Sejarah
Menurut
Dedi Arman, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, suku Melayu Rempang
terbentuk dari penyatuan suku Melayu dari Pulau Galang, Orang Darat, and Orang
Laut yang sebelum abad ke-19 telah mendiami Pulau Rempang.
Pada
abad ke-19, banyak laporan atau berkas yang menyatakan bahwa pejabat Belanda,
Elisa Netscher pernah mengunjungi Pulau Rempang sekitar tahun 1846. Saat itu
Pulau Rempang sudah dihuni oleh masyarakat Melayu Galang, Orang Darat, dan
Orang Laut.[3]
Jauh
sebelum abad ke-19, tepatnya tahun 1722 hingga 1818, pusat pemerintahan
Kesultanan Riau-Lingga berpindah dari Hulu Riau (Tanjungpinang) ke Pulau Bulang
yang terletak di antara Pulau Batam dan Rempang.
Dalam
kitab Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji yang ditulis dalam bahasa Melayu Riau
yang ditulis dalam aksara Jawi pada tahun 1885, yang pertama kali diterbitkan
pada tahun 1890, dan naskahnya juga diterbitkan pada tahun 1923 oleh Journal of
the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, London. Di dalam kitab
tersebut, dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang merupakan
keturunan prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang mendiami pulau-pulau tersebut
sejak tahun 1720, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah I.
Konon
pada masa Perang Riau I tahun 1782–1784 melawan Belanda, penduduk setempat
menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian pada
Perang Riau II tahun 1784–1787, mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat
Syah dan ikut berperang melawan Belanda.
Pada
tahun 1829, Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman memberikan kekuasaan kepada
Raja Isa atau lebih dikenal dengan Nong Isa untuk memimpin Nongsa yang meliputi
pulau Batam, Galang, Rempang, dan sekitarnya. Bahkan, tahun tersebut dijadikan
sebagai hari lahir Batam. Penyerahan kekuasaan ini sekaligus menjadi bukti
bahwa Pulau Batam dan sekitarnya sudah ramai dikunjungi penduduk pada tahun
1829.
Menurut
cerita rakyat setempat, pada tahun 1837, sebuah kapal Inggris dibajak di Pulau
Galang. Ternyata bajak laut tersebut (disebut lanun oleh masyarakat setempat)
adalah orang Melayu Galang yang saat itu juga tinggal di Pulau Rempang.
Pada
tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik di
Pulau Lingga. Saat itu, Pulau Rempang, Galang, dan Bulang digunakan sebagai
basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga yang dipimpin oleh Tengku Muda
Muhammad dan Panglima Raman.
Menurut
Dedi, masyarakat Melayu Rempang terbagi menjadi tiga kelompok masyarakat, yaitu
Orang Laut yang mendiami pesisir pantai dan tersebar di Pulau Batam, Rempang,
dan Galang, kemudian Orang Darat yang menghuni pedalaman Pulau Rempang (hanya
terdapat di Desa Sadap dan hanya tersisa beberapa keluarga saja) dan
masyarakatnya hidup nomaden, dan Melayu Galang yang merupakan penduduk asli
Pulau Galang dan sekitarnya.
Budaya
Masyarakat
Melayu Rempang mempunyai kebudayaan yang sama dengan masyarakat Melayu di Riau dan
Kepulauan Riau pada umumnya serta masyarakat Melayu di Semenanjung Melayu,
lebih tepatnya Johor. Mereka memiliki pepatah yang mengatakan "lebih baik
mati berdiri daripada hidup berlutut", yang artinya 'lebih baik mati
berjuang daripada hidup sebagai budak'. Pepatah inilah yang menginspirasi
mereka untuk terus melakukan perlawanan sejak zaman kolonial Belanda hingga
kini tanah leluhur mereka kembali terancam oleh pihak asing.
Mereka
telah lama dikenal sebagai pelaut terbaik yang pernah digunakan oleh Kesultanan
Riau-Lingga dan Kesultanan Johor sebagai pendayung kapal pemerintah atau
bekerja sebagai bajak laut untuk mengganggu perdagangan monopoli Eropa di Selat
Malaka dan sekitarnya. Mereka berlayar hingga ke Pulau Bangka bahkan sampai ke
pantai utara Jawa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan