Ekonomi/Bisnis

Selasa, 18 Julai 2023

Kesultanan Langkat : Sebuah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur, Indoneia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Abdoel Aziz Abdoeldjalil Rachmat Sjah, sultan Langkat 1895

Kesultan Langkat juga sangat menarik. Kerana saya sangat minat tentang wang kerajaan Melayu. Terdapat satu wang shiling yang dikaitan dengan sebuah kerajaan Melayu di Selatan Thailand. Iaitu wang kerajaan Melayu Negeri Legeh di Selatan Thailand. Pada peringkat awal penulis masih keliru dengan wang shiling tersebut. Adakah betul wang shiling negeri Melayu Legeh. Kerana di wang shiling itu tercatat Negeri Langkat Darussalam. Dan terdapat sebuah negeri Melayu Langkat di Sumatra Timur, Indonesia. Dari situlah penulis mulai mendalam tentang kerajaan Langkat di Sumatra. Disini penulis kemukakan sebahagian dari sebuah artikel yang ditulis oleh Ryzka Dwi Kurnia di Jurnal Analytica Islamica, Volume 4, No. 1, 2015:155-166. Sebahagian isi kandungannya adalah seperti berikut:


Sejarah Kesultanan Langkat

Melalui tulisan Zainal Arifin, disebutkan bahawa jauh sebelum Kerajaan Langkat lahir, di daerah tersebut telah berdiri sebuah Kerajaan Melayu yang bernama kerajaan Aru (Haru) yang merupakan asal muasal lahirnya Kesultanan Langkat. Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal dari keturunan Kerajaan Aru itu sendiri.[1]

Bendera Kesultanan Langkat

Kerajaan Aru merupakan Kerajaan yang cukup Masyhur di masanya. Diperkirakan bahawasanya Kerajaan Haru (Sumatera Timur) telah memeluk Islam sejak pertengahan abad ke-13.[2] Hal ini dibuktikan melalui “Sejarah Melayu” dan Hikayat Raja-Raja Pasai” yang berkisah sebagai berikut:


Disebutkan bahawa rombongan Nahkoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus Sekarang), kemudian Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudera Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian menjadi Sultan Malikulsaleh diIslamkan.[3]

Istana Kesultanan Langkat

Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-13 dan diketahui juga bahawasanya Marco Polo bertemu dengan Malikulsaleh pada tahun 1292 M. ketika mengunjungi Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan Sultan yang bertarikh 1297 M. dan masih dijumpai di Pasai.[4]


Selain itu bukti lain menyatakan bahawa, Kerajaan Aru/Haru pada tahun 1365 M. dihancurkan Kerajaan Majapahit, kemudian bangkit kembali dengan beberapa kali mengirim utusannya ke Tiongkok semasa pemerintahan Kaisar Yung Lo. Sultan Husin dari Haru mengirim misi ke Tiongkok pada tahun 1407 M. Selanjutnya pada masa Raja Tuanku Alamsyah (pengganti Sultan Husin) mengirim lagi utusannya ke Tiongkok pada tahun 1419, 1421 dan 1423 M.

Selanjutnya Kaisar Ming membalas kunjungan ini dengan mengutus Laksamana Cheng Ho iaitu pada tahun 1412 dan 1431 M. Pada masa itu Haru telah mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain yang disebut “K’oni” sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang beragama Islam.[5]

Nama “Haru” tersebut untuk pertama kalinya muncul dalam catatan Tiongkok ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 M. pada zaman pemerintahan Kublai Khan. Setidaknya dalam beberapa periode sampai dengan masa penyerangan dari Singosari (1275 M.), maka kota Cina yang terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan perdagangan dari Kerajaan Haru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan (antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung berniaga dengan jajahan- jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian hasil penggalian yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli sekarang).[6]

Istana Kesultanan Langkat di Tanjung Pura

Penyerangan ini dikenal dengan nama “Ekspedisi Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahawa “Haru bermusuhan”.


Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan kembali   makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”, bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga Samudera, Barlak (Perlak) dan Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M. Tetapi tidak lama, musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M. Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri dalam Kepulauan Nusantara ini.[7]


Silsilah Kesultanan Langkat menyatakan bahawa nama leluhur Kerajaan Langkat yang terjauh diketahui adalah Dewa Sahdan.[8]  Sampai saat ini asal usulnya masih menjadi simpang siur. Satu pendapat mengatakan, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki Gunung Sibayak) Kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 M. Versi yang lain menyebutkan bahawa Dewa Sahdan adalah putra Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah pohon buluh di Kerajaan Kutabuluh.[9] Ada juga yang menyebutnya sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.[10]

Seri Paduka Tuanku Mahmud Abdu’l Jalil Rahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Abdu’l Aziz, Sultan Melayu Langkat 1927-1948


Sedangkan Menurut teromba Kesultanan Langkat, Dewa Sahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh.[11] Kemudian setelah mangkatnya Dewa Sahdan kepemimpinan kerajaan diteruskan oleh putranya bernama Dewa Sakti antara tahun 1580-1612. Dewa Sakti diberi gelar Kejeruan Hitam, tetapi Dewa Sakti akhirnya tewas dalam Peperangan Aceh dalam mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua demikian adiknya Putri Hijau hilang dan raib dalam peperangan sekitar tahun 1612.


Dan ini adalah dari tulisan Lukman Hadi Subroto, tajuknya “Kesultanan Langkat: Sejarah, Perkembangan, dan Raja-raja” di surat khabar Kompas.com Isinya seperti berikut :

Sejarah berdirinya Kesultanan Langkat merupakan penerus Kerajaan Aru, yang hancur kerana ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh, seorang panglima Deli bernama Dewa Shahdan mendirikan sebuah komunitas pada 1568. Komunitas tersebut kemudian berkembang yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat. Nama Langkat sendiri berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568 hingga 1580.


Perkembangan Raja ketiga Langkat, yaitu Raja Kahar (1612-1673), merupakan penguasa yang merintis perpindahan ibu kota ke Langkat. Sehingga pada masa pemerintahan Raja Kahar inilah, Kesultanan Langkat mulai menunjukkan kedaulatannya. Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman. Pada masa Raja Badiuzzaman inilah, Langkat mulai menaklukkan daerah sekitarnya dengan cara-cara damai hingga ia meninggal pada 1750. Raja Badiuzzaman kemudian digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan Kerajaan Siak.


Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam meninggal pada 1818. Setelah perang dengan Siak berakhir, pada 1855, Aceh menyerang Langkat yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Sultan Haji Musa. Perang tersebut dimenangkan oleh Aceh, yang ditandai dengan pengakuan Tuanku Haji Musa atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.


Masa Kolonial Belanda Setelah selesai perang dengan Aceh, pada 1883, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Dengan temuan itu, Tuanku Sultan Haji Musa kemudian memanfaatkannya untuk mengisi perekonomian Langkat. Akan tetapi, pada 1892, kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal. Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar.


Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Ketika Kesultanan Langkat pada masa jayanya, Tuanku Haji Musa meninggal pada 1893, dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah (1893-1927), Langkat menjalin kontrak politik dengan Belanda pada 1907. Dalam perjanjian itu, batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan meliputi Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.


Pendudukan Jepang Pengganti Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah adalah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948). Pada masa pemerintahannya, tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur. Sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang hingga kemerdekaan Indonesia.


Masa Kemerdekaan Indonesia Ketika proklamasi dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, khabar bahagia itu belum sampai ke Kesultanan Langkat. Baru pada Oktober, khabar kemerdekaan sampai ke Kesultanan Langkat dan rajanya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, segera menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Setahun kemudian, bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada 1946, Kesultanan Langkat terguncang kedaulatannya.


Keadaan itu semakin diperparah setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah wafat pada 1948. Setelah era Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, sultan di Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertahta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan hingga sekarang.

Salasilah Kesultanan Langkat

Raja-raja Kesultanan Langkat

Dewa Shahdan (1568-1580)

Dewa Sakti (1580-1612)

Raja Kahar (1612-1673)

Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750)

Raja Kejuruan Hitam (1750-1818)

Raja Ahmad (1818-1840)

Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (1840-1893)

Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (1893-1927) Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948) Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah (1948-1990)

Tengku Mustafa Kamal Pasha (1990-1999)

Tengku Dr Herman Shah (1999-2001)

Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Hajj (2001-2003)

Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj (2003-sekarang) 


Referensi:

Taniputera, Ivan. 2017. Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.



[1] Zainal Arifin, Langkat Dalam Sejarah Dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan:

   Penerbit Mitra, 2002) h. 211-22

[2] T. Luckman Sinar, The Kingdom of Haru and The Legend of Puteri Hijau, Paper

   Seminar IAHA ke-7 di Bangkok, tanggal 25-27 Ogos 1977.

[3] T. Lukman Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur,

  (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) h. 12

[4] T. Luckman Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera

   Utara, paper dalam seminar  dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Mac

   1981. Lihat juga harian Analisa tanggal 10 April 1981.

[5] T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Lembaga Penelitian dan

   Pengembangan Seni dan Budaya Melayu, 2000) h. 5-6

[6] T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,

   h. 12

[7] Ibid.,h. 13

[8] T. Lukman Sinar, Makalah, Sumatera Timur Sebelum Menancapnya Penjajahan

   Belanda (Medan: Fakultas Sastra USU, 1990) h. 35

[9] Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, Projek

[10] Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara, Medan, 1980, h. 28

[11] Ibid.,

 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan