Ekonomi/Bisnis

Rabu, 8 November 2023

Potret Orang Suku Laut di Kabupaten Bintan

Potret Orang Suku Laut di Kabupaten Bintan

 

Kategori Orang Suku Laut

 

Bicara tentang Orang Suku Laut tentunya harus memahami dulu definisi Suku Laut dan yang membedakannya dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia. Suku Laut yang dibahas dalam tulisan ini adalah suku bangsa yang bertempat tinggal diperahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Riau dan Pantai Johor Selatan. Dalam perkembangannya, Provinsi Riau mekar menjadi Provinsi Kepulauan Riau. Orang Suku Laut yang dulunya hidup mengembara berubah menjadi hidup menetap.

 

Orang suku laut memiliki bermacam penamaan.Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama Orang Pesukuan, yaitu orang yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau kelompok masyarakat ini dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang abad 19 terbagi dua. Mereka ada yang hidupnya di darat, teluk, muara sungai dan di laut.

 

Banyak lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu pada tempat tinggal, seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan), Orang Tambus (mendiami Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor atau Mapur, Bintan).Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang laut dinamai juga beragam.Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers. Ada juga ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of the sea. Meski beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan Riau, termasuk oleh orang Riau daratan, nama Orang Suku Laut istilah paling populer.

 

Di Kepri, istilah lain yang populer adalah Orang Mantang. Semua orang Suku Laut disebut Orang Mantang. Padahal penamaan nama Suku Mantang terkait tempat tinggal Orang Suku Laut di Pulau Mantang, Bintan. Sungguh pun nama ini berhubungan dengan nama tempat, dikalangan Orang Melayu, nama ini masih mengandung arti peyoratif, sama dengan istilah Orang Laut. Ada juga istilah Orang Barok, itu mengacu pada Orang Suku Laut yang ada di Pulau Lipan dan Sungai Buluh, Kabupaten Lingga. Kata Barok diambil dari nama sebatang pohon, yakni bebarok. Pohon ini ada dipemukiman penduduk Orang Suku Laut yang ada di Pulau Lipan, Lingga.

 

Istilah Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun telah dimukimkan oleh pemerintah Orde Baru pada periode pembangunan daerah tertinggal di akhir 1980-an. Bagi Orang Laut sendiri, mereka memandang kelompoknya sebagai orang Melayu asli dan menyebut orang Melayu sebagai kaum Melayu dagang karena posisi aristokratik mereka di masa lalu.

 

Di wilayah laut lain, seperti Sulawesi, kelompok yang masuk kategori orang laut juga dikenal dengan berbagai nama. Seperti Bajau atau Bajo, Sama, Samal dan Samal Laut. Disamping itu ada nama suku bangsa Talaud, Tondano, Tolour, Maranao, Ilanun atau Iranun. Artinya kurang lebih sama dengan suku laut. Mereka orang laut atau orang air, meski cara hidup mereka sudah menetap, bermukim dalam rumah dan tidak dalam perahu. Selain itu, ada yang disebut Suku Urak Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat Daya), Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies (Filipina Selatan).

 

Sejarah Orang Suku Laut

 

Ahmad Dahlan dalam bukunya Sejarah Melayu menyebut Orang Suku Laut masuk kelompok Ras Melayu Tua atau Proto Melayu. Masuk dan menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau Sumatra.

 

Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka.Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir).Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Departemen Sosial, 1988).

Orang Suku Laut secara de facto adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu.Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Malaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—1942), Jepang (1942—1945), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang.

 

Banyak sekali versi mengenai sejarah asal muasal orang Laut.Mulai dari pendapat peneliti asing dan Indonesia, juga berasal dari cerita rakyat yang berkembang di Kepri.BM Syamsuddin (1996) menulis berdasarkan cerita rakyat, asal muasal orang laut berasal dari garam yang diberikan Raja Johor kepada seorang nenek sakti. Garam inilah berkat kuasa Allah kemudian menjelma menjadi Orang Enam Suku. Mereka berada dibawah kekuasaan Orang Kaya Cening di Daik.

Vivienne Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan raja-raja Melayu.Ini berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus Salatin.Seseorang yang disebut Raja Chulan turun ke dalam laut dan kawin dengan putri laut.Kalau putri laut simbolis dari orang laut, maka Sri Tri Buana dan saudaranya adalah anak dari ayah dan ibu yang berasal dari orang laut.Argumen menarik lainnya adalah orang laut di Kepri diduga kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan bangsa Melayu tua.

 

Ketika tanah Melayu diperintah oleh Kesultanan Riau-Lingga sekitar abad ke-18, Orang Suku Laut dilukiskan sebagai sekumpulan kelompok sukubangsa atau klan yang dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka. Masing-masing klan ini terdiri dari berbagai nama, seperti Suku Tambus, Suku Galang, Suku Mantang, Suku Barok, dan Suku Mapor. Para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan” yang mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan, berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya.

 

Orang laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak Sriwijaya berkuasa hingga Kesultanan Riau-Johor.Loyalitas orang laut terhadap sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires, loyalitas orang laut yang disebutnya orang selat telah dimulai sejak di Palembang. Orang laut membantu sultan saat mendirikan Kesultanan Melaka.Beberapa suku orang laut jadi tentara raja. Orang Mepar, Galang, Gelam, Sekanak, Sugi, Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung armada sultan dari suku Ladi, Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi.Orang Mantang sebagai pembuat senjata dari besi.Suku Mepar tugasnya mengangkut duta atau utusan dari luar negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi, Terong dan Kasu menyuplai agar-agar dan sangu (semacam rumput laut). Pemimpin suku Mepar di Lingga tugasnya mengatur suku-suku yang mengembara di Perairan Lingga.

Orang laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Malaka 1511, orang laut menjemput sultan di Bintan dan membawanya untuk mengungsi.Peranan orang laut dalam Sejarah Johor menonjol saaat terjadi krisis kerajaan 1688.Orang laut setia pada sultan yang usianya masih muda dan memihak pada sultan saat terjadi konflik dalam istana kerajaan.Orang laut juga setia pada Raja Kecik saat berkonflik dengan Raja Johor yang dapat bantuan dari Orang Bugis.Saat Raja Kecik kalah dan lari ke Siak, peranan orang laut dalam Kesultanan Johor semakin kecil dan hilang.Orang Bugis berkuasa untuk menjabat posisi sentral dalam istana.

 

Kekalahan Raja Kecil ikut berpengaruh pada posisi Suku Laut. Mereka dianggap sebagai pengganggu di Selat Malaka dan jalur laut tradisional. Bahkan dalam perjanjian persahabatan antara Belanda dan Johor, Suku Laut disebut sebagai pengganggu (perampok) jalur perdagangan Selat Malaka. Ruang gerak Suku Laut yang dibatasi dan diawasi membuat mereka menyingkir ke pulau-pulau terpencil yang tidak mudah dijangkau oleh pengawasan Kerajaan Johor dan Belanda. Posisi Suku Laut semakin terpinggirkan setelah perjanjian Inggris dan Belanda (Traktat London) yang membagi-bagi wilayah jajahan di wilayah Selat Malaka. Orang Suku Laut semakin membatasi interaksi mereka dengan negara dan masyarakat lain. Mereka mengembara di perairan dari satu lokasi ke lokasi lain, dimana mereka dapat memperoleh hasil laut yang mudah dan aman.

 

Persebaran di Kepri

 

Di Kepulauan Riau, Orang Suku Laut tersebar hampir disemua Kabupaten/Kota. Terbanyak di Kabupaten Lingga, Batam, Bintan dan sebagian kecil di Anambas dan Natuna, serta Karimun. Cynthia Chou mencatat Orang Laut di Kepri ada 40 kelompok. Yakni: (1) Orang PulauToi, (2) Orang Tanjung Sekuang, (3) Orang Pulau Buton, (4) Orang Mapur, (5) Orang Berakit, (6) Orang Panglung, (7) Orang Tanjung Sengkuang, (8) Orang Air Kelubi,(9) Orang Pulau Malem, (10) Orang DapurArang, (11) Orang Pulau Bertam, (12) Orang Pulau Padi, (13) Orang Pulau Boyan, (14) Orang Neinang, (15) Orang Kentar,(16) Orang Kojong, (17) Orang Pulau Buluh, (18) Orang Mensemut, (19) Orang Sungai Liang, (20)Orang Pulau Hantu, (21) Orang Air Kelat, (22) Orang Pongok, (23) Orang Kongki, (24) Orang Linau, (25) Orang Air Batu, (26) Orang Mamut, (27) Orang PulauMedang, (28) Orang Limas, (29) Orang Pancur, (30) Orang Tembuk, (31) Orang Kelumu, (32) Orang Mentuda, (33) Orang Penuba,(34) Orang Sungai Buluh, (35) Orang Tanjungdatu, (36) Orang Sebele, (37) Orang Mantang, (38) Orang Teluk Kampa, (39) Orang Baturusa, (40) Orang Pulau Mepar.

Ada lagi pendapat Sembiring (1993), Di Kabupaten Kepri yang kemudian mekar menjadi Kabupaten Bintan dan Lingga ada 34 kelompok Orang Suku Laut. Di Kecamatan Bintan Timur ada Orang Kelong, Orang Pulau Toi, Orang Tanjung Sengkuang, Orang Pulau Buton, Mapur dan Berakit. Di Senayang ada Orang Kentar, Kojong, Pulau Buluh, Mensemut, Sungai Liang, Pulau Hantu, Air Kelat, Pongok, Kongki, Linau, Air Batu, Mamut, Pulau Medang dan Limas. Di Kecamatan Lingga ada Orang Kelumu, Tembuk, Pancur, dan Penuba. Di Kecamatan Singkep ada Orang Sungai Buluh. Di Kundur, Karimun ada OrangTanjung Batu dan Sebele. Di Kecamatan Galang ada Orang Teluk Sembur, Teluk Nipah, Pulau Nanga, Karas, Rempang dan Sembulang. Di Kota Batam ada delapan kelompok. Ada Orang Pulau Kubung, Orang Pulau Todak, Orang Pulau Malang, Orang Pulau Boyan, Orang Pulau Padi, Orang Pulau Kasu, Pulau Terong dan Orang Bertam.

 

Biasanya kelompok Orang Suku Laut dapat dibagi lagi berdasarkan kerabat, termasuk suku bangsa dan klen, yang masing-masing mengambil tempat untuk nama sendiri. Mereka memakai istilah “Orang Kami” untuk menyebut golongan kerabatnya, seperti Orang Kami Orang Tambus, Orang Kami Orang Mantang. Dikenal pula kerabat Orang Laut Pengembara, seperti Orang Buru, Orang Pesukuan, Orang Sekanak, Orang Posek dan Suku Nan.

 

Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar.Data tahun 1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau (dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang Hutan 2938 orang, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih mengembara di laut.Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah.Sebut saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru di Kabupaten Lingga.Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.

 

Tahun 1993, Orang Laut di Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum dimekarkan) berjumlah 626 rumah tangga dengan jumlah atau 2.710 orang.Tersebar di 24 permukiman di darat, 19 desa dan 9 kecamatan. Sejak tahun 1982 pemerintah, melalui Departemen Sosial membuat pemukiman untuk Orang Laut. Sebanyak 840 orang dari 209 KK dimukimkan.Tersebar di lima lokasi. Yakni, Desa Seibuluh (Kecamatan Singkep), Desa Penuba (Kecamatan Lingga), Desa Karas (Kecamatan Galang), dan Kelong (Air Kelubi) yang berada di Bintan Timur. Selain dimukimkan, masih ada sebanyak 1.870 orang atau 417 rumah tangga yang hidup di laut.

 

Kondisi Orang Suku Laut di Kepri saat ini nyaris tak ada data validnya. Tak percaya, datang saja ke Dinas Sosial Provinsi Kepri, Badan Pusat Statistik Kepri atau pun lembaga lain. Dipastikan tak ada data yang valid. Berapa jumlahnya, dimana persebarannya? berapa jumlah yang sudah menetap dan yang masih mengembara? berapa yang beragam Islam, Kristen atau masih belum memiliki agama? bagaimana kondisi pendidikan orang laut, bagaimana kondisi perumahan, kesehatan, serta kondisi sosial ekonomi lainnya. Banyak pertanyaan yang bisa diajukan terkait eksistensi.

 

Di Kabupaten Bintan saat ini, Orang Suku Laut ada di Pulau Air Kelubi, Desa Berakit, Kawal Pantai (Kelurahan Kawal), Pulau Mapur, Kelong, Pulau Toi dan sebagian kecil ada di Pulau Mantang. Ada juga sebagian kecil lagi di Kecamatan Tambelan. Sementara di Batam, Orang Suku Laut ada di Pulau Air Mas, Ngenang, Kubung, Bertam, Tanjung Ngundap, Pulau Gara, Teluk Nipah dan Rempang Cate. Sementara di Anambas, Orang Suku Laut mendiami Pulau Mengkait. Orang Suku Laut juga ada di Desa Air Sena.

 

Sejarah dan Persebaran Orang Suku Laut di Bintan

 

Dari Bintan Awalnya Bermula

 

Bintan adalah Kabupaten Kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, sehingga kabupaten ini dijuluki dengan kabupaten segantang lada. Kabupaten Bintan memiliki luas wilayah 87.777,84 km2 atau 1,49% adalah daratan dan 98,51% adalah lautan (perairan), dengan jumlah penduduk sebanyak 149.120 jiwa. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Bintan adalah bermata pencarian sebagai nelayan tradisional.

 

Kabupaten Bintan berada di Pulau Bintan yang penuh sejarah. Nama Bentan atau Bintan memiliki banyak arti. Ada yang menyebut Bintan berasal dari kata pembantaian.Ada juga yang menyebut Berintan untuk menyebut pedagang yang terdampar di sana. Ada juga yang menyebut Bintan artinya kurang air. Pendapat lain kata Bintan disebabkan di pulau ini ada Gunung Bintan.

Kerajaan Bentan menjadi cikal bakal Kemaharajaan Melayu yang nantinya diteruskan berlanjut pada Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang. Pusat kerajaannya di Bukit Batu dan rajanya bernama Azhar Aya. Setelah ia mangkat, kekuasannya dilanjutkan anaknya, Iskandar Syah. Kerajaan Bentan menguasai wilayah Kepri sekarang, termasuk pulau-pulau, termasuk Tumasek atau Singapura.

Usai tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan amir-amirnya sebagai Districh Thoarden untuk daerah yang besar dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang agak kecil. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan sebuah keresidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling yaitu :

1. Afdelling Tanjungpinang yang meliputi Kepulauan Riau–Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa ditunjuk seorang Residen.

2. Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh Asisten Residen (dibawah) perintah Residen. Pada 1940 Keresidenan ini dijadikan Residente Riau dengan dicantumkan Afdelling Bengkalis (Sumatera Timur) dan sebelum tahun 1945–1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau).

Berdasarkan surat Keputusan de-legasi Republik Indonesia, Provinsi Su-matera Tengah tanggal 18 Mei 1950 No.9/ Deprt. menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia dan Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai berikut:

1. Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah kecamatan Bintan Selatan (termasuk kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur sekarang).

2. Kewedanan Karimun meliputi wila-yah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.

3. Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.

4. Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

Merujuk Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mem-pedomani Instruksi Gubernur Riau tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/1964 dan Instruksi No. 16/V/1964 dan Surat Keputusan Gubernur Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/ 247/5/1965, tanggal 15 Nopember 1965 No. UP/256 /5/1965 menetapkan terhitung mulai 1 Januari 1966 semua daerah Administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau di hapuskan.

Pada tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah dibentuk Kota Administratif Tan-jungpinang yang membawahi 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada tahun yang sama sesuai dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Batam. Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka Batam tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Riau.

Berdasarkan Undang-Undang No. 53 tahun 1999 dan UU No. 13 tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Riau dimekarkan menjadi 3 kabupaten yang terdiri dari : Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna. Melalui Undang-Undang No. 5 tahun 2001, Kota Administratif Tanjungpinang berubah menjadi Kota Tanjungpinang. Berdasarkan PP No. 5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.

 

Batin Lagoi dan Cerita Rakyat Orang Laut

 

Asal mula persukuan Suku Laut di Bintan tergambar dalam cerita rakyat Putri Pandan Berduri. Cerita rakyat ini telah dibukukan berjudul Putri Pandan Berduri, Asal Mula Persukuan di Pulau Bintan.

 

Berikut kisah dalam cerita rakyat tersebut:

Alkisah pada zaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang orang Suku Laut yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan seorang yang santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut terhadap siapa saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin mereka itu.

Guna mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling. Pada suatu hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh ditumbuhi semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara tangisan bayi.

“Anak siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?” pikirnya heran sambil memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi meneruskan langkahnya.

Baru beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi yang kini semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak jua melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan di atas dedaunan yang kini berada di depannya.

Rasa heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya disini ?’, gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada orang di sekitar situ, Batin Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi perempuan yang cantik itu. Sang bayipun berhenti menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.

Batin Lagoi merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak anaknya sendiri. Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya. Bayi perempuan yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa kebahagiaan bagi Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.

 

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan, Putri Pandan Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya seorang putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut mencintainya.

 

Banyak pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski demikian tak seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar putrinya itu berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah. Tersebutlah seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang putera bernama Julela dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup rukun. Kerukunan itu sirna ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak tertua, Julela akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak. Sejak itu, Julela berubah perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang Perkasa agar selalu mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.

 

Jenang Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa mengetahui arah tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah mengaku sebagai anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai pedagang seperti orang kebanyakan.

 

Sebagai seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri. Sikapnya yang sopan dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap orang. Mereka tak habis pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat seperti itu. Akibatnya Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.

 

Cerita tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran untuk mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi menyelenggarakan acara makan malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di Pulau Bintan. Ia juga mengundang Jenang Perkasa dalam acara itu.

Jenang Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin Lagoi, datang memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa memperhatikan gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan sampai caranya bersantap diamati Batin Lagoi diam diam. Tak dapat dipungkiri, Batin Lagoi sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon pemimpin.

 

Tak mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang Perkasa. ‘Wahai anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi pekertimu..’, katanya membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum sopan mendengar kata kata pemimpin Pulau Bintan itu.

“Malam ini aku telah membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang menunduk malu mendengar pujian Batin Lagoi.

