Prasasti Kedukan Bukit adalah salah satu prasasti yang terpenting dalam pempejaran perkembangan Bahasa Melayu. Disini penulis muatkan maklumat tentang Prasasti Kedukan Bukit yang diambil dari Wikipedia,
Prasasti Kedukan Bukit
ditemukan
oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit,
Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang
mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80
cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini
sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
Keterangan
Pada
baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan
pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama
bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs
Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan M. Boechari (1993: A1-1-4)
mengisinya dengan nama bulan Asada. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti
tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Asada yang bertepatan dengan
tanggal 16 Juni 682 Masehi.
Menurut
George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique),
tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut kamus Jawa Kuna
Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat
di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan,
sukses dalam perjalanannya.”
Dari
prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut: Dapunta Hyang
berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini
(Sungai Musi, Sumatra Selatan). Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat
Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu
sungai Batanghari.
Ada
juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu
ditaklukkan oleh Dapunta Hyang, tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum
menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan
Minanga. Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna
pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar
Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus.
Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah
kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatra Utara
sekarang). Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini
berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya.
Kiagus
Imran Mahmud dalam bukunya Sejarah Palembang menyatakan bahwa Minanga tidak
mungkin Minangkabau, karena istilah tersebut baru muncul setelah masa
Sriwijaya. Ia berpendapat bahwa Minanga yang dimaksud adalah Minanga di daerah
Komering, Sumatra Selatan. Tamwan berarti pertemuan dua sungai (di Minanga),
yaitu Sungai Komering dan Lebong. Tulisan Matayap tidak terlalu jelas sehingga
mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap, sebuah daerah juga di Sumatra Selatan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan