Gajah Mada, nama ini tidak asing lagi bagi orang Indonesia dan juga orang di negara negara serumpun. Tokoh besar inilah yang menjadi kebanggaan seluruh Nusantara. Terdapat banyak buku baik buku sejarah dan sebagainya yang menceritakan ketokohan Gajah Mada. Dan kawan penulis sebagai seorang sastrawan Indonesia juga mengarang novel tentang Gajah Mada berlatarkan agama Islam. Di sini marilah kita mengenali Gajah Mada dari sebuah artikel yang diambil dari Wikipedia.
Dan juga terdapat Novel Misteri Gajah Mada Islam, karangan Bapak Viddy Daery
Bapak Viddy Daery
Gajah Mada (wafat k. 1364) (Hanacaraka: ꦒꦗꦃꦩꦢ ) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa,
yang tercatat di dalam Pararaton.[6] Ia menyatakan tidak akan memakan palapa
sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh
sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan
mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih
kontroversial.[7] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya
sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia[8] dan persatuan Nusantara.
“Pada saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat
wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada,
yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama
di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani,
cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja
Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi
para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara
dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.”
Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka
atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan
prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci (caitya)
untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya
bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama
patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan
tentara Jayakatwang dari Kadiri.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar,
agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya
bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era
Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan
Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah
Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan
di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan
Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan
tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari.
Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan
tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara
hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk
membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui
kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas.
Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar
Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik pengembangan
mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh
Kertanegara.
Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an
tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti
Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara;
dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun tahun 1362 oleh cucunya,
Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara.
Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah dengan Kertanagara.
Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang
mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari
Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari
salah satu selir Kertanagara karena dalam kitab Pararaton, nama Gajah Pagon
disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah
Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan.
Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri
kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi
pada Majapahit.
Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan
Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan
Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara. Dengan demikian, tidak
mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati
Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunan
Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi
Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra
Mandala dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam
mencetuskan Sumpah Palapa.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat
pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang
kariernya naik saat menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja)
pada masa Prabu Jayanagara (1309-1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa
Gajah Mada bernama lahir Mada, sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat
sebagai patih.
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan
khusus Bhayangkara berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) ke desa
Badander dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra,
pegawai istana yang diistimewakan sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa,
dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca[14] disebutkan bahwa
Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan (1319). Dua tahun
kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha /
Kediri. Pengangkatan ini membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis
istana Majapahit pada saat itu. Selain itu, Gajah Mada digambarkan pula sebagai
"seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan
tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan
Mahapatih Amangkubhumi mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada
Ibusuri Gayatri yang menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah
Mada dari Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung
menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit
dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak.
Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan
menjadi pelaksana tugas pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri
meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari
kerajaan Majapahit. Setelah Keta dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada,
barulah pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi
secara resmi menggantikan Arya Tadah (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan,
dan meminta pensiun sejak tahun 1329. (Wikipedia)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan