Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Sebuah masjid yang sangat unik di Indonesia ialah Masjid Menara Kudus. untuk malumat lanjut saya ambil maklumat dari Wikipedia. Inilah isi kandungannya :-
Mesjid
Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Manar , nama resmi: Masjid Al Aqsa
Manarat Qudus; bahasa Jawa: Hanacaraka: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦩꦼꦤꦫꦏꦸꦢꦸꦱ꧀ Pegon dan Arab
standar: مسجد منارة قدوس) adalah
masjid kuno yang dibangun oleh Sunan Kudus sejak tahun 1549 Masehi (956
Hijriah). Lokasi saat ini berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten
Kudus, Jawa Tengah.
Ada keunikan dari masjid ini karena memiliki menara yang
serupa bangunan candi serta pola arsitektur yang memadukan konsep budaya Islam
dengan budaya Hindu-Buddhis sehingga menunjukkan terjadinya proses akulturasi
dalam pengislaman Jawa.
Sehari-hari,
peziarah berkunjung ke masjid ini untuk beribadah sekaligus ziarah ke makam
Sunan Kudus yang terletak di sisi barat kompleks masjid. Selain itu, masjid ini
menjadi pusat keramaian pada Festival Dhandhangan yang diadakan warga Kudus
untuk menyambut bulan suci Ramadan.
Riwayat
Berdirinya
Masjid Menara Kudus tidak terlepas dari peran Sunan Kudus sebagai penggagas dan
pendiri. Sebagaimana Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus menggunakan pendekatan
kultural (budaya) dalam berdakwah.
Ia mengadaptasi dan melakukan pribumisasi
ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dalam
pengaruh agama Hindu dan Buddha. Akulturasi budaya Hindu dan Budha dalam dakwah
Islam yang dilakukan Sunan Kudus terlihat jelas pada arsitektur dan konsep
bangunan Masjid Menara Kudus.
Masjid
ini mulai didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini didasarkan pada
inskripsi berbahasa Arab yang tertulis pada prasasti batu berukuran lebar 30 cm
dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid.[3]. Peletakan batu pertama
menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina, oleh karena itu masjid ini
kemudian dinamakan Masjid Al Aqsha.
Arsitektur
Masjid
Menara Kudus ini memiliki lima pintu sebelah kanan, dan lima pintu sebelah
kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan
tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun
masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar daripada semula karena pada tahun
1918-an telah direnovasi[butuh rujukan]. Di dalamnya terdapat kolam masjid,
kolam yang merupakan padasan tersebut merupakan peninggalan kuno dan dijadikan
sebagai tempat wudhu.
Di
dalam masjid terdapat dua bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib
membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa
disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".
Di
komplek masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah.
Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon
mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta
Sanghika Marga.
Menara
Masjid
Bentuk
Paduraksa Masjid Menara Kudus
Bentuk
Masjid Menara Kudus asli sebelum pelebaran masjid.
Menara
Kudus memiliki ketinggian 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di
sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya
berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan
masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma.
Sementara itu, 12 buah lainnya
berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang
terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan
hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena
bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3)
puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit
kecil).
Kaki
dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk
motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang
dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat
dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi
kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada
bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak
atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas
merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan