Isnin, 30 Januari 2023

Marhaenisme, satu Ideologi yang Tercetus oleh Presiden Sukarno


Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun (masih) tertindas. Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh (proletar) yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa, Borjuis atau Kapitalis

Etimologi

Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927. Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, tetapi hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.

Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.

 

Dalam bukunya "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu singkatan dari Marx-Hegel-Engels.

Ideologi

Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan Bung Karno.

 

Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

 

Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah konkret betul.

Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.

 



Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.

 

Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai The Third Way


 

Jumaat, 27 Januari 2023

Tanah Kelantan yang diserah kepada Patani (Thailand) pada tahun 1909

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Di Selatan Thailand khususnya Wilayah Narathiwas jarang sekali perbincangan berkenaan dengan Tanah Negeri Kelantan yang diserah kepada Negeri Legeh (Patani Thailand). Sehingga generasi muda dikawasan tersebut tidak tahu bahawa mereka dan ibu bapa yang asli Kawasan itu adalah saki baki keturunan Kelantan yang diserap ke dalam Negeri Legeh. Almarhum Prof Dr Nik Anuar Nik Mahmud, mantan pensyarah sejarah di Universiti Kebangsaan Malaysia pernah mengatakan penduduk Kelantan yang diserap ke dalam Negeri Legeh yang berpunca dari Tanah Negeri Kelantan itu diserah kepada Siam lebih kurang 3,000 jiwa.

Tanah Negeri Kelantan yang diserah kepada Legeh (Patani Thailand) , dalam sejarah Narathiwas (Thailand) diketepikan berkenaan   dengan  sebahagian  kawasan dari  negeri  Kelantan  yang telah   diserapkan ke dalam Wilayah Narathiwas. Peristiwa penyerahan   tanah negeri Kelantan disebut dalam sejarah Kelantan dengan  berbunyi :


" Sir John Anderson, Governor  of  the Straits Settlements and  High   Commissioner for the Federated Malays States, objected to the   proposed Kelantan - Legeh boundary. As a result   fresh arrangement were made with the Siamese Government for the  cession of the Lower part of Legeh  incliding the headwaters of   the Pergau River.  In return, a small corner in the northaest of  Kelantan was to be given to Siam. Eventually, on 10  March 1909, the final version of the treaty was formally signed in Bangkok by Paget and by Prince Devawongse Varoprakar, The Siamese Foreign   Minister. It was duly ratified by both governments on 9 July the  same year"  

Yang disebutkan "a small corner in the northeast of Kelantan" ialah   kawasan yang sekarang termasuk Kampung Tanjong (Kampung Bukit Tanjong, Selatan  Narathiwas), Kampung Che'Hel, Kampung Belawan (Ban  Phraiwan), Kampung Tabal (Ban Tak Bai) dan Kampung Sungai Golok, serta  kawasan yang dilalui Sungai Golok, Sungai Menara, Sungai Layar, Sungai  Kayu Kelat, Sungai Padi dan Sungai Elong. Tanah negeri Kelantan yang  diserapkan ke dalam Wilayah Narathiwas terdiri dari Daerah Tak Bai, Sebahagian dari Daearah Sungai Golok, Sebahagian dari Daerah Sungai  Padi dan sebahagian dari Daerah Waeng.      



Rujukan Nik Mohamed Bin Nik Mohd.  Salleh "Kelantan in Transition : 1889-1910" dalam William R. Roff (Ed.) Kelantan  Religion, Society and     Politics in a  Malay State, (Kuala Lumpur: Oxford University Press,1974 ) Muka  55.



Khamis, 26 Januari 2023

Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya Ilustrasi Buku.

 

Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya Ilustrasi Buku.

 


Dalam tradisi Melayu, karya sastra berkembang sejak lama, bahkan jauh sebelum ia dan bahasa turunannya menjadi identitas kebangsaan. Di sisi lain, menurut Shah dkk. dalam Similarities and Dissimilarities Between Character Frequencies of Written Text of Melayu (2013), rumpun bahasa Melayu mempunyai ikatan fonetis yang dekat dengan bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Indonesia memang mengakar dari bahasa Melayu. Di sisi lain, bahasa Melayu juga tidak serta merta berdiri tanpa pengaruh kebudayaan lain. Melayu punya keterikatan yang kuat dengan budaya Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Hal ini dikarenakan wilayah tempat bermukim penutur bahasa Melayu merupakan jalur lintas dagang internasional. Periodisasi kesusastraan Melayu dapat dibagi menjadi dua, yakni Melayu Lama (klasik) dan Melayu Modern. Pembagian itu respons terhadap kebudayaan Melayu yang turut mengalami perubahaan. Mengutip dari ulasan Ummu F.R. Lestari bertajuk "Konvensi dan Inovasi Sastra Melayu Hang Tuah (Studi Perbandingan dalam Prosa dan Puisi)" dalam Jurnal Medan Makna (Vol. 15, 2017), sastra Melayu Lama mengalami masa perkembangannya pada rentang abad ke-16 sampai paruh pertama abad 19. Bentuknya kebanyakan hikayat dan cerita lisan. Mayoritas karya sastra Melayu Lama pun berisikan petuah dan nasihat pedagogis. H.M. Bahar Akkase Teng melalui "Tuhfat Al-Nafis: Karya Sastra Sejarah (Melayu) dalam Perspektif Sejarah" dalam Jurnal Paramasastra (Vol. 2, 2015) menjabarkan beberapa ciri sastra Melayu Lama sebagai berikut: 1. Perkembangannya statis, ditandai dengan penggunaan pola kebahasaan yang terlalu kaku. Akibatnya, pola kalimatnya cenderung repetitif dan muatan prosanya klise. Sebagai contoh, "menurut empunya cerita", "konon", "sahibul hikayat", dan lain sebagainya. 2. Bentuk kesusastraannya masih terikat logika kebahasaan yang baku. Pola larik dan baitnya masih terjebak dengan penekanan kesesuaian rima akhir. Hal-hal demikian dapat terlihat pada pola sajak pantun a-b-a-b. 3. Kisahnya berupa kehidupan kerajaan yang menggambarkan kepahlawanan, cerita cinta di lingkungan istana, kegemilangan para raja, dewa, dan tokoh mulia. 4. Penyampaiannya masih tradisional, kebanyakan diproduksi dan didistribusi melalui media lisan atau mulut ke mulut. Karena itu, keabsahan ceritanya selalu ditangguhkan orisinalitasnya lantaran subjektivisme penutur yang punya bias tersendiri. 5. Kepemilikan karya cenderung kolektif dan hanya menghiasi rinai bibir masyarakat tanpa dimiliki secara sepihak (berlabel nama pengarang). Contoh Karya Sastra Melayu Lama Terdapat sejumlah contoh karya sastra melayu lama yang menarik untuk diamati. Di antara karya-karya itu adalah sebagai berikut. 1. Hikayat Hang Tuah Semasa periode Kesusastraan Melayu Lama, kisah kepahlawanan yang memotivasi pembacanya adalah salah satu topik paling beken. Kisah ini biasanya dibungkus dengan penokohan sang karakter utama yang merupakan orang biasa, kemudian dengan semangat juang dan kegigihan hatinya, ia menjadi orang besar. Seperti halnya Hikayat Hang Tuah yang juga mengadopsi pola demikian. Ia merupakan salah satu pahlawan rekaan dari tanah Melayu. Kendati tak diketahui dengan pasti siapa pengarang pertamanya, V.I. Braginsky dalam Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (1998) mengklaim bahwa kisah ini merupakan karangan seorang misionaris Belanda bernama F. Valentijn. Karangan itu diberi judul Oud en Nieuw Oost Indie (Hindia Timur Lama dan Baru) yang terbit pada 1726. Hikayat Hang Tuah menceritakan perjalanan romantisasi seorang yang biasa saja. Kemudian dengan bermodalkan keberanian serta kegagahannya, ia menjadi hulubalang terkenal di Melayu. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai sosok yang patuh dan setia terhadap Raja Malaka. Hal itu membuat ia menjadi pribadi yang disegani banyak masyarakat. Di periode kesusastraan modern, kisah Hikayat Hang Tuah kemudian dipugar, ditata ulang, dan dikonvensi tak jauh dari cerita aslinya. reproduksi yang dilakukan hanya sebatas pengayaan kata dan kebahasaan, tanpa mengubah isi dan makna cerita. Misalnya, Hikayat Hang Tuah karya Sutrisno (1979) dan Mosthamir Thalib (2003), kemudian puisi Taufik Ikram Jamil berjudul Penyair Hang Jebat dan Percintaan Hang Tuah-Tuh Teja (Kompas, edisi 1 September 2013). 2. Hikayat Darma Tahsiyah Salah satu aspek paling menarik yang bisa ditonjolkan dari cerita Hikayat Darma Tahsiyah adalah muatan kisah yang menitikberatkan tokoh perempuan. Tahun pembuatannya tak bisa diidentifikasi secara pasti. Isi ceritanya menggambarkan tokoh perempuan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Perempuan dalam cerita ini dilukiskan sebagai tokoh yang berwatak mulia, dapat mengurusi rumah tangga dengan bijak, dan mengayomi keluarga. Selain berkembang di Melayu, nama tokoh serupa juga dikenal dalam literatur sastra daerah lain. Misalnya, menurut Yayah Chanafiah dalam "Konsep Pemikiran Budaya Masyarakat Melayu Pengaruh Islam dalam Karya Sastra Melayu Klasik Hikayat Darma Tahsiyah" di Jurnal Wacana (1993), nama Inderamartasiyah dikenal sebagai seorang perempuan taat dan setia dari Bugis, Sulawesi Selatan. Cerita yang kedua begitu populer di daerah asalnya. Apalagi penyajiannya dilantunkan dengan nyanyian yang disebut Makelong, sementara sang pelantun disebut Pakelong. Di beberapa tempat lain, tokoh dengan nama mirip juga menjadi salah satu karakter dalam kisah sastra klasik. Di Surakarta dan Yogyakarta, nama tokoh ini bermutasi menjadi Murtasiyah. Selanjutnya di tradisi Sunda, nama tokoh yang mirip menjadi karakter utama di naskah berjudul Wawacan Murtasiyah. Sementara di Cirebon, Dewi Murtasiyah digambarkan sebagai wanita yang teraniaya oleh kebengisan suami. Lantaran dirinya memotong beberapa helai rambut guna menjadi sumbu lampu yang hendak padam, ia diusir dari rumah oleh suami. Bukannya melawan, ia justru taat dan patuh pada keputusan suami. 3. Karangan Islami dari Arab dan Persia Pengaruh kebudayaan Islam di Melayu sungguh besar. Ekspansinya tak hanya memengaruhi sosio-kultur tetapi juga adat istiadat dan hukum yang berlaku. Kehadiran kebudayaan Islam itu akhirnya merembet ke lapisan-lapisan mikro, salah satunya sastra. Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu datang dari Arab dan Persia. Keduanya dibawa oleh para saudagar muslim yang bermigrasi ke Sumatra dan semenanjung Malaya. Hal ini dapat dilihat pada bukti peninggalan kerajaan Islam tertua di Melayu, yaitu Samudra Pasai (1272-1516) dan Malaka (1400-1511). Pada masa 2 kerajaan ini, penggubahan karya sastra islami digencarkan sehingga menjadi basis wacana kuat dan mengakar di kebudayaan Melayu. Contoh dari beberapa karangan Islami itu adalah kitab Taj al-Salatin, yang berisikan perundang-undangan dan hukum yang berkembang di Parsi dan Mughal. Kemudian juga karya sastra yang mengisahkan rentetan raja-raja Melayu, Sulalat al-Salatin. Kitab itu menjadi referensi utama silsilah raja-raja di Melayu dalam kacamata sastrawi. Ada pula sejumlah prosa seperti dirangkum oleh Abdul Hadi W.M. dalam artikelnya yang bertajuk "Jejak Persia dalam Sastra Melayu" di jurnal Media Syariah (Vol. 15, 2013). Prosa-prosa itu berjudul Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mi'raj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya. Kesemuanya berbicara tentang riwayat kenabian dari Rasulullah Muhammad SAW. .

 

อ้างอิง

Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya

 

Abi Mu'ammar Dzikri

 

Baca selengkapnya di artikel "Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya", https://tirto.id/gzLP

"Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya", https://tirto.id/gzLP

 

Selasa, 24 Januari 2023

Kenangan dari “La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019” Pondok Pesantren La Tansa, Banten, Indonesia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Saya diundang dari pihak Rifa’i Center, Pondok Pesantren La Tansa, Banten, Indonesia. Untuk menyertai acara “La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019” di Pondok Pesantren La Tansa. Ini bukan saya berpeluang berjumpa kawan lama dan kawan baru di acara itu. Tetapi saya sangat bertuah dapat lihat sistem pembelajaran di pondok pesantren ersebut.

Di sini saya akan kemukakan tentang “La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019” sebelum bicara tentang Pondok Pesatren La Tansa.


La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019

“ISLAM IN GLOBAL LITERATURE”


LILFEST merupakan festival sastra tingkat internasional yang melibatkan para penyair, sastrawan, budayawan, dan cendekiawan ternama dari mancanegara untuk menggali bersama khazanah Islam dalam kesusateraan dunia dan membangun kreativitas sastra kaum santri dan dinamika kehidupan pesantren.


LILFEST juga diharapkan menjadi sarana interaksi para tokoh sastra mancanegara dengan para santri di Pondok Pesantren La Tansa, di mana para tokoh sastra memberi materi pelajaran tentang sastra dari perspektif mancanegara, sekaligus memberi motivasi dan berbagi cerita tentang proses kreatif penciptaan karya sastra.


LILFEST juga menggelar kuliah kesusasteraan dan diskusi kebudayaan dalam berbagai tema yang menyoroti perkembangan sastra Islam di berbagai belahan dunia.

DASAR PERENCANAAN KEGIATAN


1.Visi dan Misi Pondok Pesantren La Tansa, Lebak, Banten

2.UU Pemajuan Kebudayaan

3.Amanat Muktamar Sastra 2018 di Pondok Pesantren Salafiyah Asy-Syafi’iyyah Situbondo, Jawa Timur.


AGENDA KEGIATAN



1.Poetry Reading

2.Literary Lecture

3.The Culture Talkshow

4.Building Writing Skill

5.Study Orientation

6.Performance Art

7.Art Corner

8.Morning Speech


TUJUAN KEGIATAN

1.Silaturahim antara sastrawan nasional dengan sastrawan mancanegara

2.Konsolidasi sastra Islam sebagai masa depan kesusasteraan dunia

3.Pengenalan budaya pesantren modern bagi sastrawan mancanegara

4.Motivasi santri untuk penciptaan karya sastra

5.Pendidikan atraksi baca puisi mancanegara

TEMPAT PELAKSANAAN

Pondok Pesantren La Tansa, Lebak, Banten, Indonesia.


WAKTU PELAKSANAAN

Pelaksanaan LILFEST berlangsung selama 3 hari dimulai dari Hari/Tgl : Jum’at- Ahad, 6 – 8 September 2019


TEMPAT PENGINAPAN PESERTA

Pondok Pesantren La Tansa, Lebak, Banten, Indonesia

TEMA LILFEST

“Islam in Global Literature”


PENYELENGGARA ACARA

Rifa’i Center (RICE)

Diatas adalah acara La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019 Tetapi oleh kerana penulis lebih kepada berseminar beracara dan buat aktiviti Action Orieted. Penulis nampaknya acara ini tak dapat membantu apa apa kepada Pondok Pesanter La Tansa padahal terdapat beberapa peserta dari luar negara terdiri dari pensyarah universiti yang boleh membantu atau kerjasama baik secara kecil dengan pihak Pondok Pesantren La Tansa.


Pondok Pesantren La Tansa.

Pondok Pesantren Modern La Tansa adalah salah satu pondok pesantren modern yang cukup popular di Banten.


Lokasi pesantren yang satu ini ada di daerah Parakansantri, Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.


Nama 'La Tansa' diambil dari bahasa Arab, yang berarti 'Jangan Lupa'.


Pondok Pesantren La Tansa merupakan lembaga pendidikan Islam modern dengan konsep 'Islamic Boarding School', yang memadukan pembelajaran agama Islam, dan pelajaran umum seperti sekolah-sekolah pada umumnya.

Saat ini, Pesantren La Tansa menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam favorit di Provinsi Banten, khususnya di Kabupaten Lebak.


La Tansa tidak hanya terkenal dengan sistem pendidikannya saja, tetapi juga terkenal dengan alam sekitar pesantren yang sangat Indah.


Lokasi Pesantren La Tansa sangat strategis.

Berada di sebuah lembah seluas kurang lebih 13 hektar, diapit dua pengunungan dan perbukitan yang hijau dan asri, serta dikelilingi sungai Ciberang.


Sehingga tidak heran, bila Pesantren La Tansa disebut-sebut sebagai pondok pesantren terindah di Banten, bahkan di Indonesia.


Pesantren La Tansa didirikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifa'i Arief (Almarhum) yang bertindak juga sebagai pemimpin pesantren Daar el-Qolam (Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang) saat itu.


Kini, setelah pendiri meninggal, Pesantren La Tansa dipimpin oleh K.H. Adrian Mafatihullah Karim, MA dan Dr. K.H. Sholeh, S.Ag, MM.


Lembaga ini bernaung di bawah Yayasan La Tansa Mashiro, yang juga didirikan oleh Drs K.H. Ahmad Rifai Arief.


Lembaga ini dilahirkan oleh Pondok Pesantren Daar El-Qolam Gintung, Jayanti, Tangerang, sebagai suatu pengembangan wawasan dan pengembangan daya tampung, dengan sistem pendidikan serta pengajaran yang lebih variatif dan memenuhi hajat umat.


Yang memberikan prospek yang sangat baik untuk sebuah sarana pendidikan.


Lembaga ini dikelola oleh Yayasan "La Tansa Mashiroh” yang didirikan oleh Drs. KH. Ahmad Rifai Arief (Alm), dengan Akta Notaris No. 4 Tanggal 9 Januari 1991 dan Akta perubahan No. 44 Tanggal 20 April 1998, beralamat di Parakansantri, Lebakgedong, Lebak, Banten.


Sejak tahun 2017, pondok pesantren La Tansa telah mengembangkan sayapnya dengan dibukanya Pondok Pesantren La Tansa 3 Kun Karima di Kecamatan Majasari, Pandeglang.


Sementara Pondok Pesantren La Tansa 2 yang berlokasi di Kampus La Tansa Mashiro Rangkas Bitung akan segera dibuka pada tahun ajaran 2018-2019.


Dan untuk Pondok Pesantren La Tansa 4 & 5 yang berlokasi di Cipanas, Lebak sedang dalam proses pembangunan.


Penulis sangat tertarik dengan sistem Pondok Pesantren La Tansa. Seperti percakapan harian pelajar diwajib bahasa Inggeris dan berbahasa Arab tanpa berbahasa Indonesia dengan bergiliran hari. Walaupun acara “La Tansa International Literary Festival – LILFEST 2019” telah lama berlepas. Tetapi penulis harap kerjasama di antara Nusantara Studies Center dengan Pondok Pesantren La Tansa akan bersilaturahim kembali. Kerana masih banyak masyarakat Melayu Patani wajib belajar dari pondok pesantren itu.

Ahad, 22 Januari 2023

Dr. Tengku Mansur Wali Negara Sumatra Timur.

Oleh Nik Abdul Rakib Nik Hassan

Saya tertarik dengan sejarah Indonesia khususnya Pulau Sumatra. Dan saya sempat berjumpa dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II. Almarhum adalah tokoh Melayu Serdang yang memiliki pemikiran dan mempertahankan Kebudayaan Melayu di Sumatra Utara. Dan sempat membeli bukunya “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”

Dari situ tertariklah dengan Sumatra Timur yang pernah menjadi Negara Sumatra Timur di dalam Federasi Indonesia.


Dan juga sempat dapat kontak dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer di Belanda. Beliau adalah cucu kepada Dr. Tengku Mansur, Wali Negara Negara Sumatra Timur (NST) pada 28 Januari 1948 – 17 Agustus 1950.


Disini saya akan bicara tentang Negara Sumatra Timur dan Wali Negaranya, Dr. Tengku Mansur.


Negara Sumatra Timur (NST) adalah salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang bertahan cukup lama di lingkungan diluar Hindia Belanda selain Negara Indonesia Timur, yakni 25 Desember 1947 hingga 1950. Negara ini terbentuk kerana banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan Melayu, sebagian besar raja-raja Simalungun, beberapa kepala suku Karo dan kebanyakan tokoh masyarakat Tionghoa. Bumiputera Melayu dengan kekuasaan Islam-nya beserta Simalungun dan Karo merasa terancam dengan berdirinya negara baru, yang akan mendudukkan mereka sebagai bawahan dari Republik Indonesia di Yogya. Dalam banyak buku sejarah disebutkan Republik Indonesia Serikat merupakan gabungan dari berbagai negara-negara bebas di Indonesia saat itu. Meski demikian, negara-negara itu disebut sebagai negara boneka yang dibentuk oleh Belanda.

Dr. Tengku Mansur

Dr. Tengku Mansur atau Tengku Mansoer (17 Januari 1897 – 6 Oktober 1953) adalah Wali Negara Sumatra Timur, sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat. Ia juga tokoh pendiri dan Ketua Jong Sumatranen Bond (1917–1919).


Biografi

Pelantikan Tengku Mansur sebagai Wali Negara Sumatera Timur

Tengku Mansur lahir di Tanjungbalai, Kesultanan Asahan, 17 Januari 1897. Ia merupakan anak dari Tengku Muhammad Adil (Tengku Babul) dengan Raden Ayu Sariah (berasal dari Cianjur). Tengku Muhammad Adil dan saudara-saudaranya dikenal sangat gencar dalam menentang dan melawan Belanda. Hingga pada tahun 1859 Tengku Muhammad Adil dibuang oleh Belanda ke Buitenzorg (Bogor) untuk menghentikan perlawanannya. Ayahnya menikah dengan empat orang istri dan dikaruniai 12 orang anak.


Tengku Mansur merupakan sehabagian dari keluarga bangsawan, kerana Sultan Saibon (Sultan Asahan) merupakan keponakannya.

         Pelantikan Tengku Mansur sebagai Wali Negara Sumatera Timur

Tengku Mansur memulai pendidikan tinggi di Inlandsch Artsen School (STOVIA) di Batavia tahun 1911. Tengku Mansur dicatat sebagai satu-satunya siswa bergelar Tengku saat itu. Satu angkatan dengan Mansur (tingkat satu) adalah Abdoel Moenir Nasution. Kakak kelas mereka di tingkat dua (masuk 1910) adalah Ma’moer Al Rasjid Nasution. Di tingkat tiga (masuk 1909) ada Sjoeib Paroehoeman Harahap dan Soeleman Hasiboean.


Ia mulai berorganisasi dan bergabung dengan pemuda-pemuda nasionalis dan mereka mendirikan organisasi Jong Sumatranen Bond yang mana ia terpilih sebagai ketua (1917). Ia melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden, Belanda.


Saat berkuliah di Leiden, ia menikah dengan gadis Belanda bernama Amalia Gezina Wempe (1893-1967). Istrinya kemudian mengganti nama menjadi Siti Akmal.


Dari pernikahan itu, Tengku Mansur dikaruniai sepasang anak. Anak pertama seorang putri bernama Tengku Sariah lahir di Leiden, 14 Januari 1925 dan meninggal di Medan, 15 April 1994. Anak kedua seorang putra bernama Tengku Dr. Adil Mansoer lahir di Leiden, 24 April 1927 dan meninggal di Den Haag, 30 November 1979.


Setelah mendapat gelar dokter di Belanda, Tengku Mansur bekerja sebagai dokter ahli bedah di Medan. Pada bulan November 1947, ia diangkat sebagai Wali Negara Sumatra Timur.


Tengku Mansur meninggal dunia di Medan pada 6 Oktober 1953.


Penghargaan

Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Medan dan nama rumah sakit umum di Tanjungbalai.

Sabtu, 21 Januari 2023

THE LATE AL HAJ DR M.P. DRAHAMAN M.P. J.P. MBE : TH HERO OF SRI LANKA MALAY



The year 2003 marks the 40th Death Anniversary of Veteran Al Haj Dr Mohammed Pervis Drahaman, recognised as one of Sri Lanka’s National Heros and a key supporter of the Malays in their early struggle to gain official recognition, identity, status and representation in Parliament.

 

In 1928, the late Dr Drahaman was among the few Malays in Sri Lanka who became a Doctor of Medicine and entered Government service and served with dedication and distinction at many Government Hospitals before he set up private practice in"Kertel” (now Kompaneevidya) to serve his community and to devote much of his time to the welfare and well being of the Malay Community.  The Medical Clinic, Surgery and Dispensary, were opened in"Kertel".  A quote states "Spurning lucrative private practice amongst the elite, Dr Drahaman set up a Clinic in the heart of (then) Malay populated Slave Island area and began championing many of their causes."

 

Apart from his patients among the Slave Island residents and other members of the Malay community, Dr Drahaman attended to the medical needs of the Indonesian Naval crews who not only sought medical treatment but also board, lodging and assistance to tour the country.  This venue also served as Headquarters for spearheading in Ceylon, the support of the Indonesian struggle for Merdeka (freedom) through KERIS.  The Headquarters also served as a venue for the All Ceylon Malay Congress Movement and the Ceylon Malay Youth League of which Dr Drahaman’s only daughter, Kartini, played a vital role in promoting the Malay Culture among the youth of the Malay Community.

In recognition of his many contributions to the country and the Malay community in particular, Dr Drahaman was appointed by the Government of Sri Lanka a Member of Parliament in 1956 and in 1960.  During his tenure in Parliament, he is evidenced to have championed the interests, heritage, language and employment problems of the Malays.  He also had the distinction of being recognised and honoured by Indonesia, Malaysia and Queen Elizabeth.

 

He also identified himself with the activities of many Malay organisations in Sri Lanka (too numerous to mention) and was a founder member and past President for many years of the Ceylon Malaysia Society.  He took an active interest in the religious affairs

 

of  Masjid-ul Jamiya, Colombo 2, and was at the helm of affairs of this Mosque which was built by the former members of the Ceylon Rifle Regiment.

 

It is evidenced that Dr Drahaman played a key role in the introduction of the Malay Language Exam paper and the introduction of the Malay Program Series "Suara Melayu", which still functions; along with other documented contributions available in the Archives and also in the Hansard, from which is excerpted the following relevant quotes from the Vote of Condolence on the late Dr M. P. Drahaman in Parliament in 1963.

 

We express our appreciation of the many services that have been rendered to Sri Lanka by the late Dr M. P. Drahaman.  As the President of the Ceylon Malay Congress, he led a deputation before the Soulbury Commission pressing for representation for Ceylon Malays in the Legislature.  He represented a community which, I think has had a rough time over the last quarter of a century or so in Ceylon, and he represented them, very thoroughly, very conscientiously and well the vigour and the way in which he represented his community (in Parliament) in Lobbies and in private.  As a Malay, he was very conscious of the role a Malay could play not only in Malaya and Indonesia but also in Ceylon.  Although he was a nationalist, we all know how understanding and cooperative he was with all communities.  He took a deep interest in the affairs of Malay people all over the world.  When the Indonesians obtained "Merdeka"  their "freedom", Dr Drahaman received special recognition for his efforts by way of Invitation from the Indonesian Government to be a distinguished participant at the Freedom Celebrations.  The Malay community in particular has been made the poorer by the loss of one of its very ardent and zealous fellow workers, and the medical profession has been adversely affected by the loss of a very able and experienced practitioner.  He made a great contribution to his community and he has left behind him a record of which the Malay community may well be proud.”

 

Dr Drahaman was married to the late Mrs Hazelyn Saldin,  daughter of the late Mr M. K. Saldin a former member of the Ceylon State and Legislative Councils.  He had four sons, the late Dr Siva Drahaman, Mr Vero Drahaman, Dr Revo Drahaman, Dr Sukarno Drahaman and only daughter, Mrs Kartini  Drahaman-Mohamed.

 

From Suara Melayu Langkawi - SLAMA Newsletter - Nov 2003


Khamis, 19 Januari 2023

Orang Melayu: The story of Sri Lanka's Malay folks by Asiff Hussein (Explore Sri Lanka)

 

Orang Melayu: The story of Sri Lanka's Malay folks by Asiff Hussein (Explore Sri Lanka)

Renowned for their martial prowess and happy go-lucky attitude, Sri Lanka"s Malay folk have but a relatively short history in the country, albeit a very fascinating one.

 

This small Muslim community which comprises of about 50,000 persons are mainly descended from Javanese political exiles (nobles and chieftains), soldiers and convicts, who arrived in the island from Dutch-occupied Java during the period of Dutch colonial rule in Sri Lanka from 1658 " 1796.

 

Although the vast majority of Sri Lankan Malays are of Javanese ancestry, there are also considerable numbers descended from the folk of other islands in the Indonesian archipelago such as the Balinese, Tidorese, Madurese, Sundanese, Bandanese and Amboinese.

 

Thus the ethnic term "Malay" should not be misconstrued as indicating their origin from the Malayan peninsula. Although there do exist Sri Lankan Malays descended from the folk of the Malayan peninsula, their numbers are very few indeed.

 

The local Malays refer to themselves as orang Java (people of Java) and orang Melayu (Malay people) while the majority Sinhalese community call them Ja-minissu (Javanese people).

 

Indonesian political exiles comprised a significant portion of the early Malay population brought hither by the Dutch.

 

These exiles posed a serious political threat to the Dutch East India company (or "vereenigde oost indische compagnie", known as the VOC for short) which had its headquarters in Batavia (the Dutch name for Jakarta).

 

Sri Lanka and the Cape of Good Hope in South Africa were the principal centres of banishment for such exiles.

 

According to B.A. Hussainmiya (Lost cousins, the Malays of Sri Lanka. 1987) there must have been at least 200 members of this eastern nobility including the younger members of aristocratic families born in the island, in the latter part of the 18th century.

 

This is indeed a significant number considering the fact that during this time, the entire Malay population in the island amounted to about 2400 persons.

 

However, during the early British period, Governor Maitland (1805 " 1811) who believed the exiles to be "a great pecuniary burden to the colonial revenue, besides being a danger to the British interests in the island", took measures to expel them.

 

Although the Dutch authorities in Batavia were reluctant to take back the exiles, Maitland"s threat that he would forcibly "send them in one his Majesty"s cruises to the Eastward to be landed among these islands", sufficed to change their minds. However, a few exiles who had espoused local women stayed back and gave rise to a small community of Malays claiming aristocratic status.

 

However, it was the Malay soldiers brought hither by the Dutch to garrison their strongholds, who comprised the bulk of the Malay community in the island. By the turn of the 18th century, there were about 2200 Malay soldiers in the island.

 

Malay troops are said to have taken part in the wars of the Dutch against the Portuguese such as the storming of Galle (1640), the siege of Colombo (1656) and the capture of Jaffna (1658).

 

The Malays also served in the Dutch wars against the Kandyan Kingdom (17th "18th centuries). With the surrender of the Dutch to the British in 1796, the Malay soldiers were absorbed by the British military, and so served them as they had done their predecessors, the Dutch.

 

The British authorities who were not unaware of the martial prowess of the Malays, imported over 400 Madurese soldiers and about 228 Javanese soldiers along with their families from 1813 " 1816. This was during the brief period of British rule over Java from 1811 " 1816. Following the Dutch takeover of Java in 1816, the British had to turn elsewhere for the supply of Malay soldiers and set up recruiting offices, which were however a miserable failure.

 

Captain Tranchell"s mission (1856 " 1857) which travelled extensively in the East Indies including stopovers in Brunei, Lubuan, Pahang and Kelatan, managed to recruit only seven Malays, which prompted a contemporary British officer, Cowan, to remark:

 

"The expedition and the expenditure as compared with the proceeds of it must show these four of five (Malay recruits) to be about the most expensive in the British army." He says that everyone of them were subsequently set at liberty as they were physically unfit for fighting when they arrived at headquarters.

 

As for convicts, these comprised petty officials and commoners deported by the VOC. However, these were very few compared to the soldiers. It has been shown that in 1731, there were 131 of these convicts serving the VOC in Sri Lanka, besides those convicts serving in the army and those who had been set free.

 

Although it appears that the majority of Malays did not bring their womenfolk with them, there is evidence to show that a good many of them did.

 

Christopher Schwitzer, a German resident of Dutch Ceylon alludes (1680) to Amboinese soldiers in the Dutch service who had Amboinese Sinhalese, and Tamil wives, so that we may assume that some of the Malays, especially the soldiery, brought their wives with them.

 

However, as borne out by later Dutch records, the Malays preferred to marry local Moor women, due to their common religious background. Intermarriage with Sinhalese women has however also been considerable since the 19th century. It is for this reason that local Malays somewhat differ physically from their brethren in the Indonesian archipelago.

 

As for Malay culture, we know that the Malay language (known to local Malays as "bahasa Melayu") is still a living one and is spoken in Malay homes, though there is evidence to show that it is being fast replaced by Sinhala.

 

The local Malay language which somewhat differs from standard Indonesian (bahasa Indonesia) and standard Malaysian (bahasa Malaysia) was however a thriving one in the olden days, so much so that two Malay newspapers, Alamat Lankapuri and Wajah Selong in Arabic script (known to local Malays as the Gundul script) were published in the latter part of the 19th century.

 

As Hussainmiya (Lost cousins 1987) has noted, Sri Lanka"s Malays have belonged to a fairly literate society. Although a great part of their literature, which includes "Hikayats" (prose works) and "Syairs" (works in verse) have had their origins from classical Malay works popular throughout the Malay world, a considerable number of such works have had their origins amongst the local Malay community.

 

The Hikayats which have derived from Arabian, Persian, Indian and Javanese sources, comprise of fantastic tales including romances, legends and epics. Some of the notable Hikayats found in Sri Lanka are the Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Isma Yatim and Hikayat Indera Kuraisy. According to Hussainmiya (1987) the Hikayat Indera Kuraisy is peculiar to Sri Lanka.

 

This fantastic Malay romance, which is interspersed with pantuns (traditional Malay quatrains) relate the adventures of the hero Indera Kuraisy who departs from his homeland Sarmadan in order to win the heart of the inapproachable princess, Indera Kayangan. The Syairs are Malay classic poetry that have for long captured the fancy of local Malay folk.

 

Two notable local syairs are the syair syaikh Fadlun, a romance-epic narrating the story of the pious Fadlun who lived in Arabia during the times of the Caliph Omar, and the syair Kisahnya Khabar Orang Wolenter Bengali which describes the armed skirmish between Malay and Bengali soldiers in Colombo on New Years Day 1819. These Hikayats and Syairs were also written in the Gundul script.

 

However, despite attempts at reviving the Malay language, it is fast dying out and giving way to Sinhala. The vast majority of vernacular- educated Malay youth today speak Sinhala at home.

 

In spite of all this, it can still be said that the local Malays have been much more conservative than their brethren domiciled in South Africa (Cape Malays) who have had similar beginnings but have ceased to speak that Malay language long ago (as far back as the 19th century, as evident from John Mason"s "Malays of Cape Town" 1861). This is despite the fact that the Cape Malays constitute a community three times as large as the Sri Lankan Malay community.

 

There have of course been numerous attempts at reviving the local Malay language and culture by such organizations as the Sri Lanka Malay Confederation, an umbrella organization of the local Malay community.

 

The second Malay world symposium held in Colombo in August 1985, and co-sponsored by the Malay Confederation and Gapena, the Malaysian Writers Federation, is a case in point.

 

To this day, the Malays have jealously retained certain aspects of their culture, examples being the honorific Tuan which precedes the names of Malay males, their family names, social customs and culinary habits.

 

Today there exist many Malay family names that have fiercely resisted the inroads made by Islamic Arab names; these include Jaya, Bongso, Tumarto, Kitchil, Kuttilan, Kuncheer and Singa Laksana.

 

Although Malay social customs such as those pertaining to births, circumcisions and marriages are not significantly different from those of their Moorish co-religionists, there nevertheless do exist a few practices that do differ. A practice peculiar to the Malays until fairly recent times was the singing of pantuns on such festive occasions.

 

The Malays have also retained some of their traditional fare such as nasi goreng (Fried rice), satay and Malay Kueh (cakes and puddings). Pittu (rice-cake) and babath (tripe) is another favourite dish that has found much favour amongst other communities as well.

 

Traditional Malay dress has however ceased to exist for some time. Local Malay women, like their Moorish sisters, dress in sari (Indian-style with a hood left at the back to cover the head when going outdoors) instead of the traditional Malay Baju and Kurung.

 

However, it is possible that the sarong which Malay men as well as those of other communities wear at home is a recent introduction from the archipelago.

 

It appears that in the olden days, Sinhalese, Moor and Tamil folk wore a lower garment similar to the Indian dhoti and not exactly the same garment we know as the sarong, whose name itself is of Malay origin.

 

The arts of batik printing and rattan weaving, both lucrative cottage industries in the country, also owe their origins to the Malay.