Oleh
Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
Persamaan Aceh dengan Patani, Selatan
Thailand ialah masing masing mempunyai Ratu atau Sultanah yang memerintah
negeri masing masing. Di sini saya kemukakan maklumat tentang seorang Sultanah
yang memerintah Aceh iaitu Sultanah Safiatuddin. Maklumat ini diambil dari
Wikipedia. Inilah isi kandungannya :-
Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri
Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi
fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak
tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612 dengan nama
Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota
dunia.”
Ia
memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak
dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2] Safiatuddin
meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.
Riwayat
Sebelum
menjadi sultanah
Sebelum
ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani
(1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti
laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat.
Terjadi
kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui
jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang
Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak
argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
Masa
pemerintahan
Sultanah
Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan
pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga
meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai
hadiah dari kerajaan.
Hubungan
luar negeri
Sejarah
pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir
Portugis, Prancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan
bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang
baik. Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan
antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda,
Portugis, Inggris, India dan Arab.
Penasehat
negara
Pada
masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti)
yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah
Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang
ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula,
Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz
al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman
bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu
Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga
berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan