Oleh Nik
Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Adat dan Hukum Aceh adalah Adat dan Hukum yang sangat menarik dan patut kita pelajari. Di sin saya kemukakan sebuah kajian tentang Adat dan Hukum Aceh yang ditulis oleh Herman RN, semasa menulis beliau adalah mahasiswa di FKIP PBSID Unsyiah, dan dia adalah pegiat kebudayaan dan aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat.
Adat dan Hukum di Aceh
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh
yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat
institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga
merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan
bermasyarakat,
Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku
dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat
yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud
seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua
Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga
pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan
laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut.
Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga adat itu
sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi
dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika
lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut
akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh
kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampông
Barô.
Kampung yang dulunya
berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat
kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat
Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki
bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi
kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah
terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi
dalam pengambilan keputusan.
Kasus lain pernah
terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam
Lhom.
Kasus itu terhitung
rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat
oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi
adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan
masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai
tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita lihat hukum
yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara dan
denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita
dengar. Misalkan saja ketika
seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi
denda sampai Rp 50 ribu.
Hal ini pernah menimpa
beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan
Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya,
orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku
pada penegak hukum.
Dalam hukum adat semua
jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati
masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun
dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis
penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
menasihati.
Tahap kedua teguran,
lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di
meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada
denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga
perangkat adat sekalipun.
Menilik hukum yang
diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai dengan
syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada
orang yang silap tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati
terlebih dahulu? Oleh karena Aceh ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di
Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan hukum Islam. Islam tidak pernah
memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di Aceh selalu berpedoman
kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD nomor 7 tahun 2000
bab II pasal 2.
Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya.
Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa
lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan,
dan ketertiban masyarakat.
Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim. Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat, niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu pro rakyat. Semoga!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan