Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Istana Alwatzikhoebillah Sambas
Makalah ini ditulis untuk Seminar Internasional Majelis Adat Budaya Melayu Kabupaten Sambas, seminar ini dengan tema: Rethinking Borneo Sultanate Networks: Sambas International Experience (Mengkaji Jaringan Kesultanan Borneo: Pengalaman Internasional Kesultanan Sambas kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia pada pada hari Rabu, 30 Oktober 2024. Saya menulis makalah ini dengan tajuk “Kesultanan Sambas: Menggunakan Sejarah sebagai Jambatan Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan”. Dan saya memperwakilkan Perwakilan Nusantara Studies Center di Kalimantan Barat iaitu dato’ Muhammad Natsir di Pontianak mempresentasikan di seminar tersebut atas nama Nusantara Studies Center, Thailand. Makalahnya seperti berikut:
Latarbelakang Sejarah
Kesultanan Sambas adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat. Ataupun terletak di wilayah barat laut Pulau Kalimantan. Pusat pemerintah Kesultanan Sambas adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M. Seperti yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M. Pada masa itu, rajanya bergelar "Nek". Salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, sekitar abad ke-15 M. muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal. Kemudian kekosongan raja di wilayah tersebut. Selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas tidak mau mengangkat raja lagi. Wilayah pesisir dan tengah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir di mana saat itu wilayah ini tidak ada Raja setelah Raja Tan Unggal.
Istana Alwatzikhoebillah Sambas
maka kedatangan rombongan pelarian Majapahit ini berjalan tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas iaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman maka kemudian para pelarian Majapahit ini mendirikan sebuah Kerajaan bercorak Hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC iaitu pada tahun 1609.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan
Sultan Tengah (Sultan Sarawak yang pertama) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan
Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan
kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini disebutnya daerah Kembayat Sri Negara. Anak
laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan
anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman
kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian
setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru iaitu
Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar
Sultan Muhammad Shafiuddin I iaitu pada tahun 1671. Dan Sultan Sambas yang
sebelum Republik Indonesia merdeka ialah Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin
Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944)
Jaringan Perdagangan Kerajaan Sambas.
Drs. H. Moh. Haitami Salim dan rakan-rakan
dalam “Sejarah Kerajaan Sambas Kalimantan Barat”[1]
menceritakan bahawa dalam dunia perdagangan sekitar abad 17 di nusantara,
beberapa pelabuhan di Kalimantan Barat telah disingahi oleh berbagai armada
perdagangan dari berbagai tempat dari seantero nusantara, termasuk juga dari
Eropa dan Cina. Diantara pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Sambas dan
Pontianak. Hal ini diketahui berdasarkan Undang-Undang Maritim yang disusun
oleh Amanna Gappa, Kepala
Komunitas Wajo’ di Makassar, yang menjabat sejak 1697 hingga 1723.
Christian Pelras dalam bukunya “The Bugis”[2]
menyatakan diantara isi Undang-Undang ini adalah tentang ongkos angkutan memuat
daftar daerah-daerah pemberangkatan, tujuan dan rute perjalanan perahu-perahu
Bugis pada saat itu. Dan menurut Christian Pelras, perahu-perahu
layar dagang Bugis berlayar mengikuti musim angin. Tercatat bahwa, biasanya
perahu Bugis berlayar dari Makasar menuju Singapura pada bulan Oktober, pada
akhir musim timur ketika angin bertiup paling kencang. Pelayaran langsung ke Singapura
ditempuh selama 10 hingga 20 hari melalui dua jalur, iaitu jalur selatan menju
Surabaya, kemudian pantai utara Jawa, lalu ke Sumatra. Sedangkan jalur utara
melalui sepanjang garis pantai Kalimantan menuju Pontianak. Pelayaran kembali
dari Singapura ke Sulawesi biasanya dilakukan pada Desember atau Januari, saat
angin barat mulai bertiup. Perjalanan ke Maluku
paling baik dilakukan pada
Desember dan Maret, dengan berlayar searah angin musim barat, biasanya
berangkat dari pantai sebelah timur Sulawesi Selatan: jalur sebelah utara
melalui Kendari, Teluk Tomini, Kepulauan Aru, dan Kei. Antara April dan Agustus, dengan angin
musim timur, perahu berlayar kembali ke Sulawesi Selatan atau meneruskan
pelayarannnya ke Timor, Flores, dan Sumbawa, dimana mereka bisa berlayar ke
utara sampai ke Sulawesi atau kea rah barat wilayah Nusantara.
Istana Alwatzikhoebillah Sambas
Kapal-kapal
Bugis tersebut merupakan kapal-kapal bertonasi rendah antara 20 hingga 80 ton.
Baru sekitar tahun 1850 situasi perdangan di Nusantara mulai berubah akibat masuknya
sejumlah besar kapal layar Eropa bertonase tinggi, dengan kapasitas rata-rata
mencapai 400 ton. Pada tahun 1830, sebuah kapal besar milik seorang Arab dari
Semarang bahkan tercatat memiliki kapasitas hingga sekitara 1.100 ton. Sampai
pertengahan abad ke-19, kapal seperti itu hanya berlabuh di sejumlah pelabuhan
penting, seperti Makasar, Manado, Ternate, Ambon, Bima, dan
Kupang di Indonesia Timur, serta
Banjarmasin, Sambas dan Pontianak di Kalimantan. Point penting dari informasi
yang dikemukan Pelras di atas adalah, pernyataan bahwa, Sambas merupakan salah
satu pelabuhan besar dan penting yang ada
di Kalimantan yang selalu disinggahi oleh para pedagang, baik dari
Nusantara maupun dari luar negeri seperti dari Eropa, Cina dan Arab.
Sambas
merupakan wilayah yang memiliki deposit emas yang cukup besar, seperti di
daerah Selakau, Sebangkau dan termasuk di Sambasnya sendiri, selain di daerah
Mempawah, Mandor dan Landak. Emas telah diekspor dari Kalimantan paling tidak
awal abad 13 M. melalui jalur perdagangan antara Pelabuhan Borneo Barat dengan
Cina yang telah lama ada
sebelum
kedatangan orang Eropa pertama di wilayah perairan tersebut abad 16. Dan
kemudian pada abad 17 M pedagang Cina mengumpulkan emas di Sambas. Orang-orang
Cina bekerja di pertambangan emas yang ada di Sambas, di bawah perlindungan Kerajaan
Sambas.
Arena
Wati [3]
menyatakan orang Cina kemudian berhasil menguasai lombong emas, berlian dan
perdagangan di Sambas. Tahun 1812, Sambas telah menjadi pusat pertambangan emas
yang utama. Kongsi-kongsi Cina sudah terdapat di hulu-hulu negeri Sambas, dan
pada tahun tersebut jumlah penambang emas Cina di Sambas saja meningkat 30.000
orang, sementara penambang dari kalangan Dayak dan Melayu hanya sekitar 12.000
orang saja. Di Selakau jumlah penambang emas dari kalangan etnis Cina berjumlah
20.000 orang. Pada tahun yang sama, di Monterado jumlah penambang Cina mencapai
50.000 orang.
Ternyata
kemudian Belanda juga menginginkan hal serupa, yaitu menguasai perdagangan emas
dan berlian. Hal tersebut terlihat ketika mereka berhasil membeli lombong
berlian dari Sultan Pontianak tahun 1823, mereka kemudian hendak menguasai
lombong emas dari tangan orang Cina. Mereka kemudian berhasil memonopoli
perlombongan berlian di Kalimantan Barat Karena, sebagaimana diketahui pada
saat itu, Belanda dan Inggris sama-sama berupaya menaklukkan Kalimantan Barat.
Tapi Belanda tampaknya lebih berhasil, hal tersebut dibuktikan dengan pembelian
pertambangan emas dari Sultan Sambas pada tahun 1816.
Dan
pada tahun 1818, Sultan Abu Bakar Tajuddin
terpaksa meminta bantuan Belanda untuk menetang Cina yang sudah terlalu
banyak membuat kerenah. Belanda menyerang pelombong Cina tetapi gagal, kerana
orang Cina dapat bertahan dan menggunakan taktik membubuh racun ke dalam sumber
air minum pasukan Belanda. Lalu tindakan berikutnya Belanda bersatu dengan
Dayak dan Melayu dalam perang menghadapi kongsi-kongsi Cina
Dengan
demikian ada dua kekuatan besar yang menguasai perdagangan emas dan berlian di
Kalimantan Barat, yaitu Cina dan Belanda.
kerajaan Sambas dan panembahan Mempawah lebih memilih bersatu dengan
Belanda dalam memerangi Cina. Sehingga pecahlah kemudian perang Monterado. Cina
memiliki beberapa kongsi besar (hasil gabungan dari kongsi-kongsi kecil) iaitu
Kongsi Lam Fong di Sambas dengan 6.000 orang tentara, Kongsi Thai Kwung di
Moterado dengan 10.000 orang tentara dan Kongsi Si Ta Kiou di Lara dengan
kurang lebih 5000 orang tentara
orang-orang
Cina adalah penambang emas awal di Kalimantan Barat pada tahun 1740-an. Mereka
mendulang emas di lembah Sungai Duri. Mereka adalah Cina Hakka dari Brunai yang
diundang oleh Panembahan Mempawah untuk mengusahakan lombong emas. Keberhasilan
Mempawah membuka lombong emas ini juga telah mendorong kerajaan Sambas untuk
menerima migran Cina untuk bekerja menggali emas di Lara ada tahun 1772. Adapun
mengapa kerajaan di Kalimantan Barat tertarik untuk mendatangkan para penambang
Cina, ini terkait dengan berita sukses eksplorasi tambang timah di Bangka yang
menjadi income yang besar bagi Kesultanan Palembang. Informasi tentang
keberhasilan ini menyebar sepanjang rute perjalanan kapal Junk, termasuk ke Kalimantan
Barat. Atas dasar informasi tersebut maka sultan atau raja di Kalbar mengundar orang-orang Cina untuk mau
bemengerjakan deposit emas mereka. Adapun yang lebih dulu melakukan hal ini
adalah Panembahan Mempawah (1740 M) iaitu dengan mengundang kelompok kecil Cina
dari Brunai ke Sungai Duri.
Istana Alwatzikhoebillah Sambas
Sempat
terjadi persaingan antara Mempawah dan Sambas terkait dengan eksplorasi emas
ini, terutama perebutan wilayah Lembah Sungai Duri. Sengketa ini sempat
berlangsung beberapa tahun, walaupun ikatan keluarga antara kedua kerajaan
tersebut telah terbangun. Hal ini tentu saja memberikan peluang bagi para
panambang emas Cina untuk terus berkembang. Kekuasaan para penambang Cina
semakin kuat, sehingga mereka berhasil mengembangkan pertambangan di Monterado,
Lara dan Mandor. Hal itu tampak dari bahwa, Cina sudah tidak dapat dikontrol
oleh kedua kerajaan tersebut, dan bayaran cukai sudah tidak menentu musim pembayarannya,
dan kalaupun mereka membayar hanya sebagian saja.
Hubungan
Perdagangan Kerajaan Sambas dengan Internasional.
Menuru
Muhammad Gade Ismail[4],
baru sekitar tahun 1518 (awal abad 16) orang-orang Eropa mengunjungi Kalimantan
Barat. Orang Eropa pertama yang datang adalah Lorenzo de Gomes (tiba tahu 1518)
dalam perjalanannya menuju Tiongkok. Tahun 1526 datang lagi orang Portugis yang
bernama Don George De Meneses dalam perjalanannya ke Maluku. Selain orang
Portugis, orang Belanda yang diduga pertama kali datang ke Kalimantan adalah
Olivier van Noort, tepatnya di Kerajaan Brunai pada tanggal 26 Desember 1600.
Kemudian ada nama Wijbrand van Marwijck yang sempat menyingahi pulau Karimata
Besar. Melihat Kalimantan sebagai tempat yang strategis dan memberikan keuntungan
bagi kompeni Belanda, maka Raad van Banten mendirikan sebuah Loji tetap di
Kalimantan ada tanggal 12 Oktober 1608, dengan Samuel Bloemaert sebagai
kepalanya. Diantara tugas Bloemaert adalah membuat kontrak-kontrak perjanjian
dengan raja-raja di Kalimantan, seperti dengan Landak, Brunai, Sukadana dan
Sambas. Informasi ini berdasarkan Laporan dari Georg Muller yang berjudul
Bijdrage tot Vroegere Rapporten en Memorien Door Georg Muller.
Istana Alwatzikhoebillah Sambas
Tahun 1818 Belanda mulai masuk ke Sambas, yang ditandai dengan perjajian persahabatan dan persekutuan perdagangan. J. Van Boekholtz merupakan komisaris pertama Pemerintah Hindia Belanda yang ditugaskan di Kalimantan Barat yang bertugas membangun hubungan perjanjian dengan Sultan Pontianak (Sultan Syarif Kasim) dan Sultan Sambas. Informasi ini diperoleh dari Surat-menyurat antara Sultan-sultan di Borneo Barat dengan Belanda.
kebebasan
untuk melakukan perdagangan di Sambas tanpa dikenakan pajak dan Belanda juga
diizinkan untuk mendirikan sebuah Loji perdagangan di Sambas. Sebagai
kompensasi, Belanda membantu Sultan Adil dalam menghadapi musunya, yaitu Ratu
Bungku dari Sukadana. Loji Belanda di Sambas dipimpin oleh Pieter Aertzoon yang
diangkat oleh Samuel Bloemaert. Dan Loji Belanda terakhir di Sambas dipimpin
oleh Hendrik Vaak tahun 1615, karena tahun 1623 Loji Belanda di Sambas resmi
ditutup. Ada beberapa dugaan alasan
penutupan Loji Belanda di Sambas, diantaranya adalah karena keuntungan yang
dicapai tidak sesuai dengan ekspektasi semula dari orang-orang Belanda.
Kemudian, alasan lain karena Belanda tidak berhasil melakukan monopoli
perdagangan secara ketat, karena hanya dengan Sambas saja Belanda berhasil
membangun kerjasama perdagangan yang menguntungkan. Faktor lain, karena
persaingan yang ditimbulkan oleh datang para pesaing dari Eropa dan Cina,
seperti Spanyol, Portugis, Inggeris dan Tiongkok yang leluasa menjalin
kerjasama perdagangan dengan berbagai Kesultanan di Kalimantan Barat.
Graham Irwin[5] menyatakan perkembangan ekonomi berlaku di bagian Barat Borneo dan ia mulai berusahan untuk meletakkan kawasan ini di bawah kuasa kerajaannya.
Minat
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles terhadap Sambas berawal dari ditugasnya
dirinya menjadi Wakil Gubernur Jenderal di Malaka. Diantara tugasnya adalah
memberikan perlindungan kepada kapal-kapal Inggris di laut-laut Timur. Ia
selanjutnya menugaskan F. Burn ke Pontianak pada awal tahun 1811 dan
melantiknya sebagai agent politik dan perdagangan. Sebenarnya misi awal dari F.
Burn ke Pontianak adalah dalam konteks untuk mengecek keberadaan Kapal Inggris
yang bernama Commerce yang dirampas oleh Raja Sarawak.
Ekspedisi
Inggris kedua ke Sambas boleh dikatakan lebih teratur daripada yang pertama. Menurut
Laporan dari Kolonel James Watson, 3 Juli 1813 bahwa satu angkatan tentara yang kuat dibawah
arahan Kolonel Watson dari Resimen 14, sampai di luar kuala sungai pada 23 Juni
1813, bersama angkatan laut dari Malaka. Sepucuk surat telah dihantar kepada
Sultan menuntut agar menyerahkan Ketua Lanun (Perompak) iaitu Pangeran Anom,
tetapi tidak mendapat apa-apa jawaban, Kumpulan laskar yang dipisahkan
dari pusatnya, telah mendarat di
pantai yang tidak dikawal dan telah Berjaya dalam beberapa serangan ke atas
laskar-laskar di sungai dari belakang. Akhirnya, mereka dapat menaklukkan
seluruh perkubuan Sambas dalam peperangan yang hanya berjalan selama setengah
jam. Sekitar 150 orang musuh telah terbunuh dan hanya 8 orang saja orang
Inggris yang mati akibat kecederaan. Walau kemudian Pangeran Anom telah
berhasil melepaskan diri ke daerah pedalaman.
Perhubungan dengan Patani, Thailand Selatan
dengan Kerajaan Sambas.
Walaupun tiada catatan berkaitan perhubungan
Kerajaan Sambas dengan Kerajaan Melayu Patani. Tetapi terdapat perhubungan di
peringkat rakyat. Iaitu tercatat seorang keagamaan Melayu Patani berhijrah ke
Sambas, Kalimantan Barat. Catatan tersebut adalah seperti berikut:
Syeikh
Abdul Jalil Al-Fatani lebih dikenali dengan sebutan Keramat Lumbang di Sambas. Biasanya
orang Melayu Patani baik dari kalang biasa, dan lebih lebih lagi dari kalangan
alim ulama dan yang merantau ke Kawasan luar dari Patani. Seperti contoh,
Sheikh Abdullah Al-Fatani, mantan Menteri Pendidikan Arab Saudi di zaman
al-Malik Faisal. Begitu juga degnan Tan Sri Hussein Al-Fatani, mantan Duta
Besar Arab Saudi di Malaysia. Syeikh Abdul Jalil Al-Fatani juga akan mempunyai
gelaran ataupun nama diakhirnya dengan Al-Fatani. Itu adalah menunukkan beliau berasal
dari Patani, Thailand Selatan. Oleh masyarakat setempat beliau dikeramatkan
karena ketinggian ilmu agamanya.
Syeikh
Abdul Jalil Al-Fatani turut menyumbang ilmu dan mensyiarkan agama Islam di
Sambas. Kedatangannya ke Sambas pada tahun 1160 H(1747 M.).. Beliau datang bersama Syeikh Ali bin Faqih Al
Fatani yang kemudian menetap di Mempawah dan diangkat sebagai Mufti kedua
Kesultanan Mempawah oleh Mufti Pertama, Habib Husien Alqadri dari Hadralmaut
Yaman.
Kedatangan
kedua Syekh ini menggunakan kapal dari Pattani Darus Salam. Setelah mereka naik
ke darat untuk menghadap Opu Daeng Menambon iaitu Raja Mempawah pada masa itu,
barulah diketahui oleh penduduk bahwa perahu-perahu besar itu datang dari
Kerajaan Patani Darus Salam, Thailand.
Dipercayai
bahwa kedua ulama tersebut berasal dari Kampung Sena, Patani yang datuk
neneknya berasal dari Kerisik, Patani.
Syeikh
Ali bin Faqih Al Fatani dan Syeikh Abdul Jalil Al Fathani mendapat pendidikan
pondok di Patani dan kemudian melanjutkan pengajiannya ke Mekah.
Bagaimanapun,
baik gurunya di Patani maupun di Mekah, belum diperoleh catatan yang lengkap
dan jelas namun tentang ilmu kedua-duanya dikagumi oleh masyarakat di mana saja
mereka berada. Makam Syeikh Abdul Jalil Al-Fathani berada di Keramat Lumbang Gg
Keramat 1, Kabupaten Sambas.
Menggunakan Sejarah sebagai Jambatan Perhubungan Internasional di masa kini dan masa Depan.
Terdapat
perguruan-perguruan di Kabupaten Sambas sepertinya:
1.
Politeknik Negeri Sambas dan
2. Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas atau di masa mendatang akan jadi Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.
Dan
termasuk beberapa pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Sambas.
Dengan
kesultanan Sambas pernah mengadakan perhubungan perdagangan dengan peringkat
internasional seperti:
Perhubungan
perdagangan dengan Belanda dan Inggeris,
dengan
itu pemerintah Kabupaten Sambas perlu mendorong mahasiswa yang berasal dari
Kabupaten Sambas. Baik dari perguruan tinggi yang terletak di kabupaten Sambas
dan luar dari kabupaten Sambas melanjut pendidikan di negara Belanda dan
Inggeris. Mahasiswa Kabupaten Sambas perlu mengambil pendidikan di berbagai
bidang seperti Bahasa Belanda, Sosiobudaya Belanda, bisnis dan ekonomi dan
begitu juga dengan bergabai bidang di Inggeris. Terdapat banyak beasiswa dari
negara Belanda dan inggeris yang terlu disebarkan berita kepada mahasiswa di
Kabupaten Sambas. Dan begitu juga mahasiswa Kabupaten Sambas mesti meningkatkan
kualitas syarat kelayakan mereka supaya bisa bersaingan dengan calon calon
lain.
Perhubungan
perdagangan dengan orang Cina.
Begitu
juga perhubungan perdagangan dengan Cina, pemerintah Kabupaten Sambas mesti
mendorong mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sambas. Baik dari perguruan
tinggi yang terletak di kabupaten Sambas dan luar dari kabupaten Sambas
melanjut pendidikan di negara Tiongkok dan Taiwan.
Negara
Tiongkok, negara ini banyak universitas yang menawarkan beasiswa kepada
mahasiswa asing untuk melanjutkan pendidikan di negara tersebut. Dengan itu pemerintah
Kabupaten Sambas mesti mendorong mahasiswa Kabupaten Sambas memohon beasiswa
dari negara Tiongkok itu.
Terdapat
2 komunitas Rumpun Melayu di pulau Hainan negara Tionkok. Mereka itu ialah
etnik Hainan Cham mendiami di kota Sanya, Pulau Hainan. Mahasiswa Kabupaten
Sambas perlu mencari beasiswa dari pulau itu. Bagi Taiwan, penduduk pribumi
Taiwan sebanyak 4 etnik dan sebahagian dari itu adalah mereka dari Kelompok
Austronesia. Terdapat salah satu dari etnik itu ialah etnik Yami, mereka
tergolong dalam kelpmpok Melayu-Polinesia Barat. Dengan itu kita mesti
mendalami sosiabudaya etnik pribumi Taiwan, supaya menjadi jembatan perhubungan
internasional diantara Kabupaten Sambas dengan Taiwan.
Perhubungan
perdagangan dengan negeri-negeri Melayu jiran.
Negeri
bagian Sabah, Negeri bagian Sarawak, Malaysia dan egara Brunei adalah
negeri-negeri Melayu yang sangat rapat degan Kabupaten Sambas. Mungkin ini
telah dijalankan oleh Kabupaten Sambas. Walau bagaimanapun pemerintah Sambas
perlu meningkatkan lagi perhubungan dibeberapa bidang seperti bidang ekonomi,
bidang pendidikan dengan negeri-negeri tersebut. Beasiswa UBD dan universitas
lain di Brunei masih memberi peluang kepada mahasiswa dari Kabupaten Sambas.
Perhubungan perdagangan dengan Patani
Thailand.
Walaupun
tiaa catatan tentang perhubungan perdagangan dengan Patani Thailand.
Sebaliknya, terdapat catatan berkaitan dengan keagamaan. Thailand terkenal
dengan pertanian dan perikanan. Pemerintah Kabupaten Sambas mesti mendorong
pihak di Kabupaten Sambas berkomunikasi dan bertukar-menukar ilmu pertanian dan
ilmu perikanan dengan perguruan tinggi di Patani, Thailand Selatan. Dan
menghantar mahasiswa dari Kabupaten Sambas ke Patani untuk belajar Bahasa Thai.
Supaya di masa mendatang mahasiswa dari Kabupaten Sambas itu boleh jadi koordinator
pembisnis diantara Kabupaten Sambas dengan Thailand amnya. Contohnya, di universitas yang saya pernah bekerja
iaitu Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Universitas tersebut
terdapat beasiswa untuk mahasiswa asing memohon
ke peringkat S2 dan S3 di setiap bidang yang ada di universitas.
Belajar
sejarah Kesultanan Sambas, belajar dari sejarah Kesultanan Sambas dan
menggunakanlah sejarah Kesultanan Sambas sebagai alat Perhubungan Internasional
di masa kini dan masa Depan.
Terima
kasih.
Rujukan.
[1] Drs. H. Moh.
Haitami Salim dan rakan rakan,Laporan Penelitian Sejarah Kerajaan Sambas
Kalimantan Barat,
Pusat Penelitian Dan Pengabdian Pada
Masyarakat (P3M) STAIN Ponianak kerjasama dengan Puslit Lektur
Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Keagamaan
Kementerian Agama Republik Indonesia.2010.
[2] Christian Pelras,The Bugis,Blackwell
Publisher,U.K.,1996.
[3] Arena Wati, Syair
Perang Cina di Monterado. Bangi:penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989.
[4] Muhammad Gade
Ismail. 1985. Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat:
Masa
Akhir Kesultanan (1808-1818). Tesis M.A.
Fakultas ilmu Budaya, Universiti Indonesia,1985.
[5] Irwin, Graham.
1986. Borneo Abad Kesembilan Belas: Kajian Mengenai Persaingan Diplomatik.
Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,Malaysia.