L.N. Firdaus
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia
Corressponding
Author:
firdausln@lenturer.unri.ac.id
PENDAHULUAN
Fenomena kesadaran akan identitas
etnis, kultural, dan Agama kian meningkat yang dipicu oleh modernisasi,
perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan globalisasi sehingga mendorong masyarakat
memperkecil jati diri serta menafsirkannya dalam pengertian kemasyarakatan yang
lebih sempit (Huntington, 2005). Ajakan Sultan Hamengku Buwono X (2007) Merajut
kembali keindonesiaan kita merupakan sebuah isyarat adanya krisis
nilai-nilai keanekagaman budaya etnis yang menghiasi persada Nusantara.
Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut. Gemar mengarungi
luas samudra” yang populer 1960-an hamper tak pernah dinyajikan
lagi. Padahal, sesiapa saja yang meresapinya dalam-dalam nilai yang tersebat dalam
bair lagu tersebut, niscaya akan timbul
rasa kebanggaan sebagai Anak Bangsa terhadap
nilai perjuangan yang sanggup mempersatukan kita hari ini. Kenapa narasi
tersebut sanggup menggetarkan semangat persatuan kita? Macam-macam penjelasan yang mungkin.
Satu diantaranya, boleh jadi karena ianya mengandung nilai-nilai perjuangan
suci Nenek Moyang kita dalam membangun Tamadun Nusantara yang maju dan
bermarwah.
Wawasan
Nusantara memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah, dengan darat udara,
dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di
dalamnya yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Jadi, ketika orang mulai
“menjauhi” laut, maka mulai terpisahlah bangsa ini. Padahal melihat sejarah
penyebarannya, mayoritas sukubangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari satu
induk, yaitu rumpun Austronesia (Bambang Budi Utomo, 2007).
Kini, nuansa kebanggaan
itu agaknya semakin memudar hati anak bangsa. Boleh
jadi karena ramai anak bangsa ini sudah merasa muak dengan perangai yang saban
hari mereka dengar, tonton, bahkan yang mereka alami dan rasakan sendiri dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan atmosfir yang pengap dengan
kemunafikan, korup, tak adil, bertele-tele dan masih banyak lagi yang
menyakitkan hati. Jika kegersangan sosial dan kemusyrikan sosial semakin subur,
maka nilai-nilai kemanusiaan akan sulit tumbuh (Muhammad NUH, 2013). Kegersangan sosial terjadi karena
ketidakseimbangan antara penegembangan kecerdasan minda dan kecerdasan hati. Kebanyakan
manusia Indonesia hari ini lebih memetingkan keselamatan diri sendiri dan
kelompoknya ketimbang persoalan bangsa yang sarat dengan konflik tak berkesudah
yang hanya menimbulkan kebencian sehingga merobek tenunan-tenunan sosial
sebagai perekat persebatian.
Modal untuk membangun suatu bangsa atau daerah
bukanlah ditentukan oleh kekayaan alam dan modal finansial yang melimpah,
melainkan modal sosial (social capital) yang dimiliki bangsa atau daerah (Fukuyama, 1995). Pada masa lalu, manusia (Homo sapiens) menaklukkan dunia berkat kemampuan unbiknya
yang percaya pada mitos-mitos kolektif tentang dewa, uang, kesetaraan, dan
kebebasan (Harari, 2017), namun di masa depan, manusia (Homo deus) akan
menggeser kekuataan global, dari seleksi alam sebagai kekuatan utama evolusi
menuju teknologi baru tingkat dewa, seperti kecerdasan buatan dan rekayasa
genetika (Harari, 2019). Dan lebih ke depan lagi, persoalan kemanusiaan akan
menjadi ultra-kompleks dengan hadirnya
manusia pasca digital (Maggi
Savin-Baden (2021).
“Kebaikan dalam segala kegiatan manusia adalah pancaran suara hati yang
terang, yang nurani”, ujar Nurcholis Madijd dalam Bukunya “Indonesia Kita”
(2004). Sebaliknya, “kejahatan adalah pancaran suara hati yang gelap, yang
zulmani”. Karena itu dalam memandang dan menilai persoalan kehidupan masyarakat
multikultural diperlukan ketajaman sensitivitas hati nurani yang kian
menunjukkan gejala-gejala menuju kematian.
Pengikisan
Nilai
Nilai pencerahan dari peradaban Bahari yang
diwariskan oleh Nenek Moyang kita melalui perjuangan tiada mengenal lelah ini--
seakan-akan tak bergeming oleh euphoria anak negeri yang gemar mengambil milik orang lain bukan haknya. Fenomena
ini secara kasat mata dapat diteroka dari kecendrungan perilaku anak bangsa
yang paradoksal. Kebesaran Nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara semestinya
membuat anak bangsa ini insyaf dan lebih arif dalam bertindak melalui laku “Merangkai
Pulau, Memakmurkan Negeri”, bukan sebaliknya “Menjual Pulau,
Meluluhlantakkan Negeri”.
Djoko Pramono
(2005) sangat prihatin dengan kondisi masih terbatasnya pemahaman maupun
pemanfaatan khasanah kekayaan kebaharian Nusantara. Penelusurannya terhadap
unsur-unsur kekuatan laut seperti letak geografis, bangun muka bumi, luas dan
setting wilayah, budaya komunitas pesisir, dan faktor institusional membawanya
pada sebuah kesimpulan bahwa kemunduran kehidupan kebaharian kita disebabkan
oleh faktor-faktor internal, seperti konflik, intrik, dan keserakahan antar berbagai
unsur internal.
Penelusuran
Adrian B. Lapian (2008) tehadap jejak penduduk Nusantara dengan budaya
maritimnya mampu membawa kita mengenali budaya maritim dan pasang surut suatu
episode penting zaman Bahari di Indonesia dengan Enterprising Spirit yang memukau. Perkara benci kepada sesuatu
adalah urusan hati. Perkara cinta setengah mati juga urusan hati. Jadi, akar masalah kian memudarnya rasa cinta
kepada negara dan bangsa pasti lah juga
mesra hubungannya dengan rasa sakit hati
anak bangsa ini.
Nilai-nilai
kearifan Budaya Bahari Nusantara
Indonesia merupakan Negara Kepulauan Terbesar di
Asia Tenggara yang terletak pada posisi silang antara dua benua (Asia Daratan
dan Australia) dan dua samudra (Samudra Indonesia dan Pasifik), dengan luas
lautnya dua pertiga dari luas daratan. Eksistensi Negara Indonesia di posisi
silang strategis itu mendedahkan suatu proses akulturasi yang membentuk Bangsa
Indonesia seperti sekarang, baik dalam aspek religi, sosial budaya, maupun
bahasa. Cara pandang Bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya merupakan
satu kesatuan yang utuh.
Bagi Indonesia,
laut merupakan sumber kemakmuran,
alat pemersatu Bangsa dan Negara yang
menjadi tumpuan harapan, peluang menuju masa depan yang cemerlang, gemilang,
dan terbilang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Nenek Moyang
Bangsa Indonesia sangat arif mewariskan pesan Kultural Bahari kepada anak
cucunya:
“Kalau hidup hendak selamat,
peliharalah: Laut beserta Selat, Tanah berhutan
lebat karena di situ terkandung:
Rezeki dan
Rahmat, Tansil Ibarat, Aneka Nikmat, Beragam Manfaat, dan
Petuah Adat”.
“Tanda orang Berbudi Pekerti, merusak alam ia
jauhi”,
“tanda orang berakal budi, merusak hutan ia tak
sudi”,
“tanda ingat ke hari tua, laut dijaga bumi
dipelihara”,
“tanda ingat
ke hari kemudian, taat menjaga laut dan hutan”.
Sejarah Indonesia juga mencatat bahwa masyarakat
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dalam lingkup budayanya
masing-masing. Keanekaragaman budaya ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat majemuk. Budaya
suku-suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan hamparan
kekayaan budaya Indonesia. Wawasan Nusantara telah terbukti dapat mempersatukan
Bangsa Indonesia melalui Kalung “Bhinneka
Tunggal Ika”. Namun kenapa dalam perkembangan terkini, terutama di era
otonomi daerah cenderung mengancam keutuhan NKRI yang mengarah kepada tumbuhnya
Chauvinisme Kedaerahan? Padahal UUD
NKRI 1945 melalui Pasal 32 secara tegas menyatakan. “Pemerintah memajukan
kebudayaan nasional Indonesia”. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi erosi
semangat kebangsaan yang bernilai luhur.
Dijelaskan pula bahwa kebudayaan Lama dan Asli sebagai puncak-puncak kebudayaan
di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan sebagai Kebudayaan Bangsa. Yudi
Latif (2020) memberikan pencerahan bahwa “Puncak-puncak kebudayaan di daerah”
itu adalah budaya-budaya di daerah yang memiliki daya sintas (berpotensi
dihidupkan kembali). Selain daya sintas, puncak-puncak kebudayaan itu adalah
kebudayaan daerah yang unggul (local
wisdom).
Koentjaraningrat (1974) mendefinisikan budaya
sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara
belajar”. Merujuk pada konsepsi budaya
tersebut, nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara akan lebih mudah digali dari
tapak-tapak Budaya Melayu dalam Tamadun Bahari Nusantara yang nota bene menjadi pionir mengarungi
Kepulauan Nusantara. Parsudi Suparlan & Budhisantoso (1985) mengemukakan
bahwa Orang Melayu merupakan salah satu
suku bangsa di Indonesia yang cukup besar jumlahnya dan sangat luas wilayah
persebarannya. Ismail Hussein (2001) dari perspektif Tamadun Melayu menyongsong
Abad Kedua Pulus Satu menegaskan bahwa Dunia Melayu itu selalu terbuka luas,
laksana samudera lepas yang mengelilinginya, dan selalu menerima serta menyerap
pelbagai unsur yang menyentuh pantainya, namun di samping itu tetap
mempertahankan kepribadiannya yang unik.
Ada tiga wujud utama suatu kebudayaan yang dapat dijadikan situs penggalian
nilai-nilai budaya (Koentjaraningrat, 1974); pertama, sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; kedua, sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakukan berpola dari
manusia dalam masyarakat; dan ketiga,
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam realitas
kehidupan sehari-hari, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu
sama lain, dan bahkan saling mengisi dan bertaut secara erat. Itulah sebabnya,
Koentjaraningrat menyederhanakan rumusan kebudayaan sebagai “keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu”.
Dari wujud pertama kebudayaan, nilai-nilai Budaya
Bahari dapat dikenal secara pasti melalui semua nilai-nilai tunjuk ajar Melayu
yaitu segala jenis petuah, petunjuk, nasihat, amanah, pengajaran, dan contoh
tauladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam arti luas (Tenas Effendy,
2004). Dari wujud kebudayaan yang kedua, nilai-nilai budaya Bahari Nusantra
dapat ditemukenali dari bukti dan fakta prasejarah Indonesia bahwa Nenek Moyang
Bangsa Indonesia adalah Asli Bangsa Pelaut atau pengembara (Adrian B. Lapian,
2008). Mereka sejak ribuan tahun Sebelum Masehi ternyata sudah mampu mengarungi
dunia sebagai pelaut-pelaut ulung yang kebudayaannya masih dapat dilacak sampai
saat ini. Berbagai kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara pada
umumnya juga memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian (H.S. Umar, 1986; Djoko Pramono, 2005). Temuan terhadap
beraneka ragam Teknologi Bahari (Muchtar Ahmad, 1986, 2004; Suwardi MS, 1986; Husni
Thamrin, 2003; Djoko Pramono, 2005;
Adrian B. Lapian, 2008) oleh masyarakat
Melayu yang mendiami Kepulauan Nusantara memberikan sumbahan nilai-nilai Budaya
Bahari yang sangat berharga sebagai wujud kebudayaan dalam bentuk benda-benda
(artefak). Oleh sebab itu, para Sejarawan dan Antropolog mengatakan bahwa
“Kebudayaan Melayu adalah Kebudayaan Bahari” (Tenas Effendi, 2000; Muchtar
Ahmad, 1986, 2004).
Puncak Tamadun Bahari Nusantara ini adalah dijadikannya Bahasa Melayu Riau
sebagai landasan bagi pengembangan Bahasa Nasional Indonesia (Parsudi Suparlan
dan Budhisantoso, 1986). Mengapa Bangsa Indonesia memilih Bahasa Melayu Riau,
suatu bahasa yang diucapkan oleh suku-bangsa minoritas yang tinggal di Daerah
Riau dengan jumlah sekitar setengah juta jiwa saja dalam tahun 1930?; Kenapa
Bangsa Indonesia tidak memilih Bahasa Jawa yang pakai oleh hampir 42 juta orang
pada kurun yang sama? Jawaban politik resmi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah Bahasa Melayu Riau sebagai representasi Lingua Franca di wilayah Nusantara mengandung nilai-nilai “semangat
solidaritas”, “kesetiakawanan”, dan “gotong royong” yang tinggi
(Koentjaraningrat, 1986). Bila demikian adanya, maka upaya menghidupkan kembali
(revitalisasi) nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara dalam tata kepemerintahan
dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lain adalah upaya aktualisasi
Wawasan Nusantara dalam mewujudkan Good
Governance.
Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara
Pembukaan
UUD 1945 menegaskan dimensi spiritual
dari sistem administrasi negara kita,
berupa pernyataan keimanan dan pengakuan kemahakuasaan Allah SWT dalam
perjuangan bangsa (alinea tiga); serta cita-cita dan tujuan bernegara, dan
sistem pemerintahan negara (alinea empat). Budaya Melayu Riau sebagai representasi
Budaya Bahari Nusantara memiliki nilai-nilai spiritual luhur yang patut dan
layak dijadikan basis nilai-nilai pembauran dalam masyarakat multicultural.
Masyarakat
Melayu adalah masyarakat yang majemuk sebagai punca dari sifat keterbukannya itu
sehingga didatangi oleh berbilang kaum dan suku bangsa. Kemajemukan itu
menumbuhkan wawasan yang luas sehingga ilmu pengetahuan pun berkembang. Sifat
pluralistik Tamadun Bahari Nusantara ini memberi laluan bersebatinya aneka
nilai budaya sehingga rancangan dan
pelaksanaan pembangunannya bersifat dinamis, penuh alternatif. Dengan corak
seperti itu, masyarakat dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan
situasi, kondisi dan nilai-nilai budaya yang dianutnya.
Ismail
Hussein (2001) secara arif mengakui bahwa Dunia Melayu itu penuh keragaman dari
segi keagamaan, kebudayaan, kesenian serta adat resam, tetapi di bawah
keragaman itu selalu terasa ada satu kesatuan yang mengikatnya. Persebatian Melayu hakikatnya adalah
nilai “persatuan dan Kesatuan” yang
menjadi asas dari terwujudnya kerukunan hidup antarmasyarakat, antarkaum,
antarsuku, dan antarbangsa (Tenas Effendy, 2003). Nilai-nilai persebatian
inilah (kemajemukan, tenggang rasa,
kegotong-royongan, senasip-sepenanggungan, musyawarah dan mufakat, dan rela
berkorban) yang memungkinkan kerjasama antar sesama anggota masyarakat
tanpa memandang asal-usulnya. Nilai-nilai budaya Bahari ini dapat disimak
melalui ungkapan adat: “Elok rencana
karena bersama, terkabul niat karena mufakat”, “apabila kerja hendak bermanfaat, dahulukan dengan duduk mufakat”,
“apabila kerja hendak semenggah, bawalah
umat bermusyawarah”.
Telah
jamak diketahui bahwa Melayu itu identik
dengan Islam. Budaya Melayu adalah budaya yang sumber dan acuannya bersebati
dengan ajaran Agama Islam. Karenanya Islam tidak dapat dipisahkan dari
kemelayuan, bahkan dianggap sebagai “Jati Diri Kemelayuan” seseorang. Nilai
inilah berpuncanya nilai-nilai luhur Budaya Melayu (Hasanuddin WS, 2003). Amanah
dalam Budaya Melayu adalah nilai taat dan setia terhadap sumpah dan janji, dan
tata dan setia pula dalam memikul tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan
kepadanya. Ungkapan adat mengatakan: “apabila
taat memegang amanah, tegaklah tuah berdiri marwah”, atau dikatakan: “tanda orang berbudi pekerti, taat memegang
amanah dan janji” atau “apabila kerja
hendak semenggah, jangan sekali melanggar amanah”.
Sejarah
mencatat bahwa kunci kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu Nusantara merupakan
andil dari kebudayaannya yang bersifat terbuka. Dengan keterbukaan itulah, berbagai unsur positif budaya luar yang mereka
cerap dan cerna dapat mempekaya khasanah Budaya Melayu sehingga meningkatkan
kecerdasan, taraf hidup dan kesejahteraan rakyat. Sifat keterbukaan itu
menjadikan mereka dikenal arif dalam menyusun kebijakan pembagunan, berjaya
dalam perniagaan, ekonomi, dan sebagainya sehingga mereka mampu mengarungi
samudra luas menjalin hubungan dagang dan politik dengan berbilang bangsa.
Perilaku
Responsif sebagai cerminan Pelayanan Prima dalam Good Governance hanya dimungkinkan oleh aparatur yang berkarakter rendah hati,
pemurah, sabar, lapang dada. Sikap ini secara turun temurun dikekalkan dalam
Budaya Melayu sebagai jati dirinya. Konon, istilah “Melayu” itu pun berasal
dari “melayukan” diri, yakni merendahkan hati, berlaku lemah lembut, dan
berbuat ramah tamah (Tennas Effendy, 2004a).
(Sambung
bahagian 2)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan