Ekonomi/Bisnis

Selasa, 31 Oktober 2023

Migrasi dan Perkahwinan Politik Menghubungkan Melayu Malaysia dan Indonesia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Hubungan orang Melayu Malaysia juga Melayu Patani sangat rapat dengan orang Indonesia. Kerana penghijrahan di kedua dua kalangan rakyat mengalir diantara satu sama lain. Jika berjumpa orang Melayu Malaysia adalah diantara mereka mengatakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Indonesia. Itu adalah biasa bagi kita pengaliran rakyat di Alam Nusantara. Mereka itu bukan penghijrahan tetapi mereka berpindah dari satu tempat ke satu tempat lain di dalam Alam Nusantara.


Disini saya kemukakan satu artikel tajuknya “Migrasi dan Perkawinan Politik Menghubungkan Melayu dan Nusantara” yang ditulis oleh Siti Zainatul Umaroh disiarkan di tirto.id  Isi kandungannya adalah seperti berikut:


Evolusi hubungan antara Indonesia dan Malaysia tak hanya dilambari persaingan dan perselisihan, tapi juga persaudaraan dan kekerabatan. Buktinya, Semenanjung Melayu telah menjadi tempat berbaurnya serbaneka suku bangsa Nusantara. Jejaknya bisa kita runut hingga masa kuno, kala Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Kesultanan Melaka berjaya. Migrasi suku-suku seperti Minang, Bugis, Batak, dan Jawa ke Semenanjung Melayu telah turut pula mewarnai proses pembentukan identiti orang Melayu. Beberapa sejarawan menyebut kebudayaan yang hidup di Semenanjung Melayu dan Sumatra merupakan kelanjutan dari kebudayaan era Sriwijaya.

Lalu, ketika Sriwijaya meredup, Kesultanan Melaka melanjutkan pewarisan kebudayaan itu. O.W. Wolters dalam artikel “Studying Srivijaya” yang terbit dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (Vol. 52, 1979) menyebut hubunga antara masyarakat Melayu dan kelompok lain di Nusantara terbentuk dari hubungan perdagangan, perang, migrasi, pernikahan.


Saat itu, perkahwinan antara bangsawan negeri-negeri Melayu dan Sumatra menjadi fitur utama lanskap sosio-politik di dunia Indo-Melayu. Hubungan yang terbangun dari perkahwinan politik itu dapat dilacak contohnya dalam naskah Tuhfat al-Nafis (1885). Naskah sastra-sejarah gubahan Raja Ali Haji itu menginformasikan bahawa perkahwinan di antara penguasa-penguasa Melayu Riau, Johor, dan Trengganu dengan bangsawan Siak dan Bugis adalah sebuah kelaziman.


Raja Ali Haji sendiri adalah pangeran cum pujangga Kesultanan Riau-Lingga keturunan Melayu-Bugis. Pernikahan politik itulah yang menyambungkan kekerabatan etnik-etnik di Tanah Melayu dan Kepulauan Indonesia. Migrasi hubungan Melayu-Indonesia juga terbentuk melalui migrasi. Ia terjadi dalam dua arah, dari Melayu ke Indonesia dan sebaliknya.


Leonard Y. Andaya dalam artikel “The Search for the 'Origins' of Melayu” yang dimuat Journal of Southeast Asian Studies (Vol. 32, 2001) menyebut Kesultanan Melaka meredup gara-gara kekalahannya dari Portugis pada 1511. Kekalahan itu juga membawa dampak lain, iaitu eksodus bangsawan-bangsawan Melayu ke luar semenanjung. Banyak bangsawan Melayu yang kemudian pindah ke negeri-negeri di bahagian timur Indonesia, seperti Buton, Ternate, Makassar dan Sumbawa.


Pembauran budaya yang terjadi kemudian ikut memperkaya kebudayaan setempat. Jadi, tak heran jika beberapa tradisi budaya di beberapa tempat di Indonesia bahagian timur kini sangat kental dipengaruhi tradisi Melayu. Selain itu, sentral kekuatan politik dan kebudayaan Melayu pun bergeser setelah penaklukan itu. Berturut-turut, Kesultanan Johor kemudian tampil sebagai pusat dunia Melayu, lantas berganti ke Riau-Lingga. Sementara itu, migrasi suku-suku bangsa Nusantara ke Semenanjung Melayu telah terjadi jauh sebelum abad ke-16 menyingsing.

William Marsden dalam The History of Sumatra (2008) menyebut perantau Minang telah bermigrasi ke Semenanjung Melayu sejak sekira abad ke-12. Sebagian besar dari perantau Minang ini menjadikan Negeri Sembilan sebagai tujuan. Fakta ini tidak mengherankan karena sejak dulu orang-orang Minang memang dikenal sebagai perantau. Mochtar Naim dalam bukunya Merantau: Causes and Effects of Minangkabau Voluntary Migration (1971, hlm. 150) menjelaskan konsep merantau dalam alam pikiran orang Minang sebagai,


"Meninggalkan wilayah budaya seseorang secara sukarela baik untuk waktu yang singkat atau panjang, dengan tujuan mencari nafkah atau mencari pengetahuan atau pengalaman lebih lanjut, biasanya dengan niat untuk pulang.”


Meski orang Minang bisa disebut sebagai yang terawal, suku bangsa yang menjadi penyumbang aliran migrasi terbesar ke Tanah Melayu adalah Bugis. Gelombang migrasi besar orang Bugis diperkirakan terjadi pada abad ke-16, kala Kerajaan Gowa-Tallo dan Bone sedang moncer di Sulawesi bahagian selatan. Semula, orang-orang Bugis hijrah lebih dulu ke wilayah Minangkabau di Sumatra dan kemudian mengalami pengislaman.


Setelah itu, barulah orang-orang Bugis mendarat di negeri-negeri semenanjung, terutama Johor. Gelombang migrasi besar kedua terjadi usai takluknya Gowa-Tallo oleh VOC Belanda pada 1667. Meski begitu, orang Bugis sebenarnya tidak hanya menjadikan Tanah Melayu sebagai tujuan utama. Orang Bugis juga tercatat hijrah ke Kalimantan, Sumatra, Jawa, Maluku, juga Papua.


Mempertahankan Identiti Di tanah rantau, para pendatang dari Indonesia tidak serta-merta melepas identiti budaya asalnya begitu saja.

Rumah di Negeri Sembilan, Malaysia.

Beberapa nama komuniti yang bermukim di Negeri Sembilan, misalnya, sangat kental bernuansa Minangkabau. Menurut Rois Leonard Arios dkk. dalam Minangkabau dan Negeri Sembilan: Sistem Pasukuan di Nagari Pagaruyung dan Negeri Sembilan Darul Khusus Malaysia (2009), hal itu terjadi kerana para perantau Minang di sana tetap mempertahankan nama nagari asalnya. Di Negeri Sembilan itu, di antaranya terdapat komuniti Batu Hampar, Payakumbuh, dan Tanah Datar. Masih ada pula beberapa komunii Minang, seperti Mungkal, Tiga Ninik, Tigo Batu, Batu Balang, Simalanggang, dan Serilamak.


Seturut penjelasan Pemerhati adat pepatih Malaysia Yaakub bin Idrus, komuniti-komuniti itu adalah para pendatang yang berasal dari Luhak Lima Puluh Koto, kini bahagian dari Provinsi Sumatra Barat (Warisan, Vol. 16, 1992). Sistem pasukuan yang sama juga dipraktikkan oleh komuniti Anak Aceh. Komuniti ini, sebagaimana tersurat dari namanya, adalah orang-orang Aceh yang berbaur dengan suku Minang. Hubungan langsung antara Minangkabau dan Negeri Sembilan terputus ketika Traktat London ditandatangani pada 1824.


Berdasarkan traktat yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda itu, Belanda diakui menguasai kepulauan Indonesia, sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung Melayu dan Singapura. Pemisahan ini nantinya juga ikut memengaruhi perkembangan bahasa Melayu di kawasan Selat Melaka.


Sejak itu, komuniti Minang menjadi warga Tanah Malaya yang dikuasai Inggris. Meski begitu, mereka tetap mengakui Minangkabau sebagai asal-usulnya. Keterikatan itu tampak dari salah satu pantun lokal yang beredar di masyarakat Negeri Sembilan ini:


“Leguh-legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke Padang Genta kerbau berbunyi juga Biar sepiring dapat pagi Walau sepinggan dapat petang Pagaruyung teringat juga”


Pertalian semacam itu sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Melayu di semenanjung. Hairin Abdullah dalam Menyenarai 34 Kumpulan Etnik Sabah (1986) menyebut penduduk Malaysia kontemporer di Sabah-Kalimantan bahagian utara juga memiliki hubungan kekerabatan dengan suku-suku Indonesia.

Dari 38 etnik yang mendiami Sabah, sebagian besarnya adalah pendatang dari kepulauan Indonesia. Mereka di antaranya berasal dari suku Banggi, Bisaya, Ida’an, Tidung, Lotud, Murut, Paluan, Rungus, Tumugon, dan Tatana. Semuanya termasuk dalam sub-etnik Dayak yang juga mendiami Kalimantan. Lalu, masih ada pula komuniti Palawan dan Tagbanua yang merupakan sub-etnik Batak. Komuniti-komuniti pendatang itu, sebagaimana diwartakan Majalah Cermat (Mac 2014), mendarat di Sabah dengan melintasi Laut Sulawesi. Umumnya, mereka adalah para pedagang yang membawa komoditi utama seperti kelapa kering, kain batik, dan rokok kretek yang kebanyakan berasal dari Sulawesi dan Kalimantan.


Sejak Kerajaan Brooke berkuasa di Kalimantan bagian utara, Sabah lantas menjadi destinasi para buruh peladang, kuli bangunan, dan pembantu rumah tangga. Kebanyakan buruh-buruh itu diangkut dari daerah Tidung dan Donggala yang kemudian cukup besar mempengaruhi kebudayaan masyarakat Tawau.

 

Isnin, 30 Oktober 2023

Tuanku Tambusai, Pahlawan Nasional Indonesia dari Riau yang makamya terletak di Malaysia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Semasa megajar subek Malay Civilisation di Jurusan Pegaian Melayu di Fakulti Kemanusiaan dan Sains Sosial, Prince of Songkla University, Kampus Pattani. Kerana bahan bahan dalam Bahasa Thailand yang terkaitan degan ilmu Pengajian Melayu sannat terhad. Dan sesetengah pelaar agak kurang fasih dalam Bahasa Melayu/Indonesia. Dengan itu saya wajibkan semua pelajar yang mengambil subjek saya. Teremahkan bahan bahan dari Malaysia dan Indonesia serta menghuraikan isi kandugannya di depan kelas.

Saya sangat tertarik dengan seorang pelajar Namanya, Rusmini. Terjemahannya Tuanku Tambusai. Setiap kali saya ke Pekanbaru, Riau. Teringatlah Si pelajar itu, Rusmini, sekarang berkerja dengan unit Pasport, di Kementerian Luar Negeri Thailand dan terigat jugalah nama Tuanku Tambusai. Dengan itu saya kemukakan tentang Tuanku Tambusai. Isi kandungannya adalah seperti berikut:


Tuanku Tambusai (5 November 1784 – 12 November 1882) adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka.

Tuanku Tambusai dilahirkan di Dalu-dalu, sebuah kampung yang bersempadan dengan Sumatera Utara iaitu Nagari Tambusai, di Rokan Hulu, Riau. Kampug ini didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki nama kecilya ialah  Muhammad Salleh, yang setelah pulang haji, ia dikenal sebagai Tuanku Haji Muhammad Saleh.


Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan Minangkabau, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari Nagari Rambah. Dan Rambah adalah sebuah kecamatan yang bersempadan dengan bangun purba. Dan Ayahnya merupakan seorang guru agama Islam. Raja Tambusai mengangkat ayahnya, Tuanku Imam Maulana Kali menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan  setempat. Ibunya berasal dari Nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.

Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.


Gerakan Paderi, Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpafaman Paderi. Berpafaman Paderi adalah kaum umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di Negeri Minangkabau di Sumatera Barat hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam.

Melawan Belanda, Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Daludalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Daludalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.


Dan Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, Fort Amerongen sebuah benteng milik Belanda dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) kerana amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Disember 1838, benteng Daludalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Negeri Sembilan (Malaysia) pada tanggal 12 November 1882. Tuanku Tambusai pun meneruskan hidup di kampung bernama Rasah, Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia dan meninggal disana.

Kerana jasa-jasanya yang pernah menentang kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1995 Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.


Rujukan;

Dina Agustina BA Sembiring, Skripsi BA Strategi Perang Perang Tuanku Tambusai Melawan Peaahan Belanda (1832-1838)


Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.


Mahidin Said, Rokan: Tuanku Tambusai Berjuang, Sri Dharma N.V

Soedarmanta, J. B. Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia.


Muhammad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pusataka, 1964


Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.


Radjab, Muhammad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta: Balai Pustaka.


Suwardi, Suwardi (1981) Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Riau. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Selasa, 24 Oktober 2023

Ibrahim Haji Yaacob : Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berasal dari Malaysia

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Nama Ibrahim Haji Yaacob sangat terkenal di kalangan peminat sejarah politik Malaysia dan Idonesia. Kerana satu waktu dulu jika diizinkan Allah Republik Indoesia dan Malaya akan bergabug mennjadi sebuah negara bersatu. Tetapi rancangan Negara Indonesia Raya itu gagal.


Penulis juga pernah melawat Makam Pahlawan Nasional Republik  Indoneia itu di Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kali ini saya ketegahkan sebahagian riwayat hidup Ibrahim Hj Yaakob atau Drs. Iskandar Kamel (IBHY) dari Aiman Hakim thepatriots.asia beberapa laman web. Isi kandungannya adal seperti berikut:

Ibrahim Hj Yaakob dilahirkan pada 27 November 1910 di Tanjung Kertau, Chenor, Temerloh, Pahang. Dari keluarga, yang berasal dari keturunan Bugis, di Sulawesi Selatan. Ibu bapanya merantau ke Riau dan seterusnya ke Temerlohm, Pahang. Ayahnya Haji Yaakob merupakan guru agama dan tokoh yang dihormati di situ. Ibunya bernama Hawa binti Hussein. Ketika berusia 2 tahun, ibu dan bapanya berpisah. Lalu Ibrahim Hj Yaakob dipelihara oleh ibunya dengan hidup sederhana.

Ibrahim Hj Yaakob mendapat pendidikan awal di Sekolah Melayu di Tanjung Kertau pada tahun 1918. Pada tahun 1928, Ibrahim Hj Yaakob telah dipilih menjadi guru pelatih di Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI) di Tanjung Malim, Perak. Di mana di situlah Ibrahim Hj Yaakob mula didedahkan dengan ideologi perjuangan nasionalisme.


Contohnya, Pada tahun 1929, Ibrahim Hj Yaakob dan rakan-rakannya telah mewujudkan satu persatuan sulit yang “berhaluan sosialis” iaitu Ikatan Semenanjung Malaya/Borneo. Ibrahim Hj Yaakob juga dikatakan turut menjadi ahli Parti Nasional Indonesia yang diketuai oleh Presiden Sukarno.

Pihak Inggeris yang telah memerhatikan kegiatan politik di MPSI ini sedaya upaya untuk menghentikan pergerakan mereka. Oleh itu, setelah Ibrahim Hj Yaakob menamatkan pengajiannya pada 1931, Ibrahim Hj Yaakob dihantar mengajar ke Bentong, Pahang. Di sanalah, Ibrahim Hj Yaakob terlibat aktif di dalam sebuah persatuan namanya Kelab Melayu Bentong.


Pada 1938, Ibrahim Hj Yaakob dan rakan-rakannya telah menubuhkan Kesatuan Melayu Muda bersama rakan-rakan Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI)nya. Kesatuan Melayu Muda merupakan parti politik pertama yang ditubuhkan di Malaya. Kesatuan Melayu Muda ditubuhkan sebagai alat untuk memperjuangkan kemerdekaan Tanah Melayu yang akan disatukan dengan Indonesia menjadi sebahagian daripada sebuah negara besar, Indonesia Raya.

Peringkat awal pertubuhan, Kesatuan Melayu Muda agak kurang mendapat sambutan kerana rakyat  ketika itu masih lebih menaruh kepercayaan kepada ketua-ketua tradisional. Dalam usianya yang singkat, sejak kelahirannya pada 1938 hingga kedatangan Jepun pada tahun 1941, jelas tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Kesatuan Melayu Muda dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.


Menjelang April 1941, Ibrahim Haji Yaakob telah dihubungi oleh pihak Jepun yang menawarkan wang untuk membeli akhbar harian Melayu nama akhbar itu ialah Warta Malaya. Ibrahim Haji Yaakob menerima tawaran itu dan tanpa diketahui oleh pemimpin Kesatuan Melayu Muda yang lain telah menjanjikan sokongan Kesatuan Melayu Muda (KMM) kepada Jepun apabila Jepun menyerang Malaya. Warta Malaya menjadi medium propaganda Kesatuan Melayu Muda yang secara terbuka menyokong idea kesatuan politik antara Tanah Melayu dan Indonesia.

Dalam usaha untuk memajukan kepentingan Kesatuan Melayu Muda dan Melayu kemerdekaan, Ibrahim Haji Yaakub sejajar dirinya dengan Jepun dan mencadangkan kepada mereka yang mempunyai akhbar sendiri akan memberikan kepadanya perlindungan yang terbaik untuk menyembunyikan aktiviti mereka sebagai ejen Jepun. Dengan wang yang diberikan oleh Jepun, Ibrahim Haji Yaakub membeli Warta Malaya untuk digunakan dalam propaganda anti-British.


Pendudukan Jepun di Tanah Melayu membawa kepada keruntuhan seluruh rangkaian akhbar Tanah Melayu. Beberapa hari selepas kejatuhan Singapura, Ibrahim Haji Yaakub bertemu dengan pihak berkuasa tentera Jepun untuk meminta Kesatuan Melayu Muda  (KMM) yang dibenarkan untuk menyambung semula penerbitan Warta Malaya.

Walaupun Jepun bersetuju, akhbar itu hanya dibenarkan untuk membuka semula beberapa bulan kemudian di bawah pengurusan seorang pegawai Jepun. Akhbar itu akhirnya dihentikan penerbitannya pada 14 Ogos 1942. Ketika pendudukan Jepun, dilantik sebagai Komandan Giyugun (tentera sukarela) dengan pangkat Leftenan Kolonel.


Dalam minggu-minggu terakhir sebelum Jepun menyerah kalah, Ibrahim Haji Yaakub sempat mengatur pertemuan di antara pemimpin Kesatuan Melayu Muda (KMM) dan pemimpin Indonesia bagi mencapai satu tujuan, kemerdekaan dan Indonesia Raya. Mereka pada mulanya bertemu di Paya Lebar Singapura dan seterusnya di Taiping, Perak.

Dalam kesempatan itu, Ibrahim Haji Yaakob menyampaikan bahawa kemerdekaan Malaya tercakup dalam Kemerdekaan Indonesia. Konon, mendengar keinginan Ibrahim Haji Yaakub itu, Soekarno pun berkata, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.” Ibrahim Haji Yaakub kemudian menjawab, “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.” Perisytiharan kemerdekaan Indonesia dirancang pada 24 Ogos 1945 di Jakarta.

Namun, Tuhan juga sebaik-baik Perancang. Setelah Jepun menyerah kalah pada 15 Ogos, Indonesia cepat – cepat mengisytiharkan kemerdekaan tanpa penglibatan Malaya. Ternyata hal ini amat mengecewakan Ibrahim Haji Yaakob dan ahli Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang lain. Ibrahim juga sedar nasibnya kini di dalam bahaya kerana bekerjasama dengan Jepun.


Oleh itu, pada 19 Ogos 1945, Ibrahim Yaakob telah melarikan diri ke Jakarta bersama isterinya Mariatun Haji Siraj, iparnya Onan Haji Siraj dan Hassan Manan untuk menemui Soekarno dan para pemimpin republik lainnya lalu bertemu dengan Sukarno untuk proses penyatuan Malaya dan Indonesia.

Namun dek kerana situasi belum aman, Soekarno dan Mohammad Hatta memutuskan untuk menunda pembicaraan penyatuan Malaya tersebut. Ibrahim Haji Yaakob juga diminta Soekarno untuk tidak kembali ke Malaya untuk sementara waktu.


Ibrahim Haji Yaakob kemudian bertukar nama menjadi Iskandar Kamel, dan bergabung dengan MBT TKR (Markas Besar Tentara – Tentera Keamanan Rakyat), diperintahkan membentuk Badan Intelijen SOI Seksi E (Luar Negeri) dengan pangkat Leftenan Kolonel. Tugas utamanya menjadi pengurus Gerakan Kemerdekaan Malaya.

Ibrahim Haji Yaakob juga ditugaskan untuk membangunkan jaringan perisikan ke Malaya dalam membantu pergerakan nasionalis di Malaya. Beliau mengusahakan pengiriman senjata dari Malaya, Rangoon, dan Manila.


Selain itu Ibrahim Haji Yaakob juga turut turun padang ke semua daerah pendudukan Belanda di Indonesia serta membentuk dan memimpin GKR (Gerakan Revolusi Rakyat) di Solo menentang PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Perang Kemerdekaan 2 (Agresi Militer II 19 Desember 1948), Ibrahim Haji Yaakob berjuang secara gerila  di daerah Karanganyar dan Merapi, hingga kembali ke Jogjakarta pada Ogos 1949.

Menjelang tahun 1951, Ibrahim Haji Yaakob memutuskan untuk mengundurkan dari dari bidang ketenteraan dan beralih ke lapangan politik. Beliau ditugaskan ke Kementerian Luar Negeri dan membentuk KEMAM (Kesatuan Malaya Merdeka) yang berjuang untuk kemerdekaan Malaya dari Indonesia.


Ibrahim Haji Yaakob juga menjadi anggota pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) cabang Jakarta Raya hingga tahun 1958. Ketika era “Demokrasi Terpimpin”, Ibrahim Haji Yaakob sempat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili Riau. Di dalam Kempen Trikora (Tri Komando Rakyat),  Ibrahim dilantik sebagai Bendahara Kongres Rakjat Indonesia sekitar 1958-1960.

Ketika Kempen Dwikora (Dwi Komando Rakyat), Ibrahim Kembali memimpin KEMAM, dan membantu proses penghantaran pasukan ke Malaya dan Borneo Utara Hingga Tahun 1964 dan dlantik sebagai seorang pegawai  kepada Leftenan Jeneral Ahmad Yani.


Ketika Peristiwa 30 September berlaku, Ibrahim Haji Yaakob ditugaskan untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan Partindo dan membersihkannya dari unsur-unsur komunis. Setelah membubarkan Partindo, Ibrahim Haji Yaakob bergabung dan menjadi Ketua III Partai Murba pada tahun 1967.

Ketika Pemilu 1971, Ibrahim Haji Yaakob telah tercalon sebagai anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dari daerah pemilihan Jawa Barat melalui Partai Murba, namun tewas. Pada tahun 1976, Ibrahim telah dilantik sebagai anggota Majlis Pertimbangan Partai (MPP) di Partai Demokrasi Indonesia (PDI).


Walaupun nama Ibrahim mulai berkembang di Indonesia, beliau sesekali tidak akan lupakan tanah kelahirannya, Malaya ataupun Malaysia. Pada tahun 1973, beliau pulang semula ke tanah kelahirannya setelah berpuluh tahun menjadi rakyat negara jiran.

Setelah itu Ibrahim Haji Yaakob mengundurkan diri dari politik dan terjun ke dunia perniagaan. Beliau juga turut menjadi salah seorang pengasas Bank Pertiwi dan dilantik sebagai pengarah bank tersebut.



Sabtu, 21 Oktober 2023

Syeikh Ali bin faqih Al-Fatani Ulama Asal dari Patani, Selatan Thailand yag mejadi Mufti Kerajaan Mempawah, Kalimantan Barat.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Kali ini akan bicarakan riwayat seorang ulama asal dari Patani, Selatan Thailand. Ulama Patani itu ialah Syeikh Ali bin faqih Al-Fatani yang berjasa di Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia. Di sini saya menerima sebuah artikel tentang Syeikh Ali bin faqih Al-Fatani kiriman dari Dato’ Mohammad Natsir (Peneliti Kawasan Borneo). Dato’ Mohammad Natsir pernah melawat Patani menyertai Pertemuan Penyair Nusantara ke VII pada tahun 2015. Dan Dato’ Mohammad Natsir juga sebagai wakil Nusantara Studies Center bagi Kalimatan Barat. Isi kandungan artikelnya adalah seperti berikut:


Ulama yang berasal dari Patani yang akan diriwayatkan ini bermula dari sebuah salasilah dalam simpanan salah seorang keturunannya di Mempawah, Indonesia. Cerita yang terbanyak diperoleh ialah daripada Haji Abdur Razaq, seorang guru agama bebas dan tokoh masyarakat di Mempawah. Selain itu, daripada Haji Abdur Rahman bin Husein al-Kalantani, Mufti Kerajaan Mempawah terakhir serta daripada beberapa keturunannya yang telah berusia di Mempawah, Pontianak, Jakarta dan Patani. Mengenai Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani ialah daripada yang dimuat dalam risalah kecil berjudul, Upu Daeng Menambon Raja Mempawah.

Dalam lingkungan tahun 1160 H/1747 M, penduduk Kuala Mempawah, Tanjung Mempawah dan kampung-kampung sekitarnya dikejutkan kerana didatangi oleh sekitar 40 perahu yang besar-besar belaka. Setelah dua orang ulama bernama Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani dan Syeikh Abdul Jalil al-Fathani naik ke darat untuk menghadap Upu Daeng Menambon iaitu Raja Mempawah pada masa itu, barulah diketahui oleh penduduk bahawa perahu-perahu besar itu datang dari Kerajaan Patani Darus Salam. Dipercayai bahawa kedua-dua ulama tersebut berasal dari Kampung Sena, Patani yang datuk neneknya berasal dari Kerisik, Patani.


Pendidikan dan penyebaran ilmu

Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani dan Syeikh Abdul Jalil al-Fatani mendapat pendidikan pondok di Patani dan kemudian melanjutkan pengajiannya ke Mekah. Bagaimanapun, baik gurunya di Patani mahupun di Mekah, belum diperoleh catatan yang lengkap dan jelas namun tentang ilmu kedua-duanya dikagumi oleh masyarakat di mana saja mereka berada. Hanya Syeikh Ali al-Fatani dan anak-anak serta anggota/ahli dalam rombongannya yang tetap tinggal di Mempawah dengan mendirikan rumah yang besar di Kampung Tanjung, Mempawah. Sebahagian lagi mengikuti Syeikh Abdul Jalil al-Fatani menyebarkan Islam di Sambas.


Syeikh Abdul Jalil al-Fatani lebih dikenali dengan sebutan Keramat Lumbang kerana beliau dikeramatkan orang adalah sebagai lambang ketinggian ilmunya hingga kepada ilmu hakikat dan makrifat. Demikian halnya dengan Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani, setelah beliau meninggal dunia disebut orang dengan Keramat Pokok Sena. Kehebatan ilmu yang berupa karamah yang pernah disaksikan oleh penduduk, di antaranya Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani adalah seorang ulama yang berpengetahuan lengkap. Disebabkan alimnya beliau dapat mengetahui helaian daun kelapa dalam satu pelepah yang jatuh dengan tepat tanpa perlu dihitung terlebih dulu. Bukan itu sahaja, kalau hari akan hujan beliau dapat mengetahui bahawa akan hujan dengan melihat tanda-tanda kelakuan binatang seperti semut, binatang melata dan serangga lainnya.Memperhatikan ketepatan yang diperkatakan oleh Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani, sehingga orang-orang Mempawah pada zaman itu mengatakan bahawa Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani mengetahui percakapan binatang, selain itu beliau adalah seorang Wali Allah juga seperti Habib Husein al-Qadri.


Ketentuan-ketentuan hukum keIslaman yang terutama sekali pada persekitaran tiga jurusan, iaitu fiqh menurut Mazhab Syafie, akidah menurut faham Ahli Sunah wal Jamaah Mazhab Abul Hasan al-Asy’ari dan tasawuf mengikut imam-imam sufi yang muktabar adalah terletak pada Habib Husein al-Qadri dan Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani.Sejak kedatangan kedua-dua ulama itu telah mulai berkembang Barzanji, Nazham, Burdah dan yang sejenis dengannya setiap malam Jumaat dan di tempat-tempat yang digunakan sebagai upacara rasmi sering mendengungkan lagu-lagu zikir tersebut untuk memperoleh pahala, bukan dipandang sebagai kesenian atau kebudayaan.Tarekat yang diamal oleh Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani ialah Tarekat Syathariyah, Tarekat Naqsyabandiyah dan beberapa tarekat yang muktabar lainnya. Namun ia berbeza dengan Habib Husein al-Qadri lebih suka mengamalkan Ratib al-Haddad dan Tarekat Qadiriyah.


Murid-Murid

Sebahagian besar tokoh yang pernah belajar dengan Habib Husein al-Qadri juga pernah belajar atau sebagai murid kepada Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani. Beberapa ilmu yang bercorak khusus, yang diperoleh dalam bentuk sistem pondok lebih banyak diajarkan oleh Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani jika dibandingkan dengan Habib Husein al-Qadri yang lebih menekankan berupa amalan dan bercorak memberi keterangan atau syarahan.Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani lebih menekankan pelajaran yang bercorak hafalan matan-matan sesuatu ilmu menurut tradisi pondok di Pattani, sedangkan Habib Husein al-Qadri perkara itu tidak begitu dikuatkan, yang diutamakan oleh Habib Husein al-Qadri ialah penguasaan lughah Arabiah. Oleh itu, Gusti Jamiril putera Upu Daeng Menambon menguasai ilmu nahu, saraf dan ilmu-ilmu Arabiah yang lainnya adalah diperolehnya daripada Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani. Faktor yang membolehkannya bertutur dalam bahasa Arab adalah kerana pergaulannya dengan Habib Husein al-Qadri.


Dilantik Sebagai Mufti Kerajaan Mempawah

Sebagaimana telah diceritakan dalam artikel sebelum ini bahawa Mufti Kerajaan Mempawah yang pertama ialah Habib Husein al-Qadri yang memperoleh gelar Tuan Besar Mempawah. Diceritakan pula, sewaktu Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah telah berwasiat, bahawa yang layak sebagai pengganti beliau ialah Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani yang tinggal di Kampung Tanjung Mempawah. Oleh itu, untuk melaksanakan wasiat itu pihak pemerintah Mempawah telah melantik Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani sebagai Mufti Kerajaan Mempawah dengan gelar Maharaja Imam Mempawah. Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani adalah orang yang pertama di Mempawah yang memperoleh gelaran sedemikian.


Ini bererti Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani itu adalah Mufti Mempawah yang kedua selepas Mufti yang pertama iaitu Habib Husein al-Qadri. Setelah Syarif Abdur Rahman al-Qadri mendirikan Kerajaan Pontianak, Sultan Pontianak itu mengajak beliau pindah ke Pontianak, lalu beliau tinggal di Kampung Bugis/Kampung Pedalaman Pontianak yang berdekatan dengan istana Sultan Pontianak itu. Ini bererti Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani berkhidmat di kedua-dua tempat itu dengan berulang-alik antara Mempawah-Pontianak melalui pelayaran perahu.


Keturunan

Catatan Tuan Guru Haji Abdur Razaq, bahawa keturunan Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani adalah empat orang, iaitu:

Hajah Fathimah, Abdur Rahman/Wak Tapak, Ismail dan Muhammad Dumyati.


Anak yang pertama, Hajah Fathimah berkahwin dengan Muhammad Thahir, memperoleh anak bernama Maidah dan Basuk. Abdur Rahman, yang lebih dikenal dengan sebutan Wak Tapak memperoleh beberapa orang anak, ialah; Mustafa, Patik, Hasan, Husein dan Muhammad Nur. Seterusnya Ismail, memperoleh anak bernama Saad. Muhammad Dumyati pula memperoleh anak iaitu; Muhammad Shalih, Musa dan Haji Daud. Di antara mereka yang paling terkenal ialah Abdur Rahman/Wak Tapak, adalah seorang pahlawan Mempawah.


Sewaktu terjadi perbalahan antara orang-orang Cina dengan Melayu di Mempawah, Mandor dan tempat-tempat lainnya, Wak Tapak al-Fatani dan Tengku Simbob yang berasal dari Riau berhasil mengalahkan orang-orang Cina tersebut. Salah satu tempat di Pulau Temajoh, Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah nama beliau dikekalkan dengan nama Tanjung Wak Tapak. Menurut riwayat tempat itu adalah sebagai perhentian beliau untuk mengintip lanun-lanun yang melalui perairan Mempawah. Kesinambungan kedatangan orang-orang dari Semenanjung ke Mempawah/Kalimantan Barat.


Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani dan Syeikh Abdul Jalil al-Fatani dapat dianggap sebagai perintis kepada kedatangan orang-orang Patani dan tempat-tempat lain dari Semenanjung, seperti Kedah dan Kelantan ke Kalimantan Barat. Dari kedatangan yang pertama oleh Syeikh Ali al-Fatani hingga yang terakhir oleh Haji Abdur Rahman Kelantan, ternyata ada hubungan erat, baik dari segi kekeluargaan mahupun pertalian sanad/salasilah pengajian ilmu-ilmu keIslaman.Kedatangan ke Kalimantan Barat tersebut adalah secara berkesinambungan kecuali terhenti setelah Indonesia merdeka kerana sistem pemerintahan telah jauh berubah coraknya. Tokoh-tokoh yang terkemuka yang berasal dari Patani yang masih bersangkutan dengan keluarga besar Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani yang datang menyebarkan Islam di Kalimantan Barat, ada tiga adik-beradik iaitu Haji Wan Abdul Latif, Wan Nik dan Hajah Wan Mah.


Ada pun Haji Wan Abdul Latif itu alim dalam ilmu fiqh, manakala Haji Wan Nik adalah tokoh sufi. Haji Wan Abdul Latif berkahwin di Kampung Tanjung Mempawah dengan salah seorang keturunan yang juga berasal dari Patani. Beliau memperoleh tiga orang anak: Haji Abdul Hamid, menyebarkan Islam di Kepulauan Tambelan dan meninggal dunia di sana. Anak beliau yang kedua bernama Mahmud, meninggal dunia di Singapura dan yang ketiga bernama Muhammad telah pulang ke Patani. Ada pun anak Haji Wan Nik al-Fatani iaitu Haji Usman pulang ke Patani. Manakala menantu Haji Wan Nik al-Fatani adalah seorang ulama, iaitu Haji Hasan al-Fatani. Beliau adalah sebagai Imam Masjid Jamek Pemangkat (Kabupaten Sambas). Haji Hasan al-Fatani sahabat kepada Syeikh Basiyuni Imran yang lebih dikenali dengan gelaran Maharaja Imam Sambas. Selanjutnya yang datang dari Kedah pula ialah Syeikh Muhammad Yasin yang membuka pondok pengajian di Kuala Mempawah. Dari Kelantan pula ialah Haji Ismail bin Abdul Majid yang pernah menjadi Mufti Pontianak. Haji Abdur Rahman bin Husein al-Kalantani pula adalah Mufti Mempawah yang terakhir. Ketiga-tiga orang yang tersebut itu walaupun bukan berasal dari Patani tetapi ada hubungan dakwah dan pendidikan Islam dengan Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani.


Ini kerana sebelum mereka mendapat kedudukan di sana, semuanya tinggal di rumah keturunan Syeikh Ali bin Faqih al-Fatani. Keturunan yang terakhir ialah Wan Mohd Shagir Abdullah, dari keturunan Patani-Johor yang dilahirkan di Kepulauan Riau datang ke Kalimantan Barat, menjejakkan kaki pertama sekali di Singkawang (Daerah Sambas) pada 18 Januari 1968 dan selanjutnya ke Mempawah 1970-1988. dicatat daripada keturunan mereka dan orang tua-tua di Mempawah. Percubaan-percubaan untuk mendirikan pendidikan sistem pondok sejak zaman Upu Daeng Menambon bersambung terus, namun selalu diakhiri dengan kegagalan. Setelah sekian lama sesudah Upu Daeng Menambon, datang seorang ulama Kedah bernama Haji Muhamad Yasin yang menampung murid-muridnya di Kuala Secapah, namun hanya dapat bertahan beberapa tahun saja.


Setelah itu, disambung pula dengan Haji Abdur Rahman bin Husein Kelantan dengan mendirikan pondok Darul Ulum di Mempawah. Dengan terdirinya pondok tersebut, sempat melahirkan beberapa orang tokoh di antaranya, dua orang anak beliau sendiri iaitu Haji Muhaamad Aziq L.C. dan Drs. Abdul Malik. Seterusnya pondok yang terakhir adalah diasaskan nama Pondok Pesantren Al-Fathaanah, yang pertama terdirinya di Sungai Bundung, Kecamatan Sungai Kunyit tahun 1974. Turut serta sebagai pengasas ialah beberapa orang murid daripada Haji Abdur Rahman Kelantan tersebut. Di antara mereka ialah seorang ustaz dan Ketua Kampung Munzir Kitang, Udin Sadul, Hamdan Bochari . Sehingga kini Al-Fathaanah masih wujud dengan berkonsepkan seperti sistem pengajian sekolah-sekolah umum, namun masih mengekalkan sistem pondok.


Sumber: ulama-nusantara.blogspot.com




 

Khamis, 19 Oktober 2023

Orang Rempang Puisi karangan Tarmizi Rumahitam, Batam.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Semasa mengikuti acara Pertemuan Penyair Nusantara ke XII di Kuala Lumpur. Pihak penganjur menghadiahkan sebuah buku kepada peserta di acara tersebut. Buku itu tajuknya “Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara ke 12 Luka, Cinta, Damai”. Di buku Antologi itu Sdr. Tarmizi Rumahitam dari Batam, Kepulauan Riau, Indonesia menulis sebuah Puisi tajuknya “Orang Rempang”. Puisinya isi kandungan adalah seperti berikut:


Bismillahirahmanirrahim

Salam pada alam, langit dan bumi

Salam orang Rempang


akulah orang Rempang

zuriat askar Raja Haji yang terbilang. Menghadang badai dan gelombang hingga ke Teluk Ketapang. Masa itu 1782 hinggakan 1784, tersebut dalam sejarah, perang Riau satu. Rempang, Galang dan Bulang kokoh menghadang serangan datang, lalu balek menerjang menyerang.


1784 hinggakan 1787, Sultan Mahmud Riayatsyah kembali gelorakan perlawanan pada kompeni penjajah. Orang Rempang, Galang dan Bulang askar Melayu terbilang kembali ke medan juang, membela negeri bersama daulat sultan dijunjung tinggi.


Akulah orang Rempang, akulah orang Galang, dan Bulang, pewaris semangat Tuah, Jebat dan Nadim yang kini menghadang kekuasan zalim yang datang dengan janji janji dan investasi, tapi nak habisi kampung kampung kami, kampung yang kami warisi ratusan tahun lamanya.


Dulu

Moyang kami bertikam lawan kompeni, tapi kenapa di musim ini, kami harus terusir dari kampung sendiri.


akulah orang Rempang, Bulang dan Galang, tak’kan beranjak dari tanah tempat berpijak, tanah warisan moyang wira wira gemilang, esa hilang, dua terbilang, tiada rela kampung kan hilang.


Rumahitam, Batam.

September 2023.


Foto-foto kampung-kampung tradisional tua orang Melayu di Pulau Rempang


The Malay – Who they are

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Kali ini saya bicara tentang Melayu, dengan kemukakan sebuah artikel tajuknya “The Malay – Who they are”. Tulisan Sdr. Arof Ishak dalam Bahasa Inggeris. Inilah isi kandungannya:-


An article on the subject and with the title of “Knowing the Malays”, appeared in Malaysiakini 8/10/23 authored by Ranjit Singh Malhi. I’d rate it as an article that is unhelpful. It does not at all seek to cultivate knowledge about the Malays as the people of the region, as the title suggests. Instead, it really has the purpose quite clearly felt, as one sifts the content, to deconstruct and dismantle the commonly understood narrative of the identity of the Malays in Malaysia and the Archipelago; an effort of dismantlement that would ‘expose’, as it were, the Malays as being actually a tiny group people and immigrants in the Archipelago, a stratagem to present the Malays as really a small, insignificant race.


The aim of the narrative is laid bare by phrases used in the article like the Malays are “Austronesian migrants … from Taiwan”, in relating a hypothesis of Malay origins said to be “accepted by most scholars”. The article summarily dismisses a “competing hypothesis” that the Malays are indigenous to Malaysia and the Malay Archipelago which it says is only “favoured by a few researchers”.


Instead of labelling the competing hypothesis as “favoured by a few researchers”, better phrases could have been used like “the latest hypothesis, which has gathered (increasing) attention”.

The reader could not avoid the obvious conclusion that the clear aim of the article is to put a stop to the Malay claim that they are natives of the Archipelago, a claim well recognised by the British during their more than 80 years of administration here.


Not only is the article hinting in broad daylight that Malays are not native to Malaysia, Malays from other parts of the Archipelago in Malaysia are considered ‘non-Malays’, and termed as “Indonesian immigrants”, even as the author is fully aware that even the distant Britishers had used the term “Other Malaysians” (in other words, ‘other Malays’), to refer to these archipelagic people in their official statistics.


The article additionally seeks to convey the image of the Malays as just a small bunch of people in Malaya and Sumatera island. It describes Malays as belonging to a “Malayic” group, a small group, a term that is employed to remove “Other Malaysians” (“non-Malayic”) from the big picture of the Malays of the Archipelago. The article could have provided the full picture by also mentioning the fact that the “Malayics” in turn are part of a much larger group called “Malayo-Polynesians”, who in turn are part of a bigger group still, called “Austronesians” (the larger Rumpun Melayu in Malay), terms that have been very much in use internationally for more than a century. The Austronesians are a super large group, the second largest language family (in terms of the number of languages in the family) in the world (the largest one is one in Africa).

The article takes aim also at the notion of the big “Malay World”.

With much mischief, the said article labels “some Malay scholars and activists”, as “propagandists” for claiming that the “Malay World” encompasses “more than 350 million people inhabiting areas from Easter Island in the East to Madagascar in the West, to Taiwan in the North, and New Zealand in the South”, and saying that “this overly stretched description of the “Malay World” is … misleading”. But, this IS a knowledge about the Malays as a people and their world - one continuous world of a single cultural, civilisational and ancestral origin. If by suggesting that expansive world is ‘Malay’ (not without reason), these “some scholars and activists” are labelled propagandists, then all of us are propagandists too for suggesting alternate or other things. None would qualify to be saintly.

                                Map Malay Archipelago

There was a time in the early 1880’s, when King Kalakaua of Hawaii proclaimed to the Sultan of Johor, Maharaja Abu Bakar, that he was a Malay when he came to Johor, on a trip round the world. King Kalakua called also on the King of Siam, who said he was related to Malays too.


We need to be very clear about two things when seeking to know the Malays.


First, anyone who makes the Archipelago their home, and who really seeks to understand or know the Malays, needs to understand the Malay term Rumpun Melayu (or, serumpun in the Indonesian usage). It’s the Malay reference to their one common Malay racial and ethnic stock, a people spread across the entire Archipelago of Southeast Asia (like the Arabs spread - although very much recently - across possibly a dozen countries). The complete absence of the term Rumpun Melayu or any reference to it in the ‘to know the Malay’ article is simply ridiculous. The Rumpun Melayu are the Malay peoples of common ancestry, even without them even knowing about DNA in the past, arising in one common civilisation, and speaking a family of common languages, called ‘Austronesians

                               Map of Austronesian language

in international scholarship. The entire rumpun is the Bangsa (the race), the Bangsa Rumpun Melayu, one single bangsa.


But, there is also a limited meaning of the term ‘Malay’ in Malaysia and Indonesia due to political and historical accident. In other words, there is also the ‘Malay’ as a political term, and the ‘Malay’ (or, ‘Malayan’, or ‘Malaysian’) as a civilisational terminology. Hence, when the term ‘Malay’ is used for instance as in the “Malay Archipelago”, it is a usage in the civilisational sense of the term.

The Malays/Rumpun Melayu are an indigenous people, a race, an ethnicity, a language, a culture, a polity, and a civilisation.

 

Second, the need to understand the notion of alam of the Malays, or the “Malay World”. Even accepting the hypothesis that Malays might have Taiwan as their original homeland, that does not refute the fact that Malays are the natives of the Southeast Asian archipelago, because Taiwan would then just be a proper part of the Archipelago, historically. And, the Archipelago is the entire Alam Melayu, or “Malay World” in Southeast Asia. In other words, all the islands of Southeast Asia are the “Malay World”, including Taiwan and Hainan island too, if one knows that the natives in the latter island are also of the Malay stock !


And, that “Malay World” in Southeast Asia has had its peoples spread and its civilisation planted in the entire Pacific Ocean region (Hawaii, Easter Island, New Zealand, etc. etc.), far east from Southeast Asia from at least 3,500 years ago, and on the island of Madagascar, far south west of Southeast Asia from at least 1,400 years ago. This very extensive land-and-sea ‘continent’ (more than half the surface of the globe) if one may use the term, is the huge world of the “Malay”/“Malayan”/“Malayo-Polynesian” (all these are internationally recognised terms) peoples.


To conclude, purpose and intent are important in the writing of articles. If the purpose is truly to know the Malays as is the subject now, plenty of weightage has to be given to the Malays’ own perspectives and consciousness of themselves as a people/s, and not to impose one’s own or another people’s description of the Malays as the superior argument.


The Malays’ conception of themselves as a stock of people needs to be understood, not dismissed as erroneous, worse still ignored altogether. No two peoples and no two worlds are alike, and they necessarily generate different narratives. The Malay/Austronesian World is different from the European World, and the Malay World has to be understood in its own terms, and its own


concepts. Least of all for other people to appoint themselves as the authority to define or determine who are the Malays. It is hardly possible to think for instance of the Mongols of East Asia as the authority to define who are the British, whether in or outside of Europe.


If the purpose of a writing is to deconstruct/dismantle the Malays as a people in Malaysia, to make them seem minor, and hence to dismiss the base argument that the Malays/ Malay peoples are the founding population in the country, a similar deconstructing/dismantling exercise can be done with respect to other people too. As an example, Indians in Malaysia cannot be listed as a ‘race’, because even in India itself there is no such thing as “Indian race”. (And, it follows it is a total myth to refer to Malaysia as a “multiracial country”. There are just two races in Malaysia - the Rumpun Melayu, and the Austro-Asiatic Orang Asli). What we have here in Malaysia are “Indian communities”, several of them not one, and diverse communities such as the Tamil, Telugu, Punjabi, etc. They are not a stock of people either, as Punjabis and Tamils for instance are completely opposite, one is Indo-Aryan the other Dravidian, the former an immigrant group and the latter an indigenous people in India. And, none of these communities exceeds 5% of the national population in Malaysia, or can claim to be the third largest ‘race’ in Malaysia.


To honestly seek to know the Malays in Malaysia (whether, one is a non-Malay citizen, or a foreigner altogether) one has to begin with a most important principle, which is to embrace (i.e. recognise, and for the citizens, also integrate with) everything found in the land that is Malaysia. Like the British did in Malaya; they embraced the Malay language as the language of the land, the Malay culture as the culture of the land, Malay history as the history of the land, and the Malays as the natives of the soil. Guided by this principle the British administrators voraciously learnt about the Malay language, culture, customs, and history, and contributed richly toward the development of knowledge about Malay history, for instance. The British did not do research in Malay history in order to dispute or refute the indigeneity or identity of the Malays; but to contribute toward building up knowledge about the Malays and their land, and accordingly knowing the Malays better and correctly. The British did not deconstruct, but sought to discover likeness and similitude in the Malay character, the Malay tale and the Malay World to discover the big picture, the macrocosm of the Malay universe.


But, we have the unfortunate situation these modern times when some scholars and activists among Malaysians who do research, produce papers, filmografies or simply write, with a sole purpose of disputing, casting doubt, refuting, challenging the Malay identity, Malay indigeneity, Malay character and culture, Malay language, Malay history, Malay narrative, etc., in the motherland of the Malays itself.