Selasa, 25 November 2025

Dari Pulau ke Peradaban | Prof. Dr. Drs. Firdaus L.N., M.Si.

Oleh Nik Abdul Rakib Bik Nik Hassan

Kali ini akan dikenujakan sebuah artikel tulisan dari Prof. Dr. Drs. Firdaus, Universiti Riau di Pekanbaru, Provinsi Riau, Sumatra. Prof. Dr. Drs. Firdaus pernah menziarah pejabat Nusantara Studies Center semasa terletak di bawah Fakulti Kemasnusiaan dan Sains Sososial di Prince of Songkla University, Pattani. Artikelnya yang disiarkan di Surat khabar Indragiri (www.indragiri.com). Isinya Adalah berikut:-


Pulau sering dipersepsikan sebagai pinggiran. Jauh dari pusat, terbatas oleh laut, dan seakan tertinggal oleh arus besar perubahan. Namun sejatinya, dari pulau-pulau kecil inilah sejarah peradaban Melayu dan Islam Nusantara pernah bersemi, tumbuh, dan menyebar ke penjuru dunia.


Pertanyaannya hari ini bukan lagi soal jarak geografis, melainkan jarak kesadaran:

apakah kita, khususnya para sarjana Muslim dari wilayah kepulauan, siap menjadikan pulau sebagai titik tolak peradaban, bukan sekadar tempat pulang?


Kita hidup di masa ketika teknologi melaju lebih cepat daripada kebijaksanaan. Kecerdasan buatan, media sosial, dan digitalisasi telah mengubah cara manusia berpikir, bekerja, bahkan beragama. Ilmu pengetahuan mudah diakses, tetapi makna sering kali terlepas dari akhlak.


Di sinilah letak ujian sarjana Muslim hari ini. Ilmu yang dimiliki bukan sekadar bekal mencari kerja, tetapi amanah untuk menerangi. Gelar akademik bukan tanda selesai belajar, melainkan tanda dimulainya tanggung jawab sosial dan moral.


Bagi masyarakat kepulauan seperti Lingga dan Kepulauan Riau, tantangan itu terasa lebih nyata. Potensi maritim, budaya, dan sumber daya lokal sangat besar, tetapi tidak akan bermakna tanpa manusia yang berilmu, beriman, dan berani berbuat.


Dalam Islam, ilmu bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan cahaya. Ia seharusnya membimbing manusia pada kebaikan, bukan menjauhkannya dari nilai. Karena itu, teknologi—betapapun canggihnya—harus berada di bawah kendali etika dan spiritualitas.


Sarjana Muslim dituntut menjadi pribadi yang utuh: cerdas akalnya, lembut hatinya, dan lurus niatnya. Ia tidak hanya piawai menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dalam memaknainya.


Di ruang digital, dakwah dan komunikasi keagamaan menuntut kehati-hatian. Tanpa adab, ilmu bisa berubah menjadi senjata yang melukai; tanpa hikmah, kebenaran bisa kehilangan keindahannya.


Tanah Melayu mewariskan lebih dari sekadar adat dan tradisi. Ia mewariskan cara hidup: menjunjung adab, mendahulukan musyawarah, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.


Nilai-nilai Melayu sejatinya sangat sejalan dengan ajaran Islam. Ketika kearifan ini dirawat dan dipadukan dengan ilmu modern, ia menjadi modal peradaban yang kokoh-tidak mudah goyah oleh arus globalisasi.


Melestarikan budaya bukan berarti menolak kemajuan. Justru dari akar budaya yang kuat, inovasi yang berkarakter dapat tumbuh: ekonomi kreatif berbasis tradisi, pendidikan yang membumi, dan kepemimpinan yang berjiwa kolektif.


Dalam konteks kepulauan, sarjana Muslim setidaknya dipanggil untuk menapaki tiga jalan pengabdian. Pertama, menjadi pencerah masyarakat. Ilmu disampaikan dengan adab, dakwah dilakukan dengan kasih sayang, dan keteladanan ditunjukkan melalui laku hidup sehari-hari.


Kedua, menjadi inovator sosial. Ilmu tidak berhenti di ruang kelas, tetapi hadir dalam solusi nyata: mendampingi UMKM, menguatkan literasi digital, mengembangkan ekonomi syariah, dan memberdayakan masyarakat pesisir.


Ketiga, menjadi penggerak peradaban. Menjembatani tradisi Melayu-Islam dengan dunia global, sehingga identitas lokal tidak hilang, tetapi justru menjadi sumber kekuatan.


Perguruan tinggi adalah pintu, bukan tujuan akhir. Setelah itu, setiap sarjana akan diuji di “universitas kehidupan”: di tengah masyarakat, di dunia kerja, dan dalam pergulatan nurani.


Ilmu yang tidak diamalkan akan layu. Ilmu yang dibagikan akan tumbuh. Ilmu yang disertai akhlak akan melahirkan peradaban.


Sarjana Muslim hendaknya menjadi produsen pengetahuan, bukan sekadar pengguna. Menulis, meneliti, dan mengabdi—sekecil apa pun—adalah bentuk syukur atas ilmu yang dianugerahkan Allah SWT.


Pulau mungkin kecil di peta, tetapi tidak kecil di hadapan Tuhan. Dari pulau-pulau inilah cahaya bisa dinyalakan—asal ada manusia yang mau menjaga iman, menajamkan ilmu, dan menghidupkan akhlak.


Jika tidak mampu melakukan perubahan besar, lakukanlah perubahan kecil dengan niat yang besar. Karena peradaban tidak selalu dibangun oleh langkah gigantis, tetapi oleh langkah-langkah tulus yang istiqamah.


Dari pulau ke peradaban, semoga perjalanan itu dimulai dari hati yang bersih dan ilmu yang diamalkan. (*)


 --------------------------------------------

Prof. Dr. Drs. Firdaus L.N., M.Si. adalah akademisi asal Kampung Tengah, Desa Raya, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, yang meniti pendidikan dari SD hingga SMA di Dabosingkep sebelum meraih gelar Sarjana Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau (1988) dengan predikat cum laude dan sebagai lulusan tercepat serta pemuncak wisuda; melanjutkan Magister  Sains bidang Ekofisiologi Tumbuhan di Universitas Gadjah Mada (1995), dan meraih gelar Ph.D di bidang yang sama dari École Nationale Agronomique de Montpellier (ENSAM), Prancis (2001), sekaligus menjadi doktor pertama dari Pulau Singkep. Ia mencapai puncak karier akademik sebagai Guru Besar Ekofisiologi Tumbuhan FKIP Universitas Riau pada 1 April 2007 dan tercatat sebagai profesor pertama dari Kabupaten Lingga, dengan pengalaman kepemimpinan akademik dan nasional yang luas, termasuk sebagai Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Wakil Rektor I Universitas Maritim Raja Ali Haji, Wakil Dekan FKIP Universitas Riau, serta alumni PPSA XVI Lemhannas RI, dan telah mengunjungi lebih dari 30 perguruan tinggi di 16 negara.


Catatan Redaksi Surat Khabar Indragiri


Artikel ini merupakan catatan reflektif oleh Penulis dari Naskah Lengkap Orasi Ilmiah dalam Rangka Wisuda Sarjana III Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Lingga (STIT-LG)  Dabosingkep, 13 Desember 2025 berjudul “Dari Pulau ke Peradaban: Peran Sarjana Muslim dalam Transformasi Ilmu, Teknologi, dan Kearifan Melayu Menuju Indonesia Berkemajuan”.

Jumaat, 7 November 2025

ร้านอาหารไทย (Restoren Singgora) สขลา เมืองโกตาบารู รัฐกลันตัน

โดย นิอับดุลรากิ๊บ  บินนิฮัสซัน

เมื่อพูดถึงอาหารไทย เรามักจะหมายถึงคนจากสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ ร่วมกันเดินทางไปเปิดร้านอาหารไทย ซึ่งได้กลายเป็นอาหารยอดนิยมของคนมาเลเซีย เมื่อกล่าวถึงร้านอาหารไทย สิ่งที่ขาดไม่ได้คือความไม่สมดุลระหว่างชาวสามจังหวัดชายแดนภาคใต้กับชาวมาเลเซีย  เมื่อมีเพื่อนถามแย้งว่าทำไมหรือ ก็ตอบว่า มันไม่ win-win กันสักเท่าไร ถ้าเรามองในมุมมองของชาวมาเลเซีย จะเห็นถึงความไม่สมดุล จนถ้ามีใครสักคนจุดกระแสท้องถิ่นนิยมขึ้นมา มันจะกระทบกับวงการร้านอาหารไทยอย่างมาก นั้นคือ เราไปเปิดร้านอาหารในมาเลเซีย เงินทุนไม่ว่าจะนำเอามาจากสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ก็ตาม เพราะเมื่อเจ้าของเป็นคนมาจาก หรือมีรากเง้ามาจากสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ ย่อมที่จะเอาคนทำอาหาร คนงานล้วนมาจากสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ เมื่อถามว่า ทำไมไม่เอาคนมาเลเซีย หรือคนรัฐกลันตัน ที่มีวัฒนธรรมคล้ายกับคนสามจังหวัดชายแดนภาคใต้  ก็ได้รับคำตอบว่า คนมาเลเซีย ค่อนข้างที่จะขี้เกียจ หรือไม่ก็ จะไม่ทำงานชนิดที่ต้องใช้แรงงาน ก็จะบอกผู้นั้นว่า งั้นคุณก็ทำงานแบบเอาเปรียบเจ้าบ้าน เอาเงินจากเจ้าบ้าน แล้วนำกลับไปใช้จ่ายในสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ ถ้าร่วมอาศัย แบบ win-win มันจะเป็นเกราะป้องกันเราเองด้วย

ยังมีอีกประเภทหนึ่งที่เรามองข้าม นั้นคือ การที่ชาวมาเลเซีย ใช้ประโยชน์จากการที่อาหารไทยได้รับความนิยม แล้วเปิดเอง โดยใช้แบรนด์อาหารไทย ในครั้งนี้ มายกตัวอย่างของร้านอาหารที่สร้างโดยชาวมาเลเซีย คือ ร้านที่ชื่อว่า ร้านสงขลา หรือ Restoren Singgora ใช้แบรนด์ชื่อว่า สงขลา มีการตกกแต่งร้าน ซึ่งเป็นบ้านไม้เก่าๆ มาเป็นร้านที่เรียกว่า Antique


ผู้เขียนไม่เคยไปลองอาหารของร้านสงขลา พอถามว่า ร้านอยู่ที่ไหน ได้รับคำตอบว่า อยู่บริเวณลุนดัง ในตัวอำเภอโกตาบารู และเมื่อสอบถามญาติในเมืองโกตาบารู ว่าอรู้จักร้านสงขลาไหม ได้รับคำตอบว่า น่าจะอยู่ไม่ไกลจากตัวเมือง


ร้านสงขลา อาจจะเป็นร้านพื้นๆ แต่เจ้าของ นามนายมูฮัมหมัด บินซอลและห์ จบปริญญาตรีจากมหาวิทยาลัยแห่งชาติมาเลเซีย (Universiti Kebangsaan Malaysia) เป็นคนใกล้อำเภอยือลี ถือว่า เป็นลูกหลานของชาวเมืองระแงะในส่วนอยู่รัฐกลันตัน ได้ใช้โซเชียลมีเดีย ในการประชาสัมพันธ์ร้าน จนได้รับการยอมรับ และมีนักการทูตจากต่างประเทศไปทานอาหารที่ร้านของเขา

อยากให้ชาวสามจังหวัดชายแดนภาคใต้ลองศึกษาบทเรียนร้านสงขลา และร้านอื่นๆ แล้วนำมาใช้ประโยชน์กับธุรกิจวงการร้านอาหารไทยของชาวสามจังหวัดชายแดนภาคใต้