Isnin, 22 November 2021

REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA BAHARI NUSANTARA (Bahagian 1) - Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si, Universitas Riau, Indonesia.

L.N. Firdaus

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia

 

Corressponding Author:

firdausln@lenturer.unri.ac.id

 

PENDAHULUAN

 

Fenomena kesadaran akan identitas etnis, kultural, dan Agama kian meningkat yang dipicu oleh modernisasi, perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan globalisasi sehingga mendorong masyarakat memperkecil jati diri serta menafsirkannya dalam pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit (Huntington, 2005). Ajakan Sultan Hamengku Buwono X (2007) Merajut kembali keindonesiaan kita merupakan sebuah isyarat adanya krisis nilai-nilai keanekagaman budaya etnis yang menghiasi persada Nusantara.

 

Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut. Gemar mengarungi luas samudra” yang populer 1960-an hamper tak pernah dinyajikan lagi. Padahal,  sesiapa saja yang meresapinya dalam-dalam nilai yang tersebat dalam bair lagu tersebut, niscaya akan  timbul rasa kebanggaan sebagai Anak Bangsa terhadap  nilai perjuangan yang sanggup mempersatukan kita hari ini. Kenapa narasi tersebut sanggup menggetarkan semangat persatuan  kita? Macam-macam penjelasan yang mungkin. Satu diantaranya, boleh jadi karena ianya mengandung nilai-nilai perjuangan suci Nenek Moyang kita dalam membangun Tamadun Nusantara yang maju dan bermarwah.

 

Wawasan Nusantara memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah, dengan darat udara, dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Jadi, ketika orang mulai “menjauhi” laut, maka mulai terpisahlah bangsa ini. Padahal melihat sejarah penyebarannya, mayoritas sukubangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari satu induk, yaitu rumpun Austronesia (Bambang Budi Utomo, 2007). 

 

Kini, nuansa kebanggaan itu agaknya semakin memudar hati anak bangsa.   Boleh jadi karena ramai anak bangsa ini sudah merasa muak dengan perangai yang saban hari mereka dengar, tonton, bahkan yang mereka alami dan rasakan sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan atmosfir yang pengap dengan kemunafikan, korup, tak adil, bertele-tele dan masih banyak lagi yang menyakitkan hati. Jika kegersangan sosial dan kemusyrikan sosial semakin subur, maka nilai-nilai kemanusiaan akan sulit tumbuh (Muhammad NUH, 2013).  Kegersangan sosial terjadi karena ketidakseimbangan antara penegembangan kecerdasan minda dan kecerdasan hati. Kebanyakan manusia Indonesia hari ini lebih memetingkan keselamatan diri sendiri dan kelompoknya ketimbang persoalan bangsa yang sarat dengan konflik tak berkesudah yang hanya menimbulkan kebencian sehingga merobek tenunan-tenunan sosial sebagai perekat persebatian.

 

Modal untuk membangun suatu bangsa atau daerah bukanlah ditentukan oleh kekayaan alam dan modal finansial yang melimpah, melainkan modal sosial (social capital) yang dimiliki bangsa atau daerah (Fukuyama, 1995). Pada masa lalu, manusia (Homo sapiens)  menaklukkan dunia berkat kemampuan unbiknya yang percaya pada mitos-mitos kolektif tentang dewa, uang, kesetaraan, dan kebebasan (Harari, 2017), namun di masa depan, manusia (Homo deus) akan menggeser kekuataan global, dari seleksi alam sebagai kekuatan utama evolusi menuju teknologi baru tingkat dewa, seperti kecerdasan buatan dan rekayasa genetika (Harari, 2019). Dan lebih ke depan lagi, persoalan kemanusiaan akan menjadi ultra-kompleks dengan hadirnya  manusia pasca digital (Maggi Savin-Baden (2021).

“Kebaikan dalam segala kegiatan manusia adalah pancaran suara hati yang terang, yang nurani”, ujar Nurcholis Madijd dalam Bukunya “Indonesia Kita” (2004). Sebaliknya, “kejahatan adalah pancaran suara hati yang gelap, yang zulmani”. Karena itu dalam memandang dan menilai persoalan kehidupan masyarakat multikultural diperlukan ketajaman sensitivitas hati nurani yang kian menunjukkan gejala-gejala menuju kematian.  


Pengikisan Nilai

Nilai  pencerahan dari peradaban Bahari yang diwariskan oleh Nenek Moyang kita melalui perjuangan tiada mengenal lelah ini-- seakan-akan tak bergeming oleh euphoria anak negeri yang gemar  mengambil milik orang lain bukan haknya. Fenomena ini secara kasat mata dapat diteroka dari kecendrungan perilaku anak bangsa yang paradoksal. Kebesaran Nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara semestinya membuat anak bangsa ini insyaf dan lebih arif dalam bertindak melalui laku “Merangkai Pulau, Memakmurkan Negeri”, bukan sebaliknya “Menjual Pulau, Meluluhlantakkan Negeri”.

 

Djoko Pramono (2005) sangat prihatin dengan kondisi masih terbatasnya pemahaman maupun pemanfaatan khasanah kekayaan kebaharian Nusantara. Penelusurannya terhadap unsur-unsur kekuatan laut seperti letak geografis, bangun muka bumi, luas dan setting wilayah, budaya komunitas pesisir, dan faktor institusional membawanya pada sebuah kesimpulan bahwa kemunduran kehidupan kebaharian kita disebabkan oleh faktor-faktor internal, seperti konflik, intrik, dan keserakahan antar berbagai unsur internal.

Penelusuran Adrian B. Lapian (2008) tehadap jejak penduduk Nusantara dengan budaya maritimnya mampu membawa kita mengenali budaya maritim dan pasang surut suatu episode penting zaman Bahari di Indonesia dengan Enterprising Spirit yang memukau. Perkara benci kepada sesuatu adalah urusan hati. Perkara cinta setengah mati juga urusan hati. Jadi,  akar masalah kian memudarnya rasa cinta kepada negara dan bangsa  pasti lah juga mesra hubungannya dengan  rasa sakit hati anak bangsa ini.

Nilai-nilai kearifan Budaya  Bahari Nusantara

 

Indonesia merupakan Negara Kepulauan Terbesar di Asia Tenggara yang terletak pada posisi silang antara dua benua (Asia Daratan dan Australia) dan dua samudra (Samudra Indonesia dan Pasifik), dengan luas lautnya dua pertiga dari luas daratan. Eksistensi Negara Indonesia di posisi silang strategis itu mendedahkan suatu proses akulturasi yang membentuk Bangsa Indonesia seperti sekarang, baik dalam aspek religi, sosial budaya, maupun bahasa. Cara pandang Bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh.

 

Bagi Indonesia,  laut merupakan  sumber kemakmuran, alat pemersatu Bangsa dan Negara  yang menjadi tumpuan harapan, peluang menuju masa depan yang cemerlang, gemilang, dan terbilang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Nenek Moyang Bangsa Indonesia sangat arif mewariskan pesan Kultural Bahari kepada anak cucunya:


“Kalau hidup hendak selamat,

peliharalah: Laut beserta Selat, Tanah berhutan lebat karena di situ terkandung:

 Rezeki dan Rahmat, Tansil Ibarat, Aneka Nikmat, Beragam Manfaat, dan

Petuah Adat”.

 

“Tanda orang Berbudi Pekerti, merusak alam ia jauhi”,

“tanda orang berakal budi, merusak hutan ia tak sudi”,

“tanda ingat ke hari tua, laut dijaga bumi dipelihara”,

 “tanda ingat ke hari kemudian, taat menjaga laut dan hutan”.

 

Sejarah Indonesia juga mencatat bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dalam lingkup budayanya masing-masing. Keanekaragaman budaya ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk.  Budaya suku-suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan hamparan kekayaan budaya Indonesia. Wawasan Nusantara telah terbukti dapat mempersatukan Bangsa Indonesia melalui Kalung “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun kenapa dalam perkembangan terkini, terutama di era otonomi daerah cenderung mengancam keutuhan NKRI yang mengarah kepada tumbuhnya Chauvinisme Kedaerahan? Padahal UUD NKRI 1945 melalui Pasal 32 secara tegas menyatakan. “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi erosi semangat kebangsaan  yang bernilai luhur. Dijelaskan pula bahwa kebudayaan Lama dan Asli sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan sebagai Kebudayaan Bangsa. Yudi Latif (2020) memberikan pencerahan bahwa “Puncak-puncak kebudayaan di daerah” itu adalah budaya-budaya di daerah yang memiliki daya sintas (berpotensi dihidupkan kembali). Selain daya sintas, puncak-puncak kebudayaan itu adalah kebudayaan daerah yang unggul (local wisdom).

 

Koentjaraningrat (1974) mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”.  Merujuk pada konsepsi budaya tersebut, nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara akan lebih mudah digali dari tapak-tapak Budaya Melayu dalam Tamadun Bahari Nusantara yang nota bene menjadi pionir mengarungi Kepulauan Nusantara. Parsudi Suparlan & Budhisantoso (1985) mengemukakan bahwa   Orang Melayu merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang cukup besar jumlahnya dan sangat luas wilayah persebarannya. Ismail Hussein (2001) dari perspektif Tamadun Melayu menyongsong Abad Kedua Pulus Satu menegaskan bahwa Dunia Melayu itu selalu terbuka luas, laksana samudera lepas yang mengelilinginya, dan selalu menerima serta menyerap pelbagai unsur yang menyentuh pantainya, namun di samping itu tetap mempertahankan kepribadiannya yang unik.

 

Ada tiga wujud utama suatu kebudayaan  yang dapat dijadikan situs penggalian nilai-nilai budaya (Koentjaraningrat, 1974); pertama, sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; kedua, sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakukan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu sama lain, dan bahkan saling mengisi dan bertaut secara erat. Itulah sebabnya, Koentjaraningrat menyederhanakan rumusan kebudayaan sebagai “keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”.

 

Dari wujud pertama kebudayaan, nilai-nilai Budaya Bahari dapat dikenal secara pasti melalui semua nilai-nilai tunjuk ajar Melayu yaitu segala jenis petuah, petunjuk, nasihat, amanah, pengajaran, dan contoh tauladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam arti luas (Tenas Effendy, 2004). Dari wujud kebudayaan yang kedua, nilai-nilai budaya Bahari Nusantra dapat ditemukenali dari bukti dan fakta prasejarah Indonesia bahwa Nenek Moyang Bangsa Indonesia adalah Asli Bangsa Pelaut atau pengembara (Adrian B. Lapian, 2008). Mereka sejak ribuan tahun Sebelum Masehi ternyata sudah mampu mengarungi dunia sebagai pelaut-pelaut ulung yang kebudayaannya masih dapat dilacak sampai saat ini. Berbagai kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara pada umumnya juga memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian (H.S. Umar, 1986; Djoko Pramono, 2005). Temuan terhadap beraneka ragam Teknologi Bahari (Muchtar Ahmad, 1986, 2004; Suwardi MS, 1986; Husni Thamrin, 2003; Djoko Pramono, 2005; Adrian B. Lapian, 2008) oleh   masyarakat Melayu yang mendiami Kepulauan Nusantara memberikan sumbahan nilai-nilai Budaya Bahari yang sangat berharga sebagai wujud kebudayaan dalam bentuk benda-benda (artefak). Oleh sebab itu, para Sejarawan dan Antropolog mengatakan bahwa “Kebudayaan Melayu adalah Kebudayaan Bahari” (Tenas Effendi, 2000; Muchtar Ahmad, 1986, 2004).

 

Puncak Tamadun Bahari Nusantara ini  adalah dijadikannya Bahasa Melayu Riau sebagai landasan bagi pengembangan Bahasa Nasional Indonesia (Parsudi Suparlan dan Budhisantoso, 1986). Mengapa Bangsa Indonesia memilih Bahasa Melayu Riau, suatu bahasa yang diucapkan oleh suku-bangsa minoritas yang tinggal di Daerah Riau dengan jumlah sekitar setengah juta jiwa saja dalam tahun 1930?; Kenapa Bangsa Indonesia tidak memilih Bahasa Jawa yang pakai oleh hampir 42 juta orang pada kurun yang sama? Jawaban politik resmi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah Bahasa Melayu Riau sebagai representasi Lingua Franca di wilayah Nusantara mengandung nilai-nilai “semangat solidaritas”, “kesetiakawanan”, dan “gotong royong” yang tinggi (Koentjaraningrat, 1986). Bila demikian adanya, maka upaya menghidupkan kembali (revitalisasi) nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara dalam tata kepemerintahan dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lain adalah upaya aktualisasi Wawasan Nusantara dalam mewujudkan Good Governance.

 

Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara

 

Pembukaan UUD 1945 menegaskan dimensi spiritual dari sistem administrasi negara  kita, berupa pernyataan keimanan dan pengakuan kemahakuasaan Allah SWT dalam perjuangan bangsa (alinea tiga); serta cita-cita dan tujuan bernegara, dan sistem pemerintahan negara (alinea empat). Budaya Melayu Riau sebagai representasi Budaya Bahari Nusantara memiliki nilai-nilai spiritual luhur yang patut dan layak dijadikan basis nilai-nilai pembauran dalam masyarakat multicultural.

 

Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang majemuk sebagai punca dari sifat keterbukannya itu sehingga didatangi oleh berbilang kaum dan suku bangsa. Kemajemukan itu menumbuhkan wawasan yang luas sehingga ilmu pengetahuan pun berkembang. Sifat pluralistik Tamadun Bahari Nusantara ini memberi laluan bersebatinya aneka nilai budaya  sehingga rancangan dan pelaksanaan pembangunannya bersifat dinamis, penuh alternatif. Dengan corak seperti itu, masyarakat dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan situasi, kondisi dan nilai-nilai budaya yang dianutnya.

 

Ismail Hussein (2001) secara arif mengakui bahwa Dunia Melayu itu penuh keragaman dari segi keagamaan, kebudayaan, kesenian serta adat resam, tetapi di bawah keragaman itu selalu terasa ada satu kesatuan yang mengikatnya. Persebatian Melayu hakikatnya adalah nilai “persatuan dan Kesatuan” yang menjadi asas dari terwujudnya kerukunan hidup antarmasyarakat, antarkaum, antarsuku, dan antarbangsa (Tenas Effendy, 2003). Nilai-nilai persebatian inilah (kemajemukan, tenggang rasa, kegotong-royongan, senasip-sepenanggungan, musyawarah dan mufakat, dan rela berkorban) yang memungkinkan kerjasama antar sesama anggota masyarakat tanpa memandang asal-usulnya. Nilai-nilai budaya Bahari ini dapat disimak melalui ungkapan adat: “Elok rencana karena bersama, terkabul niat karena mufakat”, “apabila kerja hendak bermanfaat, dahulukan dengan duduk mufakat”, “apabila kerja hendak semenggah, bawalah umat bermusyawarah”. 

 

Telah jamak diketahui bahwa Melayu itu  identik dengan Islam. Budaya Melayu adalah budaya yang sumber dan acuannya bersebati dengan ajaran Agama Islam. Karenanya Islam tidak dapat dipisahkan dari kemelayuan, bahkan dianggap sebagai “Jati Diri Kemelayuan” seseorang. Nilai inilah berpuncanya nilai-nilai luhur Budaya Melayu (Hasanuddin WS, 2003). Amanah dalam Budaya Melayu adalah nilai taat dan setia terhadap sumpah dan janji, dan tata dan setia pula dalam memikul tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan adat mengatakan: “apabila taat memegang amanah, tegaklah tuah berdiri marwah”, atau dikatakan: “tanda orang berbudi pekerti, taat memegang amanah dan janji” atau “apabila kerja hendak semenggah, jangan sekali melanggar amanah”.

 

Sejarah mencatat bahwa kunci kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu Nusantara merupakan andil dari kebudayaannya yang bersifat terbuka. Dengan keterbukaan itulah, berbagai unsur positif budaya luar yang mereka cerap dan cerna dapat mempekaya khasanah Budaya Melayu sehingga meningkatkan kecerdasan, taraf hidup dan kesejahteraan rakyat. Sifat keterbukaan itu menjadikan mereka dikenal arif dalam menyusun kebijakan pembagunan, berjaya dalam perniagaan, ekonomi, dan sebagainya sehingga mereka mampu mengarungi samudra luas menjalin hubungan dagang dan politik dengan berbilang bangsa.

 

Perilaku Responsif sebagai cerminan Pelayanan Prima dalam Good Governance hanya dimungkinkan oleh  aparatur yang berkarakter rendah hati, pemurah, sabar, lapang dada. Sikap ini secara turun temurun dikekalkan dalam Budaya Melayu sebagai jati dirinya. Konon, istilah “Melayu” itu pun berasal dari “melayukan” diri, yakni merendahkan hati, berlaku lemah lembut, dan berbuat ramah tamah (Tennas Effendy, 2004a).

 

(Sambung bahagian 2)


Tiada ulasan: