Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Al Marhum Drs. Masnur Muslich, mantan pensyarah
di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia. Dan pada tahun 2006 Al
Marhum diperbantukan di Jurusan Pengajian Melayu di Faculty of Humanities and
Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Kampus Pattani, Selatan Thailand.
Dan di fakulti itulah saya dapat berkenalan dan kami berkerja di satu bilik
iaitu bilik Jurusan Pengajian Melayu. Artikel Al Marhum tajuknya “Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia” agak menarik dan sekali lagi saya kemukakan
artikel ini. Tetapi kerana terlalu Panjang dengan itu saya bahagikan kepada 3
episod. Ni ada episode pertama :
“Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia”
Oleh Masnur Muslich (Al Marhum), Malang, Jawa
Timur, Indonesia.
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia
bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti
yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara.
Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu,
atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti
adalah:Kedukan Bukit (683 Masehi), Talang Tuwo (684 Masehi), Kota Kapur (686
Masehi), Karang Brahi (686 Masehi), Gandasuli (832 Masehi), Bogor (942 Masehi),
dan Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24).
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu
Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa
Sanskerta.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi
Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini
dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi
atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang
dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan
kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai
doa untuk keselamatn raja.
Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan
prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka,
isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan
kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang
memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka
yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada
zaman Sriwijaya, bisa disimpulka bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah
berperan sedbagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi
pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang
bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu (diistilahkan
Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di
negara itu (Sriwijaya).
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat
pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul
bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan
bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen,
pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai
adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara.
Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam
Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara
pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting.
Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah,
yaitu: (1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi
kekuasaan kolonial Inggris; dan (2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar:
pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan
Sunda kecil: pulau-pulau Bali, LOmbok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor,
dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial
Belanda.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu
ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelumm Traktat
London, dan (2) periode setelah Traktat London.
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat
London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat
London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode
seperti berikut:
- Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai
dengan abad ke-11 Masehi);
- Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12
sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad
ke-12 s.d. abad ke-13 Masehi)
- Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14
sampai dengan abad ke-19 Masehi):
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai
dengan abad ke-15 Masehi)
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai
dengan abad ke-17 Masehi)
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18
sampai dengan abad-19 Masehi)
- Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana
disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu
pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah,
yaitu:
- di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
- di Malaysia menjadi BahasaMalaysia;
- di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan
- di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan
abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami
masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat
Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para
saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan
mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa
Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa
Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana
dalam Fishman, 1974).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan
pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah
taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan
keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F.
Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan
Sriwijaya pada era itu:
“The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya)
emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury
to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might,
Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named
after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra. At the height of its power under the
Shailendra dynasty, it included Malaya, Ceylon, Borneo, Celebes, the
Philippines, and part of Formosa, and probaly exercised sovereignty over
Cambodia and Champa (Annam). (Zaide, 1950: 36)”
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan
suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru
kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari
kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan
tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau
lingua franca Kw’en Lun.
Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai
dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi
bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat
pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di
Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang
muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai
tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada
saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era,
yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau.
Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode,
yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan
Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat
penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia.
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini,
penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan
orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca
tidak hanya membantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga
menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi
norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.
* Almarhum Drs. Masnur Muslich, MSi. adalah mantan dosen di Universitas Negeri Malang – Indonesia. Pada tahun 2006 diperbantukan di Jurusan Pengajian Melayu di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Pattani, Thailand.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan