Isnin, 30 September 2024

Kesultanan Sambas: Menggunakan Sejarah sebagai Jambatan Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

                        Istana Alwatzikhoebillah Sambas

Makalah ini ditulis untuk Seminar Internasional Majelis Adat Budaya Melayu Kabupaten Sambas, seminar ini dengan tema: Rethinking Borneo Sultanate Networks: Sambas International Experience (Mengkaji Jaringan Kesultanan Borneo: Pengalaman Internasional Kesultanan Sambas kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia pada pada hari Rabu, 30 Oktober 2024. Saya menulis makalah ini dengan tajuk “Kesultanan Sambas: Menggunakan Sejarah sebagai Jambatan Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan”. Dan saya memperwakilkan Perwakilan Nusantara Studies Center di Kalimantan Barat iaitu dato’ Muhammad Natsir di Pontianak mempresentasikan di seminar tersebut atas nama Nusantara Studies Center, Thailand. Makalahnya seperti berikut:   


Latarbelakang Sejarah

Kesultanan Sambas adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat. Ataupun  terletak di wilayah barat laut Pulau Kalimantan. Pusat pemerintah Kesultanan Sambas adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M. Seperti yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M. Pada masa itu, rajanya bergelar "Nek". Salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, sekitar abad ke-15 M. muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal. Kemudian kekosongan raja di wilayah tersebut. Selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas tidak mau mengangkat raja lagi. Wilayah pesisir dan tengah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir di mana saat itu wilayah ini tidak ada Raja setelah Raja Tan Unggal.

                          Istana Alwatzikhoebillah Sambas

maka kedatangan rombongan pelarian Majapahit ini berjalan tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas iaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman maka kemudian para pelarian Majapahit ini mendirikan sebuah Kerajaan bercorak Hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC iaitu pada tahun 1609.


Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak yang pertama) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini  disebutnya daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru iaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I iaitu pada tahun 1671. Dan Sultan Sambas yang sebelum Republik Indonesia merdeka ialah Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944)


Jaringan Perdagangan Kerajaan Sambas.

Drs. H. Moh. Haitami Salim dan rakan-rakan dalam “Sejarah Kerajaan Sambas Kalimantan Barat”[1] menceritakan bahawa dalam dunia perdagangan sekitar abad 17 di nusantara, beberapa pelabuhan di Kalimantan Barat telah disingahi oleh berbagai armada perdagangan dari berbagai tempat dari seantero nusantara, termasuk juga dari Eropa dan Cina. Diantara pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Sambas dan Pontianak. Hal ini diketahui berdasarkan Undang-Undang Maritim yang  disusun  oleh  Amanna Gappa, Kepala Komunitas Wajo’ di Makassar, yang menjabat sejak 1697 hingga 1723.


Christian Pelras dalam bukunya “The Bugis”[2] menyatakan diantara isi Undang-Undang ini adalah tentang ongkos angkutan memuat daftar daerah-daerah pemberangkatan, tujuan dan rute perjalanan perahu-perahu Bugis pada saat itu. Dan menurut Christian Pelras, perahu-perahu layar dagang Bugis berlayar mengikuti musim angin. Tercatat bahwa, biasanya perahu Bugis berlayar dari Makasar menuju Singapura pada bulan Oktober, pada akhir musim timur ketika angin bertiup paling kencang. Pelayaran langsung ke Singapura ditempuh selama 10 hingga 20 hari melalui dua jalur, iaitu jalur selatan menju Surabaya, kemudian pantai utara Jawa, lalu ke Sumatra. Sedangkan jalur utara melalui sepanjang garis pantai Kalimantan menuju Pontianak. Pelayaran kembali dari Singapura ke Sulawesi biasanya dilakukan pada Desember atau Januari, saat angin barat mulai bertiup. Perjalanan ke Maluku  paling  baik dilakukan pada Desember dan Maret, dengan berlayar searah angin musim barat, biasanya berangkat dari pantai sebelah timur Sulawesi Selatan: jalur sebelah utara melalui Kendari, Teluk Tomini, Kepulauan Aru, dan  Kei. Antara April dan Agustus, dengan angin musim timur, perahu berlayar kembali ke Sulawesi Selatan atau meneruskan pelayarannnya ke Timor, Flores, dan Sumbawa, dimana mereka bisa berlayar ke utara sampai ke Sulawesi atau kea rah barat wilayah Nusantara.

                              Istana Alwatzikhoebillah Sambas

Kapal-kapal Bugis tersebut merupakan kapal-kapal bertonasi rendah antara 20 hingga 80 ton. Baru sekitar tahun 1850 situasi perdangan di Nusantara mulai berubah akibat masuknya sejumlah besar kapal layar Eropa bertonase tinggi, dengan kapasitas rata-rata mencapai 400 ton. Pada tahun 1830, sebuah kapal besar milik seorang Arab dari Semarang bahkan tercatat memiliki kapasitas hingga sekitara 1.100 ton. Sampai pertengahan abad ke-19, kapal seperti itu hanya berlabuh di sejumlah pelabuhan penting, seperti Makasar, Manado, Ternate, Ambon, Bima,  dan  Kupang  di Indonesia Timur, serta Banjarmasin, Sambas dan Pontianak di Kalimantan. Point penting dari informasi yang dikemukan Pelras di atas adalah, pernyataan bahwa, Sambas merupakan salah satu pelabuhan besar dan penting yang ada  di Kalimantan yang selalu disinggahi oleh para pedagang, baik dari Nusantara maupun dari luar negeri seperti dari Eropa, Cina dan Arab.


Sambas merupakan wilayah yang memiliki deposit emas yang cukup besar, seperti di daerah Selakau, Sebangkau dan termasuk di Sambasnya sendiri, selain di daerah Mempawah, Mandor dan Landak. Emas telah diekspor dari Kalimantan paling tidak awal abad 13 M. melalui jalur perdagangan antara Pelabuhan Borneo Barat dengan Cina yang telah lama ada


sebelum kedatangan orang Eropa pertama di wilayah perairan tersebut abad 16. Dan kemudian pada abad 17 M pedagang Cina mengumpulkan emas di Sambas. Orang-orang Cina bekerja di pertambangan emas yang ada di Sambas, di bawah perlindungan Kerajaan Sambas.


Arena Wati [3] menyatakan orang Cina kemudian berhasil menguasai lombong emas, berlian dan perdagangan di Sambas. Tahun 1812, Sambas telah menjadi pusat pertambangan emas yang utama. Kongsi-kongsi Cina sudah terdapat di hulu-hulu negeri Sambas, dan pada tahun tersebut jumlah penambang emas Cina di Sambas saja meningkat 30.000 orang, sementara penambang dari kalangan Dayak dan Melayu hanya sekitar 12.000 orang saja. Di Selakau jumlah penambang emas dari kalangan etnis Cina berjumlah 20.000 orang. Pada tahun yang sama, di Monterado jumlah penambang Cina mencapai 50.000 orang.


Ternyata kemudian Belanda juga menginginkan hal serupa, yaitu menguasai perdagangan emas dan berlian. Hal tersebut terlihat ketika mereka berhasil membeli lombong berlian dari Sultan Pontianak tahun 1823, mereka kemudian hendak menguasai lombong emas dari tangan orang Cina. Mereka kemudian berhasil memonopoli perlombongan berlian di Kalimantan Barat Karena, sebagaimana diketahui pada saat itu, Belanda dan Inggris sama-sama berupaya menaklukkan Kalimantan Barat. Tapi Belanda tampaknya lebih berhasil, hal tersebut dibuktikan dengan pembelian pertambangan emas dari Sultan Sambas pada tahun 1816.


Dan pada tahun 1818, Sultan Abu Bakar Tajuddin  terpaksa meminta bantuan Belanda untuk menetang Cina yang sudah terlalu banyak membuat kerenah. Belanda menyerang pelombong Cina tetapi gagal, kerana orang Cina dapat bertahan dan menggunakan taktik membubuh racun ke dalam sumber air minum pasukan Belanda. Lalu tindakan berikutnya Belanda bersatu dengan Dayak dan Melayu dalam perang menghadapi kongsi-kongsi Cina 


Dengan demikian ada dua kekuatan besar yang menguasai perdagangan emas dan berlian di Kalimantan Barat, yaitu Cina dan Belanda.  kerajaan Sambas dan panembahan Mempawah lebih memilih bersatu dengan Belanda dalam memerangi Cina. Sehingga pecahlah kemudian perang Monterado. Cina memiliki beberapa kongsi besar (hasil gabungan dari kongsi-kongsi kecil) iaitu Kongsi Lam Fong di Sambas dengan 6.000 orang tentara, Kongsi Thai Kwung di Moterado dengan 10.000 orang tentara dan Kongsi Si Ta Kiou di Lara dengan kurang lebih 5000 orang tentara


orang-orang Cina adalah penambang emas awal di Kalimantan Barat pada tahun 1740-an. Mereka mendulang emas di lembah Sungai Duri. Mereka adalah Cina Hakka dari Brunai yang diundang oleh Panembahan Mempawah untuk mengusahakan lombong emas. Keberhasilan Mempawah membuka lombong emas ini juga telah mendorong kerajaan Sambas untuk menerima migran Cina untuk bekerja menggali emas di Lara ada tahun 1772. Adapun mengapa kerajaan di Kalimantan Barat tertarik untuk mendatangkan para penambang Cina, ini terkait dengan berita sukses eksplorasi tambang timah di Bangka yang menjadi income yang besar bagi Kesultanan Palembang. Informasi tentang keberhasilan ini menyebar sepanjang rute perjalanan kapal Junk, termasuk ke Kalimantan Barat. Atas dasar informasi tersebut maka sultan atau raja di  Kalbar mengundar orang-orang Cina untuk mau bemengerjakan deposit emas mereka. Adapun yang lebih dulu melakukan hal ini adalah Panembahan Mempawah (1740 M) iaitu dengan mengundang kelompok kecil Cina dari Brunai ke Sungai Duri.

                             Istana Alwatzikhoebillah Sambas

Sempat terjadi persaingan antara Mempawah dan Sambas terkait dengan eksplorasi emas ini, terutama perebutan wilayah Lembah Sungai Duri. Sengketa ini sempat berlangsung beberapa tahun, walaupun ikatan keluarga antara kedua kerajaan tersebut telah terbangun. Hal ini tentu saja memberikan peluang bagi para panambang emas Cina untuk terus berkembang. Kekuasaan para penambang Cina semakin kuat, sehingga mereka berhasil mengembangkan pertambangan di Monterado, Lara dan Mandor. Hal itu tampak dari bahwa, Cina sudah tidak dapat dikontrol oleh kedua kerajaan tersebut, dan bayaran cukai sudah tidak menentu musim pembayarannya, dan kalaupun mereka membayar hanya sebagian saja.


Hubungan Perdagangan Kerajaan Sambas dengan Internasional.

Menuru Muhammad Gade Ismail[4], baru sekitar tahun 1518 (awal abad 16) orang-orang Eropa mengunjungi Kalimantan Barat. Orang Eropa pertama yang datang adalah Lorenzo de Gomes (tiba tahu 1518) dalam perjalanannya menuju Tiongkok. Tahun 1526 datang lagi orang Portugis yang bernama Don George De Meneses dalam perjalanannya ke Maluku. Selain orang Portugis, orang Belanda yang diduga pertama kali datang ke Kalimantan adalah Olivier van Noort, tepatnya di Kerajaan Brunai pada tanggal 26 Desember 1600. Kemudian ada nama Wijbrand van Marwijck yang sempat menyingahi pulau Karimata Besar. Melihat Kalimantan sebagai tempat yang strategis dan memberikan keuntungan bagi kompeni Belanda, maka Raad van Banten mendirikan sebuah Loji tetap di Kalimantan ada tanggal 12 Oktober 1608, dengan Samuel Bloemaert sebagai kepalanya. Diantara tugas Bloemaert adalah membuat kontrak-kontrak perjanjian dengan raja-raja di Kalimantan, seperti dengan Landak, Brunai, Sukadana dan Sambas. Informasi ini berdasarkan Laporan dari Georg Muller yang berjudul Bijdrage tot Vroegere Rapporten en Memorien Door Georg Muller.

                             Istana Alwatzikhoebillah Sambas

Tahun 1818 Belanda mulai masuk ke Sambas, yang ditandai dengan perjajian persahabatan dan persekutuan perdagangan.  J. Van  Boekholtz merupakan komisaris pertama Pemerintah Hindia Belanda yang ditugaskan di Kalimantan Barat yang bertugas membangun hubungan perjanjian dengan Sultan Pontianak (Sultan Syarif Kasim) dan Sultan Sambas. Informasi ini diperoleh dari Surat-menyurat antara Sultan-sultan di Borneo Barat dengan Belanda.

Sultan Sambas sekarang
Adapun motif kedatangan Belanda ke Kalimantan Barat termasuk ke Sambas diduga bukan semata motif ekonomi Alasan politik merupakan alasan utama mengapa Belanda berkeinginan menguasai dua kerajaan ini. Alasannya, karena Belanda khawatir kalau kedua wilayah ini akan dikuasai oleh Inggris. Karena ada dua keuntungan yang akan diperoleh oleh Inggris jika berhasil menguasai daerah tersebut, yaitu; Pertama, Inggris akan sangat mudah mencapai pusat pemerintahan di Batavia dari Kalimantan Barat, jika kembali terjadi peperangan antara Inggris dengan Belanda di Indonesia.  Kedua, dari segi perdagangan akan sangat mudah bagi Inggris mengembangkan perdagangan dengan daerah-daerah lain di Indonesia apabila   mereka memasuki Kalimantan Barat.


kebebasan untuk melakukan perdagangan di Sambas tanpa dikenakan pajak dan Belanda juga diizinkan untuk mendirikan sebuah Loji perdagangan di Sambas. Sebagai kompensasi, Belanda membantu Sultan Adil dalam menghadapi musunya, yaitu Ratu Bungku dari Sukadana. Loji Belanda di Sambas dipimpin oleh Pieter Aertzoon yang diangkat oleh Samuel Bloemaert. Dan Loji Belanda terakhir di Sambas dipimpin oleh Hendrik Vaak tahun 1615, karena tahun 1623 Loji Belanda di Sambas resmi ditutup. Ada  beberapa dugaan alasan penutupan Loji Belanda di Sambas, diantaranya adalah karena keuntungan yang dicapai tidak sesuai dengan ekspektasi semula dari orang-orang Belanda. Kemudian, alasan lain karena Belanda tidak berhasil melakukan monopoli perdagangan secara ketat, karena hanya dengan Sambas saja Belanda berhasil membangun kerjasama perdagangan yang menguntungkan. Faktor lain, karena persaingan yang ditimbulkan oleh datang para pesaing dari Eropa dan Cina, seperti Spanyol, Portugis, Inggeris dan Tiongkok yang leluasa menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai Kesultanan di Kalimantan Barat.


Graham Irwin[5] menyatakan perkembangan ekonomi berlaku di bagian Barat Borneo dan ia mulai berusahan untuk meletakkan kawasan ini di bawah kuasa kerajaannya.

Istana Alwatzikhoebillah

Minat Sir Thomas Stamford Bingley Raffles terhadap Sambas berawal dari ditugasnya dirinya menjadi Wakil Gubernur Jenderal di Malaka. Diantara tugasnya adalah memberikan perlindungan kepada kapal-kapal Inggris di laut-laut Timur. Ia selanjutnya menugaskan F. Burn ke Pontianak pada awal tahun 1811 dan melantiknya sebagai agent politik dan perdagangan. Sebenarnya misi awal dari F. Burn ke Pontianak adalah dalam konteks untuk mengecek keberadaan Kapal Inggris yang bernama Commerce yang dirampas oleh Raja Sarawak.


Ekspedisi Inggris kedua ke Sambas boleh dikatakan lebih teratur daripada yang pertama. Menurut Laporan dari Kolonel James Watson, 3 Juli 1813  bahwa satu angkatan tentara yang kuat dibawah arahan Kolonel Watson dari Resimen 14, sampai di luar kuala sungai pada 23 Juni 1813, bersama angkatan laut dari Malaka. Sepucuk surat telah dihantar kepada Sultan menuntut agar menyerahkan Ketua Lanun (Perompak) iaitu Pangeran Anom, tetapi tidak mendapat apa-apa jawaban, Kumpulan laskar yang  dipisahkan  dari  pusatnya, telah mendarat di pantai yang tidak dikawal dan telah Berjaya dalam beberapa serangan ke atas laskar-laskar di sungai dari belakang. Akhirnya, mereka dapat menaklukkan seluruh perkubuan Sambas dalam peperangan yang hanya berjalan selama setengah jam. Sekitar 150 orang musuh telah terbunuh dan hanya 8 orang saja orang Inggris yang mati akibat kecederaan. Walau kemudian Pangeran Anom telah berhasil melepaskan diri ke daerah pedalaman.


Perhubungan dengan Patani, Thailand Selatan dengan Kerajaan Sambas.

Walaupun tiada catatan berkaitan perhubungan Kerajaan Sambas dengan Kerajaan Melayu Patani. Tetapi terdapat perhubungan di peringkat rakyat. Iaitu tercatat seorang keagamaan Melayu Patani berhijrah ke Sambas, Kalimantan Barat. Catatan tersebut adalah seperti berikut:

Syeikh Abdul Jalil Al-Fatani lebih dikenali dengan sebutan Keramat Lumbang di Sambas. Biasanya orang Melayu Patani baik dari kalang biasa, dan lebih lebih lagi dari kalangan alim ulama dan yang merantau ke Kawasan luar dari Patani. Seperti contoh, Sheikh Abdullah Al-Fatani, mantan Menteri Pendidikan Arab Saudi di zaman al-Malik Faisal. Begitu juga degnan Tan Sri Hussein Al-Fatani, mantan Duta Besar Arab Saudi di Malaysia. Syeikh Abdul Jalil Al-Fatani juga akan mempunyai gelaran ataupun nama diakhirnya dengan Al-Fatani. Itu adalah menunukkan beliau berasal dari Patani, Thailand Selatan. Oleh masyarakat setempat beliau dikeramatkan karena ketinggian ilmu agamanya.


Syeikh Abdul Jalil Al-Fatani turut menyumbang ilmu dan mensyiarkan agama Islam di Sambas. Kedatangannya ke Sambas pada tahun 1160 H(1747 M.)..  Beliau datang bersama Syeikh Ali bin Faqih Al Fatani yang kemudian menetap di Mempawah dan diangkat sebagai Mufti kedua Kesultanan Mempawah oleh Mufti Pertama, Habib Husien Alqadri dari Hadralmaut Yaman.


Kedatangan kedua Syekh ini menggunakan kapal dari Pattani Darus Salam. Setelah mereka naik ke darat untuk menghadap Opu Daeng Menambon iaitu Raja Mempawah pada masa itu, barulah diketahui oleh penduduk bahwa perahu-perahu besar itu datang dari Kerajaan Patani Darus Salam, Thailand.


Dipercayai bahwa kedua ulama tersebut berasal dari Kampung Sena, Patani yang datuk neneknya berasal dari Kerisik, Patani.


Syeikh Ali bin Faqih Al Fatani dan Syeikh Abdul Jalil Al Fathani mendapat pendidikan pondok di Patani dan kemudian melanjutkan pengajiannya ke Mekah.


Bagaimanapun, baik gurunya di Patani maupun di Mekah, belum diperoleh catatan yang lengkap dan jelas namun tentang ilmu kedua-duanya dikagumi oleh masyarakat di mana saja mereka berada. Makam Syeikh Abdul Jalil Al-Fathani berada di Keramat Lumbang Gg Keramat 1, Kabupaten Sambas.


Menggunakan Sejarah sebagai Jambatan Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan.

Terdapat perguruan-perguruan di Kabupaten Sambas sepertinya:

1. Politeknik Negeri Sambas dan

2. Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas atau di masa mendatang akan jadi Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.


Dan termasuk beberapa pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Sambas.


Dengan kesultanan Sambas pernah mengadakan perhubungan perdagangan dengan peringkat internasional seperti:


Perhubungan perdagangan dengan Belanda dan Inggeris,

dengan itu pemerintah Kabupaten Sambas perlu mendorong mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sambas. Baik dari perguruan tinggi yang terletak di kabupaten Sambas dan luar dari kabupaten Sambas melanjut pendidikan di negara Belanda dan Inggeris. Mahasiswa Kabupaten Sambas perlu mengambil pendidikan di berbagai bidang seperti Bahasa Belanda, Sosiobudaya Belanda, bisnis dan ekonomi dan begitu juga dengan bergabai bidang di Inggeris. Terdapat banyak beasiswa dari negara Belanda dan inggeris yang terlu disebarkan berita kepada mahasiswa di Kabupaten Sambas. Dan begitu juga mahasiswa Kabupaten Sambas mesti meningkatkan kualitas syarat kelayakan mereka supaya bisa bersaingan dengan calon calon lain.


Perhubungan perdagangan dengan orang Cina.

Begitu juga perhubungan perdagangan dengan Cina, pemerintah Kabupaten Sambas mesti mendorong mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sambas. Baik dari perguruan tinggi yang terletak di kabupaten Sambas dan luar dari kabupaten Sambas melanjut pendidikan di negara Tiongkok dan Taiwan.


Negara Tiongkok, negara ini banyak universitas yang menawarkan beasiswa kepada mahasiswa asing untuk melanjutkan pendidikan di negara tersebut. Dengan itu pemerintah Kabupaten Sambas mesti mendorong mahasiswa Kabupaten Sambas memohon beasiswa dari negara Tiongkok itu.


Terdapat 2 komunitas Rumpun Melayu di pulau Hainan negara Tionkok. Mereka itu ialah etnik Hainan Cham mendiami di kota Sanya, Pulau Hainan. Mahasiswa Kabupaten Sambas perlu mencari beasiswa dari pulau itu. Bagi Taiwan, penduduk pribumi Taiwan sebanyak 4 etnik dan sebahagian dari itu adalah mereka dari Kelompok Austronesia. Terdapat salah satu dari etnik itu ialah etnik Yami, mereka tergolong dalam kelpmpok Melayu-Polinesia Barat. Dengan itu kita mesti mendalami sosiabudaya etnik pribumi Taiwan, supaya menjadi jembatan perhubungan internasional diantara Kabupaten Sambas dengan Taiwan.


Perhubungan perdagangan dengan negeri-negeri Melayu jiran.

Negeri bagian Sabah, Negeri bagian Sarawak, Malaysia dan egara Brunei adalah negeri-negeri Melayu yang sangat rapat degan Kabupaten Sambas. Mungkin ini telah dijalankan oleh Kabupaten Sambas. Walau bagaimanapun pemerintah Sambas perlu meningkatkan lagi perhubungan dibeberapa bidang seperti bidang ekonomi, bidang pendidikan dengan negeri-negeri tersebut. Beasiswa UBD dan universitas lain di Brunei masih memberi peluang kepada mahasiswa dari Kabupaten Sambas.


Perhubungan perdagangan dengan Patani Thailand.

Walaupun tiaa catatan tentang perhubungan perdagangan dengan Patani Thailand. Sebaliknya, terdapat catatan berkaitan dengan keagamaan. Thailand terkenal dengan pertanian dan perikanan. Pemerintah Kabupaten Sambas mesti mendorong pihak di Kabupaten Sambas berkomunikasi dan bertukar-menukar ilmu pertanian dan ilmu perikanan dengan perguruan tinggi di Patani, Thailand Selatan. Dan menghantar mahasiswa dari Kabupaten Sambas ke Patani untuk belajar Bahasa Thai. Supaya di masa mendatang mahasiswa dari Kabupaten Sambas itu boleh jadi koordinator pembisnis diantara Kabupaten Sambas dengan Thailand amnya. Contohnya, di universitas yang saya pernah bekerja iaitu Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Universitas tersebut terdapat beasiswa untuk mahasiswa asing memohon ke peringkat S2 dan S3 di setiap bidang yang ada di universitas.


Belajar sejarah Kesultanan Sambas, belajar dari sejarah Kesultanan Sambas dan menggunakanlah sejarah Kesultanan Sambas sebagai alat Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan.


Terima kasih.


Rujukan.


[1] Drs. H. Moh. Haitami Salim dan rakan rakan,Laporan Penelitian Sejarah Kerajaan Sambas Kalimantan Barat,

   Pusat Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat (P3M) STAIN Ponianak kerjasama dengan Puslit Lektur

   Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia.2010.

[2]  Christian Pelras,The Bugis,Blackwell Publisher,U.K.,1996.

[3] Arena Wati, Syair Perang Cina di Monterado. Bangi:penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989.

[4] Muhammad Gade Ismail. 1985. Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat: Masa

   Akhir Kesultanan (1808-1818). Tesis M.A. Fakultas ilmu Budaya, Universiti Indonesia,1985.

[5] Irwin, Graham. 1986. Borneo Abad Kesembilan Belas: Kajian Mengenai Persaingan Diplomatik. Kuala

  Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,Malaysia.

Tiada ulasan: