Ekonomi/Bisnis

Selasa, 31 Oktober 2023

Migrasi dan Perkahwinan Politik Menghubungkan Melayu Malaysia dan Indonesia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Hubungan orang Melayu Malaysia juga Melayu Patani sangat rapat dengan orang Indonesia. Kerana penghijrahan di kedua dua kalangan rakyat mengalir diantara satu sama lain. Jika berjumpa orang Melayu Malaysia adalah diantara mereka mengatakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Indonesia. Itu adalah biasa bagi kita pengaliran rakyat di Alam Nusantara. Mereka itu bukan penghijrahan tetapi mereka berpindah dari satu tempat ke satu tempat lain di dalam Alam Nusantara.


Disini saya kemukakan satu artikel tajuknya “Migrasi dan Perkawinan Politik Menghubungkan Melayu dan Nusantara” yang ditulis oleh Siti Zainatul Umaroh disiarkan di tirto.id  Isi kandungannya adalah seperti berikut:


Evolusi hubungan antara Indonesia dan Malaysia tak hanya dilambari persaingan dan perselisihan, tapi juga persaudaraan dan kekerabatan. Buktinya, Semenanjung Melayu telah menjadi tempat berbaurnya serbaneka suku bangsa Nusantara. Jejaknya bisa kita runut hingga masa kuno, kala Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Kesultanan Melaka berjaya. Migrasi suku-suku seperti Minang, Bugis, Batak, dan Jawa ke Semenanjung Melayu telah turut pula mewarnai proses pembentukan identiti orang Melayu. Beberapa sejarawan menyebut kebudayaan yang hidup di Semenanjung Melayu dan Sumatra merupakan kelanjutan dari kebudayaan era Sriwijaya.

Lalu, ketika Sriwijaya meredup, Kesultanan Melaka melanjutkan pewarisan kebudayaan itu. O.W. Wolters dalam artikel “Studying Srivijaya” yang terbit dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (Vol. 52, 1979) menyebut hubunga antara masyarakat Melayu dan kelompok lain di Nusantara terbentuk dari hubungan perdagangan, perang, migrasi, pernikahan.


Saat itu, perkahwinan antara bangsawan negeri-negeri Melayu dan Sumatra menjadi fitur utama lanskap sosio-politik di dunia Indo-Melayu. Hubungan yang terbangun dari perkahwinan politik itu dapat dilacak contohnya dalam naskah Tuhfat al-Nafis (1885). Naskah sastra-sejarah gubahan Raja Ali Haji itu menginformasikan bahawa perkahwinan di antara penguasa-penguasa Melayu Riau, Johor, dan Trengganu dengan bangsawan Siak dan Bugis adalah sebuah kelaziman.


Raja Ali Haji sendiri adalah pangeran cum pujangga Kesultanan Riau-Lingga keturunan Melayu-Bugis. Pernikahan politik itulah yang menyambungkan kekerabatan etnik-etnik di Tanah Melayu dan Kepulauan Indonesia. Migrasi hubungan Melayu-Indonesia juga terbentuk melalui migrasi. Ia terjadi dalam dua arah, dari Melayu ke Indonesia dan sebaliknya.


Leonard Y. Andaya dalam artikel “The Search for the 'Origins' of Melayu” yang dimuat Journal of Southeast Asian Studies (Vol. 32, 2001) menyebut Kesultanan Melaka meredup gara-gara kekalahannya dari Portugis pada 1511. Kekalahan itu juga membawa dampak lain, iaitu eksodus bangsawan-bangsawan Melayu ke luar semenanjung. Banyak bangsawan Melayu yang kemudian pindah ke negeri-negeri di bahagian timur Indonesia, seperti Buton, Ternate, Makassar dan Sumbawa.


Pembauran budaya yang terjadi kemudian ikut memperkaya kebudayaan setempat. Jadi, tak heran jika beberapa tradisi budaya di beberapa tempat di Indonesia bahagian timur kini sangat kental dipengaruhi tradisi Melayu. Selain itu, sentral kekuatan politik dan kebudayaan Melayu pun bergeser setelah penaklukan itu. Berturut-turut, Kesultanan Johor kemudian tampil sebagai pusat dunia Melayu, lantas berganti ke Riau-Lingga. Sementara itu, migrasi suku-suku bangsa Nusantara ke Semenanjung Melayu telah terjadi jauh sebelum abad ke-16 menyingsing.

William Marsden dalam The History of Sumatra (2008) menyebut perantau Minang telah bermigrasi ke Semenanjung Melayu sejak sekira abad ke-12. Sebagian besar dari perantau Minang ini menjadikan Negeri Sembilan sebagai tujuan. Fakta ini tidak mengherankan karena sejak dulu orang-orang Minang memang dikenal sebagai perantau. Mochtar Naim dalam bukunya Merantau: Causes and Effects of Minangkabau Voluntary Migration (1971, hlm. 150) menjelaskan konsep merantau dalam alam pikiran orang Minang sebagai,


"Meninggalkan wilayah budaya seseorang secara sukarela baik untuk waktu yang singkat atau panjang, dengan tujuan mencari nafkah atau mencari pengetahuan atau pengalaman lebih lanjut, biasanya dengan niat untuk pulang.”


Meski orang Minang bisa disebut sebagai yang terawal, suku bangsa yang menjadi penyumbang aliran migrasi terbesar ke Tanah Melayu adalah Bugis. Gelombang migrasi besar orang Bugis diperkirakan terjadi pada abad ke-16, kala Kerajaan Gowa-Tallo dan Bone sedang moncer di Sulawesi bahagian selatan. Semula, orang-orang Bugis hijrah lebih dulu ke wilayah Minangkabau di Sumatra dan kemudian mengalami pengislaman.


Setelah itu, barulah orang-orang Bugis mendarat di negeri-negeri semenanjung, terutama Johor. Gelombang migrasi besar kedua terjadi usai takluknya Gowa-Tallo oleh VOC Belanda pada 1667. Meski begitu, orang Bugis sebenarnya tidak hanya menjadikan Tanah Melayu sebagai tujuan utama. Orang Bugis juga tercatat hijrah ke Kalimantan, Sumatra, Jawa, Maluku, juga Papua.


Mempertahankan Identiti Di tanah rantau, para pendatang dari Indonesia tidak serta-merta melepas identiti budaya asalnya begitu saja.

Rumah di Negeri Sembilan, Malaysia.

Beberapa nama komuniti yang bermukim di Negeri Sembilan, misalnya, sangat kental bernuansa Minangkabau. Menurut Rois Leonard Arios dkk. dalam Minangkabau dan Negeri Sembilan: Sistem Pasukuan di Nagari Pagaruyung dan Negeri Sembilan Darul Khusus Malaysia (2009), hal itu terjadi kerana para perantau Minang di sana tetap mempertahankan nama nagari asalnya. Di Negeri Sembilan itu, di antaranya terdapat komuniti Batu Hampar, Payakumbuh, dan Tanah Datar. Masih ada pula beberapa komunii Minang, seperti Mungkal, Tiga Ninik, Tigo Batu, Batu Balang, Simalanggang, dan Serilamak.


Seturut penjelasan Pemerhati adat pepatih Malaysia Yaakub bin Idrus, komuniti-komuniti itu adalah para pendatang yang berasal dari Luhak Lima Puluh Koto, kini bahagian dari Provinsi Sumatra Barat (Warisan, Vol. 16, 1992). Sistem pasukuan yang sama juga dipraktikkan oleh komuniti Anak Aceh. Komuniti ini, sebagaimana tersurat dari namanya, adalah orang-orang Aceh yang berbaur dengan suku Minang. Hubungan langsung antara Minangkabau dan Negeri Sembilan terputus ketika Traktat London ditandatangani pada 1824.


Berdasarkan traktat yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda itu, Belanda diakui menguasai kepulauan Indonesia, sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung Melayu dan Singapura. Pemisahan ini nantinya juga ikut memengaruhi perkembangan bahasa Melayu di kawasan Selat Melaka.


Sejak itu, komuniti Minang menjadi warga Tanah Malaya yang dikuasai Inggris. Meski begitu, mereka tetap mengakui Minangkabau sebagai asal-usulnya. Keterikatan itu tampak dari salah satu pantun lokal yang beredar di masyarakat Negeri Sembilan ini:


“Leguh-legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke Padang Genta kerbau berbunyi juga Biar sepiring dapat pagi Walau sepinggan dapat petang Pagaruyung teringat juga”


Pertalian semacam itu sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Melayu di semenanjung. Hairin Abdullah dalam Menyenarai 34 Kumpulan Etnik Sabah (1986) menyebut penduduk Malaysia kontemporer di Sabah-Kalimantan bahagian utara juga memiliki hubungan kekerabatan dengan suku-suku Indonesia.

Dari 38 etnik yang mendiami Sabah, sebagian besarnya adalah pendatang dari kepulauan Indonesia. Mereka di antaranya berasal dari suku Banggi, Bisaya, Ida’an, Tidung, Lotud, Murut, Paluan, Rungus, Tumugon, dan Tatana. Semuanya termasuk dalam sub-etnik Dayak yang juga mendiami Kalimantan. Lalu, masih ada pula komuniti Palawan dan Tagbanua yang merupakan sub-etnik Batak. Komuniti-komuniti pendatang itu, sebagaimana diwartakan Majalah Cermat (Mac 2014), mendarat di Sabah dengan melintasi Laut Sulawesi. Umumnya, mereka adalah para pedagang yang membawa komoditi utama seperti kelapa kering, kain batik, dan rokok kretek yang kebanyakan berasal dari Sulawesi dan Kalimantan.


Sejak Kerajaan Brooke berkuasa di Kalimantan bagian utara, Sabah lantas menjadi destinasi para buruh peladang, kuli bangunan, dan pembantu rumah tangga. Kebanyakan buruh-buruh itu diangkut dari daerah Tidung dan Donggala yang kemudian cukup besar mempengaruhi kebudayaan masyarakat Tawau.

 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan