Potret
Orang Suku Laut di Kabupaten Bintan
Kategori
Orang Suku Laut
Bicara
tentang Orang Suku Laut tentunya harus memahami dulu definisi Suku Laut dan
yang membedakannya dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia. Suku Laut
yang dibahas dalam tulisan ini adalah suku bangsa yang bertempat tinggal
diperahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Riau dan Pantai Johor
Selatan. Dalam perkembangannya, Provinsi Riau mekar menjadi Provinsi Kepulauan
Riau. Orang Suku Laut yang dulunya hidup mengembara berubah menjadi hidup
menetap.
Orang
suku laut memiliki bermacam penamaan.Penamaan ini muncul dari para peneliti
ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di
Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama Orang Pesukuan, yaitu orang
yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau kelompok masyarakat ini
dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang abad 19 terbagi dua.
Mereka ada yang hidupnya di darat, teluk, muara sungai dan di laut.
Banyak
lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu pada tempat tinggal,
seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan), Orang Tambus (mendiami
Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor atau Mapur,
Bintan).Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang laut dinamai juga
beragam.Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers. Ada juga
ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of the sea. Meski beragam
sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan Riau, termasuk oleh orang
Riau daratan, nama Orang Suku Laut istilah paling populer.
Di
Kepri, istilah lain yang populer adalah Orang Mantang. Semua orang Suku Laut
disebut Orang Mantang. Padahal penamaan nama Suku Mantang terkait tempat
tinggal Orang Suku Laut di Pulau Mantang, Bintan. Sungguh pun nama ini
berhubungan dengan nama tempat, dikalangan Orang Melayu, nama ini masih
mengandung arti peyoratif, sama dengan istilah Orang Laut. Ada juga istilah
Orang Barok, itu mengacu pada Orang Suku Laut yang ada di Pulau Lipan dan
Sungai Buluh, Kabupaten Lingga. Kata Barok diambil dari nama sebatang pohon, yakni
bebarok. Pohon ini ada dipemukiman penduduk Orang Suku Laut yang ada di Pulau
Lipan, Lingga.
Istilah
Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku
Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan
kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka
ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun telah dimukimkan oleh
pemerintah Orde Baru pada periode pembangunan daerah tertinggal di akhir
1980-an. Bagi Orang Laut sendiri, mereka memandang kelompoknya sebagai orang
Melayu asli dan menyebut orang Melayu sebagai kaum Melayu dagang karena posisi
aristokratik mereka di masa lalu.
Di
wilayah laut lain, seperti Sulawesi, kelompok yang masuk kategori orang laut
juga dikenal dengan berbagai nama. Seperti Bajau atau Bajo, Sama, Samal dan
Samal Laut. Disamping itu ada nama suku bangsa Talaud, Tondano, Tolour,
Maranao, Ilanun atau Iranun. Artinya kurang lebih sama dengan suku laut. Mereka
orang laut atau orang air, meski cara hidup mereka sudah menetap, bermukim
dalam rumah dan tidak dalam perahu. Selain itu, ada yang disebut Suku Urak
Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat Daya),
Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies
(Filipina Selatan).
Sejarah
Orang Suku Laut
Ahmad
Dahlan dalam bukunya Sejarah Melayu menyebut Orang Suku Laut masuk kelompok Ras
Melayu Tua atau Proto Melayu. Masuk dan menyebar di Pulau Sumatra, melalui
Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian
atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia
Tenggara yang membuat bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir
daratan) di Pulau Sumatra.
Asal-usul
kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun
2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke
Sumatra melalui Semenanjung Malaka.Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi
bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke
wilayah pantai (daratan pesisir).Kelompok yang terdesak inilah yang kini
dikenal sebagai Orang Suku Laut (Departemen Sosial, 1988).
Orang
Suku Laut secara de facto adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah
mayoritas masyarakat Melayu.Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi
Kepulauan Riau. Sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi
ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan
Malaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—1942), Jepang (1942—1945), dan
Republik Indonesia (1949 sampai sekarang.
Banyak
sekali versi mengenai sejarah asal muasal orang Laut.Mulai dari pendapat
peneliti asing dan Indonesia, juga berasal dari cerita rakyat yang berkembang
di Kepri.BM Syamsuddin (1996) menulis berdasarkan cerita rakyat, asal muasal
orang laut berasal dari garam yang diberikan Raja Johor kepada seorang nenek
sakti. Garam inilah berkat kuasa Allah kemudian menjelma menjadi Orang Enam
Suku. Mereka berada dibawah kekuasaan Orang Kaya Cening di Daik.
Vivienne
Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan raja-raja Melayu.Ini
berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus Salatin.Seseorang yang disebut
Raja Chulan turun ke dalam laut dan kawin dengan putri laut.Kalau putri laut
simbolis dari orang laut, maka Sri Tri Buana dan saudaranya adalah anak dari
ayah dan ibu yang berasal dari orang laut.Argumen menarik lainnya adalah orang
laut di Kepri diduga kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu
keturunan bangsa Melayu tua.
Ketika
tanah Melayu diperintah oleh Kesultanan Riau-Lingga sekitar abad ke-18, Orang
Suku Laut dilukiskan sebagai sekumpulan kelompok sukubangsa atau klan yang
dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka. Masing-masing klan ini terdiri
dari berbagai nama, seperti Suku Tambus, Suku Galang, Suku Mantang, Suku Barok,
dan Suku Mapor. Para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan”
yang mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan,
berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain
suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk
ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya.
Orang
laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak Sriwijaya berkuasa hingga Kesultanan
Riau-Johor.Loyalitas orang laut terhadap sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires,
loyalitas orang laut yang disebutnya orang selat telah dimulai sejak di
Palembang. Orang laut membantu sultan saat mendirikan Kesultanan
Melaka.Beberapa suku orang laut jadi tentara raja. Orang Mepar, Galang, Gelam,
Sekanak, Sugi, Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung armada sultan dari suku
Ladi, Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi.Orang Mantang sebagai pembuat
senjata dari besi.Suku Mepar tugasnya mengangkut duta atau utusan dari luar
negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi, Terong dan Kasu menyuplai
agar-agar dan sangu (semacam rumput laut). Pemimpin suku Mepar di Lingga
tugasnya mengatur suku-suku yang mengembara di Perairan Lingga.
Orang
laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Malaka 1511, orang laut menjemput
sultan di Bintan dan membawanya untuk mengungsi.Peranan orang laut dalam
Sejarah Johor menonjol saaat terjadi krisis kerajaan 1688.Orang laut setia pada
sultan yang usianya masih muda dan memihak pada sultan saat terjadi konflik
dalam istana kerajaan.Orang laut juga setia pada Raja Kecik saat berkonflik
dengan Raja Johor yang dapat bantuan dari Orang Bugis.Saat Raja Kecik kalah dan
lari ke Siak, peranan orang laut dalam Kesultanan Johor semakin kecil dan
hilang.Orang Bugis berkuasa untuk menjabat posisi sentral dalam istana.
Kekalahan
Raja Kecil ikut berpengaruh pada posisi Suku Laut. Mereka dianggap sebagai
pengganggu di Selat Malaka dan jalur laut tradisional. Bahkan dalam perjanjian
persahabatan antara Belanda dan Johor, Suku Laut disebut sebagai pengganggu
(perampok) jalur perdagangan Selat Malaka. Ruang gerak Suku Laut yang dibatasi
dan diawasi membuat mereka menyingkir ke pulau-pulau terpencil yang tidak mudah
dijangkau oleh pengawasan Kerajaan Johor dan Belanda. Posisi Suku Laut semakin
terpinggirkan setelah perjanjian Inggris dan Belanda (Traktat London) yang
membagi-bagi wilayah jajahan di wilayah Selat Malaka. Orang Suku Laut semakin
membatasi interaksi mereka dengan negara dan masyarakat lain. Mereka mengembara
di perairan dari satu lokasi ke lokasi lain, dimana mereka dapat memperoleh
hasil laut yang mudah dan aman.
Persebaran
di Kepri
Di
Kepulauan Riau, Orang Suku Laut tersebar hampir disemua Kabupaten/Kota.
Terbanyak di Kabupaten Lingga, Batam, Bintan dan sebagian kecil di Anambas dan
Natuna, serta Karimun. Cynthia Chou mencatat Orang Laut di Kepri ada 40
kelompok. Yakni: (1) Orang PulauToi, (2) Orang Tanjung Sekuang, (3) Orang Pulau
Buton, (4) Orang Mapur, (5) Orang Berakit, (6) Orang Panglung, (7) Orang
Tanjung Sengkuang, (8) Orang Air Kelubi,(9) Orang Pulau Malem, (10) Orang
DapurArang, (11) Orang Pulau Bertam, (12) Orang Pulau Padi, (13) Orang Pulau
Boyan, (14) Orang Neinang, (15) Orang Kentar,(16) Orang Kojong, (17) Orang
Pulau Buluh, (18) Orang Mensemut, (19) Orang Sungai Liang, (20)Orang Pulau
Hantu, (21) Orang Air Kelat, (22) Orang Pongok, (23) Orang Kongki, (24) Orang
Linau, (25) Orang Air Batu, (26) Orang Mamut, (27) Orang PulauMedang, (28)
Orang Limas, (29) Orang Pancur, (30) Orang Tembuk, (31) Orang Kelumu, (32)
Orang Mentuda, (33) Orang Penuba,(34) Orang Sungai Buluh, (35) Orang
Tanjungdatu, (36) Orang Sebele, (37) Orang Mantang, (38) Orang Teluk Kampa,
(39) Orang Baturusa, (40) Orang Pulau Mepar.
Ada
lagi pendapat Sembiring (1993), Di Kabupaten Kepri yang kemudian mekar menjadi
Kabupaten Bintan dan Lingga ada 34 kelompok Orang Suku Laut. Di Kecamatan
Bintan Timur ada Orang Kelong, Orang Pulau Toi, Orang Tanjung Sengkuang, Orang
Pulau Buton, Mapur dan Berakit. Di Senayang ada Orang Kentar, Kojong, Pulau
Buluh, Mensemut, Sungai Liang, Pulau Hantu, Air Kelat, Pongok, Kongki, Linau,
Air Batu, Mamut, Pulau Medang dan Limas. Di Kecamatan Lingga ada Orang Kelumu,
Tembuk, Pancur, dan Penuba. Di Kecamatan Singkep ada Orang Sungai Buluh. Di
Kundur, Karimun ada OrangTanjung Batu dan Sebele. Di Kecamatan Galang ada Orang
Teluk Sembur, Teluk Nipah, Pulau Nanga, Karas, Rempang dan Sembulang. Di Kota
Batam ada delapan kelompok. Ada Orang Pulau Kubung, Orang Pulau Todak, Orang
Pulau Malang, Orang Pulau Boyan, Orang Pulau Padi, Orang Pulau Kasu, Pulau
Terong dan Orang Bertam.
Biasanya
kelompok Orang Suku Laut dapat dibagi lagi berdasarkan kerabat, termasuk suku
bangsa dan klen, yang masing-masing mengambil tempat untuk nama sendiri. Mereka
memakai istilah “Orang Kami” untuk menyebut golongan kerabatnya, seperti Orang
Kami Orang Tambus, Orang Kami Orang Mantang. Dikenal pula kerabat Orang Laut Pengembara,
seperti Orang Buru, Orang Pesukuan, Orang Sekanak, Orang Posek dan Suku Nan.
Jumlah
orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar.Data tahun 1972 dari Jawatan Sosial
Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau (dimekarkan menjadi Kepri), 5205
orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai
4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang Hutan 2938 orang, Suku Bonai
1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di
Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih
mengembara di laut.Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah.Sebut
saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru
di Kabupaten Lingga.Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di Batam, orang
laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.
Tahun
1993, Orang Laut di Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum dimekarkan) berjumlah 626
rumah tangga dengan jumlah atau 2.710 orang.Tersebar di 24 permukiman di darat,
19 desa dan 9 kecamatan. Sejak tahun 1982 pemerintah, melalui Departemen Sosial
membuat pemukiman untuk Orang Laut. Sebanyak 840 orang dari 209 KK
dimukimkan.Tersebar di lima lokasi. Yakni, Desa Seibuluh (Kecamatan Singkep),
Desa Penuba (Kecamatan Lingga), Desa Karas (Kecamatan Galang), dan Kelong (Air
Kelubi) yang berada di Bintan Timur. Selain dimukimkan, masih ada sebanyak
1.870 orang atau 417 rumah tangga yang hidup di laut.
Kondisi
Orang Suku Laut di Kepri saat ini nyaris tak ada data validnya. Tak percaya,
datang saja ke Dinas Sosial Provinsi Kepri, Badan Pusat Statistik Kepri atau
pun lembaga lain. Dipastikan tak ada data yang valid. Berapa jumlahnya, dimana
persebarannya? berapa jumlah yang sudah menetap dan yang masih mengembara?
berapa yang beragam Islam, Kristen atau masih belum memiliki agama? bagaimana
kondisi pendidikan orang laut, bagaimana kondisi perumahan, kesehatan, serta
kondisi sosial ekonomi lainnya. Banyak pertanyaan yang bisa diajukan terkait
eksistensi.
Di
Kabupaten Bintan saat ini, Orang Suku Laut ada di Pulau Air Kelubi, Desa
Berakit, Kawal Pantai (Kelurahan Kawal), Pulau Mapur, Kelong, Pulau Toi dan
sebagian kecil ada di Pulau Mantang. Ada juga sebagian kecil lagi di Kecamatan
Tambelan. Sementara di Batam, Orang Suku Laut ada di Pulau Air Mas, Ngenang,
Kubung, Bertam, Tanjung Ngundap, Pulau Gara, Teluk Nipah dan Rempang Cate.
Sementara di Anambas, Orang Suku Laut mendiami Pulau Mengkait. Orang Suku Laut
juga ada di Desa Air Sena.
Sejarah
dan Persebaran Orang Suku Laut di Bintan
Dari
Bintan Awalnya Bermula
Bintan
adalah Kabupaten Kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil,
sehingga kabupaten ini dijuluki dengan kabupaten segantang lada. Kabupaten
Bintan memiliki luas wilayah 87.777,84 km2 atau 1,49% adalah daratan dan 98,51%
adalah lautan (perairan), dengan jumlah penduduk sebanyak 149.120 jiwa.
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Bintan adalah bermata pencarian sebagai
nelayan tradisional.
Kabupaten
Bintan berada di Pulau Bintan yang penuh sejarah. Nama Bentan atau Bintan
memiliki banyak arti. Ada yang menyebut Bintan berasal dari kata
pembantaian.Ada juga yang menyebut Berintan untuk menyebut pedagang yang
terdampar di sana. Ada juga yang menyebut Bintan artinya kurang air. Pendapat
lain kata Bintan disebabkan di pulau ini ada Gunung Bintan.
Kerajaan
Bentan menjadi cikal bakal Kemaharajaan Melayu yang nantinya diteruskan
berlanjut pada Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang. Pusat kerajaannya di Bukit
Batu dan rajanya bernama Azhar Aya. Setelah ia mangkat, kekuasannya dilanjutkan
anaknya, Iskandar Syah. Kerajaan Bentan menguasai wilayah Kepri sekarang,
termasuk pulau-pulau, termasuk Tumasek atau Singapura.
Usai
tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan amir-amirnya sebagai Districh
Thoarden untuk daerah yang besar dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang
agak kecil. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga
dengan Indragiri untuk dijadikan sebuah keresidenan yang dibagi menjadi dua
Afdelling yaitu :
1.
Afdelling Tanjungpinang yang meliputi Kepulauan Riau–Lingga, Indragiri Hilir
dan Kateman yang berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa ditunjuk
seorang Residen.
2.
Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh Asisten
Residen (dibawah) perintah Residen. Pada 1940 Keresidenan ini dijadikan Residente
Riau dengan dicantumkan Afdelling Bengkalis (Sumatera Timur) dan sebelum tahun
1945–1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda tanggal 17 Juli
1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau).
Berdasarkan
surat Keputusan de-legasi Republik Indonesia, Provinsi Su-matera Tengah tanggal
18 Mei 1950 No.9/ Deprt. menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia dan
Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh
Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai berikut:
1.
Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah kecamatan Bintan Selatan (termasuk
kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur
sekarang).
2.
Kewedanan Karimun meliputi wila-yah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.
3.
Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
4.
Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai,
Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Merujuk
Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mem-pedomani Instruksi Gubernur Riau
tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/1964 dan Instruksi No. 16/V/1964 dan Surat
Keputusan Gubernur Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/ 247/5/1965, tanggal 15
Nopember 1965 No. UP/256 /5/1965 menetapkan terhitung mulai 1 Januari 1966
semua daerah Administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau di
hapuskan.
Pada
tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah
dibentuk Kota Administratif Tan-jungpinang yang membawahi 2 (dua) kecamatan
yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada
tahun yang sama sesuai dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula
dibentuk Kotamadya Batam. Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka
Batam tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Riau.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 53 tahun 1999 dan UU No. 13 tahun 2000, Kabupaten Kepulauan
Riau dimekarkan menjadi 3 kabupaten yang terdiri dari : Kabupaten Kepulauan
Riau, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna. Melalui Undang-Undang No. 5 tahun
2001, Kota Administratif Tanjungpinang berubah menjadi Kota Tanjungpinang.
Berdasarkan PP No. 5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan
Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.
Batin
Lagoi dan Cerita Rakyat Orang Laut
Asal
mula persukuan Suku Laut di Bintan tergambar dalam cerita rakyat Putri Pandan
Berduri. Cerita rakyat ini telah dibukukan berjudul Putri Pandan Berduri, Asal
Mula Persukuan di Pulau Bintan.
Berikut
kisah dalam cerita rakyat tersebut:
Alkisah
pada zaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang orang Suku Laut
yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan seorang yang
santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut terhadap siapa
saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin mereka itu.
Guna
mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling. Pada suatu
hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh ditumbuhi
semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara tangisan bayi.
“Anak
siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?” pikirnya heran sambil
memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi meneruskan langkahnya.
Baru
beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi yang kini
semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak jua
melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara
tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak
semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin
Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan di atas
dedaunan yang kini berada di depannya.
Rasa
heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya
disini ?’, gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak
ada orang di sekitar situ, Batin Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi
perempuan yang cantik itu. Sang bayipun berhenti menangis ketika Batin Lagoi
menggendongnya.
Batin
Lagoi merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak anaknya sendiri.
Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya. Bayi perempuan
yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa kebahagiaan bagi
Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.
Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh menjadi
seorang gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan, Putri
Pandan Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya
seorang putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut
mencintainya.
Banyak
pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski demikian tak
seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar putrinya itu
berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah. Tersebutlah
seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang putera bernama Julela
dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup rukun. Kerukunan itu
sirna ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak tertua, Julela akan
menggantikan dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak. Sejak itu, Julela
berubah perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang Perkasa agar selalu
mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang
Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk
meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa mengetahui arah
tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah mengaku sebagai
anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai pedagang seperti
orang kebanyakan.
Sebagai
seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri. Sikapnya yang sopan
dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap orang. Mereka tak habis
pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat seperti itu. Akibatnya
Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.
Cerita
tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran
untuk mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi
menyelenggarakan acara makan malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di
Pulau Bintan. Ia juga mengundang Jenang Perkasa dalam acara itu.
Jenang
Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin Lagoi, datang
memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa memperhatikan
gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan sampai caranya
bersantap diamati Batin Lagoi diam diam. Tak dapat dipungkiri, Batin Lagoi
sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan
Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan
keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon
pemimpin.
Tak
mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang Perkasa. ‘Wahai
anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi pekertimu..’, katanya
membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum sopan mendengar kata kata
pemimpin Pulau Bintan itu.
“Malam
ini aku telah membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin Lagoi sambil menatap
Jenang Perkasa yang menunduk malu mendengar pujian Batin Lagoi.
“Aku
pikir, alangkah senangnya hatiku jika kau bersedia kunikahkan dengan
putriku..’.
Jenang
Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap
lengannya untuk memastikan dirinya tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak
menyangka ayah seorang perempuan cantik bernama Putri Pandan Berduri meminta
kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu. Jenang Perkasa tentu saja tak mau
membuang kesempatan emas itu. Ia segera mengangguk setuju sambil tersenyum
memandang Batin Lagoi.
Beberapa
hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan Jenang
Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata wayangnya
itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan merasa
senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa yang
terlihat sangat serasi.
Putri
Pandan Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama kemudian,
Batin Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk menggantikan
dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang memang anak
seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya. Ia mampu
menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya. Ia juga menolak
untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita tentang dirinya
memintanya untuk menggantikan kakaknya.
Pernikahan
Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang anak yang
diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku di utara
Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan Kelong
menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka yaitu
Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan Berduri
dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku Laut di
perairan Pulau Bintan.
Populasi
dan Persebaran
Tahun
1993, Orang Suku Laut tersebar di dua kecamatan.Yakni, Kecamatan Bintan Timur
dan Bintan Utara. Di Bintan Utara lokasinya di Pulau Mapur dan
Berakit.Sedangkan di Bintan Timur ada di empat pulau.Yaitu, Air Kelubi, Pulau
Toi, Pulau Tanjung Sengkuang dan Pulau Malen. Tahun 2017, Orang Laut di Bintan
persebarannya tak jauh berubah. Orang laut ada di Berakit (Kecamatan Teluk
Sebong), Air Kelubi (Kecamatan Bintan Pesisir), Numbing (Bintan Pesisir), Kawal
Pantai (Gunung Kijang) dan Mapur (Teluk Sebong). Di Kampung Panglong, Berakit
ada 75 KK Orang Laut. Di Air Kelubi ada 40 KK, di Kawal ada belasan
KK.Sementara Mapur ada beberapa KK.
Kondisi
perkampungan Suku Laut di Bintan berbeda. Karakter penduduknya tak sama. Begitu
juga soal kepercayaan, tingkat keterbukaan pada orang lain yang datang. Berikut
profil kampung Suku Laut di Bintan.
a.
Kampung Panglong, Desa Berakit
Kampung
Panglong, Desa Berakit yang bisa diakses lewat jalur darat. Letaknya diujung
Pulau Bintan. Di kampung ini sekitar 75 kepala keluarga (KK) penduduknya orang
Suku Laut. Mayoritas beragama Katolik, meski ada juga yang beragama Islam.
Banyak juga orang Suku Laut yang kawin mawin dengan orang Flores. Asal usul
Orang Laut Berakit ini dari Pulau Kubung, Batam.
Pada
awalnya hanya satu kepala keluarga (KK) Suku Laut yang tinggal di Kampung
Panglong ini tahun 1962. Namanya Bone Pasius atau lebih dikenal dengan nama Pak
Boncit.Disusul generasi kedua Suku Laut pada tahun 1965 bertambah menjadi tiga
kepala keluarga yang berasal dari Perairan Kelong dan Perairan Numbing. Yakni,
keluarga Mat, keluarga Dolah dan Keluarga Jantan. Dasar pertimbangan suku laut
untuk menetap diri untuk berdomisili di Kampung Panglong karena Desa Berakit
memiliki kekayaan terumbu karang sebagai tempat berkembang biaknya aneka ragam
hayati ikan bila dibandingkan dengan wilayah perairan yang lain.
Usai
Boncet meninggal, ketua Suku Laut Kampung Panglong Berakit dipegang anaknya
bernama Tintin. Ia belum menikah, pendidikannya pun maju karena sempat kuliah
di Singapura. Sehari-hari Tintin yang masih lajang ini mengajar Bahasa Inggris
bagi anak-anak Suku Laut Panglong. Ada juga warga Tianghoa yang ikut belajar
pada dirinya.
Ia
lahir sudah di darat, namun juga belajar budaya Orang Laut. Kakak Tintin yang
bernama Meri lebih paham soal kebudayaan Orang Laut Berakit. Menurut Meri yang
bersuamikan Lago, pria Suku Laut asal Pulau Air Mas, Batam, tak ada lagi Orang
Suku Laut Kampung Panglong yang mengembara. Semuanya kini sudah tinggal di
darat dan memiliki rumah.
Lago,
suami Meri memiliki orang tua dan saudara-saudara yang tinggal di Pulau Air
Mas, Ngenang. Tak hanya dirinya, rata-rata orang Air Mas juga memiliki saudara
di Desa Berakit, Bintan. Menurut Lago, Orang Panglong Berakit rata-rata asalnya
dari Pulau Kubung yang dekat dengan Air Mas. Selebihnya dari wilayah Bintan
lain.
Kehidupan
warga Suku Laut Panglong sangat tergantung hasil tangkapan hasil laut. Tahun
2000 mulai terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan yang cukup drastis.Hasil
tangkapan suku laut di Kampung Panglong Desa Berakit yang masih mengandalkan
teknologi sangat sederhana. Dulunya mampu menghasilkan tangkapan ikan pada
kisaran 60-70 kg namun pasca terjadi kerusakan terumbu, karang hasil tangkapan
ikan orang suku laut kurang lebih hanya pada angka 10-20 kg.
Kondisi
surutnya perekonomian suku laut ini terus berjalan sampai tahun 2005, karena
pada tahun yang sama terjadi perubahan kebijakan dari Pemerintah yang berkenaan
larangan keras penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, bom atau alat
tangkap lain yang tidak ramah lingkungan. Proses pemulihan kembali ekosistem
terumbu karang membutuhkan waktu yang panjang terbukti sampai saat ini
rata-rata penghasilan masyarakat suku laut tidak beranjak berkisar antara Rp
60.000 sampai Rp 90.000 per hari.
Pemkab
Bintan melalui dana APBD Kabupaten Bintan pada tahun 2010 telah mengalokasikan
anggaran sebesar Rp.1.300.000.000 (satu milyar tiga ratus ribu rupiah) guna
merealisasikan program rumah tak layak huni (RTLH). Dana ini diperuntukkan
secara khusus bagi masyarakat Suku Laut di Kampung Panglong, Desa Berakit.
Rehab rumah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan perumahan dan
permukiman masyarakat yang layak bagi masyarakat yang berpengasilan rendah
(MBR).
Secara
sosial dan berdasarkan kondisi eksisting permukiman masyarakat suku laut
Kampung Panglong Desa Berakit dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) tipologi
yaitu tipologi 1 (satu) rumah perahu suku laut mengelompok diperairan.
Pengelompokan ini terjadi secara alami mengingat rumah perahu lainnya merupakan
kaum kerabat atau memiliki hubungan keluarga misalnya rumah hu ayah, rumah
perahu anak dan rumah perahu keluarga masing-masing merapat dalam satu kelompok
rumah perahu perairan.
Tipologi
2 (dua) adalah massa bangunan rumah tinggal yang “menempel” pada pulau-pulau
kecil yang tidak ada fasilitas di dalamnya. Mayoritas orientasi rumah tinggal
tersebut mengarah ke laut dan membelakangi pulau tersebut.Bagian tengah pulau
tersebut belum dimanfaatkan untuk bangunan atau fasilitas umum lainnya. Tata
massa bangunan yang “menempel” pada pulau-pulau yang masih utuh dan hanya
ditumbuhi pepohonan. Orientasi rumah tinggal kearah luar, dan mengikuti
sepanjang garis pantai pulau tersebut.Sebagian sudah ada koneksi antar rumah
berupa pelantar penghubung sebagai akses ke luar dan ke dalam lingkungan
permukiman dimaksud.
Tipe
1, jenis perletakan rumah perahu suku laut merupakan yang menetap di
perairan-perairan tertentu dimana mereka berkelam atau berlabuh.Mereka
beraktivitas diatas perahu yang beratapkan kajang, yaitu daun pandan berduri
yang dianyam dibuat atap berguna untuk melindungi keluarga dari panasnya
matahari dan hujan serta embun malam. Masyarakat asli suku laut selalu
menginginkan untuk berada dekat dengan air sehingga type ini sangat sesuai
dengan tata cara hidup mereka.
Tipe
2,.jenis tata massa bangunan rumah tinggal yang menempel di pulau-pulau kecil
di sepanjang garis pantai pulau tersebut. Tipe ini keberadaan bangunannya
menempel pada akses utama (tidak ada jarak) sehingga tidak memerlukan tiang
tambahan untuk pelantar penghubung.Namun jika ada pengembangan bangunan atau
penambahan rumah biasanya dibangun menjorok ke laut dan memerlukan tiang-tiang
tambahan untuk pelantar penghubung sebagai akses ke keluar masuk lokasi
perumahan.
b.Kampung
Kawal Pantai
Berbeda
dengan Kampung Panglong yang warganya cukup ramai, Orang Laut di Kawal Pantai,
Kecamatan Gunung Kijang, Bintan hanya belasan KK. Meski kampungnya berstatus
kelurahan, tapi belum ada akses jalan daratau jembatan menuju ke perkampungan
mereka. Lokasi kampung Suku Laut Kawal Pantai terbilang dekat dan bisa terlihat
dari jalan raya Kawal-Trikora.
Mayoritas
Orang Laut yang berdiam di Kawal Pantai beragama Islam. Ada dua orang beragama
Kristen. Kondisi perumahan warga berbeda dengan Kampung Panglong. Masing-masing
rumah terpisah. Tak ada pelantar atau jembatan yang menghubungkan rumah yang
satu ke rumah yang lain. Untuk pergi ke rumah tetangga, terpaksa naik sampan
atau pompong.
Menurut
Nasir (34), kampung Kawal Pantai ini belum setua Kampug Panglong di Berakit. Antara
Orang Laut Kawal Pantai dan Kampungh Panglong banyak yang statusnya masih
bersaudara dan semuanya saling kenal. Warga Kawal Pantai ada yang datang dari
Kubung (Batam), Berakit dan ada juga yang datang dari Air Mas dan Air Kelubi,
Bintan.
Mertua
Nasir bernama Embek (60) berasal dari Pulau Kubung. Ia sudah pindah-pindah dari
Kubung ke Kelong, Berakit dan baru pindah ke Kawal Pantai. Perpindahan itu,
katanya ingin meningkatkan kehidupan lebih baik. Ia menyebut perpindahan itu
sama halnya merantau bagi suku bangsa lain. Bedanya Orang Suku Laut Kawal
Pantai pindah tapi tetap hidup sebagai nelayan. Ia termasuk kelompok pertama
yang berdiam di Kawal Pantai bersama empat kepala keluarga lainnya.
Di
Kawal Pantai ini, Orang Suku Laut-nya tak ada ketua suku. Warganya jarang
sekali kumpul bersama kecuali kalau ada kegiatan, seperti adanya kunjungan dari
pejabat pemerintah atau pun orang politik. Selain itu tak ada lagi warganya
yang mengembara atau mencari ikan berkelam berhari-hari di laut. Orang Suku
Laut Kawal Pantai sudah seperti nelayan biasa. Pagi hari pergi ke laut. Siang
atau sore hari balik membawa hasil tangkapan hasil laut.
c.
Air Kelubi
Desa
Air Kelubi, Kecamatan Bintan Pesisir, masih bagian Pulau Bintan. Di sini
bermukim 40 KK Suku Laut Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Desa yang
terletak di gugusan Pulau Buton ini merupakan salah satu pemukiman Suku Laut di
Kabupaten Bintan. Selama berabad-abad mereka hidup berpindah-pindah di lautan
lepas di atas perahu yang mereka sebut kajang sepanjang 4 meter dan lebar 2
meter.
Oleh
Pemerintah Kabupaten Bintan yang dulu masih bernama Kabupaten Kepulauan Riau,
Provinsi Riau pada awal tahun 1990-an suku laut ini dibuatkan rumah panggung
agar mereka pindah ke darat. Program pemindahan ke darat ini baru berhasil
efektif sekitar awal 2000-an. Namun masih ada diantara mereka yang memilih
tinggal di laut.
Untuk
mencapai desa ini perlu waktu yang cukup lama. Itu pun tergantung kondisi cuaca
dan air laut. Jika cuaca lagi baik dan air laut pasang (naik, pen) tinggi, untuk
mencapai Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau, menghabiskan waktu
sekitar 6 jam. Dan untuk menuju kota terdekat, yakni Kijang, ibukota Kecamatan
Bintan Timur dibutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 jam. Sebaliknya jika angin
bertiup kencang, penduduk di desa ini lebih memilih tidak berpergian karena
ombaknya sering tidak bersahabat.
Kehidupan
Orang Suku Laut Bintan
Kehidupan
Orang Laut
Menurut
Cynthia Chou, Orang Laut di Kepri, termasuk di Bintan memiliki tiga pola
aktivitas kehidupan yang ada relasinya dengan permukiman mereka. Pertama,
mereka mencari ikan di dekat kampung. Kedua, mereka melakukan perjalanan
berhari-hari ke lokasiyang agak jauh dari kampungnya. Tiga, mereka berkelana ke
tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan
sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir
tidak ada lagi Orang Laut di Bintan yang melakukan.Mereka rata-rata bekerja
sebagai nelayan yang daerah tangkapannya tak di sekitar Perairan Bintan.
Tidak
ada aturan tertulis dikalangan Orang Laut mengenai wilayah tangkapan ikan
walaupun mereka memiliki‘etika’ menangkap ikan yang harus ditaati
bersama.Aturan melaut di kalangan Orang Laut bisa berbeda satu dengan lainnya
tergantung denganwilayah tempat di mana mereka tinggal.
Organisasi
sosial Orang Laut memiliki ciri khas: satu rumah adalah juga satu keluarga
batih ( nuclear family), dan rumahtangga ini berada dalam lingkup satu sampan.
Artinya, sampan adalah rumah sekaligus basis fundamental sosial dan kebudayaan
mereka.Selain itu, sampan merepresentasikan hubungan sosial mereka yang
berkenaan dengan aktivitas ekonomi dan kosmologi kelautannya.
Sampan
ialah satu elemen budaya material terpenting Orang Laut dalam mendukung
aktivitas pengembaraan dan ekonomi mereka.Sampan merupakan alat transportasi
yang membawa mereka menjelajahi berbagai pulau—sebagaitempat memproduksi
sesuatu (misalnya peralatan menangkap dan menombakikan), memeroleh air bersih,
dan pulau ialah rumah tempat berlabuh.
Ketika
musim angin Utara tiba di mana angin berhembus kencangdari Laut Cina Selatan
dan ombak begitu kuat di laut, Orang Laut akan berlabuh di darat dalam waktu
kurang lebih tiga bulan. Dalam masa ini, mereka memanfaatkannya untuk mencari
kayu resak, seraya, kapus (kamper), atau merantiuntuk membuat atau memperbaiki
sampan.Sampan yang dipakai selama tigasampai empat bulan terus-menerus perlu
dinaikkan ke darat untuk dijemur danditambal pada bagian yang bocor. Ukuran
kayu yang mereka ambil kira-kira berdiameter tiga pemeluk (sekitar 1,5 m – 2
m). Kayu ini bermanfaat untuk sampan jongkong atau sampan kolek yang panjangnya
18 – 24 kaki atau sekitar 7,5 m,dengan lebar kurang lebih satu depa (1,8 m).
Sampan
kolek berukuran lebih kecil dari sampan jongkong, dan dibuat tanpa atap untuk
digunakan dalam perairan melintasi hutan bakau. Sampan-sampan tersebut dibuat
dengan cara mengeruk bagian tengah kayu.Sebelumnya, kulit kayu dikupas terlebih
dulu dan salah satu sisi kayu ditatah hingga rata. Pada bagian dalam dibentuk
sesuai dengan ukuran yang dikehen-daki.Tahap berikutnya ialah membentuk bagian
haluan, lambung, dan buritan.Penyelesaian dari seluruh pekerjaan membuat sampan
ialah pembuatan dayung dan pemasangan atap kajang agar sampan siap dipakai
melaut kala musimangin Utara telah bergeser ke musim angin Timur.
Sampan
dilengkapi dengan lantai dan tempat memasak. Di bagian dalam sampan, lantai
dibuat bertingkatdua: lantai bawah atau bagian cekung difungsikan sebagai
tempat barang danperbekalan, sedang lantai atas atau permukaan yang datar ialah
ruang di manakeluarga batih berkumpul, makan, dan tidur. Tempat memasak
disediakan dibagian dekat buritan sampan yang dibuat dengan menambah lantai
khusus,yang diberi tanah liat yang diratakan dan di atasnya disusun batu untuk
tungku.
Daur
Hidup
Upacara
tradisional yang berkaitan dengan lingkaran hidup (daur hidup) dikalangan Orang
Suku Laut terbagi dua, yakni masa lampau dan kondisi sekarang ini. Pada masa
lampau, Orang Suku Laut memiliki kepercayaan pada roh-roh nenek moyang. Setelah
memeluk agama tertentu, upacara yang berkaitan dengan daur hidup dilaksanakan
sesuai agama yang dianut, meskipun pelaksanaannya secara sederhana saja.
Diantara upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup, ada tiga proses
secara umum, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kelahiran
Proses
kelahiran Orang Laut dulunya di dalam sampan. Biasanya bidan yang membantu
proses membantu persalinan sudah diminta keluarga untuk ikut mendampingi calon
ibu. Bidan itu Orang Suku Laut. Meski disebut bidan, orang ini adalah semacam
dukun beranak. Ia ikut naik sampan setelah melihat tanda-tanda waktu melahirkan
sang ibu sudah dekat. Bidan beranak itu ikut ibu hamil hingga proses
melahirkan. Semua biaya bidan beranak itu, termasuk makan, minum dan rokok
ditanggung keluarga ibu yang melahirkan. Proses melahirkan di bagian tengah
sampan. Bagian depan dan belakang ditutup kain.
Pada
Orang Suku Laut yang sudah menetap di darat dan sudah memeluk agama Islam atau
Kristen, prosesi upacara kelahiran sesuai ajaran agama masing-masing. Orang
yang membantu proses melahirkan tetap saja dukun beranak yang kadang disebut
juga bidan beranak. Prosesi kelahiran sescara Islam tetap saja persalinan
dibantu dukun beranak. Meskipun telah ada ibu yang proses persalinannya dibantu
bidan desa dari puskesmas.
Di
Kawal Pantai, Air Kelubi dan kampung Suku Laut lainnya yang warganya beragama
Islam, upacara kelahiran tak jauh beda dengan Orang Melayu. Proses persalinan
dilakukan di rumah. Begitu anak lahir, si anak dibersihkan. Bapak si anak
membacakan azan atau iqamad sesuai jenis kelamin anak. Sedangkan si ibu
dbersihkan dan ditidurkan pada tempat yang telah disediakan. Ibu itu diminta
meminum obatan tradisional yang membantu dalam proses pemulihan usai
melahirkan. Usai proses melahirkan, keluarga menggelar syukuran secara
sederhana. Dibuat acara selamatan sederhana dan disediakan minuman air putih.
Pihak keluarga mengucapkan terima kasih pada dukun/bidan yang membantu proses
melahirkan.
Tentang
pemberian nama, nama tidak terlalu penting di kalangan Orang Lautsampai hari
ini, karena nama tidak berfungsi sebagai pembeda garis kekerabatan atau
kelompok keturunan, melainkan hanya untuk membedakan antara satu individu
dengan yang lain. Nama mereka diberikan sesaat setelah mereka lahir atau saat
tali pusar mereka dipotong.Nama biasanya merujuk pada keadaan alam di sekitar
mereka saat itu misal kilat atau melihat kondisi bayi, seperti hitam, boncet
alias buncit. Sementara, nama anak-anak Orang Laut yang keluarganya sudah
menetap di darat, nama anaknya menyesuaikan dengan nama sesuai agama, apakah
Islam atau Katolik.
Perkawinan
Di
masa lalu, Orang Laut semenjak masa pertumbuhan anak-anak mereka biasanya telah
“dijodohkan” dengan sepupu satu atau sepupu dua dari kerabat dekat. Namun
sekarang, pertunangan dan perkawinan dilakukan setelah mereka menginjak masa
dewasa dan tidak selalu dengan sepupu..Bentuk perkawinan yang paling baik atau
ideal dalam kelompok mereka ialah dengan sepupu. Alasannya, selain berfungsi
melindungi atau menjaga keutuhan kelompok, pasangan seperti ini dianggap
memiliki kebiasaan yang sama dengan pemahaman baik atas lingkungan laut tempat
mereka hidupdan bekerja. Lebih dari itu, sistem perkawinan ini dipandang dapat
menghindari perpecahan.
Pesta
perkawinan lokasinya di dua tempat.Kedua pengantin duduk bersila di dalam
sampan.Ada juga atraksi pencak silat seperti tradisi Melayu.Lokasinya di tepi
pantai.Keluarga pengantin dan saudara, serta tamu undangan yang semuanya naik
sampan merapat ke darat untuk menyaksikan atraksi pencat silat.
Dalam
tradisi Orang Laut di Bintan juga mengenal hantaran dari pihak mempelai
laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan.Isi hantaran lengkap semua
perlengkapan perempuan, dari mulai baju, kain, dua buah cincin, termasuk
lipstik. Tak lupa kapur sirih dan pinang. Juga ada uang Rp44 ribu.Soal yang
jumlahnya bisa kelipatan 22 ribu, 44 ribu, 88 ribu dan seterusnya.Hantaran ini
menjadi persyaratan yang menjadi keharusan.Kalau syarat kurang, keluarga pihak
perempuan meminta dilengkapi.
Saat
bersanding di sampan, kedua mempelai saling suap saat makan.Makanannya adalah
telur yang direbus.Pihak saudara dan para kerabat bergantian sampannya mendekat
ke sampan pengantin untuk memberikan ucapan selamat.Dengan ukuran sampan yang
kecil, hanya kedua mempelai yang ada di atas sampan duduk bersila.
Orang
Suku Laut yang beragama Islam, perkawinannya sama dengan adat dan upacara
masyarakat Melayu pada umumnya. Cuma pelaksanaannya secara sederhana.
Upacaranya ada beberapa tahapan, seperti halnya Orang Melayu. Terdiri dari
mencari jodoh, merisik, meminang dan mengantar tanda. Sedangkan pelaksanaan
upacara perkawinan terdiri dari atas persiapan (membersihkan rumah),
mengajak/menjemput, beramdam (bersolek), berinai dan anak nikah.
Pada
kondisi sekarang, sudah banyak Orang Suku Laut yang mencari jodoh sendiri.
Biasanya orang tua yang mencari calon pasangan anaknya. Bagi Orang Suku Laut
perkawinan yang ideal adalah dengan saudara sepupu. Hal ini bertujuan
memperkuat hubungan persaudaraan. Disampig itu, orang tua tak ingin jauh
berpisah dari anak-anaknya.
Kematian
Kematian
bagi Orang Suku Laut bukan akhir dari kehidupan. Mereka meyakini kematian
sebuah jalan bagi seseorang untuk pindah dari dunia nyata ke dunia tidak nyata,
yaitu dunia roh. Dunia roh ini terletak di sebelah barat, digambarkan sebagai
dunia yang abadi, tenang dan tentran sepanjang masa. Roh tidak boleh tersesat
ketika menuju ke tempat tersebut. Jika tersesat roh takkan berkumpul dengan
para pendahulunya.
Penyebab
roh itu tersesat antara lain karea roh itu tak dipedulikan keluarga. Ia tak
diberikan sesajian sebagai medianya untuk makan. Bila tidak dipedulikan, maka
ia akan kembali ke dunia nyata dan menganggu sanak keluarga. Gangguan itu bisa
berupa penyakit atau kematian salah seorang anggota keluarga tersebut. Roh
inilah yang sangat ditakuti Orang Suku Laut. Cara mengusir gangguan adalah
memanggil dukun agar dapat mengembalikan ke tempat semula dan tak menganggu.
Dengan bantuan dukun, pihak keluarga berjanji tak menyiakan-nyiakan roh itu.
Ada
dua bentuk upacara kematian. Pertama, bagi Orang Suku Laut yang sudah tinggal
menetap dan memeluk agama tertentu. Kedua, bagi Orang Suku Laut yang masih
mengembara dan meninggalkan rumahnya untuk hidup di laut. Secara umum
prosesinya tak jauh beda dengan penguburan Orang Islam.
Orang
Laut di Bintan yang hidupnya belum menetap di darat tak memiliki lokasi makam
atau pekuburan yang tetap.Saat ada yang meninggal dunia, pihak keluarga
memakamkan di pulau terdekat.Jenazah dikuburkan di dalam tanah.Ada papan
keranda dan jenazah dimasukkan dalam kain. Cara pemakamannya seperti cara Islam
meski saat ini Orang Laut tak memiliki agama. Bedanya, tak ada sholat jenazah
dan doa seperti halnya dalam Agama Islam. Keluarga berkabung biasanya selama
tiga hari dan kemudian menjalankan aktivitas seperti biasa.
Orang
Laut yang beragama Islam, tahapan dalam upacara kematian dilaksanakan disiang
hari. Tempatnya di tepi pantai yang berpasir dan dibuat dinding dari kain
panjang atau kajang yang terbuat dari nipah atau mengkuang. Tujuannya agar prosesnya
tidak dilihat, khususnya saat memandikan jenazah.Ada mantera atau serapah yang
dibaca saat proses memandikan, yang bunyinya: biar selamat engkau berjalan,
jangan sampai sesat. Jangan teringat pada kami yang tinggal. Jenazah dimandikan
dengan air dan digosok dengan sabut kelapa. Tujuannya agar bersih. Badan
jenazah ditaburi bedak yang terbuat dari beras yang ditumbuk halus dan
dicampuri dengan sedikit kunyit. Kegunaannya untuk menghilangkan bau yang
kurang enak.
Saat
jenazah dimandikan, kubur digali. Jenazah dibawa ke lokasi pekuburan. Ditepi
lubang kuburan sudah tersedia sepiring makanan, sebungkus rokok dan satu
tempayan air. Di atas kubur pada bagian atasnya diletakkan sepiring makanan,
rokok dan tempayan air. Ini bekal bagi jenazah dalam perjalanannya di dunia
roh. Sudah menjadi kebiasaan, orang yang membantu proses penguburan, seperti
dukun, tukang mandi dan tukang gali jenazah diundang ke rumah keluarga jenazah
untuk makan bersama sebagai ucaoan terimakasih.
Orang
Suku Laut juga mengenal kenduri acara kematian Tujuannya untuk memohon
kesalamatan agar roh si mayat sampai ke tujuan. Selain itu juga untuk
berterimakasih pada kepada orang yang telah membantu proses upacara kematian.
Kenduri dipimpin seorang dukun. Dibacakan mantera-mantera oleh dukun agar
keluarga yang ditinggalkan merasa aman dan jenazah rohnya tak menggaggu.
Orang
Suku Laut di Bintan juga melakukan peringatan kematian.Pelaksanaannya 3 hari, 7
hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian. Pihak keluarga menyiapkan makanan
untuk tamu undangan dan juga makanan yang dipersembahkan bagi arwah.Makanan
yang disiapkan untuk tamu, seperti nasi, ayam, pulut, kopi atau teh, juga
disediakan khusus untuk, arwah. Sesajen ini diyakini nantinya akan dimakan
almarhum. Saat mengantar sesajen itulah, pihak keluarga mengucapkan serapah
yang isinya agar keluarga yang ditinggalkan bisa merasa tenang ditinggalkan dan
tak mendapat bencana.
Sistem
Kepercayaan Orang Laut di Kepulauan Riau
Dalam
buku Masyarakat Terasing di Indonesia tulisan Koentjaraningrat, dkk terbitan
Gramedia, tahun 1993 dipaparkan bagaimana sistem kepercayaan Orang Suku Laut di
Kepri. Religi yang mengatur perilaku orang Laut mengandung konsep dasar
animisme-shamanisme tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka.
Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi
ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan
peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman
dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.
Dunia
ruh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat
tertentu. Hampir semua orang Laut yakin bahwa ruh Datuk Kemuning dan isterinya,
yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang Laut, bersemayam di Gunung Daik
(Lingga). Ruh-ruh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala,
suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat
tersebut, orang Laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air
laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang
sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.
Orang
Laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri,
yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan
dapat mencelakakan orang. Hantu selalu mereka bayangkan sebagai manusia, yang
mereka sebut “orang tanah”, “orang tanjung”, “orang lekuk”, dan lain-lainnya,
di samping sebutan-sebutan seperti “hantu laut”, “hantu batu”, “hantu jeram”,
“hantu sungai”, dan sebagainya. Hantu-hantu tersebut di atas memang berasal
dari dunia makhluk hantu. Selain itu ada hantu yang merupakan penjelmaan
manusia seperti hantu polong (hantu pencekik leher, yang menjelma sebagai
manusia yang mengamalkan “ilmu pengasih”, yaitu berusaha memikat korbannya agar
ia sendiri senantiasa tampak menarik. Hantu penjelmaan manusia lainnya adalah
pontianak (hantu mati anak), yaitu hantu penjelmaan wanita yang meninggal dunia
sewaktu melahirkan, yang terutama mengganggu pria. Kemudian orang Laut masih
mengenal hantu dukang, atau hantu pengisap darah, yang merupakan penjelmaan
dari bayi yang lahir tanpa nyawa (karena keguguran, lahir mati, dan
sebagainya).
Orang
Laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara lain bersumber pada
benda-benda seperti buntat, batu akik, akar bahar, keris dan sebagainya, dan
pada benda-benda yang bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki
kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk,
mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta menyembuhkan penyakit
yang berasal dari perbuatan manusia maupun karena tersampuk (“kemasukan” atau
diganggu) ruh, hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh
dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan manusia, seperti
menenangkan ombak dan badai.
Kesempatan
orang untuk menjadi bomoh tak terbatas pada pria; wanita pun dapat menjadi
bomoh yang sama besar peran dan pengaruhnya seperti bomoh pria. Antara bomoh
yang satu dengan lain dapat timbul persaingan untuk memperebutkan pengaruh,
yang kadang-kadang mereka lakukan secara terbuka dengan becoba (mengadu
kekuatan gaib). Kekuatan gaib dapat diwariskan kepada sanak keluarga, tetapi
dapat juga diajarkan kepada orang lain. Sebelum pengetahuan itu diteruskan,
harus dipertegas dahulu hubungan antara keduanya, yaitu bomoh sebagai buru, dan
orang yang menerima pengetahuan itu sebagai muridnya, yang selanjutnya
merupakan hubungan antara orangtua dan anak, yang diikat oleh prinsip-prinsip
hubungan timbal-balik. Dengan adanya hubungan ini ada syarat untuk memberi
“asam garam” atau imbalan atas pengetahuan yang diajarkan. Pemberian “asam
garam” ini berupa pemberian hadian-hadian seperti sandang, uang, bahkan jaminan
hidup.
Daftar
Pustaka:
AB
Lapian, Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad
XIX. Yogya: Komunitas Bambu, 2009.
Ahmad
Dahlan, P.hD, Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014
Azmi,
Putri Pandan Berduri, Asal Mula Persukuan di Pulau Bintan. Yogyakarta:Adicita
Karya Nusa, 2005.
Cynthia
Gek Hua Chou, Money Magic and Fear : Identity and Exchange Amongst The Orang
Sulu Laut (Sea Nomads) and Other Grous of Riau and Batam, Indonesia. Department
of Social Anthropology, University of Cambridge May 1994.
Eva
Warni, Sindu Galba, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di Kepulauan
Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang
2005.
Khidir
Marsanto. Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran:Etnografi
Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut di Pulau Bertam,
Kepulauan Riau. Yogya: Tesis UGM, 2014.
Rusli,
Model Penataan Lingkungan Permukiman Suku Laut Pasca Rehabilitasi Rumah Tidak
Layak Huni Berbasis Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Pelestarian
Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Pekanbaru, 28 Mei 2016.
Melayuonline.com