Dari tulisan Tengku Puteh (https://tengkuputeh.com/)
PEREMPUAN
ACEH FULL POWER
Sebuah
tabloid Wanita Sehat yang disponsori UNFPA dan Kantor Wilayah BKKBN Aceh,
sebuah tulisan yang diambil dari Pustakaloka kompas Online edisi 8 september
2005 sebuah tulisan yang ditulis oleh Ruth Indiah Rahayu seorang pekerja sosial
di Kalyanamitra, tulisan tersebut diilhami buku Gender, Islam, Nationalis and
state in Aceh : The Paradox of Power, Co-optation and Resistante karangan
Jacqueline Aquino Siapno. Dalam tulisan tersebut dia mempertanyakan kenapa
perempuan di Aceh jika hendak bepergian ke? Wilayah laki-laki? seperti warung
kopi hendaknya ditemani oleh muhrimnya dan bila tidak maka perempuan tersebut
akan dicap jelek oleh masyarakat. Dan dia menyesalkan bahwa isu gender tidak
pernah mendapat tempat di masyarakat Aceh, “seolah-olah penyakit sampar yang
dibawa dari Jakarta” sesalnya.
Dr.
Snouck Hurgronye
Diakhir
dengan mempertimbangkan tulisan-tulisan Dr. Snouk Hurgronyoe yang pernah
“menjelajahi aceh” ia menyimpulkan bahwa kekuasaan perempuan Aceh dimarginalkan
oleh nilai-nilai baru yang diaurakan Islam dan Nasionalisme paska kemerdekaan
dalam kekuasaan di Aceh. Dari tulisan tersebut tersirat seolah-olah peran
perempuan di Aceh terpasung dan ironisnya perempuan Aceh tidak menyadari hal
tersebut hal ini didasari bahwa gerakan feminisme tidak pernah mempunyai
pendukung di Aceh.
Itu
semua tidak benar!!! Secara Makro mungkin kita tidak melihat peran perempuan
Aceh yang terlalu menonjol saat ini, tapi secara Mikro perempuan aceh memiliki
peran yang sangat besar dan bisa dikatakan Penguasa Aceh yang sesungguhnya.
Dari hubungan pernikahan kita bia melihat bahwa isteri disebut dengan sebutan?
Po Rumoh? yang jika diindonesiakan kira-kira berarti Pemilik/Penguasa rumah dan
suami diawal pernikahan arus tinggal di rumah mertua untuk menghindarkan
terjadinya kekeraan dalam rumah tangga. Suatu adat yang dicetuskan oleh Sri
Ratu Safiatuddin untuk melindungi kaum perempuan di aceh pernah pula
menyebabkan pusat kesultanan Aceh tidak berpindah ketika ayah beliau menunjuk
suaminya Sultan Iskandar Thani dari Kesultanan Kedah untuk menjadi penerusnya.
Peran
perempuan aceh dalam kehidupan rumah tangga juga cukup besar, seorang Teuku
Umar tidak akan muncul ke permukaan pabila tidak didukung seorang Cut Nyak
Dien. Laksamana Malahayati, Cut Nyak mutia, Pocut baren, Sri Ratu Nuzulul Alam
dalah perempuan-perempuan perkasa yang tidak melupakan tugas perempuan yang
sesungguhnya yaitu sebagai ibu.
Tranfer
kebudayaan di Aceh lebih dominan dilakukan oleh kaum ibu, bagi anak-anak yang
dilahirkan sampai dengan tahun 1980-an tentu masih ingat ketika masih kecil
sewaktu hendak ditidurkan dalam ayunan kadang nenek atau ibu menyenandungkan
lagu Dodaidi yang berisi semangat perjuangan melawan penjajah kafir walaupun
Belanda sudah lama angkat kaki dari bumi Aceh. Setiap anak diharuskan
mendengarnya agar menjadi orang yang berguna di kemudian hari. Bayangkan setiap
hari, pagi dan siang sampai tidur sulit melupakan isi syairnya walaupun sudah
beranjak dewasa sekarang. Bagi anak-anak aceh, para ibu, nenek, kakak, adik
adalah sosok tegar, kuat dan Full Power yang akan selalu hormati, kami cintai
dan kami rindukan.
Lukisan
Cut Mutia, Desa Beuringen Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.
Sejarah
mencatat. Setiap peperangan membawa penderitaan pribadi kepada para perempuan,
sehingga diperlukan paling sedikit suatu kekuatan yang sama besarnya untuk
menanggulangi bahagian pasifnya, yakni menanggung, menyerahkan dan menjalani,
seperti halnya untuk bagian aktifnya peperangan itu sendiri yang dapat
memberikan kebahagiaan dalam menjalankannya.
Kaum
perempuan, mereka tinggal dan menunggu di rumah dan melalui “pintu gerbang
penanggungan” yang untuk orang kebanyakan mereka selalu terbuka lebar, telah
membiarkan seorang tamu baru masuk ke dalam rumahnya, yakni perasaan cemas yang
selalu timbul terhadap seseorang atau mereka yang pergi melalukan tugas. Tamu
itu berada dalam pusat kehidupan di rumah dan bayangannya bergelantungan di
atas semua serta seluruhnya, di atas seluruh gerak dan pikiran mereka yang
tertinggal di belakang.
Sumber : Aceh; H.C Zentgraff; Penerbit Beuna
Jakarta; Cetakan ke-1; 1983.
Dalam
hal peperangan panjang pernah terjadi di Aceh, sebagaimana sebuah perang, di
manapun ia pernah berkecamuk di muka bumi ini. Namun hal ini lebih hebat lagi
pernah dirasakan di Aceh karena di sana para perempuannya sangat dekat dengan
ataupun memang berada dalam kancah peperangan. Di sana mereka hidup bersama
peperangan, jiwa mereka setiap hari mengikuti suami atau putera pada
perjalanan-perjalanan yang mereka kenal keadaannya sampai sekecil-kecilnya.
Kecemasan yang disebabkan oleh panggilan telepon yang tiba-tiba adalah sama
artinya dengan telepon yang tak kunjung tiba. Dan jika hal ini terjadi sangat
lama, maka kecemasan itu dapat berubah menjadi hantu yang menakutkan di rumah,
suara gemerisik kaki yang tiba-tiba, suara ketikan lembut di pintu atau suara
orang di kejauhan cukup menempatkan mereka yang sedang menunggu-nunggu dalam
keadaan binggung, karena bukan tak mungkin dan selalu demikian. Bahwa itu
merupakan sebuah pesan sial mengenai suami ataupun kedatangan seseorang yang
tewas diangkut ke rumah sakit.
Makam
Cut Nyak Dhien di Sumedang, Jawa Barat. “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak
boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid, ” kata Cut Nyak Dhien.
Meskipun
sekarang perang telah usia, Aceh sejak tahun 2005 pelan-pelan sepenuhnya damai.
Mengenai perempuan Aceh dapat diceritakan, bahwa sejak peperangan Kolonial
melawan Belanda. Perannya sampai saat sekarang sukar dinilai dan biasanya aktif
sekali. Perempuan Aceh, gagah berani, adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap
penjajahan kolonial (Belanda) yang tak ada taranya serta tak mengenal damai.
Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu tenaga
yang tak kenal maut dan biasanya (selalu) mengalahkan kaum lelakinya. Ia adalah
pengemban dendam yang membara yang sampai-sampai ke liang kubur dan dihadapan
mautpun masih berani meludah ke muka si “kaphe” (=kafir).
Di
masa lalu, rasanya tak ada seorang penulis roman manapun yang sanggup dan
berhasil mengungkapkan daya khayalnya yang segila-gilanya seperti yang telah
dibuktikan perempuan Aceh dalam kenyataannya.
Perempuan
adalah tiang Negara, seorang ibu adalah madrasah dimana seorang anak pertama
kali mengenal dunia dan membentuk pola pikir sang anak dalam memandang dunia.
Menghadapi tekanan global dan pengaruh media yang dikuasai Barat samapai
kapankah perempuan-perempuan Aceh dapat bertahan? Terus terang tidak ada yang
mampu menjawabnya karena proses pengikisan itu simultan terjadi, dan terus
berlanjut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan