Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Abdoel Aziz Abdoeldjalil Rachmat Sjah, sultan Langkat 1895
Kesultan Langkat juga sangat menarik. Kerana
saya sangat minat tentang wang kerajaan Melayu. Terdapat satu wang shiling yang
dikaitan dengan sebuah kerajaan Melayu di Selatan Thailand. Iaitu wang kerajaan
Melayu Negeri Legeh di Selatan Thailand. Pada peringkat awal penulis masih
keliru dengan wang shiling tersebut. Adakah betul wang shiling negeri Melayu
Legeh. Kerana di wang shiling itu tercatat Negeri Langkat Darussalam. Dan
terdapat sebuah negeri Melayu Langkat di Sumatra Timur, Indonesia. Dari situlah
penulis mulai mendalam tentang kerajaan Langkat di Sumatra. Disini penulis
kemukakan sebahagian dari sebuah artikel yang ditulis oleh Ryzka Dwi Kurnia di
Jurnal Analytica Islamica, Volume 4, No. 1, 2015:155-166. Sebahagian isi
kandungannya adalah seperti berikut:
Sejarah Kesultanan Langkat
Melalui tulisan Zainal Arifin, disebutkan bahawa
jauh sebelum Kerajaan Langkat lahir, di daerah tersebut telah berdiri sebuah
Kerajaan Melayu yang bernama kerajaan Aru (Haru) yang merupakan asal muasal
lahirnya Kesultanan Langkat. Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal
dari keturunan Kerajaan Aru itu sendiri.[1]
Bendera Kesultanan Langkat
Kerajaan Aru merupakan Kerajaan yang cukup
Masyhur di masanya. Diperkirakan bahawasanya Kerajaan Haru (Sumatera Timur)
telah memeluk Islam sejak pertengahan abad ke-13.[2]
Hal ini dibuktikan melalui “Sejarah Melayu” dan Hikayat Raja-Raja Pasai” yang
berkisah sebagai berikut:
Disebutkan bahawa rombongan Nahkoda Ismail
dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus Sekarang), kemudian
Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudera Pasai
yang bernama Merah Silau yang kemudian menjadi Sultan Malikulsaleh diIslamkan.[3]
Istana Kesultanan Langkat
Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan
abad ke-13 dan diketahui juga bahawasanya Marco Polo bertemu dengan Malikulsaleh
pada tahun 1292 M. ketika mengunjungi Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan
ditemukannya batu nisan Sultan yang bertarikh 1297 M. dan masih dijumpai di
Pasai.[4]
Selain itu bukti lain menyatakan bahawa,
Kerajaan Aru/Haru pada tahun 1365 M. dihancurkan Kerajaan Majapahit, kemudian
bangkit kembali dengan beberapa kali mengirim utusannya ke Tiongkok semasa
pemerintahan Kaisar Yung Lo. Sultan Husin dari Haru mengirim misi ke Tiongkok
pada tahun 1407 M. Selanjutnya pada masa Raja Tuanku Alamsyah (pengganti Sultan
Husin) mengirim lagi utusannya ke Tiongkok pada tahun 1419, 1421 dan 1423 M.
Selanjutnya Kaisar Ming membalas kunjungan
ini dengan mengutus Laksamana Cheng Ho iaitu pada tahun 1412 dan 1431 M. Pada
masa itu Haru telah mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain
yang disebut “K’oni” sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang
beragama Islam.[5]
Nama “Haru” tersebut untuk pertama kalinya
muncul dalam catatan Tiongkok ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok pada
tahun 1282 M. pada zaman pemerintahan Kublai Khan. Setidaknya dalam beberapa
periode sampai dengan masa penyerangan dari Singosari (1275 M.), maka kota Cina
yang terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan
perdagangan dari Kerajaan Haru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan
(antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung berniaga
dengan jajahan- jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian hasil penggalian
yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli sekarang).[6]
Istana Kesultanan Langkat di Tanjung Pura
Penyerangan ini dikenal dengan nama
“Ekspedisi Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahawa
“Haru bermusuhan”.
Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa
Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan kembali makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang
Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”,
bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga Samudera, Barlak (Perlak) dan
Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M. Tetapi tidak lama,
musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M. Kerajaan Hindu
Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri dalam
Kepulauan Nusantara ini.[7]
Silsilah Kesultanan Langkat menyatakan bahawa
nama leluhur Kerajaan Langkat yang terjauh diketahui adalah Dewa Sahdan.[8]
Sampai saat ini asal usulnya masih
menjadi simpang siur. Satu pendapat mengatakan, ia lahir di tengah hutan
belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki Gunung Sibayak) Kira-kira
hidup pada tahun 1500 sampai 1580 M. Versi yang lain menyebutkan bahawa Dewa
Sahdan adalah putra Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu
diletakkan di bawah pohon buluh di Kerajaan Kutabuluh.[9]
Ada juga yang menyebutnya sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian
mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.[10]
Seri
Paduka Tuanku Mahmud Abdu’l Jalil Rahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Abdu’l
Aziz, Sultan Melayu Langkat 1927-1948
Sedangkan Menurut teromba Kesultanan Langkat,
Dewa Sahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh.[11]
Kemudian setelah mangkatnya Dewa Sahdan kepemimpinan kerajaan diteruskan oleh
putranya bernama Dewa Sakti antara tahun 1580-1612. Dewa Sakti diberi gelar
Kejeruan Hitam, tetapi Dewa Sakti akhirnya tewas dalam Peperangan Aceh dalam
mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua demikian adiknya Putri Hijau hilang
dan raib dalam peperangan sekitar tahun 1612.
Dan ini adalah dari tulisan Lukman Hadi
Subroto, tajuknya “Kesultanan Langkat: Sejarah, Perkembangan, dan Raja-raja” di
surat khabar Kompas.com Isinya seperti berikut :
Sejarah berdirinya Kesultanan Langkat
merupakan penerus Kerajaan Aru, yang hancur kerana ditaklukkan oleh Kesultanan
Aceh. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh,
seorang panglima Deli bernama Dewa Shahdan mendirikan sebuah komunitas pada
1568. Komunitas tersebut kemudian berkembang yang menjadi cikal-bakal
Kesultanan Langkat. Nama Langkat sendiri berasal dari nama sebuah pohon yang
menyerupai pohon langsat. Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568
hingga 1580.
Perkembangan Raja ketiga Langkat, yaitu Raja
Kahar (1612-1673), merupakan penguasa yang merintis perpindahan ibu kota ke
Langkat. Sehingga pada masa pemerintahan Raja Kahar inilah, Kesultanan Langkat
mulai menunjukkan kedaulatannya. Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta
kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman. Pada masa Raja
Badiuzzaman inilah, Langkat mulai menaklukkan daerah sekitarnya dengan
cara-cara damai hingga ia meninggal pada 1750. Raja Badiuzzaman kemudian
digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan
Kerajaan Siak.
Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi
ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali
Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam
meninggal pada 1818. Setelah perang dengan Siak berakhir, pada 1855, Aceh
menyerang Langkat yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Sultan Haji Musa. Perang
tersebut dimenangkan oleh Aceh, yang ditandai dengan pengakuan Tuanku Haji Musa
atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.
Masa Kolonial Belanda Setelah selesai perang
dengan Aceh, pada 1883, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker
Yohanes Groninger menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan
Brandan. Dengan temuan itu, Tuanku Sultan Haji Musa kemudian memanfaatkannya
untuk mengisi perekonomian Langkat. Akan tetapi, pada 1892, kilang minyak Royal
Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal.
Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi
kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar.
Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai
Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya
di Hindia Belanda saat itu. Ketika Kesultanan Langkat pada masa jayanya, Tuanku
Haji Musa meninggal pada 1893, dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Sultan Abdul
Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul
Jalil Rahmat Shah (1893-1927), Langkat menjalin kontrak politik dengan Belanda
pada 1907. Dalam perjanjian itu, batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan
meliputi Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau
kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei,
Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.
Pendudukan Jepang Pengganti Sultan Abdul Aziz
Abdul Jalil Rahmat Shah adalah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah
(1927-1948). Pada masa pemerintahannya, tentara Kekaisaran Jepang masuk dan
membuat Belanda mundur. Sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat
saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang
hingga kemerdekaan Indonesia.
Masa Kemerdekaan Indonesia Ketika proklamasi
dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, khabar bahagia itu belum sampai ke
Kesultanan Langkat. Baru pada Oktober, khabar kemerdekaan sampai ke Kesultanan
Langkat dan rajanya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, segera menyatakan
bergabung dengan Republik Indonesia. Setahun kemudian, bersamaan dengan
meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada 1946, Kesultanan
Langkat terguncang kedaulatannya.
Keadaan itu semakin diperparah setelah Sultan
Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah wafat pada 1948. Setelah era Sultan Mahmud
Abdul Jalil Rakhmat Shah, sultan di Langkat praktis kehilangan kekuasaan
politiknya dan hanya bertahta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga
Kerajaan hingga sekarang.
Salasilah Kesultanan Langkat
Raja-raja Kesultanan Langkat
Dewa Shahdan (1568-1580)
Dewa Sakti (1580-1612)
Raja Kahar (1612-1673)
Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750)
Raja Kejuruan Hitam (1750-1818)
Raja Ahmad (1818-1840)
Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah
Muazzam Shah (1840-1893)
Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat
Shah (1893-1927) Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948)
Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah (1948-1990)
Tengku Mustafa Kamal Pasha (1990-1999)
Tengku Dr Herman Shah (1999-2001)
Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil
Rahmad Shah al-Hajj (2001-2003)
Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah
al-Haj (2003-sekarang)
Referensi:
Taniputera, Ivan. 2017. Ensiklopedi
Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Zainal Arifin,
Langkat Dalam Sejarah Dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan:
Penerbit Mitra, 2002) h. 211-22
[2] T. Luckman
Sinar, The Kingdom of Haru and The Legend of Puteri Hijau, Paper
Seminar IAHA ke-7 di Bangkok, tanggal 25-27 Ogos
1977.
[3] T. Lukman
Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur,
(Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang,
2006) h. 12
[4] T. Luckman
Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera
Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Mac
1981. Lihat juga harian Analisa tanggal 10
April 1981.
[5] T. Lukman
Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Seni dan Budaya Melayu, 2000)
h. 5-6
[6] T. Luckman
Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,
h. 12
[7] Ibid.,h. 13
[8] T. Lukman
Sinar, Makalah, Sumatera Timur Sebelum Menancapnya Penjajahan
Belanda (Medan: Fakultas Sastra USU, 1990)
h. 35
[9]
Tim
Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, Projek
[10] Pengembangan
Permuseuman Sumatera Utara, Medan, 1980, h. 28
[11] Ibid.,
Tiada ulasan:
Catat Ulasan