Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Pada beberapa tahun lalu semasa ada acara jika tidak silap Namanya Pekan Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia. Saya ikuti acara itu di Tanjungpinang. Semasa ada ruang masa saya terus melihat pameran di acara itu. Termasuklah ke tempat pameran Muzium Linggam Cahaya. Muzium milik Kebapaten Lingga itu sangat menarik dan dihadiahkan beberapa buku berkaitan dengan muzium dan kabupaten Lingga. Setelah pulang ke Patani, Pak Fadli, seorang kakitangan Muzium Linggam Cahaya “add friend” saya di Facebook dengan menyatakan dia adalah seorang kakitangan Muzium Linggam Cahaya. Saya menerima “add friegnd”nya dengan senang hati. Kemudian Pak Lazuardy “add friend” di Facebook saya dan mengatakan dia adalah Paman Pak Fadli. Kami bertukar tukar fikiran baik di bidang apa saja.
Dan marilah kita mengenali Pak Lazuardy lebih
lanjut melalui artikel tajuknya “Lazuardy Berburu Naskah Kuno Melayu” tulisan
Dedi Arman di laman web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tulisannya
adalah seperti berikut :-
“Lazuardy Berburu Naskah Kuno Melayu”
Lazuardy, peminat sejarah dan budaya Lingga
berusaha menggali potensi kesejarahan dan budaya di Kabupaten Lingga. Ia terus
berburu kitab-kitab tulisan Melayu. Temuan terbarunya didapatkan 147 kitab.
Ia mengaku bersemangat menggali khazanah budaya Melayu yang masih tersimpan dan belum banyak digali. Menurut Lazuardy, saat ini ia berhasil mengumpulkan kitab-kitab tulisan Melayu. “Alhamdulillah kita berhasil mencari dan menemukan kitab lama. Sebanyak 147 kitab dengan berbagai macam bidang bahasan dan kajiannya didapatkan. Saya bawa ke Museum Lingga Cahaya Daik,”kata Lazuardy mengutip lamlinggakab.org, kemarin.
Kata Lazuardy, kitab yang didapat semuanya
tulisan Arab Melayu dengan tahun terbit yang bervariasi. Mulai tahun 1900-an.
Membahas tentang adab sopan santun, pergaulan, agama serta dijumpai kitab kamus
Melayu lama. “Nanti akan kita rapikan dan perbaiki naskah yang sudah mulai
rusak,”ujarnya.
Dikatakannya lagi, setelah kitab-kitab ini terkumpul akan dibahas dan dikaji. “Karya luar biasa ini patut kita jaga dan rawat. Nantinya bisa dijadikan bahan dan literatur penelitian. Perlu juga disampaikan untuk bahan ajar anak cucu kita kedepan,”sebutnya.
Lazuardy sendiri hari-hari bekerja sebagai staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lingga. Ia tak memiliki latar belakang pendidikan (akademis) bidang sejarah atau budaya. Namun, kemampuannya tak diragukan. Sosoknya menjadi “kamus berjalan” sejarah dan budaya Lingga. Ia sangat familiar bagi peneliti yang melakukan kajian sejarah dan budaya di Kabupaten Lingga. Tanya saja pada peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar, Balai Arkeologi Medan, Kantor Bahasa Kepri atau pun peneliti dari LIPI yang pernah ke Lingga, pasti kenal dan akrab dengan sosok Lazuardy. Lazuardi juga banyak berteman peneliti dari perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia dan UMRAH. Ia menjadi pendamping setia dalam penelitian. Lazuardi bisa jadi informan yang baik. Ia juga bisa menjadi kawan berjalan yang tangguh dalam mendapatkan data-data penelitian. Tak heran, Lazuardi banyak dipakai oleh para peneliti untuk membantu dalam penelitian di Lingga.
Meski tak punya pendidikan akademis kesejarahan dan budaya, ia fasih berbicara tentang Kerajaan Riau Lingga, aset-aset budaya Lingga, termasuk bercerita tentang naskah kuno. Ia juga bersemangat berkisah tentang kesenian yang ada di Lingga yang hampir punah. Lazuardi juga lincah bercerita tentang tudung manto, bangsawan, nobat, silat syekh atau pun aset kesenian Lingga yang lain. Penguasaannya terhadap kesejarahan dan budaya Lingga juga sampai ke telinga peneliti asing. Banyak peneliti asing dari Australia, Jepang, Singapura, termasuk dari Hawaii yang datang ke Lingga mencarinya.**
Tiada ulasan:
Catat Ulasan