Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Nama “Khazanah
Fathaniyah” tidak asing lagi bagi pemiat kitab Jawi lama di pantai timur
Malaysia dan Patani, Selatan Thailand. Kerana “Khazanah Fathaniyah” berperanan
menerbitkan semula kitab kitab Melayu aksara Jawi yang ditulis oleh ulama ulama
Patani di zaman lampau. Dan juga menerbit buku hikayat hidup ulama ulama di
Nusantara. Kali ini saya mengambil sebuah tulisan dari Ayung Notonegoro, salah
seorang peneliti Nahdatul Ulama, di laman web Nahdatul Ulama Online. Tulisan Ayung Notonegoro kita dapat lihat pandangan
orang di luar kawasan pesisir pantai timur terhadap peranan “Khazanah
Fathaniyah”. Isi tulisannya adalah seperti berikut:
Sebuah rumah
sederhana di bilangan Beliga, Batu Chaves, Kuala Lumpur ini menjadi saksi
penting sebuah peradaban. Dimana sebagian wajah keislaman di Nusantara ini
dibentuk dan dikenali hingga sekarang. Rumah tersebut adalah kantor Khazanah
Fathaniyah yang didirikan oleh Haji Wan Mohd Shagir Abdullah. Sebuah lembaga
non-profit yang bergerak untuk meneliti, mendokumentasi dan mempublikasi ulang
khazanah ulama Jawi (Nusantara).
Menurut Wan Haliem, pengelola Khazanah Fathaniyah sepeninggal Wan Shagir, gerakan ini diinspirasi dari upaya yang telah dirintis oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zein al-Fathani (w. 11 Zulhijjah 1325 H). Sosok ini merupakan aktor intelektual utama dalam masifnya penerbitan karya-karya ulama Nusantara pada abad 19. Baik yang berbahasa Arab ataupun bahasa-bahasa lokal Nusantara lainnya.
Pada masa hidupnya
di paruh kedua abad 19, perkembangan dunia percetakan mulai tumbuh. Meskipun
saat itu, secara teknologi, penerbitan-penerbitan keislaman di Timur Tengah
masih sederhana. Apalagi di Asia Tenggara. Percetakan masih berkutat pada model
litograf.
Saat itu, Syekh Ahmad mulai berkecimpung di dunia penerbitan di Timur Tengah. Ia bekerja di Mathba’ah (penerbitan) Al-Miriyah di Bulaq, Mesir. Kemudian, ia ditugaskan di Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah di Mekkah. Aktivitas tersebut, membuat Syekh Ahmad harus bolak-balik antara Mesir, Mekkah dan Istambul (Turki) yang menjadi pusat pemerintahan di Timur Tengah. Hal ini berlangsung antara 1882 sampai 1889.
Dalam menjalankan tugas tersebut, Syekh Ahmad terbersit untuk menerbitkan karya-karya ulama Jawi, khususnya yang berbahasa Melayu. Ide itu ternyata tak mudah untuk mewujudkannya. Saat itu, terdapat larangan dari Raja Hijaz untuk menerbitkan kitab-kitab keislaman yang tidak berbahasa Arab. Selain itu, rekannya pemilik percetakan Musthafa al-Babi-l-Halaby (Mesir) yang diajaknya berkongsi, tak menyambutnya dengan baik. Karena, rekannya tersebut berpikir, komunitas Jawi masih belumlah ramai.
Akan tetapi, tantangan tersebut tak membuat Syekh Ahmad menyerah. Ia berupaya untuk melobi Kesultanan Ustmaniyah yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid Khan ats-Tsani. Berkat kealiman dan pengalamannya, Syekh Ahmad berhasil meyakinkan sang sultan. Pada 28 Rajab 1307 H/ 1889 M, ia diberikan kepercayaan Kesultanan Utsmaniyah untuk menangani urusan pentadbiran dan politik. Di tahun yang sama, ia juga dilantik sebagai penasehat Syarif/ Raja Mekkah.
Berkat jabatan tersebut, Syekh Ahmad berhasil memasukkan kitab-kitab berbahasa Jawi di Mekkah-Madinah. Untuk memuluskan upayanya tersebut, ia menggandeng al-Amjad al-Khasmiri Fida Muhammad dan anaknya, Abdul Ghani, untuk membiayai percetakan kitab bahasa Jawi untuk pertama kalinya. Kitab yang pertama diterbitkan itu adalah karya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani yang berjudul Hidayatus Salikin. Kitab ini dicetak di Mathba’ah Syekh Hasan at-Tukhi yang berada di dekat Masjid Jami Al-Azhar, Mesir.
Sejak saat itu, kitab-kitab berbahasa Jawi mulai banyak dicetak di Timur Tengah. Syekh Ahmad sendiri banyak menjadi pentashih (editor) atas kitab-kitab yang akan diterbitkan tersebut. Baik yang akan dicetak di Mekkah ataupun yang di Mesir. Dari kerja-kerja editorialnya tersebut, ia juga mulai melakukan standarisasi atas penggunaan dan penulisan kitab-kitab berbahasa Jawi.
Di antara upaya dari Syekh Ahmad adalah mengganti kata-kata lokal yang masuk ke dalam teks naskah. Misalnya, bahasa Patani, Aceh, Bugis, Jawa atau lainnya yang terselip ke dalam penggunaan bahasa Jawi (Melayu). Hal ini terpaksa dipangkas agar bisa dipahami secara luas oleh pembaca.
Seiring waktu, perkembangan kitab-kitab bahasa Jawi tumbuh pesat. Bahkan, sekali cetak bisa beroplah hingga sepuluh ribu ekslempar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh syair Syekh Utsman Syihabuddin al-Funtiani (Pontianak):
“Memperbuat cap
kitab bersangat bagus itu
Jadilah banyak
kitab Melayu diterjemah itu
Banyak suka orang
meterjemah akan dianya
Bersungguh-sungguh
kerana banyak faedah di atasnya
Satu kitab sepuluh
ribu jadi naskahnya
Senantiasa panjang
pahalanya dan amalnya”
Bahkan, percetakan-percetakan baru mulai bermunculan. Terutama di kawasan Asia Tenggara. Seperti di Singapura, Riau, Penang dan di Jawa sendiri. Dari sinilah, khazanah pemikiran para ulama Nusantara, dapat terwariskan secara masif hingga saat ini.
“Dari perjuangan Syekh Ahmad itulah yang membuat Wan Shagir mendirikan ini [Khazanah Fathaniyah],” ungkap Wan Haliem.
Wan Shagir yang masih keturunan Syekh Ahmad itu lantas intens melakukan riset, berkeliling ke berbagai negara Asia Tenggara, mengumpulkan khazanah karya tulis para ulama. Tidak hanya yang berasal dari Patani, tapi juga meluas di seluruh alam Melayu. Hasil riset itu kemudian dipublikasikan. Ada yang berupa artikel populer di media massa ataupun yang berupa buku.
Bahkan,
karya-karya ulama yang sudah langka itu diterbitkan ulang. Ada yang berupa alih
aksara, terjemah atau bahkan cetak ulang.
Ada puluhan judul yang telah terbit dari upaya Wan Shagir ini. Semuanya sangatlah menarik bagi saya pribadi. Sungguh sebuah karya yang harus ada di rak perpustakaan Komunitas Pegon. Ringgit yang terdalam pun harus dirogoh. Menebus sejumlah judul buku terbitan Khazanah Fathaniyah ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan