Oleh
Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu
prasasti yang terpenting dalam pempejaran perkembangan Bahasa Melayu. Disini
penulis muatkan maklumat tentang Prasasti Kota Kapur yang diambil dari Wikipedia,
Prasasti
Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan
menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta merupakan salah satu dokumen tertulis
tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der
Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti
pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.
Orang
pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa
Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia
menganggap “Sriwijaya” adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang
kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di
Sumatra pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat
dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand
bagian selatan.
Hingga
tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum
(Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia.
Prasasti
Kota Kapur adalah salah satu dari lima batu prasasti kutukan yang dibuat oleh
Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kadatuan Sriwijaya. Berikut ini isi
lengkap dari Prasasti Kota Kapur, sebagaimana ditranskripsikan dan
diterjemahkan oleh Coédes:
Terjemahan
Keberhasilan
! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)
Wahai
sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadatuan
Sriwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
Bilamana
di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadatuan ini akan ada orang yang memberontak yang
bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang
mendengarkan kata pemberontak;
yang
mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang
tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu;
biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena
kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu
atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar mereka
dihukum
bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat;
seperti mengganggu: ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit,
membuat
orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramwat,
pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga
perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah
melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula
biar mereka yang menghasut orang
supaya
merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk;
dan
dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti,
yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut mati kena kutuk. Akan
tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya
diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan
keluarganya dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari
bencana,
kelimpahan
segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Saka 608,
hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah
kutukan
ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tantara Sriwijaya baru
berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Prasasti
ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran
tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada
bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.
Prasasti
Kota Kapur adalah prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum
Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan di Palembang pada tanggal 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuwo
yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 17
November 1920.
Berdasarkan
prasasti ini Sriwijaya diketahui telah menguasai bagian selatan Sumatra, Pulau
Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri
Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum "Bhumi Jawa"
yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada Sriwijaya.
Peristiwa
ini cukup bersamaan waktunya dengan perkiraan runtuhnya Taruma di Jawa bagian
barat dan Holing (Kalingga) di Jawa bagian tengah. Ada kemungkinan hal tersebut
akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur
perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata.
Prasasti
Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut,
merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa
Hindu-Budha pada masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak
masyarakat yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Buddha.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan