Oleh
Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Konflik diantara penduduk 16 kampung tua Melayu dengan pihak berkuasa Pulau Batam telah mencetus kesedaran etnik Melayu baik di Indonesia sendiri dan di mana saja. Disii saya ketengahkan sebuah artikel bertajuk “Kronologi Bentrok Warga dan Aparat di Pulau Rempang Batam” tulisan Suci Amaliyah di NU Online. Inilah isinya:
Kerusuhan
pecah di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/8/2023) siang.
Petugas gabungan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Direktorat Pengamanan (Ditpam) Badan Pengusahaan (BP)
Batam, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terlibat bentrok dengan warga
Rempang. Bentrok terjadi saat pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut
oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi. Keributan itu bermula dari adanya aksi demonstrasi warga menolak pengembangan kawasan tersebut. Cekcok warga dengan petugas keamanan membuat aparat menembakkan gas air mata. Situasi semakin tidak kondusif, warga berlarian, dan tolak menolak antara petugas dan warga terjadi. Dari kejadian itu, dikabarkan beberapa siswa sekolah dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin, karena lokasinya yang tidak jauh dari tempat terjadinya keributan.
Dalam
video yang diturunkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui
akaun Twitter, tampak armada kepolisian menyemprotkan water cannon di lokasi
bentrokan. Aparat berseragam dan warga tampak berkerumun. Terdengar suara dari
toa agar warga mundur. Di akhir video yang beredar, ada sejumlah warga yang
ditangkap. Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan video itu didapatkan YLBHI
dari warga setempat. Konflik agraria bermula dari rencana relokasi Konflik agraria di Pulau Rempang bermula
ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk
Rempang. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di
Pulau Rempang.
Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Projek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Projek Strategis Nasional.
Kawasan
ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080.
Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17,000 hektar
akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya
mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia
dengan Malaysia dan Singapura. Tujuh zon yang nanti akan dikembangkan antara
lain zona industri, zona agro-pelancongan, zon pemukiman dan komersial, zon pelancongan,
zon hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zon hidupan liar dan alam serta
zon cagar budaya.
Bahkan
Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City
dapat menyerap hingga 306,000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang. Dalam
keterangan tertulis, BP Batam mengatakan pengembangan Pulau Rempang diawali
dengan investasi produsen kaca terkemuka dari China sejak akhir Juli.
Perusahaan yang berkomitmen berinvestasi sekira Rp175 triliun akan membangun
fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok
industri kaca dan kaca panel surya. "Penandatanganan kerja sama dengan
Xinyi Group pun disaksikan langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo, dan Presiden
Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping," kata Kepala BP Batam-medan
dilansir Antara.
Masyarakat
adat menolak PSN Rempang Eco City Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat
tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai
kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang,
Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak
pembangunan, tetapi menolak direlokasi. Warga mempersilakan pemerintah
melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. "Setidaknya terdapat
16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung
itu tidak direlokasi," katanya. Ia mengklaim warga Rempang dan Galang
terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim
di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. "Kampung-kampung ini sudah
ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Sejak
1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat
Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun
sudah diajukan. "Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja,"
tandasnya. Penjelasan Kapolri Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan
mengenai peristiwa bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan dengan warga
di Pulau Rempang, Batam, Kepualauan Riau.
Menurut Kapolri, sebelum terjadi bentrokan, BP Batam sudah melakukan langkah-langkah sebagaimana mestinya yakni mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi hingga ganti rugi. Ia menyebut BP Batam sudah menyiapkan ganti rugi bagi warga di Pulau Rempang, Batam, terkait rencana pengembangan di kawasan tersebut. "Tentunya langkah-langkah yang dilaksanakan oleh BP Batam sudah sesuai berjalan, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin telah menggunakan lahan atau tanah di Rempang," kata Kapolri di Jakarta pada Kamis (8/9/2023). Sigit mengatakan pengukuran lahan di Rempang bertujuan untuk pengembangan kawasan, namun kemungkinan lokasi tersebut dikuasai oleh beberapa kelompok masyarakat. "Di sana, ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini mungkin dikuasai beberapa kelompok masyarakat," ujar Sigit.
Pengukuran tersebut, lanjut Sigit, dilakukan lantaran pihak BP Batam akan menggunakan lahan tersebut untuk aktivitas investasi. "Kerana memang ada kegiatan yang akan dilakukan oleh BP Batam (pada lahan di Rempang)," kata Sigit. Lebih lanjut, Sigit menegaskan bahwa penyelesaian konflik tersebut diselesaikan melalui musyawarah mufakat antara pihak-pihak terkait. "Namun demikian, tentunya upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas, sehingga kemudian masalah di Batam, di Rempang itu bisa diselesaikan," tutur Sigit. Sampai saat ini, petugas gabungan masih berjaga di lokasi sampai situasi benar-benar kondusif dan proses pengerjaan pengukuran lahan untuk proyek strategis nasional tersebut bisa diselesaikan.