Ekonomi/Bisnis

Selasa, 23 November 2021

REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA BAHARI NUSANTARA (Bahagian 2) - Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si, Universitas Riau, Indonesia.

L.N. Firdaus

 

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia

 

Corressponding Author:

 

firdausln@lenturer.unri.ac.id

 

Selalu berupaya Adil dan Benar serta tidak serakah menjadi sandaran Budaya Melayu yang selalu ditanamkan kepada masyarakatnya, seperti ungkapan adat: “Adat berlaba sama merasa, adat berezeki sama dibagi”. Nilai-nilai ini dapat mewujudkan anasir pemerataan melalui perencanaan pembangunan yang adil dan merata sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sejalan dengan aspirasi masyarakat seperti dalam ungkapan:  “Adat merancang sama ditimbang”.  

 

Merancang dan melaksanakan pembangunan memerlukan wawasan yang luas melebihi luasnya Kepulauan Nusantara serta berpandangan jauh ke depan melampaui jauhnya batas pandang imajiner Wawasan Nusantara. Budaya Melayu sejak dahulu mengajarkan agar anggota masyarakatnya haruslah berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan, agar mereka tidak tergilas oleh perkembangan zaman dan tidak terjebak oleh rancangan yang “asal Jadi” atau terpaku kepada keperluan “semusim”. Sebab itu tidak lah mengherankan kenapa dulu Nenek Moyang kita yang dikenal sebagai Bangsa Pelaut itu mampu menakjubkan manusia sekarang. Mereka mampu mengarungi samudra maha luas dalam zaman yang dianggap kuno, melintasi 10.000 kilometer ke Timur di Lautan Pasifik dan 7000 kilometer ke Barat di Lautan Hindi (Ismail Hussein, 2001). Ungkapan adat megingatkan: “Supaya kerja memberi manfaat, jangan sekali berpandangan singkat” atau dikatakan: “apabila kerja mau senonoh, layangkan pandangan jauh-jauh”.

 

Tidak akan ada profesionalisme tanpa ketekunan. Pembangunan tidak dapat dilakukan dengan bermalas-malasan. Kearifan Budaya Melayu mengajarkan: “Apa tanda Melayu Sejati, bekerja tidak separuh hati”, atau dikatakan: “Apa tanda Melayu terbilang, bekerja tidak alang kepalang”, “Kalau hidup tak mau lenjin, pertama tekun kedua rajin”. Bila nilai-nilai luhur Budaya Bahari ini diamalkan secara konsisten, maka profesionalisme para aparatur pemerintahan akan sangat berkesan dalam Good Governance. Budaya Melayu juga menjungjung tinggi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Orangtua-tua mengatakan: “supaya kerja tidak terbengkalai, bekerja jangan memandai-mandai; supaya kerja membawa faedah, bekerja jangan mengada-ada” atau dikatakan: “supaya tidak mendapat malu, duduk bertanya tegak berguru”.  Orang professional sangat menghargai waktu. Budaya Melayu mengajarkan agar setiap orang disiplin terhadap waktu dan harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Ungkapan adat mengatakan: “supaya kerja cepat selesai, jangan sekali berlalai-lalai; apabila suka berlengah-lengah, niat tak sampai kerja tak sudah”, atau dikatakan: “apabila hidup hendak terpandang, masa yang ada jangan terbuang; apabila hidup hendak terpandang, masa yang ada jangan dibuang; apabila hidup hendak terpuji, bekerja jangan membuang hari”.

 

Nilai-nilai Budaya Bahari yang merepresentasikan akuntabilitas, lazim dituangkan dalam ungkapan rasa bertanggungjawab: “tangan mencencang bahu memikul” atau sifat Berani “adat bersumpah pantang dilapah, adat berjanji pantang dimungkiri, adat bekerja pantang bermanja”  dan Tabah “adat bekerja tahan menderita”. Untuk mewujudkan tata kepemrintahan yang baik dan benar, nilai-nilai tersebut amat diperlukan, terutama dalam memotivasi masyarakat agar mereka ikut bertanggungjawab terhadap pembangunan dan tidak semata-mata menyerahkan tanggungjawab itu kepada pemerintah atau pihak lain.

 

Budaya Melayu sangat mengutamakan rasa malu,  Tahu diri,  Arif dan Bijak.  Dari sifat malu inilah, terbentuknya keperibadian yang terpuji, sehingga merasa “malu berbuat curang, malu melakukan korupsi, malu menganiaya orang, malu berbuat maksiat, malu bersumpah palsu, malu menistakan orang, malu mencaci maki, malu menghujat, malu menyumpah serapah, malu melempar sepatu dalam majelis, malu memfitnah, malu mencaru-marut, malu berbuat semena-mena, malu memaksakan kehendak”, dan lain sebagainya. Aktualisasi nilai-nilai Budaya Bahari ini dalam menunaikan amanah pembangunan niscaya dapat mewujudkan pengawasan yang efektif.

 

Kesemua nilai-nilai luhur dalam Budaya Bahari tersebut tentulah  bila disimak, dicerna, dihati, dan diamalkan dengan sungguh-sungguh dalam perancangan dan pelaksanaan pembangunan Nasional. Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi (Sofian Effendi, 2005). Munculnya Negara-negara yang unggul karena mereka memiliki etos kerja dan spirit yang tinggi, yang selanjutnya menjadi semacam budaya. Bangsa-bangsa tersebut memiliki budaya korporat yang mereka tuangkan dalam visi, misi dan tujuannya. (Taufiq Effendy, 2008).

 

Budaya kerja itu tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh melalui suatau proses yang terkendali yang melibatkan semua SDM dalam seperangkat system, sarana, dan teknik-teknik pendukung (Tenas Effendy. 2004b; Gering Supriyadi dan Tri Guno, 2006). Budaya kerja merupakan Kawah Candradimuka untuk merubah cara kerja lama menjadi cara kerja baru yang berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat. Budaya kerja adalah suatu falsafat yang didasari oleh pandangan hidup manusia terhadap diri dan lingkungannya sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan motivasi, membudaya dalam kehidupan suatau kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapatan, dan tindakan  atau bekerja.

 

Dari nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara itu dapat dibuktikan bahwa budaya Melayu mengutamakan persatuan dan kesatuan atau persebatian antar sesama anggota masyarakat tanpa memandang asal-usulnya. Ungkapan yang sering didengar, “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh,  Ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Selain itu, ada nilai kebersamaan, rasa kasih mengasihi, dan saling bertenggang rasa yang terkenal melalui ungkapan: “ Setikar sebantal tidur, Sepiring sepinggan makan, Seanak sekemenakan, senenek dan semamak, Seadat dan sepusaka, Makan tidak menghabiskan minum tidak mengeringkan”.

 

PENUTUP

 

Nilai-nilai Budaya Bahari Nusantara yang sangat kaya secara realistik dapat dikembangkan dalam upaya membangun masyarakat multikultural karena nilai-nilai tersebut sesungguhnya telah bersebati dalam diri Anak Bangsa di Kepulauan Nusantara. Ianya sangat krusial dan strategis dari perspektif  membangun Modal Sosial sebagai upaya akseleratif terwujudnya Indonesia Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.

 

Hasil penyerbukan silang nilai-nilai budaya bahari ini dapat melahirkan Keceradasan Budaya sebagai modal sosial untuk membangun konektivitas dan inklusivitas sosial sehingga dapat menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama yang menjadi tumpuan rasa saling percaya dan menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektif dan inklusif.

 

Para penyelenggara Negara diharapkan insaf bahwa kebudayaan bukan sub-ordinat pembangunan, tetatapi sebagai ordinat. Pemahaman kebudayaan sebagai ordinat itu perlu diaktualisasikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan Negara. Dunia pendidikan diharapkan dapat memadukan dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bahari tersebut ke dalam  Kurikulum Pendidikan Multikultural secara insklusif di Persada Nusantara.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adrian B. Lapitan. (2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad     

       ke- 16 dan 17. Komunitas Bambu, Depok. Jakarta.

Bambang Budi Utomo. (2007).  Pemaknaan indonesia raya dalam   

konteks kekinian . Makalah Yang Dipresentasikan Dalam  Seminar Kontroversi Lagu Indonesia Raya, Jakarta 24 Agutus 2007. 

Djoko B. (2008). Togog Menggugat Negeri Maling; Kisah-kisah  

Inspiratif Sarat Makna untuk Membangun Bangsa.  rumah.tumbuh Publishing. Surakarta.

Djoko Pramono. (2005). Budaya Bahari. Gramedia, Jakarta.

Fukuyama, F. (2007). TRUST: Kebajikan Sosial dan Penciptaan  

Kemakmuran. Penerbit Qalam. Yogyakarta.

Gering Supriyadi dan Tri Guno. (2006). Budaya Kerja Organisasi

Pemerintah;  Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan III. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta.

H.S. Umar. (1986). Nelayan, Petani dan Priyayi Melayu di Riau.

Dalam Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu Riau dan

Kebudayaannya, pp. 539- 550.Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.

Harari, Y.N. (2017). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. KPG

(Pustaka Populer Gramedia), Jakarta.

Harari, Y.N. (2019). Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. KPG

(Pustaka Populer Gramedia), Jakarta.

Hasanuddin WS. (2003). Pemeliharaan dan Pengembangan Budaya

Melayu. Dalam Kumpulan Makalah Seminar Budaya Melayu

Sedunia 2003, pp.122-131. Pemerintah Provinsi Riau,

Pekanbaru,.

Huntington, S.P. (2005). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan

Politik Dunia. Penerbit Qalam, Yogyakarta.

Husni Thamrin. (2003). Problematika Masyarakat dan Kebudayaan

Melayu di Asia Tenggara. Dalam Kumpulan Makalah Seminar

Budaya Melayu Sedunia 2003, pp.249-272. Pemerintah

Provinsi Riau, Pekanbaru.

Ismail Hussein. (2001). Antara Dunia Melayu dan Dunia Kebangsaan.

Dalam Ismail Hussein, Wan Hashim Wan The, dan Ghazali Shafie (Eds.). Tamadun Melayu Menyongsong Abad Kedua Puluh

Satu, pp. 10-44. Penerbit UKM, Malaysia.

Jujun S. Suriasumantri. (2000) Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar

Populer. Sinar Harapan. Jakarta.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitet dan

Pembangunan. Gramedia, Jakarta

Koentjaraningrat. (1986) Bahasa Melayu, Bahasa Nasional, dan

Bahasa Jawa. Dalam Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu

Riau dan Kebudayaannya, pp. 9-16. Pemerintah Provinsi Riau,

Pekanbaru.

Maggi Savin-Baden. (2021). Postdigital Humans:  Transitions,

Transformations and Transcendence. Springer Nature,

Switzerland

Muchtar Ahmad. (1986). Teknologi Bahari dalam Masyarakat Riau. 

Dalam Muchtar Lutfi (Ed). Masyarakat Melayu Riau dan

Kebudayaannya, pp. 203-210. Pemerintah Provinsi Riau,

Pekanbaru.

Muchtar Ahmad. (2004). Kembali ke Puncak; Kebudayaan Melayu

dalam Cabaran Masa Depan. Unri Press, Pekanbaru.

Muhammad NUH, (2013). Menyemai Kreator Peradaban: Renungan

tentang Pendidikan, Agama, dan Budaya. Penerbit Zaman,

Jakarta.

Nurcholis Majid. (2004). Indonesia Kita. Penerbit PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Parsudi Suparlan (1986). Melayu dan Non Melayu: Kemajemukan

dan Identitas Sosial Budaya. In. Budidantoso et al. (Eds).

Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya. Pemerintah

Provinsi Daerah Tingkat 1 Riau, Pekanbaru, pp. 465-483.

Sofian Effendi. (2005). Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good

Governance. Makalah Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi

Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September

2005, Jakarta.

Suka Hardjana. (2008). Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera; Percikan

Kebijaksanaan. KOMPAS. Jakarta.

Sultan Hamengku Buwono X. (2007). Merajut Kembali

Keindonesiaan Kita. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Suwardi MS. (2003). Budaya Melayu dalam Citra Tamadun Bahari.

Dalam Kumpulan Makalah Seminar Budaya Melayu Sedunia

2003, pp.35-45. Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.

Suwardi MS. (2008). Dari Melayu ke Indonesia: Peranan Kebudyaaan

Melayu dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa.

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Tenas Effendy. (2000). Peranan Budaya dalam Pembangunan.

Pekanbaru (Tidak diterbitkan)

Tenas Effendy. (2003).  Nilai-nilai Asas Pesebatian Melayu.

Pekanbaru (Tidak diterbitkan).

Tenas Effendy. (2004a). Tunjuk Ajar Melayu; Nutir-butir Budaya

Melayu Riau.  Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

bekerjasama dengan Penerbit AdiCita,  Yogyakarta.

Tenas Effendy. (2004b). Ethos Kerja.Unri Press. Pekanbaru.

Yudi Latif. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi,

dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan