Oleh:
Ambo Asse Ajis,
Makam kuno peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam dapat dikenali
dengan ciri khas yang dimilikinya. Ciri yang dimaksud , pertama, penggunaan
material khusus untuk nisan (kaki dan kepala) serta badan makam(jirat); kedua,
bentuk atau tipologi nisan kuno dan badan makam; ketiga, keletakan makam yang
istimewa dalam lansekap lingkungan sekitarnya; dan keempat, lokasi makam kuno
umumnya berkarakter pemakaman keluarga dengan ditandai adanya tokoh utama yang
memiliki nisan yang lebih baik dari segi ukiran, ukuran dan posisi makamnya.
Dalam tulisan ini, penulis tertarik membahas khusus tipologi nisan kuno yang
digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam semenjak didirikan oleh Ali
Mughayat Syah tahun 1514 Masehi sampai era sebelum perang dengan kolonial
Belanda di Tahun 1873. Untuk mempermudah pemahaman bagi siapapun yang tertarik menelaah
historiografi nisan kuno para sultan Kerajaan Aceh Darussalam ataupun
tokoh-tokoh Kerajaan Aceh Darussalam lainnya,
sangat disarankan agar
memperhatikan betul kerangka waktu (inskripsi) yang ada di nisan-nisan
tersebut. Dari dasar kerangka waktu inilah kita bisa mengurut urutan peristiwa
sekaligus menanda tipe nisan yang digunakan. Jika hal ini bisa dilakukan, maka
setiap orang akan mudah mengetahui berapa jumlah tipologi nisan Kerajaan Aceh
Darussalam,
pada era apa tipe nisan tertentu digunakan dan banyak lagi hal yang
bisa diperoleh darinya. Kronik Nisan Kuno Sultan-Sultan Kerajaan Aceh
Darussalam Secara historis, nisan kuno yang pertamakali digunakan Sultan
Kerajaan Aceh Darussalam adalah nisan Sultan Ali Mughayat Syah, tertera angka
wafatnya tahun 1530. Ciri nisannya, mulai dari kaki sampai badan berbentuk segi
empat (balok); di bagian bahu (sebelum puncak) ada ornamen bungong awang; di
bagian puncak (kepala/atas) berbentuk bulatan (sering disebut mahkota) yang
bersusun 3 (tiga).
Bahan batuan yang digunakan jenis batu pasir (sands stone)
yang bisa dilihat di Situs Kompleks Makam Kandang XII. Saya menyebut tipe nisan
ini sebagai tipe Ali Mughayat Syah karena sebelum tahun 1530 , belum ditemukan
nisan sejenis yang usianya lebih tua dari nisan Sultan Ali Mughayat Syah.
Rentang masa penggunaan tipe nisan ini berlanjut hingga era Sultan Iskandar
Muda yang meninggal tahun 1636 dan diduga juga digunakan pada nisan Sultan
Iskandar Tsani yang wafat tahun 1641.
Jika dihitung usai penggunaan tipe nisan
ini dari Sultan Ali Mughayat Syah sampai dengan Sultan Iskandar Tsani maka tipe
nisan Ali Mughayat Syah telah digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam
kurang lebih 111 tahun, meliputi 15 (lima belas) orang sultan Aceh. Setelah
wafatnya Sultan Iskandar Tsani (1641), Kerajaan Bandar Aceh Darussalam mulai
berada di bawah kepemimpinan keturunan bugis garis matrilineal yang pangkalnya
dari Tengku Chiek Di Ribe/Daeng Mansur (mertua sekaligus guru Sultan Iskandar
Muda).
Pernikahan Iskandar Muda dengan anak Tengku Chiek Di Ribe/Daeng Mansur
melahirkan keturunan “tuwanku putroe” yang kelak menjadi sultanah-sultanah
Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika memegang jabatan sebagai pemimpin agung
Kerajaan Aceh menjadi sultanah. Mereka adalah Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul
Alam (wafat 1675), Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Akam (wafat 1678), Sri Ratu
Zaqiatuddin Inayat Syah (wafat 1688) dan Sri Ratu Zainatuddin Kemalat Syah
(wafat 1699). Sampai hari ini, makam dan nisan para sultanah ini belum
ditemukan dan sehingga sangat terbuka melakukan riset untuk menginvestigasi
keberadaannya.
Pasca kekuasaan para sultanah, Kerajaan Aceh Darussalam kembali
dipimpin seorang sultan, dimulai dari suami sultanan keempat (terakhir) Ratu
Zainatuddin Kemalat Syah, bernama Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin
(wafat 1702) yang asalnya dari Mekkah Al-Mukarram. Dalam beberapa literatur,
kepmeimpinan sultan ini menandai era kepemimpinan Dinasti Arab di Kerajaan Aceh
Darussalam. Sampai hari ini, makam Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin
belum diketahui keberadaanya. Sepeninggal Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim
Jamaluddin, penguasa berikutnya bernama Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui yang
dalam beberapa sumber wafat tahun 1703 dan lokasi makamnya disebut berada satu
kompleks dengan lokasi makam anaknya bernama Sultan Jamalul Alam Badrul Munir
(wafat 1726).
Baik badan makam dan nisan Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui
tidak ada lagi, disinyalir sengaja dimusnahkan kolonial Belanda karena
mendirikan rumah di atas badan makam sultan dan istrinya. Sultan Jamalul Alam
Badrul Munir (wafat 1726) adalah Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke-22
dimakamkan ditanah wakafnya, sisi selatan Mesjid Baturrahman, yang sekarang
berada di belakang usaha Bakso Hendra Hendri. Dahulu, lokasi makam ini memiliki
luasan areal 100 depa x 100 depa sebagaimana isi salah satu sumber berbahasa
arab jawi.
Tetapi kini, akibat penggunaan lahan yang sembrono, hilangnya rasa
hormat serta buta sejarah, areal makam sultan telah jadi korban sehingga dibuat
jadi sangat sempit dan bahkan diposisikan berdampingan dengan WC dan dapur
masak bakso. Hal yang istimewa dari makam Sultan Jamalul Alam Badrul Munir,
kita menemukan bentuk nisan berbeda dengan tipe Ali Mughayat Syah yang
digunakan para sultan Kerajaan Aceh Darussalam sebelumnya. Nisan Sultan Jamalul
Alam Badrul Munir berbentuk dasar bulat lonjong; bagian kakinya atau dasar
badan dipahat berbentuk heksagon (segi delapan); bagian badan secara umum bulat
lonjong , di bagian bawah lebih kecil dan makin ke atas berukuran lebih besar (lebar);
pada bagian puncak (kepala/atas) ada lingkaran dan dipuncaknya ada mahkota
berukuran kecil di pusat puncaknya.
Bahan dasar nisan ini adalah batu andesit
yang diukir dengan sedikit ornamen. Tipe nisan ini saya sebut sebagai tipe
Jamalul Alam Badrul Munir. Hal yang unik dari nisan ini bahwa penggunaan nisan
tipe Jamalul Alam Badrul Munir telah digunakan pada era Sultanah Ratu
Safiatuddin (wafat 1673) sebagaimana nisan yang digunakan di Kompleks Makam
Syeikh Kuala (wafat 1693). Dengan kata lain, nisan tipe Jamalul Alam Badrul
Munir kemungkinan besar adalah nisan yang dibuat khusus kepada mereka yang
memiliki hubungan ke-ulama-an yang pada masa yang sama juga seorang pemimpin
umat di Kerajaan Aceh Darussalam yang telah eksis dari masa Ratu Safiatuddin. Kemudian,
pasca kepemimpinan keturunan Arab, Kerajaan Aceh Darussalam kembali di bawah
kepemimpinan keturunan Bugis. Namun dari sekian banyak sultan keturunan bugis,
hanya Sultan Mansyur Syah (wafat 1870) yang baru diketahui memiliki model nisan
kunonya sendiri. Nisan kuno yang digunakan di makam Sultan Mansyur Syah
sepertinya memiliki hubungan bentuk dengan Tipe Ali Mughayat Syah dan Tipe
Jamalul Alam Badrul Munir.
Secara bentuk (form) nisan Sultan Mansyur Syah
berbentuk dasar heksagonal (segi delapan); dari dasar badan ke bagian atas
berbentuk segi delapan dengan ukuran bagian bawah lebih kecil dan melebar atau
membesar di bagian atas; di bagian puncak (kepala/atas) terdapat fitur bersusun
tiga (mirip dengan puncak nisan Tipe Ali Mughayat Syah).
Tipe nisan ini saya
sebut sebagai tipe Mansyur Syah. Kesimpulan Berdasarkan kajian kronologi
keberadaan nisan sultan-sultan Aceh yang telah ditemukan saat ini (catatan:
argumen ini akan berubah bila ada temuan baru di masa depan), dapat disampaikan
bahwa baru ada 3 (tiga) tipe nisan yang digunakan sultan-sultan Kerajaan Aceh
Darussalam, yaitu: pertama, tipe Ali Mughayat Syah yang digunakan dari tahun
1530-1641 dengan jumlah pengguna sultan mencapai 15 orang; kedua, tipe Jamalul
Alam Badrul Munir yang digunakan sejak era Ratu Safiatuddin dan kemungkinan
besar telah digunakan sultan keturunan Arab dimulai dari Sultan Badrul Alam
Syarif Hasyim Jamaluddin (wafat 1702), Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (wafat
1703), Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (wafat 1726), Sultan Jauharul Alam
Aminuddin (wafat 1726) dan Sultan Syamsul Alam (wafat 1727).
Dengan kata lain,
tipe nisan ini khas digunakan pemimpin dengan garis ulama-Arab meliputi
penggunaan 5 (lima) orang sultan; dan ketiga, Tipe Sultan Mansur Syah yang
diperkirakan juga umum digunakan para sultan keturunan Bugis pasca tergantinya
kepemimpinan sultan keturunan Arab.
Penggunaan tipe nisan ini diduga mulai
eksis dari Sultan Alauddin Ahmad Syah (wafat 1737) sampai dengan Sultan Mahmud
Syah (wafat 1874) yang meliputi sebanyak 19 Sultan Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketiga tipe nisan sultan kerajaan Aceh Darussalam di atas, memiliki hubungan
bentuk satu sama lain, yang saling melengkapi, menguatkan serta saling
memperindah yang menandakan berlangsung kesinambungan kejayaan seni pahat batu
di Kerajaan Aceh Darussalam dari awal hingga era sebelum perang dengan kolonial
Belanda laknatullah tahun 1873.
Penjajah inilah yang bertanggungjawab telah
mematikan kekayaan warisan budaya Kerajaan Aceh Darussalam. Penulis adalah Tim
Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh.
Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/