Ekonomi/Bisnis

Sabtu, 25 Mac 2023

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia - Drs. Masnur Muslich (1)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan

Al Marhum Drs. Masnur Muslich, mantan pensyarah di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia. Dan pada tahun 2006 Al Marhum diperbantukan di Jurusan Pengajian Melayu di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Kampus Pattani, Selatan Thailand. Dan di fakulti itulah saya dapat berkenalan dan kami berkerja di satu bilik iaitu bilik Jurusan Pengajian Melayu. Artikel Al Marhum tajuknya “Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia” agak menarik dan sekali lagi saya kemukakan artikel ini. Tetapi kerana terlalu Panjang dengan itu saya bahagikan kepada 3 episod. Ni ada episode pertama :

 

“Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia”

Oleh Masnur Muslich (Al Marhum), Malang, Jawa Timur, Indonesia.

 

Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:Kedukan Bukit (683 Masehi), Talang Tuwo (684 Masehi), Kota Kapur (686 Masehi), Karang Brahi (686 Masehi), Gandasuli (832 Masehi), Bogor (942 Masehi), dan Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24).

 

Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

 

Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.

 

Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.

 

Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.

 

Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulka bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sedbagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).

 

Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.

 

Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu: (1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan (2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, LOmbok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.

 

Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelumm Traktat London, dan (2) periode setelah Traktat London.

Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London

Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:

 

- Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi);

 

- Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):

 

- Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 s.d. abad ke-13 Masehi)

- Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):

- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)

- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)

- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)

 

- Era Pemisahan Tahun 1824

Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:

 

- di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;

- di Malaysia menjadi BahasaMalaysia;

- di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan

- di Singapura menjadi Bahasa Nasional.

 

Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)

Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).

 

Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:

 

“The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra. At the height of its power under the Shailendra dynasty, it included Malaya, Ceylon, Borneo, Celebes, the Philippines, and part of Formosa, and probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa (Annam). (Zaide, 1950: 36)”

 

Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en Lun.

 

Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):

Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.

 

Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.


Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya membantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.

 

Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.

* Almarhum Drs. Masnur Muslich, MSi. adalah mantan dosen di Universitas Negeri Malang – Indonesia. Pada tahun 2006 diperbantukan di Jurusan Pengajian Melayu di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Pattani, Thailand.

 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan