Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Artikel Al Marhum Drs. Masnur Muslich, mantan
pensyarah di Universiti Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia tajuknya “Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia” telah disiarkan bahagian 1 dan bahagian 2. Dan
kali ini adalah bahagian akhir iaitu bahagian ke 3.
Dan ini adalah “Sejarah Perkembangan Bahasa
Indonesia” bahagian ke 3:
(sambung dari Sejarah Perkembangan Bahasa
Indonesia - Drs. Masnur Muslich (2) )
“Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia”
Oleh Masnur Muslich
Pada 2 Februari 1819, kuran lebih tiga abad
setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika
dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial
Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang
bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan,
Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena
berebut kepentingan.
Segera setelah perang Napoleon di Eropa
mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik
bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu
terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi
kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di
bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada
di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga
menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan
Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris.
Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor
secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu
penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan
menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang
bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan
London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik
dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi
nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan.
Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji
menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa
normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun
dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di
Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji,
misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga
menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang
lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu
Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan
oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat
dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi.
Perkembangan Bahasa Melayu Sebelum Traktat
London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara
pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan
Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan
Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu
Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat
multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu,
bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi
bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang
suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut
perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
-
Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda
sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Pranan ke-lingua
franca-an bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
-
Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat
Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem
ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya
bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf Arab (baiasa diistilahkan huruf Jawi)
yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan
huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan bahasa Melayu.
-
Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad
(Dewan Rakyat). Dengan demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa
supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
-
Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil
penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu
ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa
mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa
Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia.
-
Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres
Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah
Pemoeda yang diikrarkannya.
-
Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok
pegarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
-
Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini
meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa Indonesia dan bukan bahasa
Melayu lagi.
-
Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa
Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.
-
Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke
seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945
memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak
itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
-
Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh
utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
-
Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan
di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis
Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
-
Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan
bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
-
Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan
istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga
Nagara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di
dalam majelis bahasa ini.
-
Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur
setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai
keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa
persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
-
Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara
Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh.
Keadaan ini akan mengantar bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di
kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa
dunia di dalam abad ke-21.
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di
Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa
Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris.
Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya
empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan
bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada
lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan
sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di
atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu
pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara
Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan
berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa
Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi,
bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat
ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia,
bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap
berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif.
Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia
Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa
bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa
komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara
de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Pustaka Acuan
Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying
Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic
Perspectives.Canberra: Research School of Pasific Studies, ANU.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language
Policy, Language Engineering and Literacy in Indonesia and Malaysia”. Dalam
Fiherman, ed. 1974: 179-187.
Fishman, Joshuo A., ed. 1974. Advances in
Language Planning. The Hague: Mouton.
Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau:
Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia. Pekanbaru:
Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan
Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia. Djakarta: Bhratara.
Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BIPA III”. 28 Agustus 1995.
Almarhum Drs. Masnur Muslich, semasa bertugas
membantu jurusan Pengajian Melayu di di Faculty of Humanities and Social
Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Pattani, Selatan Thailand.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan