Isnin, 21 Ogos 2023

Mahkota Siak Bukti Penyatuan Kekuasan Kesultanan Siak Sri Indrapura kepada Republik Indonesia

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Penulis beberapa kali ke Pekanbaru, Provinsi Riau. Dengan menghadiri acara budaya dan sastra di sana. Dan ada juga pihak penganjur membawa peserta acara melawat ke Istana Siak Indragiri. Dengan dapat melihat beberapa tempat bersejarah inilah menyembatkan penulis sangat tertarik dengan Riau. Bentuk rumah penulis pun sedikit bentuk Rumah Melayu Riau walaupun tidak sepenuh Rumah Melayu Riau dari pandang mata orang Riau.


Disini penulis kemukakan sebuah artikel tentang Mahkota Sultan Siak yang tersimpan di Muzium Nasional RI di Jakarta. Dikatakan Mahkota emas milik kesultanan Siak Indrapura ini diserahkan kepada Negara Republik Indonesia oleh Sultan Syarif Kasim II (1915-1949) yang juga merupakan sultan terakhir dari Kesultanan Siak.


Dan penyerahan ini menandai pengakuan Kesultanan Siak akan kedaulatan Negera Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi tanda bahawa Kesultanan Siak Indrapura ini akan lebur menjadi bahagian negara Indonesia.


Artikel bertujuk “Mahkota Siak Bukti Penyatuan Kekuasan Kesultanan Siak Sri Indrapura kepada Republik Indonesia” ditulis oleh  Ujang Mulyadi dan disiarkan di laman web Muzium Nasional di Jakarta. Isi kandungannya seperti berikut :


Mahkota bukan sekedar hiasan kepala yang dikenakan oleh raja, ratu ataupun dewa. Mahkota ialah simbol kemasyhuran penguasa, kekuasaan legitimasi, keabadian, kemakmuran, serta kehidupan setelah kematian. Penyerahan Mahkota Sultan Siak Sri Indrapura di tahun 1945 kepada pemerintah Republik Indonesia menunjukkan tekad, komitmen dan dukungan Kesultanan Siak Sri Indrapura menyatukan diri dengan Republik Indonesia saat itu.


                                    Sultan Syarif Kasim II 

Mahkota Siak memiliki berat 1,803.3 gram serta berdiameter 33 cm dan tingginya 27 cm dengan berbahan emas, berlian dan rubi. Regalia yang kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia memiliki bentuk yang indah dan artistik dengan motif filigree atau kerawang.


Pembuatan motif ini biasanya untuk perhiasan dan produk seni dengan menggunakan benang logam atau kawat halus (emas, perak, atau tembaga) yang dipelintir, dianyam, dibentuk, dan disatukan dengan patri menjadi sebuah bentuk tertentu. Kerawang atau filigree dibuat secara manual dan membutuhkan keterampilan sehingga menghasilkan hasil yang unik, personal, juga bernilai tinggi. Motif kerawang atau filigree di Indonesia memiliki detail bentuk kawat yang berputar dan melengkung serta repetitif.

Sultan Syarif Kasim II dan Permaisuri 

Sultan Syarif Kasim II sebagai pemimpin dari Kesultanan Siak Sri Indrapura sejak 1915 tidak hanya menyerahkan mahkotanya sebagai pernyataan meleburnya kesultanan tersebut pada Republik Indonesia. Hampir seluruh kekayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura, termasuk istana, diserahkan sebelum dirinya mengungsi ke Aceh lantaran adanya ancaman dari Belanda dan Sekutu kepada Sultan Syarif Kasim II akibat dirinya dan tokoh-tokoh Riau berikrar untuk mempertahankan kemerdekaan RI dalam rapat umum pembentukan badan-badan perjuangan pada Oktober 1945. Tertanggal 28 November 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan telegram kepada Presiden Sukarno terkait kesediaannya dalam mendukung Republik Indonesia dengan memberikan uang sebesar 13 juta gulden.


Mahkota sang sultan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya berperingkat Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 248/M/2013 pada tanggal 27 Desember 2013 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.


Sumber:

Satari, Soejatmi (ed.). 2009. Treasures of Sumatra. Jakarta: Museum Nasional.


Yussubrata, Desse (ed.). 2018. Khasanah Cagar Budaya Indonesia. Album Cagar Budaya Nasional I (2013-2016). Jakarta: Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Tandiono, Evelyn & Ingrid Dianita Indah. 2019. ‘Inovasi Penggabungan Teknik Filigree dan Enamel dalam Perancangan Perhiasan Buatan Tangan untuk Menunjukkan Status’ dalam Prosiding Seminar Nasional Desain Sosial 2019 hlm. 32-36.

Tiada ulasan: