Ekonomi/Bisnis

Ahad, 30 Julai 2023

Kesultan Serdang : Sebuah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur, Indonesia. (Bahagian 1)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Saya sangat minat tentang kesultanan Melayu. Lebih lebih lagi dengan kesultanan Melayu di Pulau Sumatra yang jarang orang Melayu di luar Indonesia tahu. Setelah bertemu dengan Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II, Sultan kerajaan Serdang. Dan sempat beli buku karangannya, Buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Da disini akan kemukakan sebuah artikel ilmiah tajuknya, “Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya” yang disiarkan di jurnal Local History & Heritage, Volume 1, Issue 2, September 2021. Artikel ini asal dari Sripsi Fivi Herviyunita, dengan 2 orang penyelia, iaitu Irwansyah dan Rina Devianty di Universiti Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia. Isi artikel tersebut adalah berikut:-


Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya

Pendahuluan


Istana Kesultanan Serdang merupakan sebuah peninggalan kesultanan yang dibangun sebagai tempat peristirahatan atau singgasana para Sultan Serdang. Selain menjadi tempat peristirahatan, Istana Kesultanan Serdang juga menjadi tempat melakukan berbagai aktivitas dan sistem pemerintahan dalam melakukan hal kegiatan apapun yang berhubungan erat dengan Kesultanan. Pembangunan istana ini dimulai dari waktu masa Kesultanan Tuanku Umar Djohan Alamsyah Raja Junjungan 1723 M hingga masa Kesultanan Sulaiman Shariful Alamshah 1881 M.

Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II

Pusat pemerintahan Kesultanan Serdang pertama berada di Istana Tanjung Puteri, Kampong besar Serdang, pada masa kepemimpinan Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan Junjongan (1723-1767). Namun ketika berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Serdang ke Rantau Panjang, pemerintahan dipimpin pada masa Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880 M), dibutuhkan segala sarana kelengkapan pemerintahan. Maka didirikanlah istana kesultanan yang disebut dengan Istana Bogok Rantau Panjang atau Istana Darul Arif Rantau Panjang, kerana beberapa hal maka kembali dipindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Serdang. Tidak berhenti hanya di situ saja, perpindahan pusat pemerintahan dilanjutkan masa kepemimpinan Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah (1866-1946) yang mendirikan Istana Darul Arif Kota Galuh, pusat pemerintahan Kesultanan Serdang akhirnya berada di Kota Galuh Perbaungan di Istana Darul Arif pada masa kepemimpinan Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah.


Berpindahnya Istana pertama Tanjung Puteri yang berada di Kampong Besar mengakibatkan sering terjadinya banjir bandang yang membuat Kesultanan Serdang merasa tidak nyaman berada di Kampong Besar. Didirikanlah Istana di Rantau panjang yang disebut Istana Darul Arif Rantau Panjang, namun Istana Rantau Panjang masih membuat kesultanan merasa tidak nyaman yang disebabkan kerana kondisi alam yang sering terjadi banjir bandang atau luapan

air sungai Serdang dan karakter tanahnya yang rawan, saat itu dipindahkanlah Istana Rantau Panjang ke Perbaungan yang disebut Istana Darul Arif Kota Galuh.


Keberadaan Istana Kesultanan Serdang ini cukup berpengaruh terhadap budaya Islam. Beberapa di antaranya ialah; istana digunakan menjadi tempat pengajian, perayaan hari besar Islam, sering diadakannya pertunjukan budaya Islam di lingkungan istana ataupun berfungsi sebagai tempat sanggar seni. Bangunan istana menjadi tempat yang digemari penduduk setempat, hal itu mengakibatkan istana semakin diperindah dan dipercantik. Keadaan istana yang berada di Tanjung Puteri sayangnya tidak ada yang tersisa lagi, bagian yang tertinggal hanyalah puing-puing istana. Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab hancurnya istana. 

Bendera Kerajaan Serdang

                                      Jata Kerajaan Serdang


Tak lama setelah itu, didirikan dan dibangunlah Istana Darul Arif di Kota Galuh, Perbaungan. Nasib yang sama juga terjadi pada istana ini, sisa peninggalan dari Istana hanya menara air, umpak, dasar tiang bendera dan puing-puing fondasi istana. Hancurnya Istana ini berbeda dengan Istana- istana sebelumnya. Istana ini hancur disebabkan karena dibakar oleh orang-orang Belanda. Beruntungnya pemerintah berinisiatif untuk membuat replika istana yang menjadi salah satu peninggalan dari Istana Kesultanan Serdang.


Tulisan ini memiliki fokus pada “Kesultanan Serdang dan Jejak Peninggalannya.” Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan sumber dari beberapa buku, jurnal dan juga arsip mengenai Kesultanan Serdang dan Jejak peninggalannya. Penulis juga wawancara langsung dengan Tengku Mira, observasi langsung ke lapangan untuk melihat jejak dan juga bekas peninggalan dari Kesultanan Serdang.


Pembahasan

Sejarah Berdirinya Kesultanan Serdang


Berdirinya Kesultanan Serdang berkaitan erat dengan Panglima Armada Kesultanan Aceh Darussalam, Panglima ini dikenal dengan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Menurut Tengku Lukman Sinar, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan merupakan tokoh sentral terbentuknya embrio Kesultanan Serdang (Azhari, 2013). Di bawah pemerintahan Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Aceh Darussalam yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Timur Sumatera. 

Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan merupakan pemimpin militer Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya melawan bangsa Portugis pada tahun 1629 M. Berkat pengabdiannya yang luar biasa terhadap Kesultanan Aceh Darussalam, pada tahun 1632 M Sultan Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan mengangkat Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai Wakil Sultan Aceh untuk memimpin wilayah Haru (Sumatera Timur). Kerajaan Haru merupakan salah satu kerajaan yang berhasil ditaklukkan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, tidak lama kemudian Kerajaan Haru dikenal dengan nama Kesultanan Deli (Khairuddin, 2017).

Kepemimpinan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan di Kesultanan Deli mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa di antaranya kerajaan-kerajaan kecil seperti, Kerajaan Surbakti dan Kerajaan Sunggal, tidak hanya itu Kerajaan Sunggal berkenan menikahkan adik perempuannya yang bernama Puteri Nan Baluan Beru Surbakti dengan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan pada tahun 1632 M. Secara tidak langsung pengakuan dari kerajaan-kerajaan lokal tersebut semakin membuat roda pemerintahan Kesultanan Deli yang saat itu masih berada di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam berjalan sangat lancar. Tahun 1641 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit, yang kemudian bergelar sebagai Panglima Deli (1614-1700 M). Pada kurun waktu yang sama, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam mulai melemah seiring wafatnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636 M (Azhari, 2013).


Pada tahun 1669 M, Tuanku Panglima Perunggit berupaya memerdekakan Kesultanan Deli dari Penguasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun yang sama, iaitu tahun 1669 dideklarasikan kemerdekaan Kesultanan Deli,

Belanda yang saat itu membangun benteng pertahanan di Melaka segera memberikan dukungan terhadap Kesultanan Deli. Tuanku Panglima Perunggit memerintah sampai tahun 1700 M, ia digantikan oleh Tuanku Panglima Paderap yang saat itu memerintah sampai tahun 1720 M. Pasca wafatnya Sultan Deli kedua ini, muncul konflik dan perpecahan di wilayah Kesultanan Deli. Konflik itu dipicu oleh beberapa hal, di antaranya ialah: adanya pengaruh Kerajaan Siak di wilayah Sumatera Timur, adanya perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. 


Perpecahan yang terjadi antara anak Tuanku Panglima Paderap di antaranya ialah; Tuanku Jalaluddin, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar Johan Alamshah, puncak konflik terjadi pada tahun 1723 M, Tuanku Umar Johan Alamshah mengalami kekalahan di Medan pertempuran ketika melawan saudaranya (Tuanku Panglima Pasutan). Seharusnya Tuanku Umar Johan Alamsyah yang menjadi pewaris takhta Kesultanan Deli kerana dia anak dari permaisuri, Tuanku Puan Sampali (Permaisuri Tuanku Panglima Paderap). Kekalahan itu mengakibatkan Tuanku Umar Johan Alamshah dan ibundanya (permaisuri) terpaksa mengungsi ke Kampung Besar (Sinar, 1986).


Secara otomatis kekuasaan Kesultanan Deli jatuh ke tangan Tuanku Panglima Pasutan. Tidak semua pihak setuju dengan naiknya Tuanku Panglima Pasutan dan memilih serta mendukung Tuanku Umar Johan Alamsyah. Beberapa pihak yang memberikan dukungan kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah ialah, Raja Urung Sunggal, Senembah, dan lainnya. Mereka kemudian menobatkan Tuanku Umar Johan Alamshah sebagai pemimpin sebuah pemerintahan baru yang berkedudukan di Kampung Besar. Pemerintahan baru inilah yang kemudian dikenal dengan nama Kesultanan Serdang. Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang raja. Pada saat itu peranan seorang raja adalah sebagai kepala Pemerintahan, kepala agama, dan kepala Adat Melayu (Khairuddin, 2017).


Masa Pemerintahan Kesultanan Serdang

1. Zaman Keemasan

Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817-1850). Pada masa pemerintahannya, banyak rakyat Batak Hulu yang memeluk agama Islam. Hal itu dikarenakan dijunjung tingginya penerapan adat Melayu yang bersandikan Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah, Serdang dalam kondisi aman, tentram dan makmur, ditambah lagi perdagangan saat itu cukup maju. 


Akibat kemajuan yang dicapai Serdang, nama kesultanan ini terkenal sampai ke negeri-negeri lain bahkan sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Tidak hanya sampai di situ saja, banyak kerajaan-kerajaan yang meminta bantuan militer ke Kesultanan Serdang. Beberapa kerajaan itu ialah; Kerajaan Padang, Bedagai, dan Senembah (Azhari, 2013, pp. 38–39). Berdasarkan catatan John anderson, ketika ia mengunjungi Serdang tahun 1823 (Anderson, 1971).


•      Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).

•      Sultan Thaf Sinar Baharshah, sangat memajukan ilmu pengetahuan.

•      Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari Pantai Barat Sumatera yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.

•      Sultan Thaf Sinar Baharshah sangan toleran dan suka bermusyawarah.

•      Cukai di Serdang cukup Moderat.


2.     Zaman Kemunduran

Kesultanan Serdang mulai mengalami kemunduran di bawah Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah (1819-1880). Hal ini ditandai dengan munculnya penjajah Belanda, pada akhirnya Sultan Serdang terpaksa meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam yang sudah terbiasa berperang melawan penjajah. Pada tahun 1854 M, Sultan Aceh Darussalam menganugerahi gelar Wazir Sultan Aceh kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah yang dikenal dengan Mahor Cap Sembilan. 


Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah dibantu oleh Orang- orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan Serdang. Akibat konflik yang berkepanjangan mengakibatkan sering terjadi pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir.


Pada masa pemerintahan Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah, sering sekali terjadi peperangan, baik dari dalam maupun dari luar. Selain konflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah. Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada tahun 1862 M. Namun, hegemoni yang kuat dari Belanda menyebabkan Serdang harus takluk dan mengakui kekuasaan Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862 M (Azhari, 2013, pp. 39–40).


Referensi

Anderson, J. (1971). Mission to the East Coast of Sumatra, in 1823. Oxford University.

Azhari, I. (2013). Kesultanan Serdang: Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah. Medan.

Khairuddin. (2017). Peran Kesultanan Serdang dalam Pengembangan Islam di Serdang Bedagai. Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogya: PT.Tiara Wacana.

Sinar, Tuanku Luckman. (1986). Sari Sejarah Serdang 1`. Medan: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerali. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Tuanku Luckman Sinar Basarshah. (2006). Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Y. K. Serdang, Ed.). Medan.


 

Khamis, 27 Julai 2023

Sistem Bacaan Al Quran Qiroati Dari Indonesia sampai ke Patani, Thailand.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

                                     KH. Dahlan Salim Zarkasyi 

Sistem bacaan Al-Quran yang popular sekali di Thailand pada masa ini ialah sistem bacaan Al-Quran Qiro’ati. Sistem Kiraati ini telah mengatasi beberapa sistem yang ada sebelum ini. Kerana sistem Kiraati ini sangat senang untuk membaca Al Quran bagi kanak kanak. Walaupun begitu sesetengah ibu bapak kanak kanak masih belu tahu lagi di manakah lahirnya system Kiraati ini. Di sini saya kemukakan riwayat hidup Kyai Haji Dahlan Salim Zarkasyi, pengasas sistem bacaan Al-Quran Kiraati. Isinya diambil dari Biografi KH. Dahlan Salim Zarkasyi, Laman web Layanan Dokumentasi Ulama dan KeIslaman. Isinya seperti berikut:-

Kyai Haji Dahlan Salim Zarkasyi

lahir pada tanggal 28 Agustus 1928 di Semarang, Indonesia. Dan meninggal tanggal 20 Januari 2001 di Semarang, Indonesia.

 

Pendidikan

KH. Dahlan Salim Zarkasyi adalah ulama yang jarang didapatkan sekarang, ilmunya insya Allah tergolong laduni sebab ilmu yang beliau dapat hanya sampai kelas V SD dan pesantren selama satu tahun, sedangkan bobot tulisan serta kepeloporannya di bidang pendidikan dan pengajaran al-Qur’an ada pada kelas nasional bahkan insya Allah internasional.

Mendapat ilham

KH. Dahlan Salim Zarkasyi pada awal mendirikan pengajian anak-anak di Kebonarum tahun 1963, beliau mengajar ngaji al-Qur’an dengan menggunakan metode Baghdadiyah.


Tanpa sedikitpun beliau menganggap bahwa metode Baghdadiyah itu tidak berhasil, namun ketika dalam sekejab saja anak-anak sudah banyak yang hafal abjadnya, maka dengan perasaan “syok” beliau mencoba bertanya kepada beberapa murid, eh ! hasilnya ternyata mereka tidak bisa membacanya kecuali harus diurut dahulu dari muka. Maka kesimpulan beliau bahwa metode Baghdadiyah ini terlalu gampang dihafal.

Mulai saat itu beliau mencoba beralih, bebrapa buku penuntun membaca al-Qur’an di toko dibelinya lalu disimak satu demi satu, malu-mula yang ada gambarnya disisihkan kemudian sisanya juga diteliti, karena kebanyakan buku yang ada mengarah ke belajar bahasa Indonesia dengan tulisan Arab, contoh (بِ سْ كُ دُ سْ) semua buku ditinggal.


Akhirnya, tiada jalan lain kecuali beliau harus menulis sendiri, maka dimulailah pada tahun 1963 itu.


Apabila tulisan mudah diterima murid, tulisan disimpan, dan apabila sulit langsung disobek, begitu seterusnya simpan-sobek, simpan-sobek sampai terkumpul jadi buku.


Beliau ingin sekali agar bukunya nanti bisa bermanfaat dann beliau juga mengajak para guru al-Qur’an agar tidak ikut mewariskan kepada para santrinya.


Segala upaya dilaksanakan, dengan mujahadah lahir-batin dan hasilnya alhamdulillah, Allah SWT. Berkenan memberikan inayahnya, suatu keistimewaan telah terjadi dalam sejarah penulisan Qiro’ati ini.


Pada suatu malam (tidak dalam tidur) beliau mendapatkan Ilham, melihat tuntunan mengajar Al Qur’an yang langsung tartil, isinya bisa dilihat pada jilid 4,5,6 (TK). Itulah sebabnya beliau sering berkata : “hebatnya Qiro’ati adalah bukan hasil karangan manusia tetapi hidayah langsung dari Allah”. Saya tidak ikut mengarangnya, jadi tidak bisa menjawab jika ditanya tentang susunan didalamnya, mengapa terkesan tidak lazim. Namun nyatanya dengan buku Qiro’ati ini:


Anak-anak merasa mudah belajar Al Qur’an.

Boleh membaca Al Qur’an dengan tartil walau belum diajar ilmu tajwid.


Guru dan Santri nampak bersemangat.

TK Al Qur’an cepat tersebar kemana-mana dalam tempo amat singkat.


Buku-buku yang ciplak Qiro’ati pun merasakan yang sama meski tak sempurna.


Penemuan Metode Bacaan Qira'ati

Salah satu metode yang popular digunakan untuk mempelajari al-Qur'an pada saat ini yaitu metode Qiraati. Saat ini, buku panduan metode Qiraati telah menjadi pegangan wajib bagi ribuan TPQ maupun lembaga nonformal lainnya di nusantara ini.

Qira’ati adalah salah satu dari sekian banyak metode dalam mempelajari Al-Qur'an. Qiraati merupakan metode dalam mempelajari bacaan Al-Qur`an yang berorientasi kepada hasil bacaan siswa secara "mujawwad murattal" dengan memperhatikan dan mempertahankan mutu pengajaran dan mutu pengajar melalui mekanisme sertifikasi/syahadah (Ijazah).


Hanya pengajar yang telah mendapatkan sertifikat/syahadah yang diijinkan untuk mengajar di lembaga/TPQ Qiraati, dan hanya lembaga yang memiliki sertifikat/syahadah yang diijinkan untuk mengembangkan Qiraati.


Para santri belajar dari dasar hingga tingkat mahir secara bertahap dengan menggunakan beberapa jilid buku panduan yang terdiri dari beberapa tingkatan yang harus dilalui oleh santri. Total ada enam jilid buku panduan yang harus dipelajari oleh santri, ditambah dengan buku panduan mempelajari Tajwid dan Gharib. Seusai menyelesaikan pembelajaran melalui tingkatan-tingkatan tersebut, santri sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan mahir dan secara tartil.


Akhirnya para ulama’ al-Qur’an di Jawa Tengah banyak yang memberikan restu atas buku Qiro’ati ini, antara lain KH. Arwani Kudus beliau setelah mestashih lalu menganjurkan untuk diajarkan disetiap pengajian al-Qur’an, maka atas restu tersebut buku Qiro’ati lalu disebarkan.

Pada tahap awalnya Qiro’ati dicetak dalam 10 jilid, selanjutnya demi kebutuhan maka sekarang tersedia dalam beberapa paket antara lain :


Paket PRA TK  : 1 jilid dan mainan huruf (usia 3 s/d 4 th)

Paket TKQ        : 6 jilid, buku Ghorib dan Tajwid (4 s/d   6 th)

Paket TPQ       : 6 jilid, buku Ghorib dan Tajwid (5 s/d 12 th)

Paket SD          : 4 jilid, buku Ghorib dan Tajwid (7 s/d 12 th)

Paket SMP/A    : 3 jilid, buku Ghorib dan Tajwid (Remaja)

Mahasiswa       : 2 jilid, buku Ghorib dan Tajwid (Remaja)

 

Karya-karya KH. Dahlan Salim Zarkasyi

sebagai berikut:

1. Buku Qiro’ati: buku penuntun membaca al-Qur’an. Istimewanya buku ini mengajarkan al-Qur’an langsung dengan petunjuk tartilnya, sehingga setelah anak tamat buku Qiro’ati akan otomatis bisa membaca al-Qur’an tartil, meski belum diajari membaca al-Qur’an sama sekali.


2. Taman Kanak-Kanak al-Qur’an: suatu lembaga pendidikan model baru tentang pengajaran  al-Qur’an untuk usia kanak-kanak (4/5 th). Lembaga ini awalnya dirintis oleh beliau pada tahun 1986, dan sekarang telah menjamur sampai ke manca negara, sehingga lembaga ini merupakan yang pertama di dunia, sebab belum pernah terdengar sebelum tahun 1986. Dan hasilnya “luar biasa” kini banyak anak usia 6/7 telah khatam al-Qur’an.


3. Ahli baca al-Qur’an huruf BRAILE: hanya dengan mempelajari abjadnya, beliau dapat mengoreksi al-Qur’an BRAILE yang sudah beredar di SLB. Sehingga pembuatnya terpaksa membakar al-Qur’an braile yang ada, dan membuatkan yang baru sebagai gantinya.


4. Mengajar al-Qur’an bagi TUNA RUNGU: beliau pernah membuat percobaan dalam bentuk privat dan berhasil sampai pada jilid 3 buku Qiro’ati, artinya si bisu telah bisa membaca huruf arab gandeng, bacaan yang panjang dan pendek. Sayang percobaan ini belum sempat tuntas murid yang bersangkutan pindah ke kota. Dari sini lalu beliau bercita-cita ingin mendirikan pesantren al-Qur’an khusus bagi tuna rungu. Semoga niat ini berhasil.

Isnin, 24 Julai 2023

Surau Atok Ijuak, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia yang Unik Tapi Pelik

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Kali ini akan bicara tentang sebuah masjid yang terletak di Ranah Minang. Namanya Surau Atok Ijuak, di sii saya akan kemukakan sebuah tulisan tentang masjid atau surau tersebut yang dimuatkan di laman web Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tulisan tersebut adalah seperti berikut :-


Surau Atok Ijuak, yang Unik Tapi Pelik

Nama surau lazim disematkan pada tempat ibadah umat Islam yang berukuran kecil dan cenderung tradisional. Penekanan rasa tradisional inilah yang berusaha dipegang teguh oleh masyarakat di sekitar Surau Atok Ijuak. Selain dari segi bahan kayu dan atap ijuk yang memesona, surau ini juga menawarkan kedamaian bagi para peziarah yang datang ke Kabupaten Pariaman. Bagaimana tidak, surau yang terletak di dataran yang lebih rendah dari bangunan sekitarnya ini seolah tak tersentuh hiruk pikuk jalan raya diatas sana. Aksesibiliti jalan raya membuat surau ini mudah dijangkau dan ditemukan oleh para peziarah dan pelancong. Halamannya yang luas juga memudahkan para jama’ah memarkir kendaraan pribadinya. Para peziarah dan pelancong dari luar kota banyak yang datang ke surau ini dan penasaran bagaimana kesejarahannya. Oleh kerana itu, pengurus masjid sudah berencana membuat sebuah Ranji, atau silsilah keturunan, asal muasal masjid. Hal ini merupakan sebuah usaha yang harus segera dilakukan, kerana di seluruh Nagari Sicincin hanya tinggal 1 orang yang mengetahui sejarah surau dan beliau sudah berusia lanjut. Surau Atok Ijuak dibangun di tanah yang lebih rendah agar dekat dengan sumber air, kerana dahulu jama’ah yang akan melaksanakan shalat berwudhu di sungai-sungai (batang air).

Menurut cerita pengurus, Aslimin, surau ini sudah berusia sekitar 500 tahun. Sayangnya, usia tersebut hanya perkiraan, tidak ada bukti inskripsi atau naskah yang dapat memperkuat asumsi beliau. Beberapa fakta yang dapat dilacak kebenarannya adalah pelaksanaan pemugaran dan penambahan bangunan di kompleks surau Atok Ijuak. Pemugaran surau secara besar-besaran dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (BPCB Sumbar) tahun 2015. Selain itu, pada tahun 2011, Surau Atok Ijuak juga menerima bantuan dari Swiss Labor Agency (SLA) untuk pembangunan kamar mandi dan tempat berwudhu.

Jika dilihat dari bentuknya, surau ini memiliki bentuk yang serupa dengan surau lain di Sumatera Barat. Ruangan utama berdenah bujur sangkar, atapnya berbentuk tumpeng/tingkat (tajug), dan lantai yang ditinggikan (panggung). Di bagian tengah ruang utama terdapat 1 buah tiang utama (macu) dan 8 buah tiang pendamping yang terletak konsentris di sekitar tiang utama. Di sisi barat terdapat mihrab berdenah persegi panjang dan di sisi timur terdapat teras pintu masuk yang juga berdenah persegi panjang. Keseluruhan bangunan terbuat dari papan kayu serta atap yang terbuat dari ijuk. Adapun tangga masuk bangunan terbuat dari mortar.

Bentuk Atap Masjid

Pemugaran oleh BPCB Sumbar difokuskan pada penggantian lantai dan dinding papan kayu yang telah lapuk. Tetapi sayangnya 4 tahun kemudian, lantai papan tersebut sudah banyak yang keropos akibat dimakan rayap. Dahulu perakitan bangunan kayu khas Sumatera Barat menggunakan sistem pasak dan ikat, tetapi waktu pemugaran sistem tersebut diganti dengan menggunakan paku. Upaya pelestarian surau tradisional ini merupakan upaya yang kontinyu dan memakan biaya yang tidak sedikit. Minyak cengkeh (20 kg hanya untuk 2 kali semprot) dan tembakau digunakan untuk mempreservasi kayu serta pembelian ijuk dengan harga 10,000 per kg disediakan oleh BPCB Sumbar dengan dibantu seadanya oleh dana pribadi pengurus masjid, mengingat di surau ini memang tidak disediakan kotak infaq untuk sumbangan.


Sayangnya upaya merawat kelestarian surau tersebut tidak dibarengi dengan antusiasme masyarakat. Menurut Pak Aslimin, sejak surau rusak (sebelum dipugar BPCB), jama’ah mulai sepi karena masyarakat beralih ke masjid baru. Masjid baru tersebut merupakan sumbangan dari salah satu TV swasta nasional setelah terjadinya gempa besar Padang. Pengajian dan qasidah untuk anak-anak yang biasanya berlangsung pukul 16-18 pun beralih ke masjid baru karena disana ada ustadz dan ustadzah yang mengajar. Yang tertinggal kini hanyalah pengajian untuk ibu-ibu (majelis ta’lim) yang dilaksanakan 1 kali tiap minggu. Mereka pun mengaji sendiri, saling menyimak karena memang tidak ada guru yang mau mengajar dengan sukarela. Selain pengajian ibu-ibu, Surau Atok Ijuak masih digunakan untuk rapat dan musyawarah warga Nagari Sicincin.


Tradisi dan ritual keagamaan yang sampai sekarang masih dilaksanakan di surau adalah kebiasaan berdzikir 1 kali tiap tahun, pelaksanaan shalat tarawih, Idul Fitri, dan Idula Adha, serta penyembelihan hewan qurban. Kebiasaan lain di bulan Ramadhan adalah pengajian sebelum berbuka, saat Maghrib tiba semua berbuka di rumah masing-masing dan kemudian kembali untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.


Surau Atok Ijuak juga menjadi saksi sejarah penyebaran Islam Syekh Burhanuddin di Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin, atau Pono nama kecilnya, merupakan salah satu ulama besar yang berasal Ulakan, Pariaman. Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agama ke Aceh dan setelah dianggap mampu oleh gurunya, Syekh Ahmad, kemudian diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerah asalnya. Setelah dari Aceh, Syekh Burhanuddin sempat menginap dan tidur selama 1 malam di Surau Atok Sijuak, sebelum meneruskan perjalanan ke Ulakan. Menurut penuturan Aslimin, setelah Syekh Burhanuddin singgah, masyarakat sekitar kemudian berinisiatif membuat mihrab di dalam surau.


Keunikan lain yang dahulu pernah ada di Surau Atok Ijuak adalah tradisi shalat ampek puluah. Shalat ampek puluah atau shalat empat puluh, merupakan shalat wajib lima waktu yang dilakukan di surau selama 40 hari tanpa terputus. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tua yang berusia 75 tahun keatas. Shalat empat puluh dipercaya sebagai pem’badal’ haji (haji pengganti, kerana belum mampu ke tanah suci) dan sebagai upaya qadha shalat wajib lain yang terlewat sebelum-sebelumnya. Mengingat ramainya kegiatan keagamaan di surau ini, dulu juga banyak Al-Qur’an lama tulisan tangan dengan tinta merah, tetapi sayang sekarang sudah hilang semua karena dicuri. Selain itu juga ada jam kuno yang harus diputar (diengkol).

Bagian Dalam Masjid

Keistimewaan lain Surau Atok Ijuak yakni menjadi salah satu tempat syuting filem Tuanku Imam Bonjol sekitar tahun 2007, sebelum surau dipugar. Keunikan dan keistimewaan Surau Atok Ijuak diharapkan dapat menjadi penyemangat kita untuk membantu melestarikan dan merawat surau tersebut.


Ditulis ulang dari buku “Masjid Warisan Budaya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi – Cahaya Syiar di Relung Mihrab”

Sabtu, 22 Julai 2023

Aksara Dunging, aksara lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Iban, Negeri Sarawak, Malaysia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Aksara aksara lokal di Alam Nusantara sangat banyak. Disini akan bicara tentang aksara yang dimiliki oleh masyarakat pribumi di Negeri Sarawak, Malaysia. Aksara Dunging ini dibuat oleh seorang suku Dayak Iban iaitu Dunging Anak Gunggu. Dengan itu aksara ini adalah aksara miliki Negeri Sarawak. Sepatutnya Negeri Sarawak wajib membantu dalam perkembangan aksara Dunging ke seluruh masyarakat Dayak Iban. Kerana aksara Dunging adalah khazanah bangsa yang menunjukkan masyarakat pribumi Sarawak adalah masyarakat bertamadun.


Disini saya kemukakan sebuah Tesis BA atau Skripsi dari Christopher Kenneth Yansen, tajuknya “Perancangan Typeface Latin Adaptasi Aksara Dunging Dayak Iban” di  Universiti Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Indonesia, pada 2021. Isinya secara ringkas adalah seperti seberikut:-

Prof Dr Bromeley Philip, Universiti Teknologi Mara, Sarawak, Malaysia. Pengarang buku “Iban Alphabet / Abjad Iban / Urup Iban”

Sejarah dan Perkembangan Aksara Dunging

Sejarah Aksara Dunging didapatkan dari buku Bromeley Philip yang berjudul “Iban Alphabet / Abjad Iban / Urup Iban” Buku ini menjelaskan sejarah dan kegunaan serta arti dari Aksara Dunging.

Sistem tulis merupakan sebuah salah satu peninggalan sejarah dalam peradaban manusia. Sistem tulis juga memberikan sebuah pemikiran bukan hanya interaksi antar individu tetapi juga melibatkan gaya hidup, hukum, dan pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa sistem tulis merupakan kemajuan bagi sebuah peradapan manusia. Tidak semua peradaban didunia memiliki sebuah sistem tulis sendiri.


Masyarakat Iban sendiri mengetahui bahwa telah diwujudkannya satu sistem tulis iaitu Aksara Iban yang diterbitkan oleh Yayasan Tun Jugah sebagai kajian ensiklopedia Iban. Sistem tulis ini dikenal dengan nama Aksara Dunging. Aksara Dunging merupakan sebuah warisan yang sangat berharga didalam masyarakat Iban. Nilai yang berharga bukan hanya dilihat dari sistem tulis akan tetapi juga dilihat dari sebuah kegunaan tulisan yang sangat praktis sebagai alternatif menulis dan mengeja Bahasa Iban.



Perkembangan Aksara Dunging memiliki bentuk simbol yang melambangkan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Perancangan huruf pada abjad ini berada dalam konteks modern harus dijadikan sebagai pedoman kajian dimasa yang akan datang. Perekaan Aksara Dunging dirancang oleh Dunging anak Gunggu. Aksara ini bukanlah sistem tulisan purba kerana perancangannya dimulai pada tahun 1980-an. Sebaliknya Aksara Dunging bercirikan unsur-unsur modern. Aksara Dunging mengandung tulisan berbentuk suku kata dan juga alphabetic yang merujuk kepada bentuk huruf konsunan dan vokal.

                                   Dunging anak Gunggu

Dunging anak Gunggu lahir pada tahun 1904 hingga 1985. Beliau dilahirkan di Rumah Panjang Nanga Ulai didaerah hulu sungai Rimbas, Debak. Daerah kecil bagian Betong berjarak 300 kilometer dari Kuching. Beliau merupakan anak kelima diantara lima saudara lainnya. Beliau meninggal pada tahun 1985 pada tanggal 20 Juni di Rumah Panjang Nanga Ulai. Pada masanya Dunging tidak pernah merasakan duduk dibangku sekolah dikarenakan pendidikan pada zaman tersebut hanya ditawarkan didaerah perkotaan saja. Dalam masyarakat Iban, Dunging dikenal oleh banyak orang pada zamanya sebagai seorang pemikir, filsafat, dan juga seorang perancang.


Pada masanya Dunging menghasilkan beberapa perancangan kreatif. Rancangan-rancangan kreatif yang telah dihasilkan yaitu tenaga hidro, pipa bambu yang disambung untuk mengumpulkan getah. Rancangan yang amat ditakjubkan iaitu sebuah cincin yang terbuat dari perpaduan empat lingkaran cincin.

Namun, dari segala perancangan yang pernah dihasilkan rancangan yang begitu penting. Perancangan yang tercatat dalam ensiklopedia Kajian Iban yang diterbitkan Yayasan Tun Jugah pada tahun 2001. Seorang individu yang memiliki otak yang berkelana dalam berpikir dan menciptakan sistem penulisan abjad yang pernah ia ajarkan kepada kerabat dan teman. Aksara Dunging merupakan satu-satunya sistem penulisan Bahasa Iban yang pernah ada dan dikenali serta dicatat dalam ensiklopedia penelitian Iban 2001.


Aksara tersebut masih baik dalam bentuk asal dan disimpan dengan baik oleh Bapak Bagat anak Nunui. Bagat Nunui merupakan seorang guru besar yang pada masa kini telah menjadi ketua dari Rumah Panjang Nanga Ulai. Penulisan ini telah digunakan oleh

beberapa orang sebagai suatu Aksara yang begitu komprehensif sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa perancangan ini bersifat intelektual.

Menurut legenda masyarakat Iban memang memiliki sistem penulisannya sendiri. Tulisan tersebut telah hilang dilanda oleh banjir besar. Seorang bernama Renggi mengikat segulung kulit kayu yang mengandung tulisan tersebut pada ujung kain cawatnya. Sangat disayangkan sekali Renggi tidak begitu cepat untuk menghindari banjir besar tersebut sehingga gulungan kulit kayu tersebut terkena air. Tulisan tersebut pun menjadi pudar. Merasa sedih dan marah Renggi pun memakan kulit kayu tersebut. Maka generasi Iban mulai mengingat dan bisa membuat susunan kata seperti pantun dan puisi. Keturunan Renggi memiliki ingatan yang kuat terhadap puisi dan pantun tersebut terutama pada mereka yang buta huruf. Dengan penghafalan yang kuat ini terus diturunkan kepada generasi selanjutnya.


Legenda tersebut membuat Dunging percaya bahwa masyarakat Iban memang memiliki sistem tulisan sendiri. Dunging percaya jika benar masyarakat Iban telah kehilangan surat tulisan sewaktu banjir besar tidak berkemungkinan untuk tulisan tersebut kembali lagi. Sudah semestinya sesuatu yang hilang dapat dicari lagi jika dilakukan dengan sungguh- sungguh. Dunging menanggapi penjelasan tersebut untuk mencari tulisan Iban yang telah hilang dengan kegigihannya. Dunging merancang ulang tulisan Aksara tersebut. Dunging memulai pencarianya dengan berawalkan rangkaian bunyi seperti pantun.

Dunging menyadari bahwa suatu bahasa tidak akan kokoh jika tidak memiliki alfabet atau sistem penulisannya sendiri. Kemungkinan bahasa tersebut akan pudar dengan perkembangan zaman. Aksara sangat penting untuk memperkokoh seuatu bahasa baik dalam penggunaan maupun dalam perkembangan zaman. Aksara juga melambangkan suatu identitas suatu bangsa. Perancangan Aksara Iban merupakan suatu pencapaian terbaik Dunging dalam usaha selama 15 tahun. Bermula pada tahun 1947 hingga 1962 Dunging telah menciptakan 77 huruf yang melambangkan berbagai bunyi. Sebanyak 77 huruf tersebut disederhanakan lagi sehingga menjadi 59 huruf. Sangat disayangkan setiap perancangan yang telah dibuat tidak didokumentasikan dan hanya Dunging sendiri yang mengetahui akan maksud dari setiap hurufnya.


Dunging menggangap pengalaman dalam perancangan Aksara tersebut sebagai suatu perjalanan hidup yang dipenuhi berbagai rintangan selama 15 tahun. Sepanjang pengalaman Dunging hampir kehilangan kewarasannya dikarenakan memikirkan huruf-huruf Aksara dengan sungguh-sungguh. Setelah berusaha keras untuk menghasilkan Aksara Iban dikepala Dunging cuma memikirkan satu pertanyaan kepada masyarakat Iban. 


Selasa, 18 Julai 2023

Kesultanan Langkat : Sebuah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur, Indoneia.

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Abdoel Aziz Abdoeldjalil Rachmat Sjah, sultan Langkat 1895

Kesultan Langkat juga sangat menarik. Kerana saya sangat minat tentang wang kerajaan Melayu. Terdapat satu wang shiling yang dikaitan dengan sebuah kerajaan Melayu di Selatan Thailand. Iaitu wang kerajaan Melayu Negeri Legeh di Selatan Thailand. Pada peringkat awal penulis masih keliru dengan wang shiling tersebut. Adakah betul wang shiling negeri Melayu Legeh. Kerana di wang shiling itu tercatat Negeri Langkat Darussalam. Dan terdapat sebuah negeri Melayu Langkat di Sumatra Timur, Indonesia. Dari situlah penulis mulai mendalam tentang kerajaan Langkat di Sumatra. Disini penulis kemukakan sebahagian dari sebuah artikel yang ditulis oleh Ryzka Dwi Kurnia di Jurnal Analytica Islamica, Volume 4, No. 1, 2015:155-166. Sebahagian isi kandungannya adalah seperti berikut:


Sejarah Kesultanan Langkat

Melalui tulisan Zainal Arifin, disebutkan bahawa jauh sebelum Kerajaan Langkat lahir, di daerah tersebut telah berdiri sebuah Kerajaan Melayu yang bernama kerajaan Aru (Haru) yang merupakan asal muasal lahirnya Kesultanan Langkat. Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal dari keturunan Kerajaan Aru itu sendiri.[1]

Bendera Kesultanan Langkat

Kerajaan Aru merupakan Kerajaan yang cukup Masyhur di masanya. Diperkirakan bahawasanya Kerajaan Haru (Sumatera Timur) telah memeluk Islam sejak pertengahan abad ke-13.[2] Hal ini dibuktikan melalui “Sejarah Melayu” dan Hikayat Raja-Raja Pasai” yang berkisah sebagai berikut:


Disebutkan bahawa rombongan Nahkoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus Sekarang), kemudian Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudera Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian menjadi Sultan Malikulsaleh diIslamkan.[3]

Istana Kesultanan Langkat

Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-13 dan diketahui juga bahawasanya Marco Polo bertemu dengan Malikulsaleh pada tahun 1292 M. ketika mengunjungi Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan Sultan yang bertarikh 1297 M. dan masih dijumpai di Pasai.[4]


Selain itu bukti lain menyatakan bahawa, Kerajaan Aru/Haru pada tahun 1365 M. dihancurkan Kerajaan Majapahit, kemudian bangkit kembali dengan beberapa kali mengirim utusannya ke Tiongkok semasa pemerintahan Kaisar Yung Lo. Sultan Husin dari Haru mengirim misi ke Tiongkok pada tahun 1407 M. Selanjutnya pada masa Raja Tuanku Alamsyah (pengganti Sultan Husin) mengirim lagi utusannya ke Tiongkok pada tahun 1419, 1421 dan 1423 M.

Selanjutnya Kaisar Ming membalas kunjungan ini dengan mengutus Laksamana Cheng Ho iaitu pada tahun 1412 dan 1431 M. Pada masa itu Haru telah mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain yang disebut “K’oni” sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang beragama Islam.[5]

Nama “Haru” tersebut untuk pertama kalinya muncul dalam catatan Tiongkok ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 M. pada zaman pemerintahan Kublai Khan. Setidaknya dalam beberapa periode sampai dengan masa penyerangan dari Singosari (1275 M.), maka kota Cina yang terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan perdagangan dari Kerajaan Haru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan (antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung berniaga dengan jajahan- jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian hasil penggalian yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli sekarang).[6]

Istana Kesultanan Langkat di Tanjung Pura

Penyerangan ini dikenal dengan nama “Ekspedisi Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahawa “Haru bermusuhan”.


Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan kembali   makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”, bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga Samudera, Barlak (Perlak) dan Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M. Tetapi tidak lama, musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M. Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri dalam Kepulauan Nusantara ini.[7]


Silsilah Kesultanan Langkat menyatakan bahawa nama leluhur Kerajaan Langkat yang terjauh diketahui adalah Dewa Sahdan.[8]  Sampai saat ini asal usulnya masih menjadi simpang siur. Satu pendapat mengatakan, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki Gunung Sibayak) Kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 M. Versi yang lain menyebutkan bahawa Dewa Sahdan adalah putra Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah pohon buluh di Kerajaan Kutabuluh.[9] Ada juga yang menyebutnya sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.[10]

Seri Paduka Tuanku Mahmud Abdu’l Jalil Rahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Abdu’l Aziz, Sultan Melayu Langkat 1927-1948


Sedangkan Menurut teromba Kesultanan Langkat, Dewa Sahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh.[11] Kemudian setelah mangkatnya Dewa Sahdan kepemimpinan kerajaan diteruskan oleh putranya bernama Dewa Sakti antara tahun 1580-1612. Dewa Sakti diberi gelar Kejeruan Hitam, tetapi Dewa Sakti akhirnya tewas dalam Peperangan Aceh dalam mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua demikian adiknya Putri Hijau hilang dan raib dalam peperangan sekitar tahun 1612.


Dan ini adalah dari tulisan Lukman Hadi Subroto, tajuknya “Kesultanan Langkat: Sejarah, Perkembangan, dan Raja-raja” di surat khabar Kompas.com Isinya seperti berikut :

Sejarah berdirinya Kesultanan Langkat merupakan penerus Kerajaan Aru, yang hancur kerana ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh, seorang panglima Deli bernama Dewa Shahdan mendirikan sebuah komunitas pada 1568. Komunitas tersebut kemudian berkembang yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat. Nama Langkat sendiri berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568 hingga 1580.


Perkembangan Raja ketiga Langkat, yaitu Raja Kahar (1612-1673), merupakan penguasa yang merintis perpindahan ibu kota ke Langkat. Sehingga pada masa pemerintahan Raja Kahar inilah, Kesultanan Langkat mulai menunjukkan kedaulatannya. Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman. Pada masa Raja Badiuzzaman inilah, Langkat mulai menaklukkan daerah sekitarnya dengan cara-cara damai hingga ia meninggal pada 1750. Raja Badiuzzaman kemudian digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan Kerajaan Siak.


Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam meninggal pada 1818. Setelah perang dengan Siak berakhir, pada 1855, Aceh menyerang Langkat yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Sultan Haji Musa. Perang tersebut dimenangkan oleh Aceh, yang ditandai dengan pengakuan Tuanku Haji Musa atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.


Masa Kolonial Belanda Setelah selesai perang dengan Aceh, pada 1883, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Dengan temuan itu, Tuanku Sultan Haji Musa kemudian memanfaatkannya untuk mengisi perekonomian Langkat. Akan tetapi, pada 1892, kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal. Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar.


Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Ketika Kesultanan Langkat pada masa jayanya, Tuanku Haji Musa meninggal pada 1893, dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah (1893-1927), Langkat menjalin kontrak politik dengan Belanda pada 1907. Dalam perjanjian itu, batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan meliputi Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.


Pendudukan Jepang Pengganti Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah adalah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948). Pada masa pemerintahannya, tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur. Sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang hingga kemerdekaan Indonesia.


Masa Kemerdekaan Indonesia Ketika proklamasi dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, khabar bahagia itu belum sampai ke Kesultanan Langkat. Baru pada Oktober, khabar kemerdekaan sampai ke Kesultanan Langkat dan rajanya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, segera menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Setahun kemudian, bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada 1946, Kesultanan Langkat terguncang kedaulatannya.


Keadaan itu semakin diperparah setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah wafat pada 1948. Setelah era Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, sultan di Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertahta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan hingga sekarang.

Salasilah Kesultanan Langkat

Raja-raja Kesultanan Langkat

Dewa Shahdan (1568-1580)

Dewa Sakti (1580-1612)

Raja Kahar (1612-1673)

Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750)

Raja Kejuruan Hitam (1750-1818)

Raja Ahmad (1818-1840)

Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (1840-1893)

Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (1893-1927) Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948) Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah (1948-1990)

Tengku Mustafa Kamal Pasha (1990-1999)

Tengku Dr Herman Shah (1999-2001)

Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Hajj (2001-2003)

Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj (2003-sekarang) 


Referensi:

Taniputera, Ivan. 2017. Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.



[1] Zainal Arifin, Langkat Dalam Sejarah Dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan:

   Penerbit Mitra, 2002) h. 211-22

[2] T. Luckman Sinar, The Kingdom of Haru and The Legend of Puteri Hijau, Paper

   Seminar IAHA ke-7 di Bangkok, tanggal 25-27 Ogos 1977.

[3] T. Lukman Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur,

  (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) h. 12

[4] T. Luckman Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera

   Utara, paper dalam seminar  dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Mac

   1981. Lihat juga harian Analisa tanggal 10 April 1981.

[5] T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Lembaga Penelitian dan

   Pengembangan Seni dan Budaya Melayu, 2000) h. 5-6

[6] T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,

   h. 12

[7] Ibid.,h. 13

[8] T. Lukman Sinar, Makalah, Sumatera Timur Sebelum Menancapnya Penjajahan

   Belanda (Medan: Fakultas Sastra USU, 1990) h. 35

[9] Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, Projek

[10] Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara, Medan, 1980, h. 28

[11] Ibid.,