 

“Aku pikir, alangkah senangnya hatiku jika kau bersedia kunikahkan dengan putriku..’.

Jenang Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap lengannya untuk memastikan dirinya tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak menyangka ayah seorang perempuan cantik bernama Putri Pandan Berduri meminta kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu. Jenang Perkasa tentu saja tak mau membuang kesempatan emas itu. Ia segera mengangguk setuju sambil tersenyum memandang Batin Lagoi.

 

Beberapa hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata wayangnya itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan merasa senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa yang terlihat sangat serasi.

 

Putri Pandan Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama kemudian, Batin Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk menggantikan dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang memang anak seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya. Ia mampu menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya. Ia juga menolak untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita tentang dirinya memintanya untuk menggantikan kakaknya.

 

Pernikahan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku di utara Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan Kelong menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka yaitu Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku Laut di perairan Pulau Bintan.

 

Populasi dan Persebaran

 

Tahun 1993, Orang Suku Laut tersebar di dua kecamatan.Yakni, Kecamatan Bintan Timur dan Bintan Utara. Di Bintan Utara lokasinya di Pulau Mapur dan Berakit.Sedangkan di Bintan Timur ada di empat pulau.Yaitu, Air Kelubi, Pulau Toi, Pulau Tanjung Sengkuang dan Pulau Malen. Tahun 2017, Orang Laut di Bintan persebarannya tak jauh berubah. Orang laut ada di Berakit (Kecamatan Teluk Sebong), Air Kelubi (Kecamatan Bintan Pesisir), Numbing (Bintan Pesisir), Kawal Pantai (Gunung Kijang) dan Mapur (Teluk Sebong). Di Kampung Panglong, Berakit ada 75 KK Orang Laut. Di Air Kelubi ada 40 KK, di Kawal ada belasan KK.Sementara Mapur ada beberapa KK.

 

Kondisi perkampungan Suku Laut di Bintan berbeda. Karakter penduduknya tak sama. Begitu juga soal kepercayaan, tingkat keterbukaan pada orang lain yang datang. Berikut profil kampung Suku Laut di Bintan.

a. Kampung Panglong, Desa Berakit

Kampung Panglong, Desa Berakit yang bisa diakses lewat jalur darat. Letaknya diujung Pulau Bintan. Di kampung ini sekitar 75 kepala keluarga (KK) penduduknya orang Suku Laut. Mayoritas beragama Katolik, meski ada juga yang beragama Islam. Banyak juga orang Suku Laut yang kawin mawin dengan orang Flores. Asal usul Orang Laut Berakit ini dari Pulau Kubung, Batam.

 

Pada awalnya hanya satu kepala keluarga (KK) Suku Laut yang tinggal di Kampung Panglong ini tahun 1962. Namanya Bone Pasius atau lebih dikenal dengan nama Pak Boncit.Disusul generasi kedua Suku Laut pada tahun 1965 bertambah menjadi tiga kepala keluarga yang berasal dari Perairan Kelong dan Perairan Numbing. Yakni, keluarga Mat, keluarga Dolah dan Keluarga Jantan. Dasar pertimbangan suku laut untuk menetap diri untuk berdomisili di Kampung Panglong karena Desa Berakit memiliki kekayaan terumbu karang sebagai tempat berkembang biaknya aneka ragam hayati ikan bila dibandingkan dengan wilayah perairan yang lain.

Usai Boncet meninggal, ketua Suku Laut Kampung Panglong Berakit dipegang anaknya bernama Tintin. Ia belum menikah, pendidikannya pun maju karena sempat kuliah di Singapura. Sehari-hari Tintin yang masih lajang ini mengajar Bahasa Inggris bagi anak-anak Suku Laut Panglong. Ada juga warga Tianghoa yang ikut belajar pada dirinya.

 

Ia lahir sudah di darat, namun juga belajar budaya Orang Laut. Kakak Tintin yang bernama Meri lebih paham soal kebudayaan Orang Laut Berakit. Menurut Meri yang bersuamikan Lago, pria Suku Laut asal Pulau Air Mas, Batam, tak ada lagi Orang Suku Laut Kampung Panglong yang mengembara. Semuanya kini sudah tinggal di darat dan memiliki rumah.

 

Lago, suami Meri memiliki orang tua dan saudara-saudara yang tinggal di Pulau Air Mas, Ngenang. Tak hanya dirinya, rata-rata orang Air Mas juga memiliki saudara di Desa Berakit, Bintan. Menurut Lago, Orang Panglong Berakit rata-rata asalnya dari Pulau Kubung yang dekat dengan Air Mas. Selebihnya dari wilayah Bintan lain.

 

Kehidupan warga Suku Laut Panglong sangat tergantung hasil tangkapan hasil laut. Tahun 2000 mulai terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan yang cukup drastis.Hasil tangkapan suku laut di Kampung Panglong Desa Berakit yang masih mengandalkan teknologi sangat sederhana. Dulunya mampu menghasilkan tangkapan ikan pada kisaran 60-70 kg namun pasca terjadi kerusakan terumbu, karang hasil tangkapan ikan orang suku laut kurang lebih hanya pada angka 10-20 kg.

Kondisi surutnya perekonomian suku laut ini terus berjalan sampai tahun 2005, karena pada tahun yang sama terjadi perubahan kebijakan dari Pemerintah yang berkenaan larangan keras penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, bom atau alat tangkap lain yang tidak ramah lingkungan. Proses pemulihan kembali ekosistem terumbu karang membutuhkan waktu yang panjang terbukti sampai saat ini rata-rata penghasilan masyarakat suku laut tidak beranjak berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 90.000 per hari.

Pemkab Bintan melalui dana APBD Kabupaten Bintan pada tahun 2010 telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp.1.300.000.000 (satu milyar tiga ratus ribu rupiah) guna merealisasikan program rumah tak layak huni (RTLH). Dana ini diperuntukkan secara khusus bagi masyarakat Suku Laut di Kampung Panglong, Desa Berakit. Rehab rumah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman masyarakat yang layak bagi masyarakat yang berpengasilan rendah (MBR).

 

Secara sosial dan berdasarkan kondisi eksisting permukiman masyarakat suku laut Kampung Panglong Desa Berakit dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) tipologi yaitu tipologi 1 (satu) rumah perahu suku laut mengelompok diperairan. Pengelompokan ini terjadi secara alami mengingat rumah perahu lainnya merupakan kaum kerabat atau memiliki hubungan keluarga misalnya rumah hu ayah, rumah perahu anak dan rumah perahu keluarga masing-masing merapat dalam satu kelompok rumah perahu perairan.

Tipologi 2 (dua) adalah massa bangunan rumah tinggal yang “menempel” pada pulau-pulau kecil yang tidak ada fasilitas di dalamnya. Mayoritas orientasi rumah tinggal tersebut mengarah ke laut dan membelakangi pulau tersebut.Bagian tengah pulau tersebut belum dimanfaatkan untuk bangunan atau fasilitas umum lainnya. Tata massa bangunan yang “menempel” pada pulau-pulau yang masih utuh dan hanya ditumbuhi pepohonan. Orientasi rumah tinggal kearah luar, dan mengikuti sepanjang garis pantai pulau tersebut.Sebagian sudah ada koneksi antar rumah berupa pelantar penghubung sebagai akses ke luar dan ke dalam lingkungan permukiman dimaksud.

Tipe 1, jenis perletakan rumah perahu suku laut merupakan yang menetap di perairan-perairan tertentu dimana mereka berkelam atau berlabuh.Mereka beraktivitas diatas perahu yang beratapkan kajang, yaitu daun pandan berduri yang dianyam dibuat atap berguna untuk melindungi keluarga dari panasnya matahari dan hujan serta embun malam. Masyarakat asli suku laut selalu menginginkan untuk berada dekat dengan air sehingga type ini sangat sesuai dengan tata cara hidup mereka.

Tipe 2,.jenis tata massa bangunan rumah tinggal yang menempel di pulau-pulau kecil di sepanjang garis pantai pulau tersebut. Tipe ini keberadaan bangunannya menempel pada akses utama (tidak ada jarak) sehingga tidak memerlukan tiang tambahan untuk pelantar penghubung.Namun jika ada pengembangan bangunan atau penambahan rumah biasanya dibangun menjorok ke laut dan memerlukan tiang-tiang tambahan untuk pelantar penghubung sebagai akses ke keluar masuk lokasi perumahan.

 

b.Kampung Kawal Pantai

 

Berbeda dengan Kampung Panglong yang warganya cukup ramai, Orang Laut di Kawal Pantai, Kecamatan Gunung Kijang, Bintan hanya belasan KK. Meski kampungnya berstatus kelurahan, tapi belum ada akses jalan daratau jembatan menuju ke perkampungan mereka. Lokasi kampung Suku Laut Kawal Pantai terbilang dekat dan bisa terlihat dari jalan raya Kawal-Trikora.

Mayoritas Orang Laut yang berdiam di Kawal Pantai beragama Islam. Ada dua orang beragama Kristen. Kondisi perumahan warga berbeda dengan Kampung Panglong. Masing-masing rumah terpisah. Tak ada pelantar atau jembatan yang menghubungkan rumah yang satu ke rumah yang lain. Untuk pergi ke rumah tetangga, terpaksa naik sampan atau pompong.

 

Menurut Nasir (34), kampung Kawal Pantai ini belum setua Kampug Panglong di Berakit. Antara Orang Laut Kawal Pantai dan Kampungh Panglong banyak yang statusnya masih bersaudara dan semuanya saling kenal. Warga Kawal Pantai ada yang datang dari Kubung (Batam), Berakit dan ada juga yang datang dari Air Mas dan Air Kelubi, Bintan.

Mertua Nasir bernama Embek (60) berasal dari Pulau Kubung. Ia sudah pindah-pindah dari Kubung ke Kelong, Berakit dan baru pindah ke Kawal Pantai. Perpindahan itu, katanya ingin meningkatkan kehidupan lebih baik. Ia menyebut perpindahan itu sama halnya merantau bagi suku bangsa lain. Bedanya Orang Suku Laut Kawal Pantai pindah tapi tetap hidup sebagai nelayan. Ia termasuk kelompok pertama yang berdiam di Kawal Pantai bersama empat kepala keluarga lainnya.

 

Di Kawal Pantai ini, Orang Suku Laut-nya tak ada ketua suku. Warganya jarang sekali kumpul bersama kecuali kalau ada kegiatan, seperti adanya kunjungan dari pejabat pemerintah atau pun orang politik. Selain itu tak ada lagi warganya yang mengembara atau mencari ikan berkelam berhari-hari di laut. Orang Suku Laut Kawal Pantai sudah seperti nelayan biasa. Pagi hari pergi ke laut. Siang atau sore hari balik membawa hasil tangkapan hasil laut.

c. Air Kelubi

Desa Air Kelubi, Kecamatan Bintan Pesisir, masih bagian Pulau Bintan. Di sini bermukim 40 KK Suku Laut Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Desa yang terletak di gugusan Pulau Buton ini merupakan salah satu pemukiman Suku Laut di Kabupaten Bintan. Selama berabad-abad mereka hidup berpindah-pindah di lautan lepas di atas perahu yang mereka sebut kajang sepanjang 4 meter dan lebar 2 meter.

 

Oleh Pemerintah Kabupaten Bintan yang dulu masih bernama Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau pada awal tahun 1990-an suku laut ini dibuatkan rumah panggung agar mereka pindah ke darat. Program pemindahan ke darat ini baru berhasil efektif sekitar awal 2000-an. Namun masih ada diantara mereka yang memilih tinggal di laut.

 

Untuk mencapai desa ini perlu waktu yang cukup lama. Itu pun tergantung kondisi cuaca dan air laut. Jika cuaca lagi baik dan air laut pasang (naik, pen) tinggi, untuk mencapai Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau, menghabiskan waktu sekitar 6 jam. Dan untuk menuju kota terdekat, yakni Kijang, ibukota Kecamatan Bintan Timur dibutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 jam. Sebaliknya jika angin bertiup kencang, penduduk di desa ini lebih memilih tidak berpergian karena ombaknya sering tidak bersahabat.

 

Kehidupan Orang Suku Laut Bintan

 

Kehidupan Orang Laut

 

Menurut Cynthia Chou, Orang Laut di Kepri, termasuk di Bintan memiliki tiga pola aktivitas kehidupan yang ada relasinya dengan permukiman mereka. Pertama, mereka mencari ikan di dekat kampung. Kedua, mereka melakukan perjalanan berhari-hari ke lokasiyang agak jauh dari kampungnya. Tiga, mereka berkelana ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir tidak ada lagi Orang Laut di Bintan yang melakukan.Mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan yang daerah tangkapannya tak di sekitar Perairan Bintan.

 

Tidak ada aturan tertulis dikalangan Orang Laut mengenai wilayah tangkapan ikan walaupun mereka memiliki‘etika’ menangkap ikan yang harus ditaati bersama.Aturan melaut di kalangan Orang Laut bisa berbeda satu dengan lainnya tergantung denganwilayah tempat di mana mereka tinggal.

 

Organisasi sosial Orang Laut memiliki ciri khas: satu rumah adalah juga satu keluarga batih ( nuclear family), dan rumahtangga ini berada dalam lingkup satu sampan. Artinya, sampan adalah rumah sekaligus basis fundamental sosial dan kebudayaan mereka.Selain itu, sampan merepresentasikan hubungan sosial mereka yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi dan kosmologi kelautannya.

 

Sampan ialah satu elemen budaya material terpenting Orang Laut dalam mendukung aktivitas pengembaraan dan ekonomi mereka.Sampan merupakan alat transportasi yang membawa mereka menjelajahi berbagai pulau—sebagaitempat memproduksi sesuatu (misalnya peralatan menangkap dan menombakikan), memeroleh air bersih, dan pulau ialah rumah tempat berlabuh.

 

Ketika musim angin Utara tiba di mana angin berhembus kencangdari Laut Cina Selatan dan ombak begitu kuat di laut, Orang Laut akan berlabuh di darat dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Dalam masa ini, mereka memanfaatkannya untuk mencari kayu resak, seraya, kapus (kamper), atau merantiuntuk membuat atau memperbaiki sampan.Sampan yang dipakai selama tigasampai empat bulan terus-menerus perlu dinaikkan ke darat untuk dijemur danditambal pada bagian yang bocor. Ukuran kayu yang mereka ambil kira-kira berdiameter tiga pemeluk (sekitar 1,5 m – 2 m). Kayu ini bermanfaat untuk sampan jongkong atau sampan kolek yang panjangnya 18 – 24 kaki atau sekitar 7,5 m,dengan lebar kurang lebih satu depa (1,8 m).

Sampan kolek berukuran lebih kecil dari sampan jongkong, dan dibuat tanpa atap untuk digunakan dalam perairan melintasi hutan bakau. Sampan-sampan tersebut dibuat dengan cara mengeruk bagian tengah kayu.Sebelumnya, kulit kayu dikupas terlebih dulu dan salah satu sisi kayu ditatah hingga rata. Pada bagian dalam dibentuk sesuai dengan ukuran yang dikehen-daki.Tahap berikutnya ialah membentuk bagian haluan, lambung, dan buritan.Penyelesaian dari seluruh pekerjaan membuat sampan ialah pembuatan dayung dan pemasangan atap kajang agar sampan siap dipakai melaut kala musimangin Utara telah bergeser ke musim angin Timur.

Sampan dilengkapi dengan lantai dan tempat memasak. Di bagian dalam sampan, lantai dibuat bertingkatdua: lantai bawah atau bagian cekung difungsikan sebagai tempat barang danperbekalan, sedang lantai atas atau permukaan yang datar ialah ruang di manakeluarga batih berkumpul, makan, dan tidur. Tempat memasak disediakan dibagian dekat buritan sampan yang dibuat dengan menambah lantai khusus,yang diberi tanah liat yang diratakan dan di atasnya disusun batu untuk tungku.

 

Daur Hidup

 

Upacara tradisional yang berkaitan dengan lingkaran hidup (daur hidup) dikalangan Orang Suku Laut terbagi dua, yakni masa lampau dan kondisi sekarang ini. Pada masa lampau, Orang Suku Laut memiliki kepercayaan pada roh-roh nenek moyang. Setelah memeluk agama tertentu, upacara yang berkaitan dengan daur hidup dilaksanakan sesuai agama yang dianut, meskipun pelaksanaannya secara sederhana saja. Diantara upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup, ada tiga proses secara umum, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian.

 

Kelahiran

 

Proses kelahiran Orang Laut dulunya di dalam sampan. Biasanya bidan yang membantu proses membantu persalinan sudah diminta keluarga untuk ikut mendampingi calon ibu. Bidan itu Orang Suku Laut. Meski disebut bidan, orang ini adalah semacam dukun beranak. Ia ikut naik sampan setelah melihat tanda-tanda waktu melahirkan sang ibu sudah dekat. Bidan beranak itu ikut ibu hamil hingga proses melahirkan. Semua biaya bidan beranak itu, termasuk makan, minum dan rokok ditanggung keluarga ibu yang melahirkan. Proses melahirkan di bagian tengah sampan. Bagian depan dan belakang ditutup kain.

Pada Orang Suku Laut yang sudah menetap di darat dan sudah memeluk agama Islam atau Kristen, prosesi upacara kelahiran sesuai ajaran agama masing-masing. Orang yang membantu proses melahirkan tetap saja dukun beranak yang kadang disebut juga bidan beranak. Prosesi kelahiran sescara Islam tetap saja persalinan dibantu dukun beranak. Meskipun telah ada ibu yang proses persalinannya dibantu bidan desa dari puskesmas.

 

Di Kawal Pantai, Air Kelubi dan kampung Suku Laut lainnya yang warganya beragama Islam, upacara kelahiran tak jauh beda dengan Orang Melayu. Proses persalinan dilakukan di rumah. Begitu anak lahir, si anak dibersihkan. Bapak si anak membacakan azan atau iqamad sesuai jenis kelamin anak. Sedangkan si ibu dbersihkan dan ditidurkan pada tempat yang telah disediakan. Ibu itu diminta meminum obatan tradisional yang membantu dalam proses pemulihan usai melahirkan. Usai proses melahirkan, keluarga menggelar syukuran secara sederhana. Dibuat acara selamatan sederhana dan disediakan minuman air putih. Pihak keluarga mengucapkan terima kasih pada dukun/bidan yang membantu proses melahirkan.

 

Tentang pemberian nama, nama tidak terlalu penting di kalangan Orang Lautsampai hari ini, karena nama tidak berfungsi sebagai pembeda garis kekerabatan atau kelompok keturunan, melainkan hanya untuk membedakan antara satu individu dengan yang lain. Nama mereka diberikan sesaat setelah mereka lahir atau saat tali pusar mereka dipotong.Nama biasanya merujuk pada keadaan alam di sekitar mereka saat itu misal kilat atau melihat kondisi bayi, seperti hitam, boncet alias buncit. Sementara, nama anak-anak Orang Laut yang keluarganya sudah menetap di darat, nama anaknya menyesuaikan dengan nama sesuai agama, apakah Islam atau Katolik.

 

Perkawinan

 

Di masa lalu, Orang Laut semenjak masa pertumbuhan anak-anak mereka biasanya telah “dijodohkan” dengan sepupu satu atau sepupu dua dari kerabat dekat. Namun sekarang, pertunangan dan perkawinan dilakukan setelah mereka menginjak masa dewasa dan tidak selalu dengan sepupu..Bentuk perkawinan yang paling baik atau ideal dalam kelompok mereka ialah dengan sepupu. Alasannya, selain berfungsi melindungi atau menjaga keutuhan kelompok, pasangan seperti ini dianggap memiliki kebiasaan yang sama dengan pemahaman baik atas lingkungan laut tempat mereka hidupdan bekerja. Lebih dari itu, sistem perkawinan ini dipandang dapat menghindari perpecahan.

 

Pesta perkawinan lokasinya di dua tempat.Kedua pengantin duduk bersila di dalam sampan.Ada juga atraksi pencak silat seperti tradisi Melayu.Lokasinya di tepi pantai.Keluarga pengantin dan saudara, serta tamu undangan yang semuanya naik sampan merapat ke darat untuk menyaksikan atraksi pencat silat.

 

Dalam tradisi Orang Laut di Bintan juga mengenal hantaran dari pihak mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan.Isi hantaran lengkap semua perlengkapan perempuan, dari mulai baju, kain, dua buah cincin, termasuk lipstik. Tak lupa kapur sirih dan pinang. Juga ada uang Rp44 ribu.Soal yang jumlahnya bisa kelipatan 22 ribu, 44 ribu, 88 ribu dan seterusnya.Hantaran ini menjadi persyaratan yang menjadi keharusan.Kalau syarat kurang, keluarga pihak perempuan meminta dilengkapi.

 

Saat bersanding di sampan, kedua mempelai saling suap saat makan.Makanannya adalah telur yang direbus.Pihak saudara dan para kerabat bergantian sampannya mendekat ke sampan pengantin untuk memberikan ucapan selamat.Dengan ukuran sampan yang kecil, hanya kedua mempelai yang ada di atas sampan duduk bersila.

 

Orang Suku Laut yang beragama Islam, perkawinannya sama dengan adat dan upacara masyarakat Melayu pada umumnya. Cuma pelaksanaannya secara sederhana. Upacaranya ada beberapa tahapan, seperti halnya Orang Melayu. Terdiri dari mencari jodoh, merisik, meminang dan mengantar tanda. Sedangkan pelaksanaan upacara perkawinan terdiri dari atas persiapan (membersihkan rumah), mengajak/menjemput, beramdam (bersolek), berinai dan anak nikah.

Pada kondisi sekarang, sudah banyak Orang Suku Laut yang mencari jodoh sendiri. Biasanya orang tua yang mencari calon pasangan anaknya. Bagi Orang Suku Laut perkawinan yang ideal adalah dengan saudara sepupu. Hal ini bertujuan memperkuat hubungan persaudaraan. Disampig itu, orang tua tak ingin jauh berpisah dari anak-anaknya.

 

Kematian

 

Kematian bagi Orang Suku Laut bukan akhir dari kehidupan. Mereka meyakini kematian sebuah jalan bagi seseorang untuk pindah dari dunia nyata ke dunia tidak nyata, yaitu dunia roh. Dunia roh ini terletak di sebelah barat, digambarkan sebagai dunia yang abadi, tenang dan tentran sepanjang masa. Roh tidak boleh tersesat ketika menuju ke tempat tersebut. Jika tersesat roh takkan berkumpul dengan para pendahulunya.

 

Penyebab roh itu tersesat antara lain karea roh itu tak dipedulikan keluarga. Ia tak diberikan sesajian sebagai medianya untuk makan. Bila tidak dipedulikan, maka ia akan kembali ke dunia nyata dan menganggu sanak keluarga. Gangguan itu bisa berupa penyakit atau kematian salah seorang anggota keluarga tersebut. Roh inilah yang sangat ditakuti Orang Suku Laut. Cara mengusir gangguan adalah memanggil dukun agar dapat mengembalikan ke tempat semula dan tak menganggu. Dengan bantuan dukun, pihak keluarga berjanji tak menyiakan-nyiakan roh itu.

 

Ada dua bentuk upacara kematian. Pertama, bagi Orang Suku Laut yang sudah tinggal menetap dan memeluk agama tertentu. Kedua, bagi Orang Suku Laut yang masih mengembara dan meninggalkan rumahnya untuk hidup di laut. Secara umum prosesinya tak jauh beda dengan penguburan Orang Islam.

 

Orang Laut di Bintan yang hidupnya belum menetap di darat tak memiliki lokasi makam atau pekuburan yang tetap.Saat ada yang meninggal dunia, pihak keluarga memakamkan di pulau terdekat.Jenazah dikuburkan di dalam tanah.Ada papan keranda dan jenazah dimasukkan dalam kain. Cara pemakamannya seperti cara Islam meski saat ini Orang Laut tak memiliki agama. Bedanya, tak ada sholat jenazah dan doa seperti halnya dalam Agama Islam. Keluarga berkabung biasanya selama tiga hari dan kemudian menjalankan aktivitas seperti biasa.

 

Orang Laut yang beragama Islam, tahapan dalam upacara kematian dilaksanakan disiang hari. Tempatnya di tepi pantai yang berpasir dan dibuat dinding dari kain panjang atau kajang yang terbuat dari nipah atau mengkuang. Tujuannya agar prosesnya tidak dilihat, khususnya saat memandikan jenazah.Ada mantera atau serapah yang dibaca saat proses memandikan, yang bunyinya: biar selamat engkau berjalan, jangan sampai sesat. Jangan teringat pada kami yang tinggal. Jenazah dimandikan dengan air dan digosok dengan sabut kelapa. Tujuannya agar bersih. Badan jenazah ditaburi bedak yang terbuat dari beras yang ditumbuk halus dan dicampuri dengan sedikit kunyit. Kegunaannya untuk menghilangkan bau yang kurang enak.

 

Saat jenazah dimandikan, kubur digali. Jenazah dibawa ke lokasi pekuburan. Ditepi lubang kuburan sudah tersedia sepiring makanan, sebungkus rokok dan satu tempayan air. Di atas kubur pada bagian atasnya diletakkan sepiring makanan, rokok dan tempayan air. Ini bekal bagi jenazah dalam perjalanannya di dunia roh. Sudah menjadi kebiasaan, orang yang membantu proses penguburan, seperti dukun, tukang mandi dan tukang gali jenazah diundang ke rumah keluarga jenazah untuk makan bersama sebagai ucaoan terimakasih.

 

Orang Suku Laut juga mengenal kenduri acara kematian Tujuannya untuk memohon kesalamatan agar roh si mayat sampai ke tujuan. Selain itu juga untuk berterimakasih pada kepada orang yang telah membantu proses upacara kematian. Kenduri dipimpin seorang dukun. Dibacakan mantera-mantera oleh dukun agar keluarga yang ditinggalkan merasa aman dan jenazah rohnya tak menggaggu.

 

Orang Suku Laut di Bintan juga melakukan peringatan kematian.Pelaksanaannya 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian. Pihak keluarga menyiapkan makanan untuk tamu undangan dan juga makanan yang dipersembahkan bagi arwah.Makanan yang disiapkan untuk tamu, seperti nasi, ayam, pulut, kopi atau teh, juga disediakan khusus untuk, arwah. Sesajen ini diyakini nantinya akan dimakan almarhum. Saat mengantar sesajen itulah, pihak keluarga mengucapkan serapah yang isinya agar keluarga yang ditinggalkan bisa merasa tenang ditinggalkan dan tak mendapat bencana.

 

Sistem Kepercayaan Orang Laut di Kepulauan Riau

 

Dalam buku Masyarakat Terasing di Indonesia tulisan Koentjaraningrat, dkk terbitan Gramedia, tahun 1993 dipaparkan bagaimana sistem kepercayaan Orang Suku Laut di Kepri. Religi yang mengatur perilaku orang Laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.

Dunia ruh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Hampir semua orang Laut yakin bahwa ruh Datuk Kemuning dan isterinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang Laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Ruh-ruh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang Laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.

 

Orang Laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri, yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan dapat mencelakakan orang. Hantu selalu mereka bayangkan sebagai manusia, yang mereka sebut “orang tanah”, “orang tanjung”, “orang lekuk”, dan lain-lainnya, di samping sebutan-sebutan seperti “hantu laut”, “hantu batu”, “hantu jeram”, “hantu sungai”, dan sebagainya. Hantu-hantu tersebut di atas memang berasal dari dunia makhluk hantu. Selain itu ada hantu yang merupakan penjelmaan manusia seperti hantu polong (hantu pencekik leher, yang menjelma sebagai manusia yang mengamalkan “ilmu pengasih”, yaitu berusaha memikat korbannya agar ia sendiri senantiasa tampak menarik. Hantu penjelmaan manusia lainnya adalah pontianak (hantu mati anak), yaitu hantu penjelmaan wanita yang meninggal dunia sewaktu melahirkan, yang terutama mengganggu pria. Kemudian orang Laut masih mengenal hantu dukang, atau hantu pengisap darah, yang merupakan penjelmaan dari bayi yang lahir tanpa nyawa (karena keguguran, lahir mati, dan sebagainya).

 

Orang Laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara lain bersumber pada benda-benda seperti buntat, batu akik, akar bahar, keris dan sebagainya, dan pada benda-benda yang bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta menyembuhkan penyakit yang berasal dari perbuatan manusia maupun karena tersampuk (“kemasukan” atau diganggu) ruh, hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan manusia, seperti menenangkan ombak dan badai.

 

Kesempatan orang untuk menjadi bomoh tak terbatas pada pria; wanita pun dapat menjadi bomoh yang sama besar peran dan pengaruhnya seperti bomoh pria. Antara bomoh yang satu dengan lain dapat timbul persaingan untuk memperebutkan pengaruh, yang kadang-kadang mereka lakukan secara terbuka dengan becoba (mengadu kekuatan gaib). Kekuatan gaib dapat diwariskan kepada sanak keluarga, tetapi dapat juga diajarkan kepada orang lain. Sebelum pengetahuan itu diteruskan, harus dipertegas dahulu hubungan antara keduanya, yaitu bomoh sebagai buru, dan orang yang menerima pengetahuan itu sebagai muridnya, yang selanjutnya merupakan hubungan antara orangtua dan anak, yang diikat oleh prinsip-prinsip hubungan timbal-balik. Dengan adanya hubungan ini ada syarat untuk memberi “asam garam” atau imbalan atas pengetahuan yang diajarkan. Pemberian “asam garam” ini berupa pemberian hadian-hadian seperti sandang, uang, bahkan jaminan hidup.

 

Daftar Pustaka:

AB Lapian, Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Yogya: Komunitas Bambu, 2009.

 

Ahmad Dahlan, P.hD, Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014

Azmi, Putri Pandan Berduri, Asal Mula Persukuan di Pulau Bintan. Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2005.

 

Cynthia Gek Hua Chou, Money Magic and Fear : Identity and Exchange Amongst The Orang Sulu Laut (Sea Nomads) and Other Grous of Riau and Batam, Indonesia. Department of Social Anthropology, University of Cambridge May 1994.

 

Eva Warni, Sindu Galba, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang 2005.

 

Khidir Marsanto. Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran:Etnografi Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kepulauan Riau. Yogya: Tesis UGM, 2014.

 

Rusli, Model Penataan Lingkungan Permukiman Suku Laut Pasca Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Berbasis Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Pelestarian Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Pekanbaru, 28 Mei 2016.

Melayuonline.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan