Ekonomi/Bisnis

Rabu, 31 Mei 2023

Siapakah Snouck Hurgronje ?

Oleh Nik abdul Rakib Bin Nik Hassan

Dr.  Christiaan Snouck Hurgronje

Di dalam kelas semasa penulis masih memberi kuliah kepada pelajar di Jurusan Pengajian Melayu di Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Beberapa subjek di Jurusan Pengajian Melayu di universiti tersebut penulis akan kemukakan cerita peranan Dr.  Christiaan Snouck Hurgronje terhadap Aceh. Ini adalah supaya pelajar sedar bagaimanakah penjajah dapat mengalahkan pemerintah pribumi di Aceh dan mungkin juga penjajah di lain lain tempat di Nusantara memainkan perana seperti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje ataupun nama Islam (pura puranya) nya Haji Abdul Ghaffar.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje semasa di Makkah

Siapakah Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, Dia adalah seorang Belanda yang berbagai peranan seperti seorang ahli akademi, seorang penulis, seorang agent penjajah atau spy dan juga seorang penasihat kepada penjajah. di sini penulis ambil sebuah artikel asli orang Aceh, Tengku Puteh. Artikelnya “Siapa Snouck Hurgronje” yang disiarkan di blognya Tengkuputeh.com.


Dr. Christiaan Snouck Hurgronje lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857  dan meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun. Dia adalah seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasihat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda ataupun sekarang Indonesia. Pada tahun 1889 dia menjadi profesor Pengajian Melayu di Universitas Leiden dan penasihat rasmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1,400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.

Anak anak Dr.  Christiaan Snouck Hurgronje dengan isteri orang Sunda

Antara 1891-1892, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang saat itu telah fasih berbahasa Aceh, Melayu dan Jawa akhirnya pergi ke Aceh yang hancur oleh Perang Aceh yang berkepanjangan. Dia masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun berjalan tanpa penghalang. Di bawah nama “Haji Abdul Ghaffar”, ia membangun sebuah hubungan kepercayaan dengan unsur agama penduduk di wilayah ini. Dalam laporan tentang situasi agama-politik di Aceh, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje sangat menentang penggunaan taktik teror militer terhadap rakyat Aceh dan sebaliknya menganjurkan spionase terorganisir sistematis dan memenangkan dukungan dari elit aristokrat. Namun Ia melakukan dengan mengidentifikasi sarjana radikal Muslim (Ulama) yang akan menyerah dengan menunjukkan kekuatan.

                          Anak Dr.  Christiaan Snouck Hurgronje

Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Julai 1891 dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.


Dr. Christiaan Snouck Hurgronje mendekati ulama untuk boleh memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan “politik Divide et impera”. Demi kepentingan keagamaan, dia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Dr. Christiaan Snouck Hurgronje meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Jun 1933), Dr. Christiaan Snouck Hurgronje mengatakan bahwa dia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.


Sebagai penasihat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913). Dia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50,000 dan 100,000 penduduk mati dan sekitar satu juta terluka.


Pada tahun 1898 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasihat terdekat Kolonel Van Heutsz dalam “menenangkan” Aceh dan nasihatnya berperan dalam membalikkan keberuntungan Belanda  dalam mengakhiri Perang Aceh yang berlarut-larut. Hubungan antara Heutsz dan Snouck memburuk ketika Heutsz terbukti tidak mau menerapkan ide Snouck untuk administrasi dan etika tercerahkan.

Makam Dr.  Christiaan Snouck Hurgronje

Pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje terpaksa membalikkan metode dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Ini menyebabkan sejarah panjang dan ambivalensi dialami pemerintah Kolonial Belanda dalam menyelesaikan Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje pula yang menyatakan bahawa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk. Di tahun yang sama, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje menikahi wanita pribumi lain dan memiliki seorang putra pada tahun 1905. Kecewa dengan kebijakan kolonial, ia kembali ke Belanda tahun depan untuk melanjutkan karier akademik yang sukses.


Isnin, 29 Mei 2023

Kesan Dari Dasar Siamisasi Masyarakat Melayu Patani Terhadap Identiti Agama.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Setelah Kerajaan Thailand menjalankan dasar Siamisasi atau Asimilasi erhadap masyarakat Melayu Patani. Dapatlah kita lihat bagaimana kesan dari dasar Siamisasi itu ke atas masyarakat Melayu Patani khasnya kesan terhadap agama.


kita lihat kesimpulan yang Sdr. Zawawee Pakda Ameen, pensyarah di Prince of Songkla University, Kampus Pattani yang telah menyelidik kesan dasar tersebut terhadap agama. Kesan terhadap agama kitab oleh lihat melalui tesis MA belau yang diajukan kepada Universiti Malaya dengan Tajuk “Identiti Melayu Patani: Kajian Tentang Peranan Instutusi Pondok di Wilayah Patani.”  Isi kandungannya adalah seperti berikut :


Penduduk Melayu menerima sesetengah perubahan terhadap identiti kebudayaan, bahasa, sejarah dan pondok, namun begitu mereka tidak akan menerima perubahan terhadap identiti agama. Mereka akan mempertahankan dengan sedaya upaya untuk kelangsungan identiti agama yang merupakan teras kepada identiti-identiti lain. Puncak kemahuan penduduk Melayu di Patani adalah untuk menyempurnakan identiti agama.

Mengikut Akta Kewarganegaraan, orang Islam di Thailand berwarganegara Thai. Akta Kewarganegaraan 2508/1965 menyatakan bahawa “Mereka ini berwarganegara Thai melalui kelahiran; (1). Bapa berwarganegara Thai, sama ada dilahirkan di luar atau di Thailand. (2). Bapa bukan warganegara Thai, tetapi ibu berwarganegara Thai. (3). Mereka yang dilahirkan di Thailand.” (Kementerian Luar Negeri 1978: 6). Rakyat Thai mempunyai kebebasan beragama. Dalam perlembagaan Fasal 38  menyatakan bahawa “Individu mempunyai kebebasan dengan sempurna dalam memegang agama atau mazhab agama, dan berhak menjalankan ibadat atau upacara agama mengikut kepercayaan masing-masing. Dalam menggunakan hak tersebut, individu akan dilindungi supaya kerajaan tidak melakukan apa-apa yang mengurangkan hak-hak tersebut, jika tidak bertentangan dengan tugas sebagai rakyat dan keamanan atau moral yang baik” 


Dengan demikian, secara rasminya orang Melayu di Thailand berwarganegara Thai, dan mempunyai kebebasan dari segi keagamaan sama ada untuk mengamalkan upacara agama, menuntut kebebasan dalam perkara yang masih bercanggah dengan Islam atau menyebarkan agama Islam. Sistem pemerintahan demokrasi membolehkan penduduk Melayu pakai tudung di institusi pendidikan awam, termasuk di sekolah rendah dan juga gambar dalam kad pengenalan. Selain itu, orang Islam dapat menjalankan aktiviti-aktiviti agama dengan bebas. Dengan itu ceramah agama, gerakan Jamaah Tabligh dan sebagainya dijalan dengan bebas. Kegiatan tersebut menambahkan kesedaran dan pengtahuan keagamaan kepada penduduk Islam dan juga menyebarkan agama Islam kepada orang yang bukan Islam, seperti penyebaran agama yang pernah dijalankan terhadap penduduk Buddha di kawasan timur laut dan penduduk bukit di kawasan utara Thailand.

Walau bagaimanapun usaha menstabilkan dan menyatupadukan negara berbagai etnik adalah tindakan penting kerajaan zaman moden. Begitu juga di Thailand, dasar tersebut digunakan oleh setiap kerajaan. Institusi Raja, agama Buddha dan sistem kepegawaian kerajaan adalah tiga institusi utama yang berfungsi sebagai alat pengantaran. Setiap rakyat Thai di bawah satu Raja dan agama Buddha adalah simbol dan identiti kebudayaan kebangsaan, dan juga sebagai asas penyatupaduan rakyat. Sementara sistem kepegawaian kerajaan merupakan alat penyampaian dasar kerajaan kepada rakyat berbilang bangsa, agama dan kebudayaan (Pitsuwan, S. 1982).


Masalah yang dihadapi oleh penduduk keturunan Melayu adalah apabila mengambil bahagian dalam pemerintahan kerajaan yang berasaskan agama Buddha (Buddhist Cosmology). Pentadbiran kerajaan dipenuhi oleh pegawai kerajaan Buddha, dan upacara-upacara rasmi yang berbentuk dan mempunyai isi kandungan Buddha. Paling penting ialah sistem kepegawaian kerajaan berkuasa dan mampu mengubah nilai dan norma masyarakat, kebudayaan dan agama supaya selaras dengan kehendak kerajaan. Oleh itu tindakan “integrasi nasional” (National Integration) adalah “pemecahan kebudayaan” (Cultural Disintegration) di sisi penduduk keturunan Melayu. Kerajaan tidak akan mendapat sokongan daripada kelompok etnik ini (Pitsuwan, S. 1984).


Meskipun pihak kerajaan tidak berhenti melaksanakan identiti nasional dan menyebabkan kerajaan berjaya mengubahkan sesetengah aspek daripada identiti bahasa, kebudayaan, sejarah dan pondok. Namun begitu agak sukar sekali atau tidak mungkin terjadi kalau hendak menyuruh penduduk Melayu menukarkan agama mereka kepada agama Buddha. Walaupun begitu, dasar kerajaan dan situasi zaman globalisasi dapat melalaikan sekelompok penduduk Melayu sehingga mereka menjauhi agama Islam. Bagi mereka yang langsung tidak ada asas agama atau lebih dikenali oleh penduduk tempatan dengan “Melayu baka”, mereka ini mungkin menukar agamanya kepada agama lain. Istilah “Melayu baka” adalah merujuk kepada mereka yang hanya mewarisi agama Islam daripada ibu bapa tetapi tidak tahu atau tidak mengamalkan apa yang diperintahkan Islam.

Dalam melaksanakan identiti nasional terhadap penduduk Melayu, sikap majoriti negara dan pemerintah adalah penting. Dasar tersebut akan terjejas sekiranya sikap negatif majoriti negara terhadap penduduk Islam berterusan. Sebagai contoh, panggilan “Khaek” (pendatang) yang masih digunakan oleh majoriti negara terhadap penduduk Islam adalah hasil daripada pemerintah yang tidak menanamkan persepsi dan pemikiran yang wajar kepada majoriti negara. Panggilan khaek telah menambahkan lagi perbezaan antara orang Islam dan golongan majoriti. Sedangkan rakyat Thai yang beragama Kristian seratus peratus dianggap Thai. Apa lagi apabila khaek membawa maksud menghina orang Islam, terutama penduduk Melayu di Wilayah Sempadan Selatan yang status sebenarnya bukan tetamu atau pendatang, sebaliknya mereka adalah pemilik kawasan tersebut.

Dalam sejarah, dasar pemerintahan P.Phibulsongkhram adalah dasar yang banyak menggugat identiti Islam. Menurut Phaitoon Che’Hae (1979: 282), Wiratham perkara ke-4 dalam peraturan “Wiratham 14 Perkara” yang menyebut bahawa “Bangsa Thai menilai agama Buddha lebih tinggi dalam hidup mereka” telah memberi tekanan terhadap penduduk Melayu sehingga terdapat sesetengah mereka sanggup menukar agama kepada Buddha. Omar Farouk (1988) menceritakan bahawa dasar P. Phibulsongkhram mendatangkan kegelisahan terhadap penduduk Melayu sehingga Tengku Abdul Jalal bin Tengku Abdul Muttalib, ahli parlimen Narathiwat menghantar surat bantahan bertarikh 14 Februari 1944 kepada Perdana Menteri. Sebahagian daripada isi kandungannya berbunyi, “Pada tarikh 12 Januari 1944 gabenor wilayah Pattani telah memanggil semua pemimpin agama di daerah tersebut. Gabenor meminta pemimpin-pemimpin agama Islam supaya menghormati atau menyembah patung Buddha.” Walau bagaimanapun pihak kerajaan tidak menjalankan apa-apa tindakan, sebaliknya memberi jawapan bahawa tindakan tersebut adalah sah dan wajar. Sikap kerajaan pada waktu itu amat mengecewakan penduduk Melayu yang seterusnya mendatangkan sikap ketidakpercayaan terhadap kerajaan.

Dasar kerajaan yang berasaskan identiti nasional telah banyak mendatangkan masalah kepada penduduk Islam di Thailand. Keteguhan penduduk Melayu kepada agama Islam telah menyebabkan dasar kerajaan tidak memberi banyak kesan terhadap identiti agama kalau dibandingkan dengan identiti-identiti lain. Sekiranya penduduk Melayu terpaksa meninggalkan identitinya, identiti agama adalah tindakan terakhir dan tidak mungkin terjadi bagi majoriti penduduk Melayu kerana perbuatan tersebut adalah murtad atau jatuh agama.


Rujukan :

Pitsuwan, Surin (1982). Islam and Malay Nationalism: A case Study of the Malay Muslim of Southern Thailand. Ph.D. Thesis, Havard University, Massachusttes.


Pitsuwan, Surin (1984). Nguankhai Thang Karn Muang Thi Nam Pai Su Karn Lamurt      Sitthitmanusyachon Nai Changwat Chaidaen Phaktai. (Syarat Politik Yang Menyebabkan Masalah Peri Kemanusiaan di Wilayah Sempadan Selatan). Bangkok: Thammasat University.


Pitsuwan, Surin dan Staanan, Chawat (1984). Si Changwat Phaktai Kab Punha Sitimanusayachon. (Empat Wilayah Selatan dan Masalah hak Asasi). Bangkok: Thammasat University.


Paitoon Che’Hae, (1979). Nayobai Chatniyom Khong Prathed Thai (Dasar Nasionalisme Thailand). Tesis M.A., Srinakharintrawiroj University,Prasarnmit.


Sabtu, 27 Mei 2023

Prasasti Raja Ramkhamhaeng (Thailand) : Satu penilaian baru terhadap sejarah Semenanjung Tanah Melayu.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

                                 Prasasti Raja Ramkhamhaeng 

Pandang ahli akademi Thailand terhadap Tanah Melayu. Mereka lebih merujuk kepada prasasti yang dikatakan ditulis oleh Raja Ramkhamhaeng yang dikatakan memerintah Kota Sukhothai pada 1279-1298. Dengan merujuk kepada prasasti atau batu bersurat Raja Ramkhamhaeng ini pihak Thailand telah mendakwa bahawa kekuasaan Thailand atau Siam dizaman dulu telah menakluk Tanah Melayu hingga ke Temasik (Singapura). Walaupun begitu terdapat segolongan ahli akademi Thailand  tidak percaya dengan tafsiran bahasa di prasasti tersebut. Lebih lebih lagi kemudian ini terdapat beberapa seminar dan terbitan buku buku tentang keraguan teradap prasasti Raja Ramkhamhaeng ini.


Prasasti Raja Ramkhamhaeng adalah satu Prasasti penting dalam sejarah Thailand. Prasasti ini menjadi bahan rujukan  ahli sejarah Thailand. Disebabkan Prasasti ini ditulis dalam bahasa  Thai lama. Maka terdapat beberapa tafsiran isi kandungan Prasasti  ini kurang jelas seperti tafsiran yang dibuat oleh Goerge Coedes. Tafsiran  beliau  dapat  mempengaruhi  beberapa  ahli  sejarah  Malaysia.[1] Sebenarnya kini prasasti ini menjadi bahan kontroversi. Kerana ada berbagai pendapat berkenaan dengan keaslian prasasti  ini. Sesetengah ahli sejarah tempatan menolak tafsiran Goerge  Coedes. Mereka mengatakan prasasti ini dibuat pada zaman  Bangkok.[2] Begitu juga dengan Michael Vickery dari Australia yang  mengatakan prasasti ini bukan ciptaan Raja Ramkhamhaeng.  Sebaliknya ia adalah ciptaan Rama IV di zaman era Bangkok. Prasasti ini juga seperti “Piltdown” iaitu satu bahan sejarah di  Inggeris. Bahan tersebut menjadi bahan rujukan ahli sejarah  Inggeris, tetapi bahan itu telah menggemparkan dunia bidang  sejarah di Inggeris. Kerana bahan sejarah itu mempunyai   kepalsuan. 

                           Ahli sains dengan Piltdown Man

Begitulah Michael Vickery telah membuat  perbandingan Piltdown, bahan sejarah Inggeris dengan  prasasti Raja  Ramkhamhaeng, Dan didapati serpihan tenkorok dari “Piltdown Man” itu dari tengkorok berok.[3]


Bagi seorang kerabat Diraja Thailand yang progresif, Prince  Chanchirayuk Rachani mendakwa beliaulah orang pertama  yang  menyatakan prasasti Raja Ramkhamhaeng bukan ciptaan Raja  Ramkhamhaeng.[4]  Mr. Saeng Monvitoon membantah keaslian  prasasti ini dengan mengatakan Raja Ramkhamhaeng bukan  pencipta prasasti ini. Sebaliknya Rama IV (Bangkok) adalah  penciptanya yang sebenar.[5]

                                  Prasasti Wat Sri Chum

Seorang pensyarah Universiti Thammasart, Bangkok bernama  Dr. Piriya  Kraireuk, pengarah Pusat Kajian Thai di universiti tersebut   mengemaskan lagi pendapat keraguan terhadap Prasasti Raja Ramkhamhaeng. Beliau memberi beberapa bukti keraguannya  terhadap prasasti itu seperti berikut:[6]


1. prasasti Raja Ramkhamhaeng terlalu kecil saiznya jika  dibandingkan dengan prasasti- prasasti lain prasasti Raja  Jayavarman VII yang sezaman dengan Raja Ramkhamhaeng. Begitu  juga dengan  prasasti - prasasti di era Sukhothai yang lain.


2. Bahasa Thai dalam prasasti Raja Ramkhamhaeng  menggunakan huruf vokal sebaris dengan huruf abjad. Ia tidak  pernah berlaku dalam sejarah bahasa Thai kecuali bahasa Thai  dalam prasasti Raja Ramkhamhaeng dan huruf bahasa Thai rekaan  Raja Rama IV yang dikenali dengan nama "Huruf Ariyaka". Iaitu  huruf mirip dengan huruf Latin untuk penulisan dalam bahasa Pali  di kuil-kuil Buddha. Akhirnya huruf Ariyaka tidak digemari para sami  buddha dan  huruf tersebut hilang begitu saja.


3. Bahasa Thai dalam prasasti Raja Ramkhamhaeng adalah termuat  perkataan-perkataan yang digunakan di zaman Bangkok.


4. prasasti Raja Ramkhamhaeng  tercatat dalam tahun Era sebaliknya tahun-tahun tersebut jika diubah menjadi tahun masihi   seperti tahun B.E 1800 menjadi 1800 masihi, ia akan terbukti  semua yang berlaku mengikut prasasti itu sama seperti peristiwa yang telah berlaku di zaman Raja Rama IV (Bangkok).


Salah seorang sami Kerabat diraja, Krom Praya Pawareswariyalongkorn telah mengarang sebuah buku untuk   menerangkan perkara tersebut. Begitu juga dengan Mr. Michael  Wright yang mengatakan bahawa huruf yang tercatat dalam  prasasti Raja Ramkhamhaeng sebenarnya tidak sesuai diukir  jadi prasasti.


Miss Muk-Horm Wongtes[7] menyebut bahawa  prasasti ini adalah ciptaan  Raja Ramkhamhaeng yang disokong oleh dari 3-4 orang ahli sejarah Thai dan 7-8 orang ahli sejarah barat seperti  W. Woodward  Wyatt dan sebagainya. Bagi ahli sejarah yang mengatakan prasasti ini  adalah rekaan Raja Rama IV (Bangkok) pula terdiri dari 2 orang ahli  sejarah barat iaitu Dr. Michael Vickery  dan Michael Wright selain  itu adalah ahli sejarah tempatan. Miss Muk-Horm mesifatkan  bahawa para ahli sejarah yang mempertahankan pendapat  terhadap keaslian Prasasti Raja Ramkhamhaeng ialah mereka yang  mempertahankan kareer akademi (Defend Academic Career). Kerana kebanyakan karya-karya mereka telah menjadikan prasasti  ini sebagai bahan rujukan utama. Mereka tidak sempat menyelidik  karya-karya ahli sejarah tempatan yang berkarya dalam bahasa  Thai.


Bryce  G. Beemer dalam Tesis  M.A.nya yang diajukan di Universiti  Hawaii pada tahun 1999 berjudul "Constructing The Idea State : The Idea of Sukhothai in Thai History 1833-1957.[8]  Ada menyebut  bahawa sejarah di zaman Ayudhya dan awal era Bangkok  menganggap Sukhothai bukannya kerajaan yang penting dalam  sejarahnya.  Sejarah di akhir zaman Ayudhya dan awal era  Bangkok  tidak pernah memberi penghormatan dalam penulisan  sejarahnya  terhadap Sukhothai, kerana Sukhothai pernah bersepakat dengan  kerajaan Hongsawati (Pegu) iaitu Myanmar untuk menyerang  Ayudhya pada kali pertama dalam tahun 1568. Di zaman tersebut  menganggap Sukhothai sebagai penderhaka.


Orang yang berperanan menonjolkan Sukhothai sebagai kerajaan  yang pertama dalam sejarah Thailand ialah Prince Dhamrong  Rajanubhap, Raja Rama IV dan Luang Wichit Wattakarn (penggubal dasar Siamisasi terhadap semua etnik minoriiti di Thailand). Beemer  menyebut pendapat Luang Wichit Wattakarn sebagai Ultra  Nationalist Historography, kerana menggunakan Sukhothai sebagai  lambang kegemilangan bangsa Thai tidak seperti Ayudhya dan  Bangkok yang dianggapnya berada dalam zaman kegelapan. Beliau  membangkit semangat ras Thai supaya kembali semula kepada  zaman kegemilangan itu.


Keraguan atas keaslian Prasasti Raja Ramkhamhaeng masih  diketengahkan. Jika terbukti bahawa Prasasti ini bukan ciptaan Raja  Ramkhamhaeng, ia bereti sejarah beberapa kerajaan Melayu di  Semenanjung Tanah Melayu yang ada kaitan dengan sejarah  Thailand mesti dibuat penilaian baru. Jika  Prasasti ini memang  ciptaan Raja Ramkhamhaeng, kita juga mesti membuat pentafsiran  baru kerana Thailand telah lama mendakwa bahawa  Kerajaan Sukhothai menakluki seluruh Semenanjung Tanah Melayu dengan  merujuk kepada Prasasti  Raja Ramkhamhaeng ini. Pendapat ini  selaras dengan tafsiran George Codes seorang ahli sejarah  berbangsa Yahudi yang pernah khidmat dengan Prince Dhamrong  Rajanubhap.

                   Buku Chom na sakdina Thai(Wajah Feudalis Thai)
Chit Bhumisakdi seorang ahli sejarah  Thailand yang terkenal telah  menulis dalam bukunya seperti  berikut:[9]


        b    “ Ahli sejarah biasanya menganggap bahawa 

                Empayar Sukhothai keluasannya ke selatan

                sampai ke  Johor, ini mustahil !  sebenarnya

                cuma Negeri Nakorn Sri Thammarat (Negara 

                Dharma Raja atau Legor)  sahaja yang berada di bawah 

                kekuasaan Sukhothai seperti prasasti (Ramkhamhaeng )

                mencatatkan  keluasan  di  sebelah  selatan  ke

                Nakorn Sri Thammarat seterusnya ke “Laut”.

                Yang dimaksudkan Laut di sini ialah  danau Singgora”


Sebuah lagi  prasasti Sukhothai yang dikenali dengan nama  Prasasti  Wad Srichum mencatatkan bahawa keluasan kawasan awal  Sukhothai ke sebelah selatan sampai hanya ke Rajburi dan Petburi  sahaja seperti tercatatnya      

                   “Sebelah selatan keluasannya sampai dua  ratus  ribu 

                     depa”[10]


Bagi  Amarhum Phaitoon  Che’ Hae, seorang lulusan sarjana dalam  bidang sejarah dari Universiti Silpakorn, Bankok mengatakan, jika  dikira jarak jauh sepanjang dua  ratus  ribu  depa  dari  Sukhothai, ia  hanya  mempunyai  keluasan ke  selatan  sampai  ke  Kuala  Teluk Siam di Samut Prakarn iaitu di pinggir Kota Bangkok.



[1] Malaysia  Kita , Institut  Tadbiran  Negara , Kuala  Lumpur ,1991 Muka  89

[2] Lihat  tulisan Sujit Wongtes dalam  majalah Culture  and Art pada November 1991  Muka

  232 dan tulisan Srisakara Valliphodom  dalam  majalah  Culture  and  Art  pada Februari 

  1985  Muka 60

[3] Michael Vickery, "The Ramkhamhaeng Inscription : a  Piltdown Skull of  Southeast Asia  

  History ?" Proceedings of the International Conference on Thai Studies, The Australia  

  National University, Canberra, 3-6 July 1987 : Vol. 1 Compiled by Ann Buller, Canberra ,

  Autralia National University, 1987  pp. 191-211

[4] Prince Chanchirayuk Rachani, Khrai Plorm Silachareuk Po Khun Ramkhamhaeng (Siapa

  memalsukan Prasasti Raja Ramkhamhaeng), Matichon Publication, 1990 Muka 51.

[5] Prince Chanchirayuk Rachani, Muka 22

[6] Dr. Piriya  Kraireuk, Chareuk Po Khun Ramkhamhaeng : Kan Wikrok Cheung Prawatisart Silpa

  (Prasati Raja Ramkhamhaeng : Analisis ala Sejarah Seni), Amrin Printing Group , 1989  Muka

  22-23 ,122-223

[7] Muk-Horm Wongtes, The Sound of Society and the fury of the Ivory Tower: Reflection on 

  The Ramkhamhaeng Controversy, Thesis MA, University of Cornell, muka 92-93  dan 98-99.  

[8] Michael Wright, Silacharuk Phokhun Ramkhamhaeng Khrai Plom(Prasasti Raja

  Ramkhamhaeng siapa memalsukannya), Majalah Culture and  Art , Disember 1999 Muka

  109.

[9] Sobsmai Srisutphan (Chit Bhumisakdi), Chom na sakdina Thai(Wajah Feudalis Thai),

  Chomrom nangseu Saeng Tawan , Bangkok, 1976  muka 130.

[10] Tanorm  Anamwattana, Prawattisat Thai juk korn Prawatisat thung sin Ayudhya (Sejarah

   Thailand Sebelum Sejarah sehingga aman Ayudhya) Bangkok:Srinakharintrawiroj University,

   1975, muka 62.


 

Khamis, 25 Mei 2023

Penduduk Keturunan Melayu di Selatan Thailand.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan


Thailand juga seperti lain-lain negara yang mempunyai penduduk berbilang etnik termasuk etnik Melayu. Dan kali ini akan bicara tentang etnik Melayu di Thailand khususnya etnk Melayu di provinsi-provinsi yang dominan etnik Melayu. Provinsi-provinsi tersebut ialah Provinsi Pattani, Provinsi Yala, Provinsi Narathiwas, Provinsi Setul dan 4 daerah di Provinsi singgora atau Songkhla.


Michel Gilquin mengatakan pihak Universiti Michigan telah menjalankan satu kajian pada tahun 1998 menyatakan lebih dari 80 % penduduk muslim di Thailand berbahasa Melayu. Dan dalam kajian tersebut juga mengatakan penduduk muslim (Melayu) yang padat sekali di Selatan Thailand iaitu di Provinsi Pattani, Provinsi Yala, Provinsi Narathiwas, Provinsi Setul dan 4 daerah di Provinsi singgora atau Songkhla. Bagi sekitar 35-50 % penduduk Muslim mendiami di provinsi Trang, Provinsi Phuket, Provinsi Krabi, Provinsi Pang-nga, Provinsi Pattalung

Mengikut Pejabat Statistik Thailand pada tahun 2010

Penduduk umum berbanding degan pendudk Melayu/Muslim


Provinsi-provinsi di Bangkok dan kawasan sekitarnya

Ayutthaya 870,700 jiwa       Melayu/Muslim 4.3 % = 37,440 jiwa


Nonthaburi  1,334,100 jiwa  Melayu/Muslim 3.1 % = 41,357 jiwa


Patumthani 1,327,100 jiwa   Melayu/Muslim 2.7 % = 35,831 jiwa


Bangkok  8,305,200 jiwa คน  Melayu/Muslim 4.6 % = 382,039 jiwa


Provinsi-provinsi di Selatan

Legor  1,450,500 jiwa           Melayu/Muslim 6.6 % = 95,733 jiwa


Krabi  362,200 jiwa               Melayu/Muslim 34.6 % = 125,321 jiwa


Trang  598,900 jiwa              Melayu/Muslim 14.3 % = 85,642 jiwa


Pattalung  481,000 jiwa       Melayu/Muslim 11.7 % = 56,277 jiwa


Phuket  525,700 jiwa          Melayu/Muslim 16.0 % = 84,112 jiwa


Pang-nga  258,500 jiwa       Melayu/Muslim 22.1 % = 57,128 jiwa


Ranong  249,000 jiwa         Melayu/Muslim 12.0 % = 29,880 jiwa


Surattani  1,009,400 jiwa    Melayu/Muslim 2.2 % = 22,206 jiwa


Chumporn 467,800 jiwa     Melayu/Muslim 0.8 % = 3,742 jiwa

Provinsi-provinsi di Kawasan dominan Melayu

Pattani  609,000 jiwa           Melayu/Muslim 84.4 % = 513,996 jiwa


Yala  433,200 jiwa               Melayu/Muslim 76.6 % = 331,831 jiwa


Narathiwas  670,000 jiwa      Melayu/Muslim 85.9 % = 575,530 jiwa


Songkhla  1,481,000 jiwa      Melayu/Muslim 25.3 % = 374,693 jiwa


Setul  274,900 jiwa              Melayu/Muslim 67.1 % = 184,457 jiwa


Penduduk   Melayu   di   provinsi-provinsi dominan MelayuSelatan   Thailand    terdiri    dari   beberapa   kelompok    seperti   berikut:

1.  Penduduk   Melayu   tempatan

Penduduk   kelompok  ini   ialah   penduduk  keturunan Melayu yang   telah mendiami Selatan Thailand dari turun-temurun. Kebanyakan  penduduk kelompok ini mendiami Wilayah Pattani, Yala, Narathiwas dan  sebahagian dari wilayah Songkhla. Terdapat  juga penduduk kelompok   ini tersebar ke kawasan-kawasan lain di Selatan Thailand tetapi kebanyakannya telah diasimilasi menjadi Thai Muslim dan berbahasa Thai. Penduduk Melayu di Bangkok dan provinsi-provinsi sekitar Bangkok kebanyakan dari keturunan tawanan perang era perang Siam-patani. Dan terdapat juga dari keturunan Melayu Kelantan, Melayu Kedah dan Melayu Terengganu. Selain itu di Kawasan tersebut dari penduduk keturunan Melayu Cham yang berhijrah dari Kampuchea ke Thailand. Dan keturunan Muslim dari Parsi, Arab, India dll.


 2. Penduduk dari Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia)

Penduduk kelompok ini adalah kelompok kedua terbesar dari   semua kelompok penduduk Melayu di Selatan Thailand. Mereka  bukan sahaja mendiami provinsi Setul yang asalnya menjadi salah satu dari tanah negeri Kedah (berpunca dari penyerahan Setul kepada pemerintahan Siam). Dan beberapa kawasan di provinsi Legor atau Nakorn Sri Thammarat dari keturunan tawanan perang, tetapi keturunan melayu asal Kedah ini juga mendiami Daerah  Sadao Provinsi Singgora atau Songkhla  yang Kawasan itu adalah bekas tanah negeri Kedah. Mereka dari keturunan Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia) juga beberapa  Kawasan dalam Provinsi Narathiwas yang pernah menjadi bekas tanah jajahan negeri   Kelantan yang disebut sebagai  "a small corner in the northeast of  Kelantan". Selain itu terdapat juga penghijrahan penduduk   semenanjung khususnya Kelantan ke Selatan Thailand seperti   pembukaan Kampung Tujuh di pinggir bandar Narathiwas oleh  penduduk kampung Tujuh, Tumpat, Kelantan dan pembukaan  Kampung Jabi  di pinggir bandar Narathiwas oleh penduduk  kampung Jabi, Terengganu. 

Seorang ahli politik Patani, Syed Nasir Al-Jufri datuknya berasal dari Jambi Indonesia

3. Penduduk  dari   Indonesia

Penduduk keturunan Jawa, Minangkabau dan  keturunan  lain-lain   telah lama mendiami di Selatan Thailand khususnya  Patani.   Dalam  Hikayat Patani ada menyebut tentang kedatangan  penduduk keturunan  Jawa. Kerana penduduk keturunan Jawa, Minangkabau dan keturunan lain dari kepulauan Indonesia telah   lama  mendiami  di Selatan Thailand menyebabkan mereka  mengubahsuaikan diri dan berkahwin dengan penduduk tempatan   sehingga keturunannya menjadi sebahagian dari penduduk   tempatan.


    Seorang calon ahli parlimen, Amir Sarikhan keturunan kacukan Melayu-Pakistan


4. Penduduk  kacukan,

iaitu  penduduk  Melayu  tempatan  berkahwin  dengan  penduduk  pendatang  dari  Pakistan atau India. Walaupun  mereka  mempunyai darah Melayu tetapi sebahagian darinya masih kuat  dengan semanagat kePakistanan atau keIndiaannya.

Selasa, 23 Mei 2023

Pegawai Pejabat Pendidikan Luar Sekolah dan Sistem Luar Persekolahan bachok, Narathiwas melawat Rumah Nusantara

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Pada Mei 2023 pihak para pegawai Pejabat Pendidikan Luar Sistem Persekolahan (Non-Formal Education) Daerah Bachok, Narathiwas telah dating melawat Rumah Nusantara. Tujuan lawatan kali ini ialah untuk melihat situasi “keluarga membaca”. Sebenarnya Rumah Nusantara ini berbentuk “Mini Perpustakaan” Kerana di Rumah Nusantara ini termuat sekitar 7,000 buah buku. Buku buku itu dipindah dari Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Semasa akan pencen pihak fakulti di Prince of Songkla University, Kampus Pattani menawar supaya buku buku itu ditempatkan di fakulti dengan fakulti akan menyediakan satu bilik untuk buku buku itu. Tetapi oleh kerana buku buku itu adalah beli dari hasil duit peribadi. Lebih lebih lagi kebelakangan ini duit yang fakulti pernah membantu pensyarah beli bahan bahan kuliah sudah tiada lagi. Dengan itu penulis fikir lebih baik bawa buku buku pulang ke daerah penulis. Buku buku itu tersimpan di daerah saya dan mungkin boleh menjadi tempat rujukan kepada para pembaca yang layak.

Buku buku ini walaupun belum disusun secara sistematik mengikut system perpustakaan. Tetapi buku buku telah telah dibahagi kepada beberapa bahagian. Seperti buku buku Sastera, baik sastera dan puisi dari Indonesia, Brunei dan Malaysia. Sebahagiannya buku buku ini diserah oleh penulis buku itu sendiri. Kemudian buku buku motivasi baik dalam Bahasa Melayu, Bahasa Inggeris dan Bahasa Thai. Seterusnya kamus kamus bahasa Nusantara. Kamus kamus ini selain bahasa Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina juga terdapat Bahasa Bahasa daerah di Nusantara. Bukan itu saja tersapat kamus kamus bahasa Vienam, portugis, Jerman, Rusia, dll.

Satu sudut khas untuk buku buku karangan tokoh budayawan Melayu Riau. Iaitu Pak Tenas Affendy atau nama sebenarnya Tengku Nasyaruddin Effendy. Buku buku Pak Tenas Affendy untuk menjadi tempat rujukan hal pakaian, budaya, pemikiran Melayu.


Buku buku sebahagian besarnya adalah buku buku yang berkaitan dengan Melayu dan Rumpun Melayu. Setiap kali penulis ke Indonesia akan pergi ke Toko Buku untuk mencari buku buku yang terkait dengan tempat yang pergi. Jika susah untuk mencari Toko Buku, penulis akan ke Perpustakaan setempat untuk fotostat buku buku seperti semasa ke Pulau Lombok.

Dalam lawatan pihak Pejabat Pendidikan Luar Sistem Persekolahan (Non-Formal Education) Daerah Bachok, Narathiwas kali ini. Penulis minta pustakawan dibawah pejabat tersebut lebih buka minda lihat bagaimana perkembangan perpustakaan di negeri-negeri jiran.


Di Indonesia kita oleh lihat bagaimana fungsi bahgian arkib di daerah dengan arkib disimpan dibawah perpustakaan. Dan menamakan bahagian itu dengan Perpustakaan dan Arkib setempat.

Bahkan bahan bahan arkib baik secara original, Salinan, foto di Thailand tiada bahagian Arkib di perpustakaan masing masing.

                         Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 

Perpustakaan Provinsi Riau Soeman HS

Begitu juga jika kita lihat dari segi “Living Library” secara peribadi nampaknya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia lebih ke depan dari perpustakaan Nasional Thailand. Bangunan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia setinggi 24 tingkat itu selain ada beberapa ruang seperti ruang baca, ruang pameran dll. Juga ada ruan kantin di tingkat ke 4 dan ruang naskah naskah kuno di tingkat 9. Dan di tingkat ke 9 ini agak menarik kerana pihak Perpustakaan Nasional Republik Indonesia telah mencetak buku buku kajian naskah kuno kerjasama diantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan pihak lain seperti Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) atau The Indonesia Association For Nusantara Manuscripts. Dari cetakan buku buku hasilan kajian ini pihak Perpustakaan Nasional Republik Indonesia meletakkan buku buku itu di tingkat tersebut. Dan pengunjung-pengunjung  boleh ambil buku buku itu secara percuma.


Di perpustakaan di Thailand tiada bahagian arkib. Dengan itu jika seseorang pelanggan ingin mendapat maklumat atau bahan arkib agaknya sulit untuk mendapat bahan bahan tersebut di perpustakaan setempat. Kita wajib melihat bagaimana bahagian Arkib di sesebuah perpustakaan di Indonesia menjalankan fungsinya. Supaya kita dapat mengambil kelebihan darinya untuk serap masuk ke dalam fungsi perpustaaan di Thailand.

Ini bahagian arkib di perpustakaan di Indonesia.



Disini penulis akan ketengahkan beberapa perkara tentang “Living Library” suyapa pihak Pejabat Pendidikan Luar Sistem Persekolahan (Non-Formal Education) Daerah Bachok, Narathiwas boleh mengubah perpustakaannya kepada perpustakaan berbentuk “living Library”


Kittirat Na Ranong, bekas pengarah dan pengurus Bursa Saham Thailand memberi idea bahawa untuk menghidupkan perpustakaan, perpustakaan harus mempunyai 5 ciri seperti berikut:


1) Mampu menampung semua keperluan pembelajaran dengan bergaya untuk semua peringkat umur

2) Hias dengan gaya moden Fokus pada ketelusan, keterbukaan, keselesaan


3) Lengkap dengan peralatan pencarian maklumat, internet tanpa wayar

4) Terdapat sudut rekreasi, skrin tayangan, sudut perbincangan, mengikuti berita, sudut filem, mendengar muzik dan permainan otak.

5) Terdapat sudut kopi dan kedai buku untuk menikmati buku kegemaran anda.


Penulis sangat kagum dengan perpustakaan peribadi B.J. Habibie, Mantan presiden Indonesia. Begitu juga cita cita penulis untuk membangunkan sebuah perpustakaan peribadi fokus kepada ilmu KeMelayuan dan ilmu ASEAN. Jika tercapai satu hari akan menjadi tempat rujukan peminat peminat I sekitar daerah ini. 

           Semasa bersama Mantan presiden Indonesia B.J. Habibie

Perpustakaan B.J. Habibie dan Ainun

Sombat Suwanphithak, bekas Pengarah Pejabat Pentadbiran Pendidikan Tidak Formal, telah memberikan 6 idea tentang perpustakaan hidup seperti berikut: 


1) Pelbagai perkhidmatan dan aktiviti disediakan.

2) Terdapat perkhidmatan maklumat yang moden dan pantas dengan teknologi ICT.

3) Suasana dan persekitaran hendaklah disusun kondusif untuk kajian dan penyelidikan. dan menyumbang kepada aktiviti komuniti, masyarakat

4) Pengurusan kualiti dan kecekapan

5) Bekerja dengan hati

6) Bekerjasama dan menyelaras dengan rangkaian

Perpustakaan Awam Daerah Bachok, Narathiwas.

Bagi perpustakaan dibawah Pejabat Pendidikan Luar Sistem Persekolahan (Non-Formal Education) Daerah Bachok, Narathiwas juga boleh mengadakan beberapa program supaya dapat menarik pembaca pembaca ke perputakaan tersebut seperti :


Program diskusi ilmu

Program Rakan perpustakaan

Program Mingguan dalam bidang social, budaya, sejarah, kepakaran. Dll.

Program Perpustakaan Bersama masyarakat dan sekolah.