Artikel akademi bertajuk "Keberadaan Orang Melayu Di Sulawesi Selatan Pada Peringkat Awal" ini dibahagikan kepada 2 bahagian. Dan kali ini adalah bahagian ke 2. Artikel akademi ini di tulis oleh Dr. Muhlis Hadrawi, seorang pensyarah di Universiti Hasanuddin, Sulawesi Selatan. Inilah isi kandungan bahagian 2 :-
Dr. Muhlis Hadrawi
D.Gowa-Tallo Sebagai Petempatan Penting Orang Melayu Perkembangan kerajaan Gowa-Tallo dengan kekuatan tentara maritim yang handal menjadi bahagian penting wujudnya bandar dan pelabuhan niaga dalam pertengahan abad ke-16. Kedatangan bangsa Eropah ke timur Nusantara dalam rangka pencarian rempah-rempah dengan melalui jalur tengah yang ditemukan oleh orang Parsi, sehingga Gowa menjadi laluan potensial dan pangkalan niaga antara Malaka dan Maluku.
Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis menjadikan perjalanan Portugis mencapai pulau rempah Maluku semakin lancar. Situasi yang ada menjadi kesempatan bagi Gowa memanfatkan peluang perdagangan tersebut dengan menjalin hubungan dagang dan persahabatan dengan Portugis.
Hubungan dan integrasi yang lebih awal sebenarnya telah berlaku antara
orang Melayu dengan Raja Gowa ke-7 bernama Batara Gowa yang mengawini seorang
putri Melayu bernama I Rerasi. I Rerasi diidentifikasi sebagai putri daripada
seorang Melayu yang berprofesi sebagai pedagang kapur di Sulawesi Selatan. Hasil
perkahwinan inilah yang kemudian melahirkan putranya bernama I Pakkere’tau
Karaeng Tunijallo, raja Gowa ke-8. Raja Gowa ini tidak lama memerintah karena
disebut mati terbunuh, sehingga dia digantikan oleh saudara tirinya bernama
Karaeng Tumaparrisi Kallonna.
Perkahwinan Batara Gowa tersebut menunjukkan salasilah orang Melayu sudah
tercampur dengan darah bangsawan Makassar, memberikan makna integrasi
sosial-politik antara orang Melayu
dengan bangsawan telah berlaku sejak awal.
Penaklukan kerajaan-kerajaan Makassar dan Bugis yang dilakukan oleh
Gowa merupakan rangkaian daripada agenda untuk memegang hegemoni di Sulawesi
Selatan.
Kerajaan Siang dan Suppa’ yang lebih awal menjadi kota pelabuhan dan
perdagangan maritim, tak luput daripada sasaran Gowa yang dilakukan oleh
Karaeng Tumaparrisi’ Kallonna (1510-1546). Keduanya pun ditaklukkan dan
dijadikan sebagai kerajaan bawahan (palili). Namun hal yang patut diketahui
bahawa Suppa’ dan Siang tidak diperkenankan memiliki ruang untuk menjadi kota
pelabuhan dan perdagangan. Kebijakan Raja Gowa adalah memusatkan perdagangan
dan perniagaan antarpulau di pelabuhan kota Sombaopu. Penaklukan Siang dan kerajaan lainnya
tercatat dalam naskhah lontara sebagai berikut.
Transliterasi:
Pannessaéngngi bilanna wanuwa nabétaé Karaéngngé ri Gowa riyasengngé
Tomaparrisi’ Kallonna/ mula-mulanna Garessi’/ maduwana Kantingang/ matelluna
Parigi/ maeppana Siyang/ malimana Sidenreng Manai’/ maennenna Lembanga/ mapitunna nalai sebbukkatinna Bulukumba/
maruwana Silaja /maserana betai Pannaikang/
maseppulona Madello/ maseppulona seddi Céppaga/ maseppulona duwana
sialu’ adai to Maru’é to Polomabangkengngé.
(Sumber ARSIP Rol 30 no. 16.hlm. 96)
Terjemahan:
Yang mengisahkan jumlah negeri yang ditaklukkan Raja Gowa bernama
Karaeng Tomaparrisi’ Kallonna/ pertama Garessi’/ kedua Kantingang/ ketiga
Parigi/ keempat Siang/ kelima Sidenreng Manai’/ keenam Lembang/ ketujuh merebut pusaka Bulukumba/ kedelapan
Selayar/ Sembilan Pannaikang/ sepuluh
Madello/ sebelas Céppaga/ dua belas berdamai dengan orang Maros dan
Polombangkeng.
Kerajaan Siang (Siyang) adalah salah satu dari kerajaan yang direbut
oleh Tumaparrisi’ Kallonna bersama-sama dengan 11 (sebelas) kerajaan
tempatan lainnya. Orang-orang Melayu
yang bertempatan di Siang dikerahkan oleh Raja Gowa menuju Sombaopu sebagai
maksud menyokong pengelolaan pelabuhan dan kegiatan perdagangan di Sombaopu.
Hal itu dipertegas oleh misionaris Portugis bernama Pinto ketika berkunjung di
Makassar pada tahun 1544. Pinto sudah menjumpai banyak pedagang Islam daripada
Johor, Pattani, dan Pahang. Pedagang
Melayu selalu memperoleh keamanan yang baik, sehingga meskipun kerapkali
terjadi perang antara Gowa (Kareng Tunipallangga) dengan Bone (La
Tenrirawé Bongkangngé), namun orang-orang Melayu Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau,
Jawa tetap tidak terpengaruh keberadaannya di Makassar.
Pertengahan abad XVI
masa raja Gowa ke-10, Tunipallangga (1546-1565), orang-orang Melayu semakin ramai berhijrah ke Makassar.
Manuskrip (ANRI Rol 30 no. 16 hlm 98-99)
mengisahkan Raja ini yang memulakan pemisahan pejabat Syahbandar (Mks.:
Sabennara) dan pejabat Urusan Pemerintahan Dalam Negeri bernama dipanggil
Tomarilaleng (Mks.: Tumailalang).
Oleh kerana itu Daeng Pamatte hanyalah
menjabat sebagai Tomarilaleng, sementara jabatan Syahbandar diberikan kepada
orang Melayu, Daeng Majalengka. Pada tahun 1548 salah seorang tokoh Melayu yang
bernama Nakhoda Bonang (Bugis: Anakoda Bonang) datang sebagai pimpinan
sebilangan orang Melayu yang kemudian melakukan perjanjian dengan Raja Gowa
untuk petempatan di wilayah Gowa. Teks manuskrip dikutip sebagai berikut.
Transliterasi
P.98…Yitona naillauwi
onrong Jawa riasengngé Anakoda
Bonang/ Nayi anu natiwiq-é ri Karaéngngé
rinaéllaunna ttudang komaiyé
kuwaéna Kamalété sikaju, sibatu Bélo, aruwa pulona jujungenna Kasala, sikaju Biludu, Cindé Sabbé sitengnga kodi/
Makkedai Anakoda Bonang ri Karaénta Tunipallangga: “Eppaq-I rupanna
uwéllau-llau ridiq”. Makkedai
Karaéngngé: “Agana kuwaé muillau?”
Makkedai Anakoda Bonang: “Uwillau-llaui tenri uttamaiyyé ri laleng sappommeng, tenri
énrekiyé bolammeng, tenri gau’ bawangngé, narékko engka anammeng tenri salosoi ko engka appasalammeng/
(Sumber: Naskhah Koleksi ANRI
Rol 30. No. 16)
Terjemahan:
p. 98…Kepadanyalah meminta tempat oleh orang Jawa bernama Anakoda
Bonang/ Adapun benda persembahan kepada Karaeng atas permintaannya itu adalah
satu bedil (kamalete), sebiji permata, delapan puluh lembar kain kasa, selembar
beludru, kain cinde sutra setengah kodi/
Berkata Nakhoda Bonang pada Karaeng Tunipallangga: ada empat hal yang
kami minta kepada Tuan/ Menjawab Karaeng: “Apa gerangan kau minta?” Aku meminta:
tidak dimasuki pagar kami, tidak
dinaiki rumah kami, tidak sembarang kami diperlakukan, jika orang kami bersalah
tidak langsung disanksi secara sepihak/
Karaeng menerima permintaan tersebut/…
Teks di atas berupa hukum atau kontrak
sosial-politik antara Raja Gowa Tunipallangga dengan orang-orang Melayu yang
diwakili oleh Nakhoda Bonang dalam hal pertempatan ke atas tanah
kekuasaan Gowa. Melalui kontrak
tersebut, orang Melayu yang terdiri atas
pedagang dan pemuka Islam diberikan tempat kediaman di kampung
Mangallekana yang berlokasi di dekat Benteng Sombaopu. Orang Melayu mendapat hak-hak istimewa,
termasuk hak hukum teritori petempatan. Keunggulan hak orang Melayu tidak
terlepas daripada peranan Nakhoda
Bonang, yang tak lain adalah Sunang Bonang, salah seorang daripada Walisongo di
Jawa. Sunan Bonang diutus oleh Demak melalui kerjasama Johor/Melaka membawa
rombongan orang-orang Melayu untuk mendapatkan jaminan petempatan di tanah
kerajaan Gowa.
Para pedagang Melayu yang tergabung dalam kumpulan pimpinan
Nakhoda Bonang ialah orang Pahang, orang Patani, orang Campa (Champ), orang
Minangkabau dan orang Johor. Di dalam rombongan itu terdapat kalangan santri
yang membawa tugas pengislaman di Sulawesi Selatan.
Dipastikan bahwa agama Islam
sudah dibawa oleh orang-orang Melayu dibawa komando Sunang Bonang ke Sulawesi
Selatan. Bukti tersebut didukung fakta pendirian masjid di Mangallekana oleh
Raja Gowa Tunijallo (1565-1590) bagi warga muslim. Pada masa abad ke-16 ini agama Islam sudah
diterima secara terbatas oleh pihak-pihak tertentu di Sulawesi Selatan, namun
belum menjadi agama rasmi dianut oleh raja-raja yang memerintah. Pada masa yang
sama disebutkan agama kristen juga sudah masuk, namun maklumat dan perilaku Portugis terhadap orang Melayu
yang kurang menyenangkan sehingga tidak mendapat tempat yang luas di masyarakat
Bugis-Makassar.
Peristiwa pelarian
puteri Raja Suppa’ oleh kapal Portugis, menjadi noda hitam bagi Portugis
di mata orang Bugis dan Makassar sehingga masa depan misi kristenisasinya pun menemui kegagalan.
Keberadaan orang-orang Melayu di Makassar lebih istimewa kerana adanya
konsensus politik perihal peraturan
petempatan yang diberikan bagi orang-orang Melayu yang berguna bagi perlindungan dan hak-haknya
di atas tanah kerajaan Gowa dan Tallo. Ada empat hak otonomi atas teritori
orang Melayu yang diperoleh atas petempatannya iaitu:
1.Tidak boleh dimasuki
pagar/pekarangan rumahnya tanpa izin.
2.Tidak boleh dinaiki
rumahnya tanpa izin.
3.Tidak boleh diperlakukan
secara semena-mena.
4.Jika bersalah tidak
serta-merta diberi sanksi secara sepihak.
Kondisi sosial yang baik yang diterima orang-orang Melayu sehingga
mereka berjaya melakukan integrasi dengan masyarakat luas dan lingkungan istana
kerajaan. Sejak orang Melayu menetap di Makassar, banyak di antara mereka
berjaya meraih jabatan tinggi di
briokrasi kerajaan Gowa-Tallo. Jabatan khas yang dicapai oleh orang-orang
Melayu sama ada sebagai Syahbandar, Juru
tulis, dan Penasihat Raja.
Jabatan Syahbandar kerajaan Gowa
menjadi sebagai sejarah kecemerlangan mengenai peranan orang-orang
Melayu sepanjang masa. Orang-orang
Melayu secara berterusan yang menjabat Syahbandar dari awal hingga terakhir.
Nama tokoh I Mangambari Kare Mangaweang adalah tokoh dari kalangan orang Melayu
yang masyhur sebagai pejabat syahbandar.
Selain daripada itu, nama Amanna Gappa juga dikenal syahbandar penting kerana
berjaya menyusun kembali hukum pelayaran bagi orang Bugis-Makassar. Jabatan
Kepabeanan di Makassar setelah Kare
Mangaweang pada abad XVI berterusan diwarisi oleh orang Melayu sehingga Encik
Husein manakala Perang Makassar meletus pada tahun 1666.
Hukum Kanun Pelayaran (Lontara Allopi-loping) yang disusun oleh Amanna
Gappa sesungguhnya bagi Reid merupakan
pengaruh daripada hukum pelayaran Melaka yang disusun pada masa akhir
kesultanan Melaka, Sultan Mahmud Syah (1488-1511). Reid mengungkapkan bahawa
undang-undang laut model Melayu ini berpengaruh
juga dalam hukum kelautan Bugis, yang tertulis pada berbagai naskhah.
Para anakoda terkemuka yang berbasis di
Melaka telah menyusun undang-undang laut menjadi undang-undang hukum
kelautan Melayu yang disusun dengan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan lama sejak
masa ketika kesultanan Melaka masih kuat.
Orang Melayu mendapat sambutan baik daripada orang Bugis-Makassar di
daratan, disamping kerana pengetahuan
dan keunggulannya di bidang perdagangan, penganut agama sekaligus
penyebar Islam yang utama, juga kerana kemampuannya melakukan adaptasi sosial
yang baik. Sunderland mengungkapkan bahawa orang Melayu
telah memberikan pengaruh signifikan bagi tatanan budaya bagi penduduk
Sulawesi Selatan – bahkan meluas sampai ke wilayah timur di Maluku dan Fiji.
Orang Melayu memiliki peran yang
besar dalam penyebaran Islam,
pembentukan kultur baru berazaskan sendi-sendi Islam, menata tata-tertib
berinteraksi, berpakaian, pertemuan adat, menggunakan keris (tatarappang), dan
lain-lain. Penyebaran pengaruh orang Melayu yang cepat dan meluas tersebut karena didukung oleh aktiviti perdagangan,
pelayaran niaga. Sehingga pada tahun 1603
atau abad XVII Sulawesi Selatan memasuki babak pengislaman, ulama-ulama
Melayu, Datuk Patimang, Datuk Ditiro, Datu Ribandang, datang dari Minangkabau.
Berikutnya,
tahun 1632 datang pula bangsawan Melayu
dari Patani bernama Datuk Maharajalela bersama keluarganya. Datuk Maharajalela
kemudian tinggal di Makassar dan menjadi kepala kampung bagi orang-orang
Melayu.
E.Kesimpulan
Sebelum agama Islam masuk dan dianut secara rasmi oleh raja-raja
Sulawesi Selatan, hubungan timbal-balik antara orang Melayu dan Bugis-Makassar
khususnya di bidang perdagangan, pelayaran, dan perniagaan telah terjalin
dengan baik.
Semenjak abad ke-15 orang-orang Melayu yang berprofesi sebagai
pedagang telah berlabuh di daratan
kerajaan Suppa, Siang, Bantaeng, dan Selayar serta-merta membina hubungan dengan
penguasa-penguasa lokal. Kerajaan Suppa’, Siang, dan Gowa-Tallo merupakan destinasi utama dan penting bagi orang-orang
Melayu yang datang berdagang dan berhijrah ke Sulawesi Selatan.
Integrasi sosial dan perkahwinan terjalin antara orang-orang Melayu
pendatang dengan bangsawan lokal kemudian menciptakan hubungan salasilah
keturunan Melayu dan Bugis-Makassar. Istilah sosiologis Bugis-Melayu merupakan
wujud daripada integrasi sosial antara orang Bugis-Makassar dan orang Melayu
dari hasil permastautinan sejak telah
lama dan berterusan berlaku.
Perkahwinan Puteri Malaka Wé Tépulingé dengan raja
Bacukiki serta perkahwinan I Rérasi puteri seorang Pedagang Melayu dengan
Batara Gowa, Raja Gowa ke-7, sebuah fakta yang mengkondisikan hubungan yang
lebih mesrah bagi keberadaan orang Melayu di tanah Bugis-Makassar.
Manuskrip Bugis mencatatkan peranan orang Melayu dalam penubuhan
kerajaan tempatan Bugis-Makasar, peranan dalam bidang perdagangan, birokrasi,
Syahbandar, jurutulis Istana, dan penyebaran agama Islam pada awal abad ke-17
oleh ulama-ulama Melayu. Pada abad ke-17 orang Melayu semakin ramai
berkedudukan di Makassar, Mangallekana, Salajo
dan Kampung Melayu sebagai petempatannya utama mereka.
Mereka terlibat
dalam kegiatan perdagangan di Sulawesi Selatan manakala Gowa muncul sebagai
kerajaan maritim yang kuat menggantikan Suppa’ dan Siang. Pelabuhan Sombaopu
menjadi pelabuhan internasional Gowa dan berada di tepi laluan baharu antara
Melaka dan Maluku untuk perdagngan hasil-hasil bumi.
Situasi pelik berlaku di Sulawesi Selatan manakala meletusnya Perang
Makassar (1666-1669).
Perang ini berimpak pada orang Melayu apalagi kerana
mereka memilih berkongsi dengan raja Gowa dan melawan Arung Palakka, raja
Bugis. Gowa yang dikenali sebagai kerajaan terbesar di kawasan Timur dengan
tentara laut yang ditakuti, ternyata dikejutkan oleh perlawanan Arung Palakka
yang disokong oleh Hollanda.
Gowa tak dapat mengelak nasibnya, ia mengalami
kekalahan perang daripada Bone. Tepatnya pada tanggal 18 November 1667
perjanjian Bungaya Gowa-Bugis-Hollanda ditandangani sebagai tanda takluknya
Gowa. Fakta ekoran peristiwa ini membawa orang-orang Melayu yang telah memihak
Gowa ramai meninggalkan Makassar dan menyebar ke pulau-pulau kecil gugusan
Kepulauan Spermonde untuk menyelamatkan diri.
Namun, beberapa waktu
kemudian orang Melayu dijemput datang
lagi oleh Arung Palakka untuk menata ulang kehidupannya di kota Makassar. Pada
akhirnya orang Melayu mendapat tempat baru di kota Makassar dan memulai
kehidupan barunya, menggiatkan kembali aktiviti perdagangan yang memang sudah
menjadi tamadun asasnya.
***
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan.
Makassar: LEPHAS.
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. 2011. Islam Dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu.
Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah
Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Ammarell, Gene. 1999. Bugis Navigation. Monograph 48. New Haven: Yale
Southeast Asia Studies.
Andaya, Leonard Y..1987. Kerajaan Johor 1641-1728, Pembangunan Ekonomi
dan Politik. Terjemahan: Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Edisi 1978 Januari-Februari TH.
1-4.Ujungpandang: Dicetak CV Usmah Akademis.
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan
Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia. Bandung:
Mizan.
Chambert-Loir, Henri.2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim, Lima Teks
Indonesia Lama. Naskah dan Dokumen Lama Seri XXIX. Jakarta: KPG, Ecole
Francaise d’Extreme-Orient, MANASSA, Pusat Kajian Islam dan Masyarakat-UIN
Jakarta.
Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang
Manusia. Jakarta: Gramedia.
Cence, A.A.1972. Bebrerapa Tjatatan Mengenai Penulisan Sedjarah
Makassar-Bugis. Djakarta: Bhratara.
Collins, G.E.P..1992. Makassar Sailing. Singapore: Oxford University
Press, Oxford New York.
Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gossip, Dongeng dan
Lain-lain. Jakarta: Graffity Press.
de Graft, H.J. 2004. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara
Historisitas dan Mitos. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Denisova, Titiana A.2011. Refleksi Historiografi Alam Melayu. Kuala
Lumpur: Univresiti Malaya.
Druce, Stephen Charles. 2009. The Lands West of The Lakes: A History of
the Ajatappareng Kindoms of South Sulawesi,
1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV
Press.
Ghani, Md.Nor bin Hj. Ab. Dkk. 2007. Kamus Dewan Edisi Keempat.Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Gohlich, Ingeborg. 1990. Wo Die Menschen Gern Lachen: Eine Reise Durch
Sud-Sulawesi. (Terj.Gairah Hidup di Bumi yang Hijau: Perjalanan Melalui
Sulawesi Selatan). Ujungpandang:
Hasanuddin University Press.
Hadrawi, Muhlis. 2008. Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis.
Makassar: Ininnawa.
Hashim, Muhammad Yusoff. 1992. The Malay Sultanate of Malacca. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Minstry of Education Malaysia.
Hussin, Nordin.2011. Perdagangan dan Peradaban di Laut Melayu. Bangi:
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia
Jannah, Sofyan, H. Drs. Kalender Hijriyah Dan Masehi 150 Tahun 1364 –
1513 H (1945 –2090 M). Yogyakarta: UII Press.
Kennedy, J..1993. Histiry of
Malaya (Third Edition).Kuala Lumpu: S.Abdul Majeed & Co.
KITLV, onder redactie van Harry A.Poeze en Pim Schoorl. 1991. Excusies
in Celebes. Leiden-Netherlands: KITLV Uitgeverij.
Kuntowijoyo.2003. Metodologi Sejarah (Edisi Kedua).Yogyakarta: PT.Tiara
Wacana Yogya
Mattulada, Prof. Dr. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam
Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti
Baru-Berita Utama.
Miller, George. 2012. Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992.Jakarta:
Komunitas Bambu.
Ming, Ding Choo. 2009. Pengajian di Alam Melayu, Dari Tradisi Manuskrip
ke Maklumat Digital. Bangi: ATMA-UKM.
Ming, Ding Choo. Migration and the Spread of Pantun in Malay
Archipelago. Southeast Asia Journal. Vol.21. No.3 (2012). hlm. 217-249. Center for Southeast Asian Studies. Hankuk
University of Foreign Studies.
Ming. Ding Choo. 2009. Manuskrip Melayu Sumber Maklumat Peribumi
Melayu. Dipersembahkan sebagai Syarahan Perdana jawatan Profesor Universiti
Kebangsaan Malaysia, pada 28 November 2008. Bangi: Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Nomay, Usman. 2010. Orang Melayu di Makassar Abad XVI-XVII. Makassar:
Rayhan Intermedia.
Noorduyn, Jacobus. 1955. Een Achttiende-Eeuwse Kroniek Van Wajo.
Buginese Historiografie. Gravenhage: N.V. Nederlandse Boek En Staeendrukkerij
Noorduyn, Jacobus. 1972. Islamisasi Makassar. Djakarta: Bhratara.
Nogroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit , Peradaban Maritim KeTika
Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan
Dunia. Jakarta: Yayasan Sulu Nuswantara
Bakti.
Paeni, Mukhlis, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara
Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek
Pemasyarakatan dan Desiminasi Kearsipan Nasional, Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI).
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, Forum
Jakarta-Paris Ecole fancaise d’Extreme-Orient.
Putten, Jan van der dan Mary Kilcline
Cody. Lost Times and Untold Tales from the Malay World. Singapura: NUS
(National University of Singapore).
Rasyid, Abdul, dkk. 2000. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta:
Peningkatan Proyek Kesadaran Sejarah Nasional
Direktorat Sejarah Nasional, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depatemen
Pendidikan Nasional.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Resink,G.J. 1973. Negara-Negara Pribumi di Kepulauan Timur. DJakarta:
Bhratara.
Ricklefs, M.C.2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.
Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia, dalam Bahasa dan
Sastra thn. IV Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
--------, S.O. 1988. Principles of Indonesian Philology. Dordrecht Providence: Foris
Publication.
Sutherland, Heather. 2001. The Makassar Malays: Adaptation and
Identity, c.1660-1790. Journal of Southeast Asian Studies, 32,pp 397-421
Oktober 2001. Printed in the United Kingdom. Singapore: NUS.
Sweeney, Amin, et.al.2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan Dalam
Sastra. Depok: Desantara.
Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia
Tenggara. Denpasar: Udayana Univresity Press.
Wan Teh, Wan Hashim dan A. Halim Ali. 1999. Rumpun Melayu Australia
Barat.Bangi: Penerbit UKM.
RUJUKAN SUMBER LONTARA (Manuskripts)
Koleksi Lontara Badan ARSIP Nasional Dan Perpustakaan Wilayah Makassar:
1.Naskhah ANRI Rol 30
No. 16
2.Naskah ANRI Rol 50
No. 10