Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Kali ini akan bicara tentang sebuah masjid
yang terletak di Ranah Minang. Namanya Surau Atok Ijuak, di sii saya akan
kemukakan sebuah tulisan tentang masjid atau surau tersebut yang dimuatkan di
laman web Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tulisan
tersebut adalah seperti berikut :-
Surau Atok Ijuak, yang Unik Tapi Pelik
Nama surau lazim disematkan pada tempat
ibadah umat Islam yang berukuran kecil dan cenderung tradisional. Penekanan
rasa tradisional inilah yang berusaha dipegang teguh oleh masyarakat di sekitar
Surau Atok Ijuak. Selain dari segi bahan kayu dan atap ijuk yang memesona,
surau ini juga menawarkan kedamaian bagi para peziarah yang datang ke Kabupaten
Pariaman. Bagaimana tidak, surau yang terletak di dataran yang lebih rendah
dari bangunan sekitarnya ini seolah tak tersentuh hiruk pikuk jalan raya diatas
sana. Aksesibiliti jalan raya membuat surau ini mudah dijangkau dan ditemukan
oleh para peziarah dan pelancong. Halamannya yang luas juga memudahkan para
jama’ah memarkir kendaraan pribadinya. Para peziarah dan pelancong dari luar
kota banyak yang datang ke surau ini dan penasaran bagaimana kesejarahannya.
Oleh kerana itu, pengurus masjid sudah berencana membuat sebuah Ranji, atau
silsilah keturunan, asal muasal masjid. Hal ini merupakan sebuah usaha yang
harus segera dilakukan, kerana di seluruh Nagari Sicincin hanya tinggal 1 orang
yang mengetahui sejarah surau dan beliau sudah berusia lanjut. Surau Atok Ijuak
dibangun di tanah yang lebih rendah agar dekat dengan sumber air, kerana dahulu
jama’ah yang akan melaksanakan shalat berwudhu di sungai-sungai (batang air).
Menurut cerita pengurus, Aslimin, surau ini
sudah berusia sekitar 500 tahun. Sayangnya, usia tersebut hanya perkiraan,
tidak ada bukti inskripsi atau naskah yang dapat memperkuat asumsi beliau.
Beberapa fakta yang dapat dilacak kebenarannya adalah pelaksanaan pemugaran dan
penambahan bangunan di kompleks surau Atok Ijuak. Pemugaran surau secara
besar-besaran dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat,
Riau, dan Kepulauan Riau (BPCB Sumbar) tahun 2015. Selain itu, pada tahun 2011,
Surau Atok Ijuak juga menerima bantuan dari Swiss Labor Agency (SLA) untuk
pembangunan kamar mandi dan tempat berwudhu.
Jika dilihat dari bentuknya, surau ini
memiliki bentuk yang serupa dengan surau lain di Sumatera Barat. Ruangan utama
berdenah bujur sangkar, atapnya berbentuk tumpeng/tingkat (tajug), dan lantai
yang ditinggikan (panggung). Di bagian tengah ruang utama terdapat 1 buah tiang
utama (macu) dan 8 buah tiang pendamping yang terletak konsentris di sekitar
tiang utama. Di sisi barat terdapat mihrab berdenah persegi panjang dan di sisi
timur terdapat teras pintu masuk yang juga berdenah persegi panjang.
Keseluruhan bangunan terbuat dari papan kayu serta atap yang terbuat dari ijuk.
Adapun tangga masuk bangunan terbuat dari mortar.
Bentuk Atap Masjid
Pemugaran oleh BPCB Sumbar difokuskan pada
penggantian lantai dan dinding papan kayu yang telah lapuk. Tetapi sayangnya 4
tahun kemudian, lantai papan tersebut sudah banyak yang keropos akibat dimakan
rayap. Dahulu perakitan bangunan kayu khas Sumatera Barat menggunakan sistem
pasak dan ikat, tetapi waktu pemugaran sistem tersebut diganti dengan
menggunakan paku. Upaya pelestarian surau tradisional ini merupakan upaya yang
kontinyu dan memakan biaya yang tidak sedikit. Minyak cengkeh (20 kg hanya
untuk 2 kali semprot) dan tembakau digunakan untuk mempreservasi kayu serta
pembelian ijuk dengan harga 10,000 per kg disediakan oleh BPCB Sumbar dengan
dibantu seadanya oleh dana pribadi pengurus masjid, mengingat di surau ini
memang tidak disediakan kotak infaq untuk sumbangan.
Sayangnya upaya merawat kelestarian surau
tersebut tidak dibarengi dengan antusiasme masyarakat. Menurut Pak Aslimin,
sejak surau rusak (sebelum dipugar BPCB), jama’ah mulai sepi karena masyarakat
beralih ke masjid baru. Masjid baru tersebut merupakan sumbangan dari salah
satu TV swasta nasional setelah terjadinya gempa besar Padang. Pengajian dan
qasidah untuk anak-anak yang biasanya berlangsung pukul 16-18 pun beralih ke
masjid baru karena disana ada ustadz dan ustadzah yang mengajar. Yang
tertinggal kini hanyalah pengajian untuk ibu-ibu (majelis ta’lim) yang
dilaksanakan 1 kali tiap minggu. Mereka pun mengaji sendiri, saling menyimak
karena memang tidak ada guru yang mau mengajar dengan sukarela. Selain
pengajian ibu-ibu, Surau Atok Ijuak masih digunakan untuk rapat dan musyawarah
warga Nagari Sicincin.
Tradisi dan ritual keagamaan yang sampai
sekarang masih dilaksanakan di surau adalah kebiasaan berdzikir 1 kali tiap
tahun, pelaksanaan shalat tarawih, Idul Fitri, dan Idula Adha, serta
penyembelihan hewan qurban. Kebiasaan lain di bulan Ramadhan adalah pengajian
sebelum berbuka, saat Maghrib tiba semua berbuka di rumah masing-masing dan
kemudian kembali untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.
Surau Atok Ijuak juga menjadi saksi sejarah
penyebaran Islam Syekh Burhanuddin di Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin, atau
Pono nama kecilnya, merupakan salah satu ulama besar yang berasal Ulakan,
Pariaman. Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agama ke Aceh dan setelah dianggap
mampu oleh gurunya, Syekh Ahmad, kemudian diberi wewenang untuk menyebarkan
agama Islam di daerah asalnya. Setelah dari Aceh, Syekh Burhanuddin sempat
menginap dan tidur selama 1 malam di Surau Atok Sijuak, sebelum meneruskan
perjalanan ke Ulakan. Menurut penuturan Aslimin, setelah Syekh Burhanuddin
singgah, masyarakat sekitar kemudian berinisiatif membuat mihrab di dalam
surau.
Keunikan lain yang dahulu pernah ada di Surau
Atok Ijuak adalah tradisi shalat ampek puluah. Shalat ampek puluah atau shalat
empat puluh, merupakan shalat wajib lima waktu yang dilakukan di surau selama
40 hari tanpa terputus. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tua
yang berusia 75 tahun keatas. Shalat empat puluh dipercaya sebagai pem’badal’
haji (haji pengganti, kerana belum mampu ke tanah suci) dan sebagai upaya qadha
shalat wajib lain yang terlewat sebelum-sebelumnya. Mengingat ramainya kegiatan
keagamaan di surau ini, dulu juga banyak Al-Qur’an lama tulisan tangan dengan
tinta merah, tetapi sayang sekarang sudah hilang semua karena dicuri. Selain
itu juga ada jam kuno yang harus diputar (diengkol).
Bagian Dalam Masjid
Keistimewaan lain Surau Atok Ijuak yakni
menjadi salah satu tempat syuting filem Tuanku Imam Bonjol sekitar tahun 2007,
sebelum surau dipugar. Keunikan dan keistimewaan Surau Atok Ijuak diharapkan
dapat menjadi penyemangat kita untuk membantu melestarikan dan merawat surau
tersebut.
Ditulis ulang dari buku “Masjid Warisan Budaya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi – Cahaya Syiar di Relung Mihrab”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan