Khamis, 12 November 2020

Masyarakat Majmuk di Indonesia Oleh Prof Dr. Zulhasril Nasi

 Oleh Zulhasril Nasir

Ketua Pusat Tamadun Melayu Nusantara – Universitas Indonesia

Email: zuler2000@yahoo.com


Pengantar

       Republik Indonesia  telah berumur 66 tahun setelah  menyatakan kemerdekakan pada 17 Ogus  1945 dari  okupasi  militer Jepang pada Perang Dunia II dan penjajahan  Belanda selama  350 tahun. Indonesia memiliki  luas 1.9 juta kilometer persegi dengan penduduk 237 juta  orang (2011), ini sama dengan luas daratan Amerika Serikat atau membentang antara Paris keTeheran dengan jumlah penduduk no. 4 di dunia. Penduduk yang besar itu tinggal di hampir 10 ribu pulau di antara 15 ribu lebih pulau yang ada.

 

       Masyarakat  Indonesia memang  sangat luas dan majmuk,  dengan  600-an bahasa tempatan dari 400-an sub-etnis. Pulau-pulau yang utamar adalah Kalimantan (Borneo), Sumatra, Papua, Sulawesi dan Jawa. Namun, dari 237 juta penduduk  65 % berada di pulau Jawa, suatu  ketidakseimbangan penyebaran penduduk. Pemerintah Indonesia mengakui  agama Islam, Kristiani, Hindu, Budha dan Konghucu sebagai agama penduduk. Islam dianut oleh 85% penduduk menyusul Kristiani (Protestan 8,9% Katolik 3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%) dan selebihnya Konghucu.  Sebagian besar penduduk Indonesia keturunan Austronesia yang datang dari China  ratusan tahun lalu, sebagian lagi disebut sebagai ras Melanesia, Polinesia dan MIkronesia yang tinggal di bagian Timur Indonesia. Etnik yang datang  belakangan adalah Arab, India dan China.  Para pakar lainnya kemudian menggolongkan penduduk  Indonesia kepada  dua  ras yang pertama disebut etnik Melayu Tua ( proto Malay) seperti: Batak, Nias, Mentawan, Toraja, Dayak dan Minahasa ,dan Melayu Muda (deutero Malay) seperti:  Aceh, Minangkabau, Palembang, Banten, Banjar,  Bugis, Kutai,  Jawa, Sunda , dan lainnya.  Maluku,  Papua , Flores tidak termasuk dalam Melayu (non-Melayu).   

 

Dari segi sosiologis ada yang menamakan ras Melayu Muda terbagi dua yaitu yang sinkretik  dan yang sintetik. Etnik Jawa, Sunda dan Madura digolongkan kepada sinkretik yang mendissosiasikan diri  bukan dalam ikatan kemelayuannya  dengan menonjolkan budaya etnik mereka. Mereka seolah-olah bukan bagian dari dunia Melayu, kendati secara etnografik adalah Melayu (Naim,  2008:2) – hal ini  karena kuatnya pengaruh Hindu, Buddha dan Islam pada masa sebelumnya.  Sedangkan suku-suku Melayu sintetik lebih terikat kepada adat dan agama Islam. Mochtar Naim, seorang sosilog berpendapat bahwa kemelayuan di Indonesia secara geo-kultural  Jawa (di bagian Selatan) yang sinkretik dan dunia Luar Jawa di Utara, didominasi oleh Melayu yang  sintetik. Tentu dalam kesempatan ini, kami tidak akan membahas dikotomi  Jawa (juga Sunda dan Madura) yang sinkretik dan Luar Jawa yang Melayu Sintetik.

 

Dengan segala keanekaragaman  budaya, (sub) etnik , geografi, sampai kini mereka menyebut  diri  sebagai bangsa Indonesia dan memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa rasmi negara. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang juga dipakai di Pattani, Malaysia, Singapura , Brunei, Campa, Philipina Selatan (Moro, Palawan). Meskipun demikian mereka tidak meninggalkan bahasa tempatan mereka dalam perbincangan sehari-hari.

 

       Secara  geo-ekonomi Indonesia merupakan salah satu negeri tersubur didunia.  Apa saja ada di sini, mulai dari rempah-rempah sampai uranium (bahan nuklir): Timah, emas, nikel,  tembaga, petro,  sawit,  kayu, ikan, batubara,  karet,  dan banyak lagi dalam sektor pertanian, perkebunan dan maritim. Namun kekayaan yang luar biasa itu tidak dikelola dengan baik. Korupsi di pemerintaan menjadi masalah utama Indonesia sejah 40 tahun silam.

 

       Indonesia sekarang  berada dalam iklim ekonomi dan politik liberal, terutama sejak jatuhnya Presiden Suharto. Terjadi perubahan besar pada Konstitusi Negara  sejak 1999 (empat kali Amendment, perubahan), terutama tentang  demokratisasi:  Perlembagaan, kebebasan media, ekonomi ,  otonomi  provinsi, meskipun masih menganut sistem pemeritahan presidential. Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan juga Kepala Negara.  Iklim sejak era Reformasi (sejak turunnya Suharto) adalah berbeza dengan era Suharto yang authoritarian dan rasuah. Pada saat ini  masyarakat Indonesia memperoleh kebebasan yang besar secara politik dan ekonomi, walau dapat dipahami masih dalam proses kesempurnaan.

 

Euforia demokrasi  sejak  12 tahun lalu  belum diikuti dengan sikap atau mentality  demokrasi baik di kalangan masyarakat awam ataupun di kalangan pemimpin pemerintahan. Tuntutan utama dalam situasi semacam itu ialah diperlukannya penegakkan undang-undang (law enforsement) yang kuat yang ternyata belum memenuhi  harapan. Masih sering terjadi  rasuah, amok diberbagai bandar, dan aksi kriminal.

 

Beberapa Faktor yang Mempersatukan Bangsa

       Jika Indonesia sekarang ini dipandang sebagai bangsa yang dapat dipersatukan di antara kemajukan yang luar biasa tidak lepas dari hasil perjuangan para pemimpin pra kemerdekaan dari zaman penjajahan Belanda (Hindia Belanda) sampai paska kemerdekaan. Kami ingin membagi beberapa faktor yang dapat disebut  sebagai faktor-faktor  pemersatu kemajemukan masyarakat Indonesia dalam:

1.     Sejarah  kolonialisme

2.      Kesadaran anti-kolonialisme

3.     Semangat kebangsaan (nasionalisme)

4.     Toleransi  mayoritas terhadap minoritas.

 

1. Sejarah Kolonialisme

      Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra.

 

Di bawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, beberapa kerajaan terbentuk di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-14. Kutai, merupakan kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri pada abad ke-4 di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di wilayah barat pulau Jawa, pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M berdiri kerajaan Tarumanegara. Pemerintahan Tarumanagara dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda dari tahun 669 M sampai 1579 M. Pada abad ke-7 muncul kerajaan Malayu yang berpusat di Jambi, Sumatera. Sriwijaya muncul sebagai kerajaan maritim yang paling perkasa di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Jawa, semenanjung Melayu, sekaligus mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Cina Selatan. Di bawah pengaruh Sriwijaya, antara abad ke-8 dan ke-10 Syailendra dan Sanjaya berhasil mengembangkan kerajaan-kerajaan berbasis agrikultur di Jawa, dengan peninggalan bersejarahnya seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Di akhir abad ke-13, Majapahit berdiri di bagian timur pulau Jawa. Di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada, kekuasaannya meluas sampai hampir meliputi wilayah Indonesia kini; dan sering disebut "Zaman Keemasan" dalam sejarah Indonesia.

 

Kedatangan pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui Gujarat, India,  berikut dengan kedatangan  pelaut-pelaut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam yang pernah menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15 menambah corak akulturasi budaya Indonesia.

Para pedagang tersebut juga menyebarkan agama Islam di beberapa wilayah Nusantara. Samudra Pasai yang berdiri pada tahun 1267, merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Penyebar Islam yang sangat terkenal  dari kerajaan ini adalah Malikul Saleh (Maulana Malik al Shaleh, wafat tahun 1297)  dan menyebarkan Islam dari Aceh ke Minangkabau. Perkembangan Islam  maju pesat bersamaan dengan perkembangan perdagangan di Minangkabau Timur dan kawasan Selat Malaka sampai berkembangan perdagangan dipantai Barat Sumatra pada abad ke 16 sampai abad ke 18 (Shamad dan Chaniago 2007: 1-17). Dalam ihwal ini, timbul soalan apakah  masuknya Islam ke Nusantara  pada abad ke 16  atau abad ke 13?

 

Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka bernegosiasi dan kemudian dengan cara adu-domba  berhasil mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel (Wikipedia Indonesia). Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.

 

Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19 (1870), perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa dan di Sumatra, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang jauh di atas dari yang dihasilkan VOC sebelumnya. Belanda  telah melakukan  ekspansi perdagangan  dengan menguasai sumber-sumber  ekonomi,  dengan melakukan siasat adu-domba (devide et impera)  bertujuan menguasai sumber-sumber ekonomi (rempah-rempah dan hasil pertanian), pengenaan tax kepada penduduk yang kemudian berubah menjadi politik  kolonialisme dan imperialisme selama ratusan tahun.

 

2. Kesadaran Anti-Kolonialisme

 Penguasaan sumber-sumber ekonomi rakyat dan politik penjajahan yang dijalankan selama Hindia Belanda telah menimbulkan perlawanan para Raja dan Sultan di berbagai tempat.  Meskipun perlawanan tersebut bersifat tempatan namun telah menumbuhkan perasaan senasib karena bagaimanapun para sultan dan raja adalah mereka yang juga memiliki hubungan transaksional dalam perdagangan ,politik dan kekuasaan. Orang-orang Bugis-Makassar, misalnya, adalah golongan yang banyak menguasai perdagangan  maritim dan mereka memiliki jaringan kekuasaan di berbagai kesultanan di nusantara. Hal yang sama juga terlihat dari pengaruh kesultanan Aceh dan  Minangkabau.

 

Maka,  terjadilah perlawanan para Sultan/Raja   mulai dari Aceh, Minangkabau, Riau, Jawa, Bali, Banjar, Bugis, Mandar,  Kutai, Ternate dan lainnya. Nusantara  ketika itu  adalah untaian kerajaan Melayu yang berinteraksi dalam suatu pergaulan internasional dengan majunya perdagangan antarbangsa terutama terbukanya Selat Malaka sebagai lintasan dunia. Sultan Iskandar Muda (Aceh), Tuanku Imam Bonjol dan Sultan Bagagarsyah (Minangkabau) Sulatan Badaruddin (Palembang), Sultan Najamuddin (Jambi), Raja Sisingamangaraja (Batak), Pangeran Diponegoro (Jawa Tengah), Ngurah Rai (Bali), Sultan Hassanuddin (Bugis), Thomas Matualessi (Ambon) dan Sultan Ternate (Maluku) adalah sebagian contoh pemimpim perlawanan anti penjajahan di Indonesia.

 

Meskipun peperangan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda bersifat tempatan dan dalam masa tertentu yang  tidak terkoordinasi dalam satu gerakan, perlawanan dari berbagai kawasan itu perlahan-lahan telah menumbuhkan rasa empati dan kesadaran kebangsaan. Sementara itu rakyat  banyak tetap hidup miskin dan menderita. Sadar dengan perlawanan yang semakin banyak serta. iklim buruk yang berlangsung hampir selama tiga abad, pada awal abad ke 20, pemerintahan Hindia Belanda melancarkan Politik Etis. Politik Etis merupakan suatu  kebijakan berdasarkan balas budi untuk meningkatkan taraf sosial masyarakat dengan menyediakan kesempatan memperoleh pendidikan bagi generasi muda.

 

Meskipun pemerintahan kolonial tidaklah banyak mendirikan sekolah  dan hanya terbatas di Jawa dan Sumatra, seperti sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah guru tetapi telah membawa efek yang cukup bagus dalam perkembangan sosial. Berbagai sekolah tersebut terdapat di Jawa:  di Batavia (Jakarta), Yogyakarta, Bandung, Malang dan Surabaya dan di Sumatra ada di Medan, Bukittinggi, Palembang.  Tentu saja keadaan itu dalam serba kekurangan dan keterbatasan kesempatan sehingga yang memperoleh pendidikan itu hanya anak-anak dari kalangan elit tempatan, keluarga pegawai pemerintahan atau dari keluarga yang ekonomi keluarganya lebih baik. Pada dua puluh tahun pertama abad ke 20 mahasiswa Indonesia banyak yang belajar di Eropa terutama di Nederland.  Mereka belajar ilmu hukum, ekonomi dan kedokteran. Para mahasiswa tersebut pada masa yang sama juga belajar tentang politik pergerakan anti kolonialisme dan imperialism dan aktof dalam organisasi antarbangsa. Akibat Politik Etis itulah yang kemudian menghasilkan pemuka-pemuka politik dan pemimpin Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.  

 

Memang tidak dapat dinafikan peranan dari para alumni pelajar Indonesia yang menuntut di Univeriti Al Azhar Kairah atau di Pendidikan Islam  Medinah, Saudi Arabia di awal abad ke 19 dan menjelang abad ke 20. Para pelajar di dalam negeri yang berpendidikan Ilmu  Perundang-undangan, kedokteran di Jakarta dan Bandung pada waktu yang relatif sama juga membangun organisasi-organisasi kebangsaan seperti: Budi Utama, Pehimpunan Pemuda Sumatra, Pemuda Jawa, Pemuda Celebes, Pemuda Islam, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan lain-lain. Semua organsasi itu dipimpin oleh kaum terpelajar lulusan perguruan tinggi dalam negeri dan Eropa. Di Indonesia hanya ada dua perguruan tinggi, iaitu Sekolah Tinggi Perundang-undangan dan  Sekolah Tinggi Ketabiban (Kedokteran) yang  merupakan cikal-bakal Universitas Indonesia di Jakarta.

 

3. Semangat Kebangsaan

       Semangat kebangsaan bermula terbentuknya organisasi pemuda seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, namun yang paling monumental adalah ketika berbagai organisasi yang ada melaksanakan pertemuan pada bulan Oktober 1928. Mereka dari berbagai kalangan dan latarbelakang etnik, bahasa, agama dan ideologi menyatakan sumpah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dengan konseptor pakar sejarah dan bahasa Melayu, Muhammad Yamin mengusulkan Tiga Sumpah yang lalu diterima, bunyinya: Kami berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu: Indonesia!  (Gunawan 2005).Tekad persatuan inilah kemudian yang mempunyai efek luar biasa pada masyarakat dan kaum  terpelajar, sehingga setiap organisasi yang bersifat tempatan memberikan identitas keindonesiaan. Pembentukan rasa berkebangsaan berkembang cepat dan pengaruh yang luar biasa dalam pebentukan perasaan senasib dan sependeritaan. Kesadaran kebangsaanpun terermin dengan berdirinya banyak partai politik yang tujuannya merdeka dari penjajahan.

 

       Para pemimpin pun tumbuh dan tampil di arena politik anti kolonialisme, yang kemudian melahirkan pemimpin yang membebaskan bangsa. Mereka itu kemudian dikenal sebagai: Sukarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim, Tjokroaminoto, M. Yamin, M. Natsir, dan banyak lagi. Mereka semua berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam organisasi dan pergerakan politik.

 

5.    Toleransi Mayoriti terhadap Minoriti.

Pengakuan pertama terhadap kemajmukan masyarakat dan bangsa adalah lahirnya Sumpah Pemuda , 28 Oktober 1928, 17 tahun sebelum kemerdekaan. Tekad persatuan itu adalah maklumat terhadap pengakuan kebersamaan dan juga pengakuan ke atas keberagaman. Persatuan di atas keberagaman itu kemudian dicanangkan dalam rancangan Konstitusi  1945 sebelum disahkan pada 18 Agustus 1945.  Pengakuan masyarakat majmuk inipun dipertegas lagi ketika dilakukan Amendment (perubahan)  ke II (tahun 2001) pada Pasal 18B yang menyatakan(Ayat 1), ”Negara Mengakui satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khsusus (khas) atau bersifat istimewa.”, dan (Ayat 2), ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

 

Sebelum kemerdekaan telah dicapai konsensus dari semua golongan dalam lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (PPKI) bahwa yang menjadi dasar negara adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Konsensus itu di antara golongan Islam, Kristian, Nasionalis dan lain-lain yang disebut dengan “Piagam Jakarta” (Jakarta Charter). Akan tetapi dalam sidang 18  Agustus, konsensus itu ternyata berubah, delapan kata terakhir itu dihilangkan, maka dasar negara itu adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana yang tercantum dalam dasar negara Panca Sila sampai sekarang.

 

Perubahan itu tidaklah serta merta tetapi penuh dengan perdebatan dan saling menghormati dan mendengarkan pendapat anggota sidang. Kalangan Kristian tentu yang berkeberatan dengan “Piagam Jakarta” dan mengacam tidak akan ikut serta dalam Republik Indonesia, jika delapan kata itu dicantumkan. Meskipun waktu itu tidak ada kesempatan untuk menyidik dan mempertimbangkan lebih mendalam apa latar belakang dari ancaman itu, namun umat Islam tidaklah banyak macam walau dengan rasa tertekan ketika Pimpinan PPKI, Mohammad Hatta, mengumumkan hasil sidang tanpa memasukkan delapan kata tadi.

 

“Akan  tetapi semuanya itu ditutup dengan pemikiran bahwa kita semua menjaga dan memelihara keutuhan barisan dalam menghadapi musuh Republik dari luar yang mengancam wujud Republik itu sendiri,” kata Muhammad Natsir seorang pemimpin Islam anggota PPKI pada waktu itu (M. Natsir dalam Puar 1978:187). Penerimaan kaum Islam tentang dasar negara ini yang dapat disebut sebagai simbol dari toleransi kehidupan berpolitik bangsa Indonesia  di mana suara minoriti didengar oleh kalangan mayoriti. Mayoriti tidak harus memaksakan pendapatnya terhadap minoriti. Menurut hemat saya inilah pilar utama negara yang menjadikan Republik Indonesia masih dapat mempertahankan kesatuannya sampai sekarang. Penghormatan para pemimpin Indonesia  non-Islam paska kemerdekaan pada  persatuan tidaklah luntur.  Ketika M. Natsir menjadi Perdana Menteri tahun 1950 tiga orang Kristian berada dalam kabinetnya. Ikhwal ini dapat dikatakan sebagai toleransi seorang tokoh Islam terhadap yang bukan Islam, dan dukungan kaum minoriti Kristian pada seorang tokoh Islam yang mayoriti. Mohammad Natsir ketika itu dipercaya memimpin pemerintahan dengan konsep  Mosi Integral, iaitu suatu konsep mengukuhkan persatuan setelah Republik dihajar berbagai permasalahan dalam negeri seperti: dua masa  agresi tentera Belanda, negara boneka yang diciptakan oleh Belanda, masalah tentera nasional,  serta konflik di antara para pemimpin yang berbeda idiologi. Natsir berhasil menjalankannya.

 

Diskusi

       Akar persatuan di Indonesia adalah bermula dari kemajemukan dari (sub) etnik yang luas dalam masa berabad-abad  dari masa pra sampai paska kolonial. Interaksi antar kaum di Nusantara telah pun mengembangkan bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca sehingga bahasa telah membagun secara bertahap rasa kemelayuan, senasib-sepenanggungan masyarakat Nusantara. Pergaulan antar masyarakat Nusantara menyadarkan mereka bahwa kawasan ini memiliki sumber daya alam yang potensial dalam perdagangan antarbangsa. Meskipun ada konflik di antara kerajaan dan kesultanan maka ihwal itu dapat dipandang sebagai proses integrasi dalam mengembangkan pengaruh kekuasaan politik. Tentang ini pun boleh dilihat sebagai upaya masyarakat Nusantara untuk  mempersatukan kekuatan dalam pergaulan antarbangsa di mana kekuatan ekonomi antarbangsa (Spanyol, Amerika, Portugis, Belanda dan Inggris) mulai datang. Mereka itu mencari sumber-sumber ekonomi yang dapat dikuasai secara pasar atau secara fisik. Penguasaan pasar adalah tipikal perdagangan di manapun sedangkan menguasai secara fisik adalah tipikal kolonialisme.

 

       Kolonialisme Belanda lah yang telah bertahan menjadi penjajah ratusan tahun. Negeri kecil di Eropa itu menguras kekayaan rakyat Indonesia sehingga Negeri Belanda tidak lagi diancam gelombang laut dan ketertinggalan di Eropa. Dari politik kapitalisme dan imperialisme melalui VOC (Verenigde Oost Indie Compagnie, Kompani Perdagangan Hindia Timur) kemudian berlanjut menjadi politik kolonialisme. Memang secara fisik tidak semua kawasan dikuasai tetapi secara politik-kekuasaan Hindia Belanda telah menguasai pusat-pusat kekuasaan tempatan. Perlawanan dari kesultanan/kerajaan tempatan telah membangkitkan persatuan di kalangan anak-anak bangsa yang semakin terdidik. Semangat kebangsaan itu kemudian berwujud bahwa  semua kawasan yang pernah menjadi kekuasaan penjajah Belanda adalah Indonesia. Ihwal inilah sebagai wujud pengakuan ke atas pluralisme dan rasa kebangsaan moderen. Selain itu lingkup penjajahan telah juga menentukan wilayah persatuan bangsa. yang sekarang disebut sebagai Republik Indonesia. Memang ada catatan penting, bahwa pejuang-pejuang anti kolonial Inggris di Semanjung Malaya (kini Malaysia Barat) menggagas menyatunya mereka dengan Indonesia (Nasir, 2007) tetapi  gagal karena adanya keinginan sekelompok Melayu Malaya untuk memperoleh kemerdekaan dengan lunak. Latar sejarah kolonial yang berbeza juga turut mengagalkan hasrat tersebut.

 

       Maklumat persatuan adalah juga maklumat akan adanya perbezaan. Pengakuan ke atas perbedaan memiliki implikasi adanya kesadaran atas kewajiban dan hak-hak mayoriti dan minoriti. Masalah yang sering timbul adalah masing-masing pihak tidak merasa puas dengan hak-haknya. Kewajiban mayoriti ialah, melindungi kehidupan dan hak-hak minoriti sedangkan kewajiban minoriti ialah pengakuan ke atas hak-hak  dan kewajiban mayoriti terutama untuk mempersatukan bangsa. Kemajmukan yang paling ideal ialah, semua etnik mengakui bahwa mereka suatu bangsa. Pengukuhan persatuan Indonesia  yang telah disahkan dalam Konstitusi 1945  memang pernah mendapat ujian dan cabaran, baik ketika  awal kemerdekaan  atau pada krisis 1998. Pada tahun 1998  beberapa provinsi memaklumatkan akan menjadi kawasan merdeka seperti yang dilakukan sekelompok orang di Aceh, Papua, Riau, Kutai dan Bali,  tetapi itu semua hanya gertakan untuk memperoleh autonomi karena pada masa kekuasaan  diktator Suharto (1966 – 1998) kebebasan dan pemerataan ekonomi tidak pernah wujud. Kemakmuran hanya dinikmati oleh kelompok kecil masyarakat di lingkaran kuasa dengan melakukan rasuah dan kronisme.

 

Penutup

       Kemajmukan (pluralisme) masyarakat Indonesia pada saat ini selalu mendapat cobaan dan cabaran. Globalisasi – di mana kita semua berada dalam era ini -- pada satu sisi boleh mempersatukan bangsa dan pada sisi lain boleh menggoyahkannya. Ciri globalisasi ialah: liberalisasi, pasar bebas (free market), swastanisasi, investasi asing dan kapitalisasi.  Dengan adanya kemajuan yang luar biasa dalam bidang teknologi informasi, semua unsur akan menggunakan kesempatan untuk meraih keuntungan dan mengembangkan modal (kapital), sehingga pada akhirnya akan ada kalangan yang beruntung dan tidak beruntung. Kalangan yang beruntung adalah kalangan yang kuat modal dan kalangan yang tidak beruntung adalah yang lemah dan miskin. Pusat kapatalisme global yang hanya di beberapa tempat di dunia itu (New York, London, Tokyo, Shanghai, Seoul dan beberapa lagI) merupakan pusat-pusat pengendali modal dunia. Pusat-pusat kapitalisme inilah yang mengumpulkan uang dari syarikat mereka di seluruh dunia.  Jadi kapitalisme global itu lebih kejam dan mereka tidak dalam kekuasaan politik nyata, tetapi lebih pada kekuasaan ekonomi. Sekarang ihwal tersebut dinamakan dengan neo-liberal. Mereka memiliki cawangan di banyak negara dalam wujud syarikat multi- national corperation (MNC). Masalah kita ialah bagaimana menyiasati agar neo-liberal tidak memiskinkan masyarakat, yang lemah dan tak berdaya jangan kehilangan hak-haknya sebagai manusia.

 

       Indonesia, menurut hemat saya, memasuki masa yang rawan (sensitivity), karena Indonesia sekarang telah berubah dengan memilih jalan kapitalisme dari pada sosialisme kerakyatan. Ihwal inipun suatu yang bersifat ambigu (ganda), karena Konstitusi 1945 tidak menyebut bahwa ekonomi Indonesia adalah berdasarkan pasar bebas (liberalisme) tetapi pada kesejahteraan rakyat (sosialisme). Kebebasan media telah dimanfaatkan para pemilik modal (kapitalis) untuk menciptakan pasar bebas dan imajinasi kenikmatan (leisure) dan gaya hidup (lifestyle) dengan cara pemujukan melalui iklan dan program khas di televisi dan media cetak. Masyarakat didorong untuk berbelanja atau konsumtif, maka dengan demikian barang-barang produk kapitalis menjadi laku dan uang perbelanjaan itu akan “dilarikan” ke pusat modal kapitalis, dan selanjutnya masyarakat semakin tidak memiliki tabungan. Jika demikian mereka akan mengorbankan kekayaan asli mereka: tanah, kebun, sawah, jika ada. Lalu mereka semakin tidak berdaya, lemah dan tetap saja dalam keadaan miskin sepanjang masa. Jika demikian yang terjadi, maka tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan damai dan sejahtera. Dalam iklim semacam itu kemajemukan bukanlah sebagai payung persatuan tetapi menjadi  sumber penyebab perpecahan. Kesetikawanan, toleransi, rasa kekeluargaan telah dikalahkan oleh kepentingan yang lebih kuat, yakni  kapital. Minoriti tidak lagi terlindungi karena sebagian hak-haknya telah beralih tangan kepada penguasa ekonomi. Penguasa ekonomi (pemilik modal) berusaha membangunan kuasa politik dengan kekuatan modal mereka. Maka dengan demikian kekuatan kapital beriring bersama kekuatan  politik dan lalu lahirlah satu bentuk kuasa, yakni imperialisme oleh bangsa sendiri.

 

Referensi

Gunawan, restu (2005). Muhammad Yamin dan Cit-cita Persatuan. Yogyakarta; Penerbit Ombak.

Naim, Mochtar (2008). “Dunia Melayu dalam Dialektika Nusantara.” Seminar Semarak Warisan Budaya Serumpun” di Universitas Pajajaran, Bandung, 17 Mei 2008.

Nasir, Zulhasril (2007). Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Yogyakarta:Penerbit Ombak.

Puar, Yusuf Abdullah (1978). Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara.

Shamad, Irhash A dan Danil M. Caniago (2007). Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau. Jakarta: PT Tintamas.

http://id.wikipedia.org/wiki/indonesia.

 


Tiada ulasan: