Ahad, 22 Januari 2023

Dr. Tengku Mansur Wali Negara Sumatra Timur.

Oleh Nik Abdul Rakib Nik Hassan

Saya tertarik dengan sejarah Indonesia khususnya Pulau Sumatra. Dan saya sempat berjumpa dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II. Almarhum adalah tokoh Melayu Serdang yang memiliki pemikiran dan mempertahankan Kebudayaan Melayu di Sumatra Utara. Dan sempat membeli bukunya “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”

Dari situ tertariklah dengan Sumatra Timur yang pernah menjadi Negara Sumatra Timur di dalam Federasi Indonesia.


Dan juga sempat dapat kontak dengan Tengku Mansoer Adil Mansoer di Belanda. Beliau adalah cucu kepada Dr. Tengku Mansur, Wali Negara Negara Sumatra Timur (NST) pada 28 Januari 1948 – 17 Agustus 1950.


Disini saya akan bicara tentang Negara Sumatra Timur dan Wali Negaranya, Dr. Tengku Mansur.


Negara Sumatra Timur (NST) adalah salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang bertahan cukup lama di lingkungan diluar Hindia Belanda selain Negara Indonesia Timur, yakni 25 Desember 1947 hingga 1950. Negara ini terbentuk kerana banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan Melayu, sebagian besar raja-raja Simalungun, beberapa kepala suku Karo dan kebanyakan tokoh masyarakat Tionghoa. Bumiputera Melayu dengan kekuasaan Islam-nya beserta Simalungun dan Karo merasa terancam dengan berdirinya negara baru, yang akan mendudukkan mereka sebagai bawahan dari Republik Indonesia di Yogya. Dalam banyak buku sejarah disebutkan Republik Indonesia Serikat merupakan gabungan dari berbagai negara-negara bebas di Indonesia saat itu. Meski demikian, negara-negara itu disebut sebagai negara boneka yang dibentuk oleh Belanda.

Dr. Tengku Mansur

Dr. Tengku Mansur atau Tengku Mansoer (17 Januari 1897 – 6 Oktober 1953) adalah Wali Negara Sumatra Timur, sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat. Ia juga tokoh pendiri dan Ketua Jong Sumatranen Bond (1917–1919).


Biografi

Pelantikan Tengku Mansur sebagai Wali Negara Sumatera Timur

Tengku Mansur lahir di Tanjungbalai, Kesultanan Asahan, 17 Januari 1897. Ia merupakan anak dari Tengku Muhammad Adil (Tengku Babul) dengan Raden Ayu Sariah (berasal dari Cianjur). Tengku Muhammad Adil dan saudara-saudaranya dikenal sangat gencar dalam menentang dan melawan Belanda. Hingga pada tahun 1859 Tengku Muhammad Adil dibuang oleh Belanda ke Buitenzorg (Bogor) untuk menghentikan perlawanannya. Ayahnya menikah dengan empat orang istri dan dikaruniai 12 orang anak.


Tengku Mansur merupakan sehabagian dari keluarga bangsawan, kerana Sultan Saibon (Sultan Asahan) merupakan keponakannya.

         Pelantikan Tengku Mansur sebagai Wali Negara Sumatera Timur

Tengku Mansur memulai pendidikan tinggi di Inlandsch Artsen School (STOVIA) di Batavia tahun 1911. Tengku Mansur dicatat sebagai satu-satunya siswa bergelar Tengku saat itu. Satu angkatan dengan Mansur (tingkat satu) adalah Abdoel Moenir Nasution. Kakak kelas mereka di tingkat dua (masuk 1910) adalah Ma’moer Al Rasjid Nasution. Di tingkat tiga (masuk 1909) ada Sjoeib Paroehoeman Harahap dan Soeleman Hasiboean.


Ia mulai berorganisasi dan bergabung dengan pemuda-pemuda nasionalis dan mereka mendirikan organisasi Jong Sumatranen Bond yang mana ia terpilih sebagai ketua (1917). Ia melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden, Belanda.


Saat berkuliah di Leiden, ia menikah dengan gadis Belanda bernama Amalia Gezina Wempe (1893-1967). Istrinya kemudian mengganti nama menjadi Siti Akmal.


Dari pernikahan itu, Tengku Mansur dikaruniai sepasang anak. Anak pertama seorang putri bernama Tengku Sariah lahir di Leiden, 14 Januari 1925 dan meninggal di Medan, 15 April 1994. Anak kedua seorang putra bernama Tengku Dr. Adil Mansoer lahir di Leiden, 24 April 1927 dan meninggal di Den Haag, 30 November 1979.


Setelah mendapat gelar dokter di Belanda, Tengku Mansur bekerja sebagai dokter ahli bedah di Medan. Pada bulan November 1947, ia diangkat sebagai Wali Negara Sumatra Timur.


Tengku Mansur meninggal dunia di Medan pada 6 Oktober 1953.


Penghargaan

Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Medan dan nama rumah sakit umum di Tanjungbalai.

Tiada ulasan: