Oleh
Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Jakarta genap 483 tahun ini, saya kemukakan
maklumat Kota Jakarta dari Wikipedia, seperti berikut :-
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara
Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki
status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta
(1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 7.552.444 jiwa (2007)[4]. Bersama metropolitan Jabodetabek yang
berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, wilayah ini merupakan metropolitan terbesar
di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kini wilayah Jabotabek telah
terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya, dimana megapolis Jabodetabek-Bandung
Raya mencakup sekitar 30 juta jiwa, yang menempatkan wilayah ini di urutan
kedua dunia, setelah megapolis Tokyo.
Jakarta
berlokasi di sebelah utara pulau Jawa, di muara Ci Liwung, Teluk Jakarta.
Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter di atas
permukaan laut. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Di sebelah
selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak,
Bogor. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta.
Sungai yang terpenting ialah Ci Liwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah
timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah
barat berbatasan dengan provinsi Banten.
Kepulauan
Seribu, ialah kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105
pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.
Taman
Jakarta
memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Taman
Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang terletak di
tengah-tengah Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang dibangun
pada tahun 1963. Taman terbuka yang luas ini dibuat oleh Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan nama
Koningsplein. Di taman ini terdapat sebuah taman kijang dan 33 pohon yang
melambangkan 33 provinsi di Indonesia.
Taman
Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman ini dikelilingi
oleh beberapa bangunan Belanda kuno. Taman ini berbentuk lingkaran dengan luas
16,322 m2. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-artis
ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu "Taman
persahabatan seniman ASEAN".
Taman
Lapangan Banteng merupakan sebuah taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta
Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Monumen yang paling terkenal di taman ini adalah
Monumen Pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai
terminal bus. Pada tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik
dan menjadi tempat rekreasi bagi penduduk Jakarta dan juga terkadang sebagai
tempat pertunjukan seni atau pertunjukan lain.
Wisma
46, gedung perkantoran tertinggi di Indonesia, terletak di tengah-tengah
pencakar langit Jakarta.[sunting] Etimologi
Nama
Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan
oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni
1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota
kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh
sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakṛta (Dewanagari जयकृत). Nama
lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".
Nama
lain Jakarta Batavia (nama kolonial Belanda), Betawi (ejaan lain Melayu,
Indonesia), Sunda Kelapa (nama asli), Cakarta (Turki), Djakarta (ejaan lama
Indonesia, Perancis, Jerman, Romania), Dzhakarta - Джакарта (Rusia), Džakarta (Serbia, Kroasia),
Dzakarta (Polandia), Dzsakarta (Hungaria), Giacarta (Italia), Iacárta
(Irlandia), Jacarta (Portugis), Jakaruta - ジャカルタ (Jepang),
Jagatara - ジャガタラ (Jepang [arkais]), Τζακάρτα (Yunani), ჯაკარტა (Georgia),
Yakarta (Spanyol), Yǎ Jìa Dá (baca: Yacìatá)
- 雅加达
(Tionghoa),Xhakartë (Albania),Iacárta (Irlandia)
Sejarah
Lihat
pula: Sunda Kelapa, Kerajaan Sunda dan Sejarah Batavia
Jakarta
pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama
Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang
dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat
ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber
Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda
Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting
karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo
(dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari.
Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada
abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan
diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada
abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur
Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen,
kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar
dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta
(1527–1619)
Orang
Portugis merupakan orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16,
Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk
mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan
serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya
permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan
oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana
Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum
pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung
menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi,
karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan
membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan
hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan
pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota
tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan".
Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan
di Jayakarta kepada putranya yaitu Sultan Maulana Hasanuddin yang menjadi
sultan di Kesultanan Banten.
Batavia
(1619–1942)
Orang
Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten
pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abat ke-17 diperintah oleh Pangeran
Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin
oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan
Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama
kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.
(Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak
sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku,
Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah
yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu
itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua
di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat
Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum.
Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda,
membentuk wilayah komunitasnya masing-masing karena taktik Belanda "divide
et impera". Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu
seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon,
Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada
1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda membagi pulau Jawa menjadi 3 propinsi
yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dimana Batavia dijadikan salah
satu keresidenan dalam provinsi Jawa Barat disamping Banten, Buitenzorg (Bogor),
Priangan, dan Cirebon.
Pada
tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000
orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang
lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya
Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan.
Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi
tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Di awal
abad ke-20, Batavia di utara, Koningspein, dan Mester Cornelis (Jatinegara)
telah terintegrasi menjadi sebuah kota.
Djakarta
(1942–1972)
Penjajahan
oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta
untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan
tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Semenjak
dinyatakan sebagai ibukota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat
kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta.
Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua. Berbagai kantung
pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka
Putih, Rawamangun, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun
secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti
Perum Perumnas.
Pada
masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara
lain Gelora Bung Karno, Mesjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini
pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat
bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat
pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok
Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta
Selatan.
Banjir
merupakan masalah berkepanjangan yang terus melanda Jakarta.Laju perkembangan
penduduk ini pernah dicoba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an
dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang.
Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan
gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan
masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir,
kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada
Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis
Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan
reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
Bahasa
Jakarta
merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku
bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa
digunakan dalam perdagangan pada masa lampau yaitu bahasa Melayu. Penduduk asli
yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu tersebut.
Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak,
Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi
Cideung dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan
penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[15] yang saat ini
disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal
atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Untuk
penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa
leluhur mereka yaitu bahasa Sunda.
Bahasa
daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti
Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, dan juga Tionghoa. Hal demikian
terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk
berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.
Selain
itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata
yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan bahasa
ini adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.
Bahasa
Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk
kepentingan diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa Mandarin juga menjadi
bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.
Budaya
Budaya
Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam
etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik
pendatang dari seluruh Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain,
Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya
Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok,
India, dan Portugal.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di
provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh
budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya
Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Musik
Musik
tradisional maupun modern di Jakarta menggambarkan perpaduan antarbudaya dan
etnis. Pengaruh dari luar Indonesia berasal dari Belanda, Tiongkok, Portugal,
Arab dan India.
Untuk
musik tradisional di Jakarta, seperti tanjidor dan gambang kromong, terdapat
pengaruh baik etnis Sunda seperti penggunaan rebab dan terompet tradisional.
Ada pula pengaruh asing seperti halnya Trombone dan Gitar dari Eropa dan
beberapa irama musik tradisional Tionghoa. Pengaruh dari Portugal juga
menghasilkan musik yang disebut Keroncong
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Cerita
rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen
atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan
maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara
atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial.
Senjata
tradisional
Senjata
khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Etnis
Berdasarkan
sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis
besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi
35,16% penduduk kota. Populasi orang Jawa melebihi suku Betawi yang terhitung
sebagai penduduk asli Jakarta. Orang Jawa banyak yang berprofesi sebagai
pegawai negeri, buruh pabrik, atau pembantu rumah tangga. Etnis Betawi
berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Mereka pada umumnya berprofesi di sektor
informal, seperti pengendara ojek, calo tanah, atau pedagang asongan.
Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak
menggusur etnis Betawi ke pinggiran kota. Tanah-tanah milik orang Betawi di
daerah Kemayoran, Senayan, Kuningan, dan Tanah Abang, kini telah terjual untuk pembangunan
sentral-sentral bisnis.
Disamping
orang Jawa dan Betawi, orang Tionghoa yang telah hadir sejak abad ke-17, juga
menjadi salah satu etnis besar di Jakarta. Mereka biasa tinggal mengelompok di
daerah-daerah pemukiman mereka sendiri, yang biasa dikenal dengan istilah
Pecinan. Pecinan atau kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan
Jatinegara. Namun kini banyak perumahan-perumahan baru yang mayoritas dihuni
oleh orang Tionghoa, seperti perumahan di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter.
Orang Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pengusaha. Banyak diantara mereka
yang menjadi pengusaha terkemuka, menjadi pemilik perusahaan manufaktur,
perbankan, dan perdagangan ekspor-impor. Disamping etnis Tionghoa, etnis
Minangkabau juga banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Di pasar-pasar
tradisional kota Jakarta, perdagangan grosir dan eceran banyak dikuasai oleh
orang Minang. Disamping itu pula, banyak orang Minang yang sukses sebagai
profesional, menjadi dokter, wartawan, dosen, bankir, dan ahli hukum.
Komposisi
etnis kota Jakarta
Etnis
Persentase
Jawa
35,16%
Betawi
27,65%
Sunda
15,27%
Tionghoa
5,53%
Batak
3,61%
Minangkabau
3,18%
Melayu
1,62%
Bugis
0,59%
Madura
0,57%
Banten
0,25%
Banjar
0,10%
*data
berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000
Agama
Grafik
pembagian relatif kaum beragama di Jakarta pada tahun 2005.Agama yang dianut
oleh penduduk DKI Jakarta beragam.
Menurut
data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini
adalah sebagai berikut:[16]
Islam
84,4%
Kristen
Protestan 6,2 %
Katolik
5,7 %
Hindu
1,2 %
Buddha
3,5 %
Jumlah
umat Buddha terlihat agak besar mungkin karena umat Konghucu juga ikut tercakup
di dalamnya. Menurut data Robert Cribb[17] pada tahun 1980 jumlah penganut
agama ini secara relatif adalah sebagai berikut:
Islam
84,4%
Protestan
6,3%
Katolik
2,9%
Hindu
dan Buddha 5,7%
Tidak
beragama 0,3%
Masih
menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama Kong Hu Cu secara relatif adalah
1,7%. Sensus penduduk Indonesia tidak mencatat agama yang dianut selain keenam
agama yang diakui pemerintah.