Ahad, 6 Ogos 2023

Kesultan Serdang : Sebuah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur, Indonesia. (Bahagian 2)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah 1881-1946)

Seperti bicara tentang Kesultan Serdang di bahagian 1 dengan kemukakan sebuah artikel ilmiah dan akan sambung  bahagian ke 2 artikel tersebut tajuknya, “Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya” yang disiarkan di jurnal Local History & Heritage, Volume 1, Issue 2, September 2021. Artikel ini asal dari Sripsi Fivi Herviyunita, dengan 2 orang penyelia, iaitu Irwansyah dan Rina Devianty di Universiti Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia. Isi kandungan artikel tersebut adalah berikut:-


3.     Zaman Keruntuhan

Sultan Basyaruddin Syariful Alamsyah wafat pada tahun 7 Muharram 1279 H atau pada bulan Desember 1880 M. Putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, pada saat itu masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap memimpin pemerintahan. 


Pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, pertikaian antara Serdang dengan Deli semakin memanas. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berkuasa pada tahun 1886-1946 M.


Peristiwa Revolusi Sosial yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1946 di wilayah Sumatera Timur mengakibatkan kekacauan yang disertai penangkapan raja-raja yang ada di tanah Karo oleh para komunis. Raja-raja ditangkap, bahkan ada yang dibunuh, dan istana mereka dijarah. Jika di wilayah lain para raja dtangkap dan dibunuh, maka di wilayah Kesultanan Serdang keadaannya sedikit berbeda. Berkat dukungan positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan ataupun pembunuhan terhadap keluarga kesultanan. Pada tanggal 4 Maret 1946, Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Republik Indonesia, dan sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Kesultanan Serdang (Azhari, 2013, pp. 40–42).


Jejak Peninggalan Kesultan Serdang

Istana Tanjung Puteri

                Istana Tanjung Puteri-Kampong Besar Serdang 1750

Gambar ini merupakan pemukiman bekas Istana Tanjung Puteri, kediaman dari Sultan Serdang I, Tuanku Umar Djohan Alamsyah Raja Junjungan yang merupakan pendiri Kesultanan Serdang. Kondisi wilayah di tepi kuala Serdang masih berupa rawa dan hutan bakau. Tidak ditemukan sumber data manapun yang menyebutkan bahwa terdapat pemukiman atau kampung di wilayah tersebut sebelum 1723. Satu abad kemudian, di dalam buku Mission to East Coast of Sumatra in 1823, John Anderson menyatakan bahwa yang membuka Kampong Besar di Serdang adalah Tuanku Umar Djohan Alamsyah bersama ibundanya Tuanku Puan Sampali. Baginda mendirikankan rumah besar tempat bersemayam (tidak disebutkan istana). Tuanku Umar ditabalkan menjadi Sultan Serdang pertama oleh: Raja Urung Sunggal (merga Surbakti Gajah); Raja Urung Senembah (merga Barus); Raja Urung Tanjung Morawa (merga Saragih Dasalak) dan utusan Sultan Aceh yaitu Uleebalang Lumu (Datuk Paduka Raja) di Kuala Sungai Serdang pada tahun 1723 M (wawancara dengan Tengku Mira). 

Tengku Mira Sinar

Tuanku Umar membangun Serdang dengan strategi menapakkan peran-peran secara internal untuk memperkuat dan memperkokoh wilayah-wilayah yang meliputi Denai, Perbaungan, Percut, dan ke pedalaman Serdang di wilayah


yang dihuni etnis Karo (Senembah dan Tanjung Muda) dan ke wilayah yang dihuni etnis Batak Timur yang menjadi kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Tuanku Umar, keadaan di Serdang dipengaruhi oleh peperangan yang diprakarsai oleh Radja Ketjil yang pada masa itu bermaksud untuk merebut Johor. Menurut hikayat Raja-Raja Siak, Tuanku Umar dimakamkan di Sampali, daerah asal ibunda baginda (wawancara dengan Tengku Mira, pada tanggal 13 Oktober 2020). 


Istana Tanjung Puteri berada di Desa Kampong Besar, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang. Istana Tanjung Puteri merupakan wujud eksistensi Kesultanan Serdang di masa lalu. Dahulu istana Kesultanan Serdang tidak disebutkan dengan kata istana melainkan sebutan kata rumah besar tempat bersemayan, dahulu dengan adanya istana masyarakat menjadikan istana tempat masyarakat melakukan kegiatan pencak silat atau tempat di mana masyarakat melalukan kegiatan pengajian bersama. Sehubung dengan tekstur tanah yang lembek bekas rawa-rawa dan berdekatan dengan kuala, wilayah Kampong Besar kerap terendam air sehingga pada masa pemerintahan Sultan Serdang ke-IV Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah, Ibu Kota kesultanan pindah ke Rantau Panjang dan meninggalan kampong Besar. Kesultanan Serdang mendirikan Istana Bogok Darul Arif dan juga mendirikan Masjid bernama Mesjid Raya Sultan Basyaruddin.

                     Bekas Peninggalan Sumur Istana Tanjung Puteri

                              Istana Darul Arif Rantau Panjang

                     Istana Bogak-Darul Arif, Rantau Panjang 1881

Istana Bogak Daru Arif berdiri pada tahun 1881 M masa kepemimpinan Sultan Basyaruddin Alamsyah yang pindah dari Kampong Besar Serdang ke Istana Kampong Bogok Desa Rantau Panjang, Kec. Pantai Labu Kab.Deli Serdang. Pada masa kepemimpinan Sultan Basyaruddin Belanda menjejakkan kaki di Serdang untuk memperluas wilayah. Sultan Basyaruddin akhirnya terpaksa mengosongkan Istana Bogok-Darul Arif Rantau Panjang dan membuat pertahanan di pedalaman hutan Koeala Namoe.

Bekas Pennggalan Istana Tanjung Puteri

Bekas sumur istana Tanjung Puteri

Perpindahan pemukiman sultan dari Rantau Panjang yang lebih dekat dengan laut, Perbaungan di sebelah timur juga disebabkan karena bencana alam, banjir besar yang meluluh lantakan Istana Bogak-Darul Arif Rantau Panjang. Sultan beserta keluarganya menempati bangunan Istana, sementara para bangsawan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orang-Orang Besar (Rijksgrooten), membangun kediaman mereka di sekitar Istana. Startifikasi sosial yang terbentuk dalam hubungan sultan dan rakyatnya mendorong terbentuknya pusat pemukiman bangsawan, namun tidak sangat terpisah dengan pemukiman rakyatnya. Sejak tahun 1894 M karena sering dilanda banjir Istana Rantau Panjang,


maka Sultan Sulaiman ingin memindahkannya. Penguasa Belanda di Rantau Panjang mengajak sultan untuk membangun Ibu Kota bersama di Lubuk Pakam. Sultan dengan tegas menolak ajakan itu. Sultan lebih memilih Perbaungan sebagai Ibu Kota baru Kesultanan Serdang. Penolakan Sultan Sulaiman ini menjadi hal yang kurang menguntungkan bagi kolonial karena letak Perbaungan yang jauh dari Lubuk Pakam membuat pengawasan terhadap sultan menjadi lebih sulit. Tahun 1896 M akhirnya Sultan Sulaiman memindahkan kekuasaannya ke Simpang Tiga, Perbaungan. Dibangunlah Istana Darul Arif Kota Galuh dengan megahnya (wawancara dengan Tengku Mira).

                  Peninggalan Istana Bogok Darul Arif Rantau Panjang

                              Bekas Pondisi Istana Bogak

Gambar di atas bekas lahan dari Istana Bogak-Darul Arif, Rantau Panjang pada masa kepemimpinan Sultan Basyaruddin Alamsyah. Istana Darul Arif Rantau Panjang berada di depan masjid yang bersebrangan dengan jalan. Namun sisa-sisa dari istana sudah tidak terlihat lagi, hanya bagian fondasi rumah yang bisa membuktikan bahwa dahulu terdapat dari Istana Kesultanan Serdang.

                         Istana Darul Arif Kota Galuh Perbaungan

Istana Darul Arif dibangun sekitar tahun 1889 M di atas tanah seluas 952 hektar yang terletak di Kota Galuh, Perbaungan, Kampung Melati, berbatasan langsung dengan negeri-negeri di empat penjuru mata angin. Di sebelah Utara dengan Selat Melaka, pada bagian selatan dengan Dolok dan Simalungun, bersempadan dengan Bedagai di Timur serta menarik watas dengn Deli di sebelah Barat. Penetapan Simpang Tiga Perbaungan sebagai Ibu Kota baru Serdang dikuatkan dengan pemberian nama ”Serdang Bandar Setia” untuk daerah pertemuan tiga jalan dan kampung di sekitarnya. Nama yang penuh makna tetapi sedikit yang orang yang tahu apa kandungan dibalik itu. Serdang Bandar Setia adalah lambang kesetiaan pada garis perjuangan para pemimpin Serdang terdahulu (Tuanku Luckman Sinar Basarshah, 2006).


Darul Arif merupakan nama pilihan Sultan Sulaiman untuk istana barunya itu. Darul arif Kota Galuh ini berbeda dengan Istana maimun yang dibina melalui penggabungan seni arsitektur Arab, Eropa, Melayu serta Mughol sehingga tampak mewah. Istana Darul Arif mengadaptasi bentuk istana Melayu klasik sehingga terlihat lebih sederhana namun megah. Olesan cat berwarna kuning, hijau maupun hitam pada tiang-tiang soko guru, dinding, lantai, langit-langit, daun pintu maupun jendela membuat bangunan besar itu menjadi bagian tak terpisahkan dari nuansa alam. Berlatar hamparan sawah, membuat pucuk istana bertingkat lima itu seakan-akan menjulang tinggi menembus langit. Ornamen berupa pahatan maupun ukiran pucuk rebung berbanjar, silang berkait, tampuk manggis, bunga pinang dan bunga kundur semakin menguatkan unsur alam pada istana itu (wawancara dengan Tengku Mira).

                                   Bagian depan Istana Darul Arif

                          peninggalan Istana Darul Arif Kota Galuh

                    Replika Istana Darul Arif Kota Galuh Perbaungan

Gambar di atas merupakan replika dari Istan Darul Arif yang sudah dibumihanguskan oleh Belanda. Replika Istana Kesultanan Serdang yang ada di jalan Lintasan Sumatera, Medan-Tebing Tinggi, Kecamatan Perbaungan yang merupakan tiruan bangunan Istana Kesultanan Serdang yang dulu ada di Desa Galuh, Perbaungan. Setelah dibumihanguskan oleh orang-orang Belanda karena pihak kerajaan tak mau mendukung mereka di masa penjajahan. Bangunan replika diprakarsai oleh Sultan Serdang Almarhum Tuanku Luckman Sinar Basarshah II dan diresmikan 7 Januari 2012 untuk mengenang kejayaan masa lampau kerajaan tersebut. Masa kejayaan Kesultanan Serdang di masa lampau tida bisa dilupakan walaupun sudah berlalu ratusan tahun silam.


Saat ini replika bangunan Istana Kesultanan Serdang digunakan untuk Kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Serdang Bedagai. Kesultanan Serdang yang bercorak Islam pada masa kepemimpinan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah mengalami kemakmuran dan ketentraman karena perdagangan yang ramai. Hal ini seperti yang sudah dikatakan oleh utusan Kerajaan Inggris dari Penang, John Anderson. Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan kondisi tentram dan makmur di Kesultanan Serdang.


Simpulan

Awal mula terbentuknya Kesultanan Serdang ialah ketika terjadinya pertikaian antara anak Panglima Paderap. Pertikain itu terjadi antara Tuan Panglima Pasutan dan Tuan Umar Johan Alamshah, kemenangan tidak berpihak kepada Tuan Umar Johan Alamshah, sehingga ia dan ibunya harus meninggalkan Deli dan tinggal di Kampung Besar. Tidak semua


pihak senang dan gembira atas kemenangan yang diperoleh Tuan Panglima Pasutan. Pihak yang tidak senang terhadap kemenangan Tuan Panglima Pasutan, justru mendukung dan memberi dukungan kepada Tuan Umar Johan Alamshah untuk mendirikan Kesultanan baru yang dikenal dengan Keslutanan Serdang. Masa Keemasan Kesultanan Serdang terjadi pada masa Sultan Thaf Sinar Baharshah. Banyak tragedi yang menimpa Istana dari Kesultanan ini, perpindahan letak Istana sering dilakukan. Hingga pada akhirnya yang tersisa sampai saat sekaran ini hanyalah bangunan replikanya yang berada di Jalan Lintasan Sumatera, Medan-Tebing Tinggi.

Fivi Herviyunita Bersama Haji Oka Hasanuddin

Refferensi

Anderson, J. (1971). Mission to the East Coast of Sumatra, in 1823. Oxford University.


Azhari, I. (2013). Kesultanan Serdang: Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah.Medan.


Khairuddin. (2017). Peran Kesultanan Serdang dalam Pengembangan Islam di Serdang Bedagai. Kuntowijoyo. (2003).


Metodologi Sejarah. Yogya: PT.Tiara Wacana.


Sinar, Tuanku Luckman. (1986). Sari Sejarah Serdang 1`. Medan: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerali. Sjamsuddin, H. (2007).


Tuanku Luckman Sinar Basarshah. (2006). Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Y. K. Serdang, Ed.). Medan.


 

Tiada ulasan: