Khamis, 14 Mei 2020

PEREMPUAN ACEH FULL POWER

Dari tulisan  Tengku Puteh (https://tengkuputeh.com/)


 Foto penangkapan Cut Nyak Dhien, bertahun 1905 itu tersimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Foto itu diambil oleh komandan marsose, atau pasukan khusus Belanda, Letnan van Vuren.

PEREMPUAN ACEH FULL POWER
Sebuah tabloid Wanita Sehat yang disponsori UNFPA dan Kantor Wilayah BKKBN Aceh, sebuah tulisan yang diambil dari Pustakaloka kompas Online edisi 8 september 2005 sebuah tulisan yang ditulis oleh Ruth Indiah Rahayu seorang pekerja sosial di Kalyanamitra, tulisan tersebut diilhami buku Gender, Islam, Nationalis and state in Aceh : The Paradox of Power, Co-optation and Resistante karangan Jacqueline Aquino Siapno. Dalam tulisan tersebut dia mempertanyakan kenapa perempuan di Aceh jika hendak bepergian ke? Wilayah laki-laki? seperti warung kopi hendaknya ditemani oleh muhrimnya dan bila tidak maka perempuan tersebut akan dicap jelek oleh masyarakat. Dan dia menyesalkan bahwa isu gender tidak pernah mendapat tempat di masyarakat Aceh, “seolah-olah penyakit sampar yang dibawa dari Jakarta” sesalnya.
Dr. Snouck Hurgronye
Diakhir dengan mempertimbangkan tulisan-tulisan Dr. Snouk Hurgronyoe yang pernah “menjelajahi aceh” ia menyimpulkan bahwa kekuasaan perempuan Aceh dimarginalkan oleh nilai-nilai baru yang diaurakan Islam dan Nasionalisme paska kemerdekaan dalam kekuasaan di Aceh. Dari tulisan tersebut tersirat seolah-olah peran perempuan di Aceh terpasung dan ironisnya perempuan Aceh tidak menyadari hal tersebut hal ini didasari bahwa gerakan feminisme tidak pernah mempunyai pendukung di Aceh.

Itu semua tidak benar!!! Secara Makro mungkin kita tidak melihat peran perempuan Aceh yang terlalu menonjol saat ini, tapi secara Mikro perempuan aceh memiliki peran yang sangat besar dan bisa dikatakan Penguasa Aceh yang sesungguhnya. Dari hubungan pernikahan kita bia melihat bahwa isteri disebut dengan sebutan? Po Rumoh? yang jika diindonesiakan kira-kira berarti Pemilik/Penguasa rumah dan suami diawal pernikahan arus tinggal di rumah mertua untuk menghindarkan terjadinya kekeraan dalam rumah tangga. Suatu adat yang dicetuskan oleh Sri Ratu Safiatuddin untuk melindungi kaum perempuan di aceh pernah pula menyebabkan pusat kesultanan Aceh tidak berpindah ketika ayah beliau menunjuk suaminya Sultan Iskandar Thani dari Kesultanan Kedah untuk menjadi penerusnya.

Peran perempuan aceh dalam kehidupan rumah tangga juga cukup besar, seorang Teuku Umar tidak akan muncul ke permukaan pabila tidak didukung seorang Cut Nyak Dien. Laksamana Malahayati, Cut Nyak mutia, Pocut baren, Sri Ratu Nuzulul Alam dalah perempuan-perempuan perkasa yang tidak melupakan tugas perempuan yang sesungguhnya yaitu sebagai ibu.

Tranfer kebudayaan di Aceh lebih dominan dilakukan oleh kaum ibu, bagi anak-anak yang dilahirkan sampai dengan tahun 1980-an tentu masih ingat ketika masih kecil sewaktu hendak ditidurkan dalam ayunan kadang nenek atau ibu menyenandungkan lagu Dodaidi yang berisi semangat perjuangan melawan penjajah kafir walaupun Belanda sudah lama angkat kaki dari bumi Aceh. Setiap anak diharuskan mendengarnya agar menjadi orang yang berguna di kemudian hari. Bayangkan setiap hari, pagi dan siang sampai tidur sulit melupakan isi syairnya walaupun sudah beranjak dewasa sekarang. Bagi anak-anak aceh, para ibu, nenek, kakak, adik adalah sosok tegar, kuat dan Full Power yang akan selalu hormati, kami cintai dan kami rindukan.
                    Lukisan Cut Mutia, Desa Beuringen Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.
Sejarah mencatat. Setiap peperangan membawa penderitaan pribadi kepada para perempuan, sehingga diperlukan paling sedikit suatu kekuatan yang sama besarnya untuk menanggulangi bahagian pasifnya, yakni menanggung, menyerahkan dan menjalani, seperti halnya untuk bagian aktifnya peperangan itu sendiri yang dapat memberikan kebahagiaan dalam menjalankannya.

Kaum perempuan, mereka tinggal dan menunggu di rumah dan melalui “pintu gerbang penanggungan” yang untuk orang kebanyakan mereka selalu terbuka lebar, telah membiarkan seorang tamu baru masuk ke dalam rumahnya, yakni perasaan cemas yang selalu timbul terhadap seseorang atau mereka yang pergi melalukan tugas. Tamu itu berada dalam pusat kehidupan di rumah dan bayangannya bergelantungan di atas semua serta seluruhnya, di atas seluruh gerak dan pikiran mereka yang tertinggal di belakang.
                                       Foto Pocut Baren
Sumber : Aceh; H.C Zentgraff; Penerbit Beuna Jakarta; Cetakan ke-1; 1983.

Dalam hal peperangan panjang pernah terjadi di Aceh, sebagaimana sebuah perang, di manapun ia pernah berkecamuk di muka bumi ini. Namun hal ini lebih hebat lagi pernah dirasakan di Aceh karena di sana para perempuannya sangat dekat dengan ataupun memang berada dalam kancah peperangan. Di sana mereka hidup bersama peperangan, jiwa mereka setiap hari mengikuti suami atau putera pada perjalanan-perjalanan yang mereka kenal keadaannya sampai sekecil-kecilnya. Kecemasan yang disebabkan oleh panggilan telepon yang tiba-tiba adalah sama artinya dengan telepon yang tak kunjung tiba. Dan jika hal ini terjadi sangat lama, maka kecemasan itu dapat berubah menjadi hantu yang menakutkan di rumah, suara gemerisik kaki yang tiba-tiba, suara ketikan lembut di pintu atau suara orang di kejauhan cukup menempatkan mereka yang sedang menunggu-nunggu dalam keadaan binggung, karena bukan tak mungkin dan selalu demikian. Bahwa itu merupakan sebuah pesan sial mengenai suami ataupun kedatangan seseorang yang tewas diangkut ke rumah sakit.
Makam Cut Nyak Dhien di Sumedang, Jawa Barat. “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid, ” kata Cut Nyak Dhien.

Meskipun sekarang perang telah usia, Aceh sejak tahun 2005 pelan-pelan sepenuhnya damai. Mengenai perempuan Aceh dapat diceritakan, bahwa sejak peperangan Kolonial melawan Belanda. Perannya sampai saat sekarang sukar dinilai dan biasanya aktif sekali. Perempuan Aceh, gagah berani, adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap penjajahan kolonial (Belanda) yang tak ada taranya serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu tenaga yang tak kenal maut dan biasanya (selalu) mengalahkan kaum lelakinya. Ia adalah pengemban dendam yang membara yang sampai-sampai ke liang kubur dan dihadapan mautpun masih berani meludah ke muka si “kaphe” (=kafir).

Di masa lalu, rasanya tak ada seorang penulis roman manapun yang sanggup dan berhasil mengungkapkan daya khayalnya yang segila-gilanya seperti yang telah dibuktikan perempuan Aceh dalam kenyataannya.

Perempuan adalah tiang Negara, seorang ibu adalah madrasah dimana seorang anak pertama kali mengenal dunia dan membentuk pola pikir sang anak dalam memandang dunia. Menghadapi tekanan global dan pengaruh media yang dikuasai Barat samapai kapankah perempuan-perempuan Aceh dapat bertahan? Terus terang tidak ada yang mampu menjawabnya karena proses pengikisan itu simultan terjadi, dan terus berlanjut.

Tiada ulasan: