagaimana isi salah satu sumber berbahasa arab jawi. 

Tetapi kini, akibat penggunaan lahan yang sembrono, hilangnya rasa hormat serta buta sejarah, areal makam sultan telah jadi korban sehingga dibuat jadi sangat sempit dan bahkan diposisikan berdampingan dengan WC dan dapur masak bakso. Hal yang istimewa dari makam Sultan Jamalul Alam Badrul Munir, 

kita menemukan bentuk nisan berbeda dengan tipe Ali Mughayat Syah yang digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam sebelumnya. Nisan Sultan Jamalul Alam Badrul Munir berbentuk dasar bulat lonjong; bagian kakinya atau dasar badan dipahat berbentuk heksagon (segi delapan); bagian badan secara umum bulat lonjong , di bagian bawah lebih kecil dan makin ke atas berukuran lebih besar (lebar); pada bagian puncak (kepala/atas) ada lingkaran dan dipuncaknya ada mahkota berukuran kecil di pusat puncaknya. 

Bahan dasar nisan ini adalah batu andesit yang diukir dengan sedikit ornamen. Tipe nisan ini saya sebut sebagai tipe Jamalul Alam Badrul Munir. Hal yang unik dari nisan ini bahwa penggunaan nisan tipe Jamalul Alam Badrul Munir telah digunakan pada era Sultanah Ratu Safiatuddin (wafat 1673) sebagaimana nisan yang digunakan di Kompleks Makam Syeikh Kuala (wafat 1693). Dengan kata lain, nisan tipe Jamalul Alam Badrul Munir kemungkinan besar adalah nisan yang dibuat khusus kepada mereka yang memiliki hubungan ke-ulama-an yang pada masa yang sama juga seorang pemimpin umat di Kerajaan Aceh Darussalam yang telah eksis dari masa Ratu Safiatuddin. Kemudian, 

pasca kepemimpinan keturunan Arab, Kerajaan Aceh Darussalam kembali di bawah kepemimpinan keturunan Bugis. Namun dari sekian banyak sultan keturunan bugis, hanya Sultan Mansyur Syah (wafat 1870) yang baru diketahui memiliki model nisan kunonya sendiri. Nisan kuno yang digunakan di makam Sultan Mansyur Syah sepertinya memiliki hubungan bentuk dengan Tipe Ali Mughayat Syah dan Tipe Jamalul Alam Badrul Munir. 

Secara bentuk (form) nisan Sultan Mansyur Syah berbentuk dasar heksagonal (segi delapan); dari dasar badan ke bagian atas berbentuk segi delapan dengan ukuran bagian bawah lebih kecil dan melebar atau membesar di bagian atas; di bagian puncak (kepala/atas) terdapat fitur bersusun tiga (mirip dengan puncak nisan Tipe Ali Mughayat Syah). 

Tipe nisan ini saya sebut sebagai tipe Mansyur Syah. Kesimpulan Berdasarkan kajian kronologi keberadaan nisan sultan-sultan Aceh yang telah ditemukan saat ini (catatan: argumen ini akan berubah bila ada temuan baru di masa depan), dapat disampaikan bahwa baru ada 3 (tiga) tipe nisan yang digunakan sultan-sultan Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: pertama, tipe Ali Mughayat Syah yang digunakan dari tahun 1530-1641 dengan jumlah pengguna sultan mencapai 15 orang; kedua, tipe Jamalul Alam Badrul Munir yang digunakan sejak era Ratu Safiatuddin dan kemungkinan besar telah digunakan sultan keturunan Arab dimulai dari Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (wafat 1702), Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (wafat 1703), Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (wafat 1726), Sultan Jauharul Alam Aminuddin (wafat 1726) dan Sultan Syamsul Alam (wafat 1727). 

Dengan kata lain, tipe nisan ini khas digunakan pemimpin dengan garis ulama-Arab meliputi penggunaan 5 (lima) orang sultan; dan ketiga, Tipe Sultan Mansur Syah yang diperkirakan juga umum digunakan para sultan keturunan Bugis pasca tergantinya kepemimpinan sultan keturunan Arab. 

Penggunaan tipe nisan ini diduga mulai eksis dari Sultan Alauddin Ahmad Syah (wafat 1737) sampai dengan Sultan Mahmud Syah (wafat 1874) yang meliputi sebanyak 19 Sultan Kerajaan Aceh Darussalam. Ketiga tipe nisan sultan kerajaan Aceh Darussalam di atas, memiliki hubungan bentuk satu sama lain, yang saling melengkapi, menguatkan serta saling memperindah yang menandakan berlangsung kesinambungan kejayaan seni pahat batu di Kerajaan Aceh Darussalam dari awal hingga era sebelum perang dengan kolonial Belanda laknatullah tahun 1873. 

Penjajah inilah yang bertanggungjawab telah mematikan kekayaan warisan budaya Kerajaan Aceh Darussalam. Penulis adalah Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh.