Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Semasa megajar subek Malay Civilisation di Jurusan Pegaian Melayu di Fakulti Kemanusiaan dan Sains Sosial, Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Kerana bahan bahan dalam Bahasa Thailand yang terkaitan degan ilmu Pengajian Melayu sannat terhad. Dan sesetengah pelaar agak kurang fasih dalam Bahasa Melayu/Indonesia. Dengan itu saya wajibkan semua pelajar yang mengambil subjek saya. Teremahkan bahan bahan dari Malaysia dan Indonesia serta menghuraikan isi kandugannya di depan kelas.
Saya sangat tertarik dengan seorang pelajar Namanya,
Rusmini. Terjemahannya Tuanku Tambusai. Setiap kali saya ke Pekanbaru, Riau.
Teringatlah Si pelajar itu, Rusmini, sekarang berkerja dengan unit Pasport, di Kementerian
Luar Negeri Thailand dan terigat jugalah nama Tuanku Tambusai. Dengan itu saya
kemukakan tentang Tuanku Tambusai. Isi kandungannya adalah seperti berikut:
Tuanku Tambusai (5 November 1784 – 12
November 1882) adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka.
Tuanku Tambusai dilahirkan di Dalu-dalu,
sebuah kampung yang bersempadan dengan Sumatera Utara iaitu Nagari Tambusai, di
Rokan Hulu, Riau. Kampug ini didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan.
Tuanku Tambusai memiliki nama kecilya ialah Muhammad Salleh, yang setelah pulang haji, ia
dikenal sebagai Tuanku Haji Muhammad Saleh.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan
Minangkabau, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari Nagari
Rambah. Dan Rambah adalah sebuah kecamatan yang bersempadan dengan bangun purba.
Dan Ayahnya merupakan seorang guru agama Islam. Raja Tambusai mengangkat ayahnya,
Tuanku Imam Maulana Kali menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari Nagari Tambusai
yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal,
suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan
ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara
bernegara.
Gerakan Paderi, Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpafaman Paderi. Berpafaman Paderi adalah kaum umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di Negeri Minangkabau di Sumatera Barat hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam.
Melawan Belanda, Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Daludalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Daludalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dan Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan
Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat
kecerdikannya, Fort Amerongen sebuah benteng milik Belanda dapat dihancurkan.
Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak
bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga
sekaligus pasukan Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo,
yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van
Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) kerana amat sulit dikalahkan, tidak pernah
menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya
diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal
28 Disember 1838, benteng Daludalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu
rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya. Ia
mengungsi dan wafat di Negeri Sembilan (Malaysia) pada tanggal 12 November 1882.
Tuanku Tambusai pun meneruskan hidup di kampung bernama Rasah, Seremban, Negeri
Sembilan, Malaysia dan meninggal disana.
Kerana jasa-jasanya yang pernah menentang
kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1995 Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya
sebagai pahlawan nasional.
Rujukan;
Dina Agustina BA Sembiring, Skripsi BA Strategi
Perang Perang Tuanku Tambusai Melawan Peaahan Belanda (1832-1838)
Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi,
Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.
Mahidin Said, Rokan: Tuanku Tambusai
Berjuang, Sri Dharma N.V
Soedarmanta, J. B. Jejak-jejak Pahlawan:
Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia.
Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera
Barat (1803-1838), Balai Pusataka, 1964
Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku
Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
Radjab, Muhammad. (1964). Perang Paderi di
Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta: Balai Pustaka.
Suwardi, Suwardi (1981) Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Riau. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan