Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
(sambung dari Sejarah Perkembangan Bahasa
Indonesia - Drs. Masnur Muslich (1) )
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten,
seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulisa di dalam bukunya
Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu
adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa
yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda
(dari zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam
Fishman, 1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois
Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II
Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa bahasa Melayu
telah terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca
yang penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa
Belanda dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan
skenario kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan
saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India
dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh
setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa,
atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya
bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan
dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad
ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di
Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau
Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai
oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan
lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini
masih termasuk daerah Riau.
Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu
sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat
kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi.
Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan
mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah
bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa
Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap
bahwa bahasa Medlayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa Melayu kuno
seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7
Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu
kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu
Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa
itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat
asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau.
Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu kuno dan bahasa
Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14
sampai dengan abad ke-19 Masehi) Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan
dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari
sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era
Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat
kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya
itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era
Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh
bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau.
Oleh sebab itu, bahasa ini disebut
“bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti
diuraikan berikut ini.
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai
dengan abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara
kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya
dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang
dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa
Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung
Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100
tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu
lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur
dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina
Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan
pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and Pasai in North Sumatra were the
first Malay Centers for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At
Pasai, in 1407 was buried Abdul’llah ibn Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn
Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir, a missionary from
Delhi of the house of the Abbasides who furnished Caliphs from the time of
Prophet till it was destroyed by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a
center greater than itself.”
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua
kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran
ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan,
sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu,
mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis
menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua
kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan
penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis
sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan
dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis,
penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja,
melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai
bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di
India telah menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun
1637.
Hal ini hanya mungkin apabila bahasa Melayu
telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman,
1974: 394).
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua
Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para
raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu
yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak
penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa
Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai
dengan abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis
pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di
sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi
Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama
Islam.
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor
telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk
bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap
dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam
bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”.
Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan
Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai
Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa
Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di
dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara.
Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi
oleh ajaran dan pemikiran Islam.
Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam
penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia
Tenggara.
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18
sampai dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana
Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau
Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini
merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa
Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga.
Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh
ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal
bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat
mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913,
ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan
kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali
bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika
Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya
yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau;
dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul
Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan Mathba’atul
Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang
diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan
Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah
dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris
yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki
Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan
Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah
Perancis di Kepulauan Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824,
Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur
Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan
Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan
Tumasik pada tahun 1819.
Orang-orang Blanda datanga pertama kali ke
Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka
mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan
perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun
1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan
kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia dengan memperoleh nama baru
Nederlandsche OOst-Indie (India Belanda).
Di sinilah, Selat Malaka, di daratan
Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah
jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai
pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan
oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada
saat itu masih beroperasi di anak benua India, mulai meluaskan daerah
perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara
ketiga kekuasaab kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa
Melayu, konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi
antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara
menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan
itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Semasa Al Marhum membantu Jurusan Pengajian Melayu di Fakulti Kemanusian dan Sains Sosial, Prince of Songkla University, kampus Pattani, Selatan Thailand.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan