Isnin, 27 Mac 2023

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia - Drs. Masnur Muslich (3)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Artikel Al Marhum Drs. Masnur Muslich, mantan pensyarah di Universiti Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia tajuknya “Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia” telah disiarkan bahagian 1 dan bahagian 2. Dan kali ini adalah bahagian akhir iaitu bahagian ke 3.

Dan ini adalah “Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia” bahagian ke 3:

 

(sambung dari Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia - Drs. Masnur Muslich (2) )

 

“Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia”

Oleh Masnur Muslich

 

Pada 2 Februari 1819, kuran lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan.

 

Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.

 

Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan.

 

Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.


Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.

 

Perkembangan Bahasa Melayu Sebelum Traktat London

Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.

 

Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.

 

Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.

  - Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an bahasa Melayu semakin nyata dan penting.

 

  - Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf Arab (baiasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan bahasa Melayu.

 

  - Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.

 

  - Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia.

 

  - Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.

 

  - Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pegarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.

 

  - Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.

 

  - Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.

 

  - Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.

 

  - Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.

 

  - Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).

 

  - Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.

 

  - Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Nagara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.

 

  - Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

 

  - Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.

 

Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris.

 

Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar.

 

Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.

 

Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.

 

Pustaka Acuan

Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra: Research School of Pasific Studies, ANU.

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy, Language Engineering and Literacy in Indonesia and Malaysia”. Dalam Fiherman, ed. 1974: 179-187.

Fishman, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton.

Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia. Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.

Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia. Djakarta: Bhratara.

Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BIPA III”. 28 Agustus 1995.

Almarhum Drs. Masnur Muslich, semasa bertugas membantu jurusan Pengajian Melayu di di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Pattani, Selatan Thailand.




 

Tiada ulasan: