L.N.
Firdaus
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia
Corressponding
Author:
firdausln@lenturer.unri.ac.id
Selalu
berupaya Adil dan Benar serta tidak serakah menjadi sandaran Budaya Melayu yang
selalu ditanamkan kepada masyarakatnya, seperti ungkapan adat: “Adat berlaba
sama merasa, adat berezeki sama dibagi”. Nilai-nilai ini dapat mewujudkan
anasir pemerataan melalui perencanaan pembangunan yang adil dan merata sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan sejalan dengan aspirasi masyarakat seperti
dalam ungkapan: “Adat merancang sama
ditimbang”.
Merancang
dan melaksanakan pembangunan memerlukan wawasan yang luas melebihi luasnya
Kepulauan Nusantara serta berpandangan jauh ke depan melampaui jauhnya batas
pandang imajiner Wawasan Nusantara. Budaya Melayu sejak dahulu mengajarkan agar
anggota masyarakatnya haruslah berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan,
agar mereka tidak tergilas oleh perkembangan zaman dan tidak terjebak oleh
rancangan yang “asal Jadi” atau terpaku kepada keperluan “semusim”. Sebab itu
tidak lah mengherankan kenapa dulu Nenek Moyang kita yang dikenal sebagai
Bangsa Pelaut itu mampu menakjubkan manusia sekarang. Mereka mampu mengarungi samudra
maha luas dalam zaman yang dianggap kuno, melintasi 10.000 kilometer ke Timur
di Lautan Pasifik dan 7000 kilometer ke Barat di Lautan Hindi (Ismail Hussein,
2001). Ungkapan adat megingatkan: “Supaya kerja memberi manfaat, jangan sekali
berpandangan singkat” atau dikatakan: “apabila kerja mau senonoh, layangkan
pandangan jauh-jauh”.
Tidak
akan ada profesionalisme tanpa ketekunan. Pembangunan tidak dapat dilakukan
dengan bermalas-malasan. Kearifan Budaya Melayu mengajarkan: “Apa tanda Melayu
Sejati, bekerja tidak separuh hati”, atau dikatakan: “Apa tanda Melayu
terbilang, bekerja tidak alang kepalang”, “Kalau hidup tak mau lenjin, pertama
tekun kedua rajin”. Bila nilai-nilai luhur Budaya Bahari ini diamalkan secara
konsisten, maka profesionalisme para aparatur pemerintahan akan sangat berkesan
dalam Good Governance. Budaya Melayu juga menjungjung tinggi Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi. Orangtua-tua mengatakan: “supaya kerja tidak terbengkalai,
bekerja jangan memandai-mandai; supaya kerja membawa faedah, bekerja jangan
mengada-ada” atau dikatakan: “supaya tidak mendapat malu, duduk bertanya tegak
berguru”. Orang professional sangat
menghargai waktu. Budaya Melayu mengajarkan agar setiap orang disiplin terhadap
waktu dan harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Ungkapan adat mengatakan:
“supaya kerja cepat selesai, jangan sekali berlalai-lalai; apabila suka
berlengah-lengah, niat tak sampai kerja tak sudah”, atau dikatakan: “apabila
hidup hendak terpandang, masa yang ada jangan terbuang; apabila hidup hendak terpandang,
masa yang ada jangan dibuang; apabila hidup hendak terpuji, bekerja jangan
membuang hari”.
Nilai-nilai
Budaya Bahari yang merepresentasikan akuntabilitas, lazim dituangkan dalam
ungkapan rasa bertanggungjawab: “tangan mencencang bahu memikul” atau sifat
Berani “adat bersumpah pantang dilapah, adat berjanji pantang dimungkiri, adat
bekerja pantang bermanja” dan Tabah
“adat bekerja tahan menderita”. Untuk mewujudkan tata kepemrintahan yang baik
dan benar, nilai-nilai tersebut amat diperlukan, terutama dalam memotivasi
masyarakat agar mereka ikut bertanggungjawab terhadap pembangunan dan tidak
semata-mata menyerahkan tanggungjawab itu kepada pemerintah atau pihak lain.
Budaya
Melayu sangat mengutamakan rasa malu,
Tahu diri, Arif dan Bijak. Dari sifat malu inilah, terbentuknya
keperibadian yang terpuji, sehingga merasa “malu berbuat curang, malu melakukan
korupsi, malu menganiaya orang, malu berbuat maksiat, malu bersumpah palsu,
malu menistakan orang, malu mencaci maki, malu menghujat, malu menyumpah
serapah, malu melempar sepatu dalam majelis, malu memfitnah, malu
mencaru-marut, malu berbuat semena-mena, malu memaksakan kehendak”, dan lain
sebagainya. Aktualisasi nilai-nilai Budaya Bahari ini dalam menunaikan amanah
pembangunan niscaya dapat mewujudkan pengawasan yang efektif.
Kesemua
nilai-nilai luhur dalam Budaya Bahari tersebut tentulah bila disimak, dicerna, dihati, dan diamalkan
dengan sungguh-sungguh dalam perancangan dan pelaksanaan pembangunan Nasional.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup
sebuah organisasi (Sofian Effendi, 2005). Munculnya Negara-negara yang unggul
karena mereka memiliki etos kerja dan spirit yang tinggi, yang selanjutnya
menjadi semacam budaya. Bangsa-bangsa tersebut memiliki budaya korporat yang
mereka tuangkan dalam visi, misi dan tujuannya. (Taufiq Effendy, 2008).
Budaya
kerja itu tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi harus diupayakan dengan
sungguh-sungguh melalui suatau proses yang terkendali yang melibatkan semua SDM
dalam seperangkat system, sarana, dan teknik-teknik pendukung (Tenas Effendy.
2004b; Gering Supriyadi dan Tri Guno, 2006). Budaya kerja merupakan Kawah
Candradimuka untuk merubah cara kerja lama menjadi cara kerja baru yang
berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat. Budaya kerja adalah
suatu falsafat yang didasari oleh pandangan hidup manusia terhadap diri dan
lingkungannya sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan motivasi,
membudaya dalam kehidupan suatau kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian
tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapatan, dan
tindakan atau bekerja.
Dari
nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara itu dapat dibuktikan bahwa budaya Melayu
mengutamakan persatuan dan kesatuan atau persebatian antar sesama anggota
masyarakat tanpa memandang asal-usulnya. Ungkapan yang sering didengar,
“Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh,
Ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, Berat sama dipikul ringan
sama dijinjing”. Selain itu, ada nilai kebersamaan, rasa kasih mengasihi, dan
saling bertenggang rasa yang terkenal melalui ungkapan: “ Setikar sebantal
tidur, Sepiring sepinggan makan, Seanak sekemenakan, senenek dan semamak,
Seadat dan sepusaka, Makan tidak menghabiskan minum tidak mengeringkan”.
PENUTUP
Nilai-nilai
Budaya Bahari Nusantara yang sangat kaya secara realistik dapat dikembangkan
dalam upaya membangun masyarakat multikultural karena nilai-nilai tersebut
sesungguhnya telah bersebati dalam diri Anak Bangsa di Kepulauan Nusantara.
Ianya sangat krusial dan strategis dari perspektif membangun Modal Sosial sebagai upaya
akseleratif terwujudnya Indonesia Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Hasil
penyerbukan silang nilai-nilai budaya bahari ini dapat melahirkan Keceradasan
Budaya sebagai modal sosial untuk membangun konektivitas dan inklusivitas
sosial sehingga dapat menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan
pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama yang menjadi
tumpuan rasa saling percaya dan menjadi kekuatan kolektif yang kohesif,
konektif dan inklusif.
Para
penyelenggara Negara diharapkan insaf bahwa kebudayaan bukan sub-ordinat
pembangunan, tetatapi sebagai ordinat. Pemahaman kebudayaan sebagai ordinat itu
perlu diaktualisasikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan Negara. Dunia
pendidikan diharapkan dapat memadukan dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya
bahari tersebut ke dalam Kurikulum
Pendidikan Multikultural secara insklusif di Persada Nusantara.
DAFTAR
PUSTAKA
Adrian
B. Lapitan. (2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad
ke-
16 dan 17. Komunitas Bambu, Depok. Jakarta.
Bambang
Budi Utomo. (2007). Pemaknaan indonesia
raya dalam
konteks
kekinian . Makalah Yang Dipresentasikan Dalam Seminar Kontroversi Lagu Indonesia Raya,
Jakarta 24 Agutus 2007.
Djoko
B. (2008). Togog Menggugat Negeri Maling; Kisah-kisah
Inspiratif
Sarat Makna untuk Membangun Bangsa. rumah.tumbuh
Publishing. Surakarta.
Djoko
Pramono. (2005). Budaya Bahari. Gramedia, Jakarta.
Fukuyama,
F. (2007). TRUST: Kebajikan Sosial dan Penciptaan
Kemakmuran.
Penerbit Qalam. Yogyakarta.
Gering
Supriyadi dan Tri Guno. (2006). Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah; Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan III.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta.
H.S.
Umar. (1986). Nelayan, Petani dan Priyayi Melayu di Riau.
Dalam
Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu Riau dan
Kebudayaannya,
pp. 539- 550.Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.
Harari,
Y.N. (2017). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. KPG
(Pustaka
Populer Gramedia), Jakarta.
Harari,
Y.N. (2019). Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. KPG
(Pustaka
Populer Gramedia), Jakarta.
Hasanuddin
WS. (2003). Pemeliharaan dan Pengembangan Budaya
Melayu.
Dalam Kumpulan Makalah Seminar Budaya Melayu
Sedunia
2003, pp.122-131. Pemerintah Provinsi Riau,
Pekanbaru,.
Huntington,
S.P. (2005). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik
Dunia. Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Husni
Thamrin. (2003). Problematika Masyarakat dan Kebudayaan
Melayu
di Asia Tenggara. Dalam Kumpulan Makalah Seminar
Budaya
Melayu Sedunia 2003, pp.249-272. Pemerintah
Provinsi
Riau, Pekanbaru.
Ismail
Hussein. (2001). Antara Dunia Melayu dan Dunia Kebangsaan.
Dalam
Ismail Hussein, Wan Hashim Wan The, dan Ghazali Shafie (Eds.). Tamadun Melayu
Menyongsong Abad Kedua Puluh
Satu,
pp. 10-44. Penerbit UKM, Malaysia.
Jujun
S. Suriasumantri. (2000) Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer.
Sinar Harapan. Jakarta.
Koentjaraningrat.
(1974). Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan.
Gramedia, Jakarta
Koentjaraningrat.
(1986) Bahasa Melayu, Bahasa Nasional, dan
Bahasa
Jawa. Dalam Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu
Riau
dan Kebudayaannya, pp. 9-16. Pemerintah Provinsi Riau,
Pekanbaru.
Maggi
Savin-Baden. (2021). Postdigital Humans:
Transitions,
Transformations
and Transcendence. Springer Nature,
Switzerland
Muchtar
Ahmad. (1986). Teknologi Bahari dalam Masyarakat Riau.
Dalam
Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu Riau dan
Kebudayaannya,
pp. 203-210. Pemerintah Provinsi Riau,
Pekanbaru.
Muchtar
Ahmad. (2004). Kembali ke Puncak; Kebudayaan Melayu
dalam
Cabaran Masa Depan. Unri Press, Pekanbaru.
Muhammad
NUH, (2013). Menyemai Kreator Peradaban: Renungan
tentang
Pendidikan, Agama, dan Budaya. Penerbit Zaman,
Jakarta.
Nurcholis
Majid. (2004). Indonesia Kita. Penerbit PT Gramedia
Pustaka
Utama, Jakarta.
Parsudi
Suparlan (1986). Melayu dan Non Melayu: Kemajemukan
dan
Identitas Sosial Budaya. In. Budidantoso et al. (Eds).
Masyarakat
Melayu Riau dan Kebudayaannya. Pemerintah
Provinsi
Daerah Tingkat 1 Riau, Pekanbaru, pp. 465-483.
Sofian
Effendi. (2005). Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good
Governance.
Makalah Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi
Diselenggarakan
Kantor Menteri Negara PAN 22 September
2005,
Jakarta.
Suka
Hardjana. (2008). Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera; Percikan
Kebijaksanaan.
KOMPAS. Jakarta.
Sultan
Hamengku Buwono X. (2007). Merajut Kembali
Keindonesiaan
Kita. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Suwardi
MS. (2003). Budaya Melayu dalam Citra Tamadun Bahari.
Dalam
Kumpulan Makalah Seminar Budaya Melayu Sedunia
2003,
pp.35-45. Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.
Suwardi
MS. (2008). Dari Melayu ke Indonesia: Peranan Kebudyaaan
Melayu
dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa.
Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Tenas
Effendy. (2000). Peranan Budaya dalam Pembangunan.
Pekanbaru
(Tidak diterbitkan)
Tenas
Effendy. (2003). Nilai-nilai Asas
Pesebatian Melayu.
Pekanbaru
(Tidak diterbitkan).
Tenas
Effendy. (2004a). Tunjuk Ajar Melayu; Nutir-butir Budaya
Melayu
Riau. Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu
bekerjasama
dengan Penerbit AdiCita, Yogyakarta.
Tenas
Effendy. (2004b). Ethos Kerja.Unri Press. Pekanbaru.
Yudi
Latif. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi,
dan
Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Penerbit PT
Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.