Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Penulis beberapa
kali ke Pekanbaru, Provinsi Riau. Dengan menghadiri acara budaya dan sastra di
sana. Dan ada juga pihak penganjur membawa peserta acara melawat ke Istana Siak
Indragiri. Dengan dapat melihat beberapa tempat bersejarah inilah menyembatkan
penulis sangat tertarik dengan Riau. Bentuk rumah penulis pun sedikit bentuk
Rumah Melayu Riau walaupun tidak sepenuh Rumah Melayu Riau dari pandang mata
orang Riau.
Disini penulis
kemukakan sebuah artikel tentang Mahkota Sultan Siak yang tersimpan di Muzium
Nasional RI di Jakarta. Dikatakan Mahkota emas milik kesultanan Siak Indrapura ini
diserahkan kepada Negara Republik Indonesia oleh Sultan Syarif Kasim II
(1915-1949) yang juga merupakan sultan terakhir dari Kesultanan Siak.
Dan penyerahan ini
menandai pengakuan Kesultanan Siak akan kedaulatan Negera Kesatuan Republik
Indonesia dan menjadi tanda bahawa Kesultanan Siak Indrapura ini akan lebur
menjadi bahagian negara Indonesia.
Artikel bertujuk “Mahkota
Siak Bukti Penyatuan Kekuasan Kesultanan Siak Sri Indrapura kepada Republik
Indonesia” ditulis oleh Ujang Mulyadi
dan disiarkan di laman web Muzium Nasional di Jakarta. Isi kandungannya seperti
berikut :
Mahkota bukan
sekedar hiasan kepala yang dikenakan oleh raja, ratu ataupun dewa. Mahkota
ialah simbol kemasyhuran penguasa, kekuasaan legitimasi, keabadian, kemakmuran,
serta kehidupan setelah kematian. Penyerahan Mahkota Sultan Siak Sri Indrapura
di tahun 1945 kepada pemerintah Republik Indonesia menunjukkan tekad, komitmen
dan dukungan Kesultanan Siak Sri Indrapura menyatukan diri dengan Republik
Indonesia saat itu.
Mahkota Siak
memiliki berat 1,803.3 gram serta berdiameter 33 cm dan tingginya 27 cm dengan
berbahan emas, berlian dan rubi. Regalia yang kini menjadi koleksi Museum
Nasional Indonesia memiliki bentuk yang indah dan artistik dengan motif
filigree atau kerawang.
Pembuatan motif
ini biasanya untuk perhiasan dan produk seni dengan menggunakan benang logam
atau kawat halus (emas, perak, atau tembaga) yang dipelintir, dianyam,
dibentuk, dan disatukan dengan patri menjadi sebuah bentuk tertentu. Kerawang
atau filigree dibuat secara manual dan membutuhkan keterampilan sehingga
menghasilkan hasil yang unik, personal, juga bernilai tinggi. Motif kerawang
atau filigree di Indonesia memiliki detail bentuk kawat yang berputar dan
melengkung serta repetitif.
Sultan Syarif
Kasim II sebagai pemimpin dari Kesultanan Siak Sri Indrapura sejak 1915 tidak
hanya menyerahkan mahkotanya sebagai pernyataan meleburnya kesultanan tersebut
pada Republik Indonesia. Hampir seluruh kekayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura,
termasuk istana, diserahkan sebelum dirinya mengungsi ke Aceh lantaran adanya
ancaman dari Belanda dan Sekutu kepada Sultan Syarif Kasim II akibat dirinya
dan tokoh-tokoh Riau berikrar untuk mempertahankan kemerdekaan RI dalam rapat
umum pembentukan badan-badan perjuangan pada Oktober 1945. Tertanggal 28
November 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan telegram kepada Presiden
Sukarno terkait kesediaannya dalam mendukung Republik Indonesia dengan
memberikan uang sebesar 13 juta gulden.
Mahkota sang
sultan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya berperingkat Nasional melalui
Surat Keputusan Nomor 248/M/2013 pada tanggal 27 Desember 2013 oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber:
Satari, Soejatmi
(ed.). 2009. Treasures of Sumatra. Jakarta: Museum Nasional.
Yussubrata, Desse
(ed.). 2018. Khasanah Cagar Budaya Indonesia. Album Cagar Budaya Nasional I
(2013-2016). Jakarta: Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tandiono, Evelyn
& Ingrid Dianita Indah. 2019. ‘Inovasi Penggabungan Teknik Filigree dan
Enamel dalam Perancangan Perhiasan Buatan Tangan untuk Menunjukkan Status’
dalam Prosiding Seminar Nasional Desain Sosial 2019 hlm. 32-36.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan