Jumaat, 3 November 2023

Sejarah Penduduk Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Indoesia.

 Sejarah

Menurut Dedi Arman, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, suku Melayu Rempang terbentuk dari penyatuan suku Melayu dari Pulau Galang, Orang Darat, and Orang Laut yang sebelum abad ke-19 telah mendiami Pulau Rempang.


Pada abad ke-19, banyak laporan atau berkas yang menyatakan bahwa pejabat Belanda, Elisa Netscher pernah mengunjungi Pulau Rempang sekitar tahun 1846. Saat itu Pulau Rempang sudah dihuni oleh masyarakat Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut.[3]


Jauh sebelum abad ke-19, tepatnya tahun 1722 hingga 1818, pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga berpindah dari Hulu Riau (Tanjungpinang) ke Pulau Bulang yang terletak di antara Pulau Batam dan Rempang.


Dalam kitab Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji yang ditulis dalam bahasa Melayu Riau yang ditulis dalam aksara Jawi pada tahun 1885, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1890, dan naskahnya juga diterbitkan pada tahun 1923 oleh Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, London. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang merupakan keturunan prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.


Konon pada masa Perang Riau I tahun 1782–1784 melawan Belanda, penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian pada Perang Riau II tahun 1784–1787, mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah dan ikut berperang melawan Belanda.


Pada tahun 1829, Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman memberikan kekuasaan kepada Raja Isa atau lebih dikenal dengan Nong Isa untuk memimpin Nongsa yang meliputi pulau Batam, Galang, Rempang, dan sekitarnya. Bahkan, tahun tersebut dijadikan sebagai hari lahir Batam. Penyerahan kekuasaan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Pulau Batam dan sekitarnya sudah ramai dikunjungi penduduk pada tahun 1829.


Menurut cerita rakyat setempat, pada tahun 1837, sebuah kapal Inggris dibajak di Pulau Galang. Ternyata bajak laut tersebut (disebut lanun oleh masyarakat setempat) adalah orang Melayu Galang yang saat itu juga tinggal di Pulau Rempang.


Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik di Pulau Lingga. Saat itu, Pulau Rempang, Galang, dan Bulang digunakan sebagai basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga yang dipimpin oleh Tengku Muda Muhammad dan Panglima Raman.


Menurut Dedi, masyarakat Melayu Rempang terbagi menjadi tiga kelompok masyarakat, yaitu Orang Laut yang mendiami pesisir pantai dan tersebar di Pulau Batam, Rempang, dan Galang, kemudian Orang Darat yang menghuni pedalaman Pulau Rempang (hanya terdapat di Desa Sadap dan hanya tersisa beberapa keluarga saja) dan masyarakatnya hidup nomaden, dan Melayu Galang yang merupakan penduduk asli Pulau Galang dan sekitarnya.


Budaya

Masyarakat Melayu Rempang mempunyai kebudayaan yang sama dengan masyarakat Melayu di Riau dan Kepulauan Riau pada umumnya serta masyarakat Melayu di Semenanjung Melayu, lebih tepatnya Johor. Mereka memiliki pepatah yang mengatakan "lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut", yang artinya 'lebih baik mati berjuang daripada hidup sebagai budak'. Pepatah inilah yang menginspirasi mereka untuk terus melakukan perlawanan sejak zaman kolonial Belanda hingga kini tanah leluhur mereka kembali terancam oleh pihak asing.


Mereka telah lama dikenal sebagai pelaut terbaik yang pernah digunakan oleh Kesultanan Riau-Lingga dan Kesultanan Johor sebagai pendayung kapal pemerintah atau bekerja sebagai bajak laut untuk mengganggu perdagangan monopoli Eropa di Selat Malaka dan sekitarnya. Mereka berlayar hingga ke Pulau Bangka bahkan sampai ke pantai utara Jawa.

Tiada ulasan: