Jumaat, 30 Jun 2023

Pak Tenas Effendy yang saya kenal

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Kali ini saya akan bicara tentang seorang tokoh budaya Melayu yang sangat terkenal di Alam Melayu. Tokoh itu ialah Pak Tenas Effendy. Ataupun nama sebenarnya ialah Tengku Nasyaruddin Effendy. Saya sudah lupa dimanakah pertama kali saya berkenalan denga Pak Tenas  Effendy. Saya sering berjumpa degan Pak Tenas  Effendy di Malaysia. Baik di acara di Melaka, Kuala Lumpur dan mungkin juga di Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya. Kerana Tenas  Effendy adalah pensyarah tetamu di Akademi Pengajian Melayu.


Dan juga saya serig berjumpa tokoh budaya Riau ini di Indonesia. Baik di acara di Pekanbaru, Riau. Juga di Batam, Kepri dan di Tanjungpinang, Kepri.  Saya juga berkesempatan melawat rumahnya di Pekanbaru. Saya sangat kagum dengan tokoh budaya ini sehingga saya rumah, rumah yang sedikit berbentuk rumah Melayu Riau  juga mengam sayap rumah berbentuk rumah Pak Tenas  Effendy.

Rumah Melayu Riau di PataniPak 

Disini saya memperkenalkan riwayat hidup Pak Tenas  Effendy.

Tengku Nasyaruddin Effendy atau lebih dikenal dengan nama Tenas Effendy (lahir pada 9 November 1936 – meninggal pada 28 Februari 2015) adalah budayawan dan sastrawan dari Riau. Sebagai seorang sastrawan, Effendy telah banyak membuat makalah, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, yang berhubungan dengan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, sampai Madagaskar. Effendy sangat menjunjung tinggi dan amat peduli dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu

Rumah Pak Tenas Effendy 

Penguasaannya tentang makna filosofis yang terkandung dalam benda-benda budaya dipelajarinya secara otodidak sejak kecil. Ayahnya, Tengku Sayed Umar Muhammad adalah sekretaris Sultan Hasyim dari Kerajaan Pelalawan. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup dalam lingkungan budaya Melayu yang kental serta adat istiadat istana yang begitu kuat. Kondisi ini telah mendorongnya untuk belajar memahami dan kemudian menulis tentang kebudayaan Melayu. Ia memulai dari menulis kembali pantun-pantun, Petata-petitih, Ungkapan, Syair, Gurindam, dan segala macam yang berkenaan dengan kebudayaan Melayu.

Tenas Effendy pertama kali menulis tentang kebudayaan pada tahun 1952. Pada saat itu ia masih belajar di sebuah perguruan di Bengkalis. Ketertarikan dan minatnya terhadap kebudayaan Melayu tidak terlepas dari keluarganya yang mencintai adat istiadat Melayu, neneknya adalah seorang pembaca syair yang terkenal pada masanya. Selain pandai membaca syair, neneknya juga pandai dalam menenun, menekat pakaian-pakaian tradisional kerajaan Melayu di Pelalawan.


Sejak masa kanak-kanak Tenas Effendy sudah akrab dengan adat istiadat Melayu, sudah menjalani adab dan etika Melayu dalam kehidupan sehari-hari, maka ada semacam kekhawatiran ketika ia melihat, begitu banyak nilai luhur tata pergaulan Melayu sudah tidak lagi diperhatikan masyarakat. Menyadari hal tersebut, ia berusaha mencatat, mengumpulkan kembali, menghimpun melakukan kajian-kajian dan membuat penelitian tentang kebudayaan Melayu dalam bentuk apa saja.

Rumah Pak Tenas Effendy 

Menyadari bahwa kekayaan khazanah kebudayaan Melayu begitu berlimpah dan masih terlalu banyak yang belum dapat dikumpulkannya, ia mendirikan Tenas Effendy Foundation, sebuah lembaga yang berusaha memberi bantuan pada para peneliti atau siapapun yang berminat melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebudayaan Melayu. Hasil usahanya dalam rentang waktu tersebut, antara lain, setumpuk buku yang diterbitkan di dalam dan luar negeri. Sampai kini, Tenas sedikitnya telah menulis 70-an buku dan ratusan makalah yang dibawakan dalam berbagai pertemuan budaya di dalam dan di luar negeri, seperti Belanda, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand adalah beberapa negara yang kerap mengundangnya untuk berceramah disana. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, mengundangnya sebagai penulis tamu.


Sejumlah bukunya, juga diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Mengingat buku-buku yang ditulis Tenas Effendy menyentuh berbagai aspek kebudayaan Melayu, maka dari 70-an buku yang dihasilkannya itu, hampir separuhnya digunakan sebagai semacam buku pegangan, baik untuk kalangan pelajar dan mahasiswa, maupun untuk masyarakat umum sebagai bahan pendidikan dan tata pergaulan dalam keluarga. Bahkan, sebagian besar Pemda Kabupaten di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, menempatkan buku-buku yang ditulis Tenas Effendy sebagai semacam buku wajib untuk para pegawai Pemda.


Ia tidak sekadar ditempatkan sebagai budayawan yang mumpuni, tokoh adat yang kharismatik, tetapi juga kerap mengundangnya dalam kaitannya dengan kebijakan yang akan disusun dan dijalankan pemda. Tidak jarang pula, Tenas terpaksa harus menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Sebagai tokoh masyarakat, Pak Tenas panggilan akrabnya terlibat pula dalam berbagai aktivitas organisasi kemasyarakatan, baik sebagai ketua, penasihat, maupun pengurus. Yang dilakukan Tenas Effendy tidak sekadar mengumpulkan dan mendokumentasikan segala yang berkaitan dengan khazanah kesusastraan Melayu tapi juga memunculkan kesadaran bahwa kesusastraan adalah salah satu bagian dari sebuah mesin raksasa yang bernama kebudayaan. Sambil mencoba menafsirkan dan memaknai kandungan filosofis di balik khazanah kesusastraan Melayu, ia juga menerjemahkan dan membuka tabir makna berbagai benda budaya.


Buku buku tulisan Pak Tenas  Effendy yang sebahagiannya Pak Tenas  Effendy serah kepada saya.


Upacara Tepung Tawar (1968),

Lancang Kuning dalam Mitos Melayu Riau (1970),

Seni Ukir Daerah Riau (1970),

Tenunan Siak (1971),

Kesenian Riau (1971),

Hulubalang Canang (1972)

Raja Indra Pahlawan (1972),

Datuk Pawang Perkasa (1973),

Tak Melayu Hilang di Bumi, (1980),

Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, (1981),

Hang Nadim, (1982),

Upacara Mandi Air Jejak Tanah Petalangan, (1984),

Ragam Pantun Melayu, (1985),

Nyanyian Budak dalam Kehidupan Orang Melayu, (1986),

Cerita-cerita Rakyat Daerah Riau, (1987),

Bujang Si Undang, (1988),

Persebatian Melayu, (1989),

Kelakar Dalam Pantun Melayu, (1990)

Ulang Tahun Jordan Michael Manurung (30 April 2013)

Penghargaan


 

Tiada ulasan: