Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Hubungan orang Melayu Malaysia juga Melayu Patani sangat rapat dengan orang Indonesia. Kerana penghijrahan di kedua dua kalangan rakyat mengalir diantara satu sama lain. Jika berjumpa orang Melayu Malaysia adalah diantara mereka mengatakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Indonesia. Itu adalah biasa bagi kita pengaliran rakyat di Alam Nusantara. Mereka itu bukan penghijrahan tetapi mereka berpindah dari satu tempat ke satu tempat lain di dalam Alam Nusantara.
Disini saya
kemukakan satu artikel tajuknya “Migrasi dan Perkawinan Politik Menghubungkan
Melayu dan Nusantara” yang ditulis oleh Siti Zainatul Umaroh disiarkan di tirto.id Isi kandungannya adalah seperti berikut:
Evolusi hubungan antara Indonesia dan Malaysia tak hanya dilambari persaingan dan perselisihan, tapi juga persaudaraan dan kekerabatan. Buktinya, Semenanjung Melayu telah menjadi tempat berbaurnya serbaneka suku bangsa Nusantara. Jejaknya bisa kita runut hingga masa kuno, kala Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Kesultanan Melaka berjaya. Migrasi suku-suku seperti Minang, Bugis, Batak, dan Jawa ke Semenanjung Melayu telah turut pula mewarnai proses pembentukan identiti orang Melayu. Beberapa sejarawan menyebut kebudayaan yang hidup di Semenanjung Melayu dan Sumatra merupakan kelanjutan dari kebudayaan era Sriwijaya.
Lalu, ketika
Sriwijaya meredup, Kesultanan Melaka melanjutkan pewarisan kebudayaan itu. O.W.
Wolters dalam artikel “Studying Srivijaya” yang terbit dalam Journal of the
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (Vol. 52, 1979) menyebut hubunga
antara masyarakat Melayu dan kelompok lain di Nusantara terbentuk dari hubungan
perdagangan, perang, migrasi, pernikahan.
Saat itu, perkahwinan
antara bangsawan negeri-negeri Melayu dan Sumatra menjadi fitur utama lanskap
sosio-politik di dunia Indo-Melayu. Hubungan yang terbangun dari perkahwinan
politik itu dapat dilacak contohnya dalam naskah Tuhfat al-Nafis (1885). Naskah
sastra-sejarah gubahan Raja Ali Haji itu menginformasikan bahawa perkahwinan di
antara penguasa-penguasa Melayu Riau, Johor, dan Trengganu dengan bangsawan Siak
dan Bugis adalah sebuah kelaziman.
Raja Ali Haji
sendiri adalah pangeran cum pujangga Kesultanan Riau-Lingga keturunan
Melayu-Bugis. Pernikahan politik itulah yang menyambungkan kekerabatan etnik-etnik
di Tanah Melayu dan Kepulauan Indonesia. Migrasi hubungan Melayu-Indonesia juga
terbentuk melalui migrasi. Ia terjadi dalam dua arah, dari Melayu ke Indonesia
dan sebaliknya.
Leonard Y. Andaya
dalam artikel “The Search for the 'Origins' of Melayu” yang dimuat Journal of
Southeast Asian Studies (Vol. 32, 2001) menyebut Kesultanan Melaka meredup
gara-gara kekalahannya dari Portugis pada 1511. Kekalahan itu juga membawa
dampak lain, iaitu eksodus bangsawan-bangsawan Melayu ke luar semenanjung.
Banyak bangsawan Melayu yang kemudian pindah ke negeri-negeri di bahagian timur
Indonesia, seperti Buton, Ternate, Makassar dan Sumbawa.
Pembauran budaya
yang terjadi kemudian ikut memperkaya kebudayaan setempat. Jadi, tak heran jika
beberapa tradisi budaya di beberapa tempat di Indonesia bahagian timur kini
sangat kental dipengaruhi tradisi Melayu. Selain itu, sentral kekuatan politik
dan kebudayaan Melayu pun bergeser setelah penaklukan itu. Berturut-turut,
Kesultanan Johor kemudian tampil sebagai pusat dunia Melayu, lantas berganti ke
Riau-Lingga. Sementara itu, migrasi suku-suku bangsa Nusantara ke Semenanjung
Melayu telah terjadi jauh sebelum abad ke-16 menyingsing.
William Marsden
dalam The History of Sumatra (2008) menyebut perantau Minang telah bermigrasi
ke Semenanjung Melayu sejak sekira abad ke-12. Sebagian besar dari perantau
Minang ini menjadikan Negeri Sembilan sebagai tujuan. Fakta ini tidak
mengherankan karena sejak dulu orang-orang Minang memang dikenal sebagai
perantau. Mochtar Naim dalam bukunya Merantau: Causes and Effects of
Minangkabau Voluntary Migration (1971, hlm. 150) menjelaskan konsep merantau
dalam alam pikiran orang Minang sebagai,
"Meninggalkan
wilayah budaya seseorang secara sukarela baik untuk waktu yang singkat atau
panjang, dengan tujuan mencari nafkah atau mencari pengetahuan atau pengalaman
lebih lanjut, biasanya dengan niat untuk pulang.”
Meski orang Minang
bisa disebut sebagai yang terawal, suku bangsa yang menjadi penyumbang aliran
migrasi terbesar ke Tanah Melayu adalah Bugis. Gelombang migrasi besar orang
Bugis diperkirakan terjadi pada abad ke-16, kala Kerajaan Gowa-Tallo dan Bone
sedang moncer di Sulawesi bahagian selatan. Semula, orang-orang Bugis hijrah
lebih dulu ke wilayah Minangkabau di Sumatra dan kemudian mengalami
pengislaman.
Setelah itu,
barulah orang-orang Bugis mendarat di negeri-negeri semenanjung, terutama
Johor. Gelombang migrasi besar kedua terjadi usai takluknya Gowa-Tallo oleh VOC
Belanda pada 1667. Meski begitu, orang Bugis sebenarnya tidak hanya menjadikan
Tanah Melayu sebagai tujuan utama. Orang Bugis juga tercatat hijrah ke
Kalimantan, Sumatra, Jawa, Maluku, juga Papua.
Mempertahankan Identiti Di tanah rantau, para pendatang dari Indonesia tidak serta-merta melepas identiti budaya asalnya begitu saja.
Rumah di Negeri Sembilan, Malaysia.
Beberapa nama komuniti yang bermukim di Negeri Sembilan, misalnya, sangat kental bernuansa Minangkabau. Menurut Rois Leonard Arios dkk. dalam Minangkabau dan Negeri Sembilan: Sistem Pasukuan di Nagari Pagaruyung dan Negeri Sembilan Darul Khusus Malaysia (2009), hal itu terjadi kerana para perantau Minang di sana tetap mempertahankan nama nagari asalnya. Di Negeri Sembilan itu, di antaranya terdapat komuniti Batu Hampar, Payakumbuh, dan Tanah Datar. Masih ada pula beberapa komunii Minang, seperti Mungkal, Tiga Ninik, Tigo Batu, Batu Balang, Simalanggang, dan Serilamak.
Seturut penjelasan
Pemerhati adat pepatih Malaysia Yaakub bin Idrus, komuniti-komuniti itu adalah
para pendatang yang berasal dari Luhak Lima Puluh Koto, kini bahagian dari
Provinsi Sumatra Barat (Warisan, Vol. 16, 1992). Sistem pasukuan yang sama juga
dipraktikkan oleh komuniti Anak Aceh. Komuniti ini, sebagaimana tersurat dari
namanya, adalah orang-orang Aceh yang berbaur dengan suku Minang. Hubungan
langsung antara Minangkabau dan Negeri Sembilan terputus ketika Traktat London
ditandatangani pada 1824.
Berdasarkan
traktat yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda itu, Belanda diakui
menguasai kepulauan Indonesia, sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung
Melayu dan Singapura. Pemisahan ini nantinya juga ikut memengaruhi perkembangan
bahasa Melayu di kawasan Selat Melaka.
Sejak itu, komuniti
Minang menjadi warga Tanah Malaya yang dikuasai Inggris. Meski begitu, mereka
tetap mengakui Minangkabau sebagai asal-usulnya. Keterikatan itu tampak dari
salah satu pantun lokal yang beredar di masyarakat Negeri Sembilan ini:
“Leguh-legah bunyi
pedati Pedati orang pergi ke Padang Genta kerbau berbunyi juga Biar sepiring
dapat pagi Walau sepinggan dapat petang Pagaruyung teringat juga”
Pertalian semacam
itu sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Melayu di semenanjung. Hairin Abdullah
dalam Menyenarai 34 Kumpulan Etnik Sabah (1986) menyebut penduduk Malaysia
kontemporer di Sabah-Kalimantan bahagian utara juga memiliki hubungan
kekerabatan dengan suku-suku Indonesia.
Dari 38 etnik yang
mendiami Sabah, sebagian besarnya adalah pendatang dari kepulauan Indonesia.
Mereka di antaranya berasal dari suku Banggi, Bisaya, Ida’an, Tidung, Lotud,
Murut, Paluan, Rungus, Tumugon, dan Tatana. Semuanya termasuk dalam sub-etnik
Dayak yang juga mendiami Kalimantan. Lalu, masih ada pula komuniti Palawan dan
Tagbanua yang merupakan sub-etnik Batak. Komuniti-komuniti pendatang itu,
sebagaimana diwartakan Majalah Cermat (Mac 2014), mendarat di Sabah dengan
melintasi Laut Sulawesi. Umumnya, mereka adalah para pedagang yang membawa
komoditi utama seperti kelapa kering, kain batik, dan rokok kretek yang
kebanyakan berasal dari Sulawesi dan Kalimantan.
Sejak Kerajaan Brooke berkuasa di Kalimantan bagian utara, Sabah lantas menjadi destinasi para buruh peladang, kuli bangunan, dan pembantu rumah tangga. Kebanyakan buruh-buruh itu diangkut dari daerah Tidung dan Donggala yang kemudian cukup besar mempengaruhi kebudayaan masyarakat Tawau.