Ekonomi/Bisnis
▼
Khamis, 23 Januari 2014
ลงภาคสนาม วิชาอารยธรรมมลายู ของนักศึกษาสาขามลายูศึกษา ม. สงขลานครินทร์ วิทยาเขตปัตตานี
โดย นิอับดุลรากิ๊บ บินนิฮัสซัน
Selasa, 21 Januari 2014
Jaringan Intelektual Ulama Aceh-Patani
Aceh dan Fatani, Selatan Thailand
terdapat beberapa persamaan seperti sama sama diakhir nama dengan Darussalam
iaitu Aceh Darussalam dan Patani Darussalam. Begitu juga penduduk kedua dua
tempat imejnya kuat berpegangan agama, perempuan perempuan kedua dua buah
tempat kebanyakan berhijab. Disini saya muatkan sebuah makalah dengan tajuk “Jaringan
Intelektual Ulama Aceh-Fatani”. Makalah ini disiarkan oleh Majelis Musyuwaratan
Ulama Aceh (https://mpu.acehprov.go.id)
Pendahuluan
Aceh
dan Patani memiliki hubungan sejarah yang panjang dan dinamis. Keduanya
memiliki persamaan dan kekhassan, terutama dalam bidang keagamaan dan
spiritualias. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa hubungan bilateral
antara Aceh dengan Patani lebih awal dan erat daripada dengan Semenanjung
Malaya (Malaysia), walaupun dalam beberapa sumber primer ditemui bahwa Melaka
(Malaysia) telah menjalin hubungan erat dengan Pasai (Aceh) sejak abad ke-13
masehi dengan adanya kerjasama diplomasi dalam bidang pendidikan dan
penerjemahan.
Satu
sisi, Aceh dianggap sebagai central peradaban di Asia Tenggara dan wilayah di
sekitarnya sebagai daerah peripheral, terutama dalam pengembangan bahasa,
keagmaan dan tradisi tulis. Aksara Arab-Jawi sebagaimana berkembang hingga abad
ke-21 M dirumuskan dan dikembangkan oleh Kesultanan Pasai, dan kemudian
mengaplikasikan bahasa dan aksara Jawi di seluruh wilayah Melayu dan Nusantara di
luar kawasan kekuasaan Kerajaan Majapahit- sebagai simbol proses Islamisasi
yang terjadi.
Akan
tetapi, banyak sarjana yang memiliki teori-teori yang berbeda-beda. Secara
historis, seperti yang disebutkan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah[1] bahwa
banyak ulama-ulama Patani yang berlayar ke Malaysia untuk penyebaran Islam di
kawasan tersebut. Ulama-ulama Patani menjadi salah satu tokoh penting dalam
penyebaran awal Islam di Melayu Nusantara. Di sisi lain, sejarawan juga
menyebutkan bahwa umumnya kedatangan Islam di rantau ini sejak awal abad ke-7
Masehi,
di
mana prose Islamisasi melalui para alim ulama yang berperan juga –mayoritasnya-
merupakan para pedagang. Hamka yang telah membuat kajian menggunakan sumber
Cina dan tulisan T.W. Arnold menyebut peranan dakwah yang dimainkan oleh para
pedagang Arab di ranah Melayu Nusantara dan dunia belahan timur adalah sekitar
abad ke-7 masehi. Walaupun demikian pengislaman secara kultural keseluruh
kawasan Melayu-Nusantara ini tidak seragam dan serentak.[2]
Catatan
penting yang tidak bisa diabaikan adalah perjalanan Ibnu Batutah yang merekam
sejarah perjalanan lawatannya ke Cina dan menyempatkan dirinya singgah di Pasai
pada tahun 1316 M atau pada masa pimpinan Sultan Malik al-Zahir.[3] Dalam
bukunya “Rihlah” ia mencatat sultan di kesultanan yang disinggahi itu adalah
seorang alim dan bijaksana, iapun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju
dan banyak sekali ulama dari Arab dan cendekiawan Persia hadir dan menetap di
negeri tersebut.[4]
Peneliti
Eropa seperti Winstedt, Wilkinson, Maxwell dan W. Marsden, atau beberapa
ilmuwan masa penjajahan dan pasca kolonial di Nusantara seperti Snouck
Hurgronje, Moquette, Hushoff Poll, Rouffaer, Drewes dan A. Teeuwmemiliki
persepsi yang berbeda dan menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai
sebagai kerajaan Islam di Nusantara muncul pada pertengahan abad ke-13 sesuai
dengan peninggalan artefak (batu nisan) yang terdapat di pemakaman kesultanan
Samudra Pasai.
Para
intelektual Aceh sendiri memiliki kesamaan dan perbedaan pendapat dengan
peneliti Barat. Hasjmy dan Zainuddin keduanya merujuk kepada beberapa catatan
awal sumber Aceh yang menyimpulkan bahwa Islam hadir sejak tahun 800 M (173 H)
di Aceh,[5] sesuai dengan kajian Yunus Jamil dalam merunut daftar raja-raja Pereulak
(Perlak) pada acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) di Kutaradja tahun 1958.[6]
Sedangkan Aboebakar Atjeh[7] menyimpulkan dari kedua sumber (Eropa dan Timur
Tengah) menemukan proses tahun Islamisasi yang berbeda, yang kedua memiliki
kekuatan sumber masing-masing.
Perbedaan
pendapat kelompok “sejarawan” hadir dari sumber yang beragam dan berbeda,
melalui sumber manuskrip (filologi) dan lainnya bersumber artefak berupa batu
nisan dan prasasti (arkeologi) di Aceh, perbedaan masa proses Islamisasi juga
disebabkan geografis hadirnya Islam di Aceh yang tidak terekam dalam sejarah
Islam Nusantara secara lengkap dan menyeluruh, baik melalui kajian manuskrip
terkenal seperti Bustan al-Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin karya
Nuruddin Ar-Raniry, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-raja Pasai, dan naskah-naskah
lain yang sezaman dengannya.[8]
Apabila
ditinjau teori-teori sejarawan tersebut dapat ditemui bahwa proses Islamisasi
yang “mengental” secara kultural di Melayu-Nusantara telah dipupuk berabad-abad
lamanya. Dilihat melalui kedatangan para “pedagang Islam” pada peringkat awal
diperkirakan sekitar abad ke-7 masehi, dan terus terjadi berulang kali di
beberapa pesisir pantai di bahagian barat Sumatera (674-878 masehi), dan di
pulau Jawa pada 1082, di Champa 1039, Semenanjung Tanah Melayu pada 878-1302 M,
dan
semakin bertambah ramai sekitar abad ke-14. Menurut sebahagian sarjana, Islam
telah tersebar di rantau ini sejak abad ke-13 atau ke-14 berdasarkan bukti
artefak makam nisan Kesultanan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan
Melayu-Islam pertama.
Dalam
berbagai hal, keterbukaan wilayah negeri “di bawah angin” Melayu-Nusantara
terhadap pengaruh luar merupakan karakteristik wilayah ini yang sangat menonjol
dan memberikan perubahan besar dalam berbagai aspek, baik bidang budaya, adat,
politik, ekonomi maupun keyakinan (akidah) yang melahirkan pemikiran-pemikiran
intelektual searah dan berkesinambungan dengan negara-negara luar, terutama
Jazirah Arab.[9]
Pertemuan
dan perpaduan budaya dan ideologi antara masyarakat Aceh (secara umum
Melayu-Nusantara) yang berada di “negeri bawah angin” dengan orang asing di
“negeri di atas angin” telah melahirkan intensifikasi dan dinamika intelektual
yang dinamis dan beragam. Perpaduan tersebut telah terjadi masa Kesultanan
Pasai, Kesultanan Malaka, hingga kesultanan Aceh. Kebangkitan beberapa kerajaan
Muslim di Nusantara sejak abad ke-13 telah menciptakan momentum baru bagi
hubungan politik, bisnis, pendidikan dan keagamaan antara Timur Tengah (Jazirah
Arab) dengan Melayu-Nusantara.
Kebangkitan
kesultanan Muslim di Melayu-Nusantara itu juga, khususnya di Sumatera, sejak
abad ke-13, menciptakan momentum baru bagi hubungan-hubungan politik sosial dan
kultural. Momentum ini ditandai dengan kehadiran sejumlah ulama dari Timur
tengah dan Eropa. Ibn Batutah merekam jejaknya, bahwa ia, ketika berkunjung ke
Samudera Pasai pada tahun 1345 M bertemu dengan para pembesar istana kerajaan
tersebut, ahli fiqih dari kelompok orang-orang Timur Tengah,
di
antaranya al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-Syirazi dari Syiraz dan Taj al-Din
al-Isfahani dari Isfahan (Persia).[10] Hal tersebut menunjukkan hubungan erat
antara wilayah (negara) dalam kedaulatan Islam.
Hubungan
tersebut bukan hanya saja terjalin dengan Jazirah Arab, akan tetapi juga dengan
beberapa kerajaan besar Islam seperti Turki (Rum). Nuruddin ar-Raniry dalam
kitab Bustan as-Salatin meriwayatkan, Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar
mengirim suatu misi diplomatik ke Istambul untuk menghadap Sultan Rum (Dinasti
Ustmani).[11]
Sedangkan
hubungan Aceh dengan Jazirah Arab, khususnya Haramain (Mekkah dan Madinah), sebagai
pusat keagamaan Islam-, memiliki keistimewaan tersendiri dari beberapa wilayah
di Melayu-Nusantara. Meski hubungan ini lebih bersifat keagamaan daripada
politik, penting dicatat bahwa Kesultanan Aceh juga pernah mendapat kehormatan
besar dengan menerima “stempel mas Bayt al-Haram, Mekkah” periode Sultan
‘Alauddin Syah.[12] Selain itu, secara politis terjadi pasca Sultanah, bahwa
keluarga Syarif Mekkah menjadi sultan di Aceh, dari tahun 1699 sampai 1727 M.
Namun
demikian, hubungan Aceh dengan beberapa wilayah (kerajaan) di sekitar alam
Melayu-Nusantara tetap berjalan baik, hingga akhir periode kolonialisme di Asia
Tenggara. Hubungan baik tersebut masih terlihat dan tercatat dengan Patani, Melaka,
Banten dan Mataram, walaupun semuanya “berkiblat” keilmuaan dan keagamaan ke
Haramain. Periode kolonial ini (abad ke-19 Masehi) dapat disebut Aceh melemah
dari sisi militer dan diplomasi, kapal-kapal layar Aceh yang berfungsi sebagai
diplomasi, perdagangan plus haji juga semakin berkurang. Hubungan Aceh dengan
negara-negara tetangga semakin tidak terjalin, Jaringan yang terbangun antara
kesultanan di “bawah angin” dengan di “atas angin” menjadikan Aceh sebagai
pusat penghubung keduanya semakin memudar.
Jaringan
Intelektual Arab, Aceh dan Patani
Hubungan-hubungan
antara Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai
paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa
bentuk. Dalam fase pertama sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12,
hubungan-hubungan yang ada umumnya berkenanan dengan perdagangan. Inisiatif
dalam hubungan-hubungan semacam ini kebnayakan diprakarsai Muslim Timur Tengah,
khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15,
hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek –aspek lebih luas,
sebagai pedagang atau pengembara sufi mulai mengintensifikasikan penyebaran
Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan
dan kultural terjalin lebih erat. Tahap ketiga adalah sejak abad ke-16 sampai
paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih
bersifat politis di samping keagamaan sebagaimana disebut di atas. Dalam
periode ini, Muslim Nusantara semakin banyak ke tanah suci (Mekkah), yang pada
gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan
Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid Jawi.[13]
Menurut
sumber arkeologis, banyak artefak peninggalan yang ditemui menunjukkan hubungan
seni kriya yang mirip antara Aceh dengan daerah-daerah luar, termasuk dengan
daerah Patani yang menunjukkan gaya khas daerah Melayu. Daerah Ayuthiya yang
menjadi kajian para sarjana tentang keberadaannya.
Batu
nisan di Aceh yang tertulis “..Syekh Mahmud… min biladi Syahr Nuwi (Syahrnawi)
(ayuthaya ?) ila Aceh Darussalam…” (koleksi foto Tgk M. Taqiyuddin)
Kuatnya
pengaruh kerajaan Aceh menjadikan posisinya di wilayah perairan Selat Malaka
sebagai bandar Internasional dan transit jalur perdagangan dari dan ke berbagai
negara, baik dilakukan oleh pedagang, pelayar ataupun ulama, menjadikan Aceh
sebagai sentral. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya bahwa hubungan antar
negara sudah terjalin beberapa abad lalu, dan telah tumbuh suatu peradaban,
pemikiran serta kerjasama perdagangan (bisnis), realitanya terekam oleh sejarah
baik lisan, surat-surat perjanjian kerajaan antar negara maupun naskah-naskah
kuno karya para ulama yang masih tersimpan di museum negara ataupun koleksi
pribadi.
Sebagai
sentral keagamaan, banyak sumber sejarah menyebutkan hubungan Aceh dengan Patani
ataupun sebaliknya. H.M Zainuddin misalnya menyebutkan bahwa Abdullah
al-Malikul Mubin yang makamnya di Aceh tahun 799 H (1396 M) memiliki empat
orang anak yang kemudian ditempatkan di beberapa wilayah Islam;
Syekh
Ahmad At-Tawawi Talabahu Tarahu dikirim ke Pasai
Syekh
Muhammad Said Tattahari dikirim ke Campa.
Syekh
Muhammad dikirim ke Minangkabau (Sumatera Barat)
Syekh
Muhammad Daud dikirim ke Patani, dan
Syekh
Abdul Wahhab dikirim ke Kedah.[14]
Masih
dari sumber yang sama, bahwa Sultan Inayat Syah di Aceh Besar, adalah juga
putra Abdullah al-Malikul Mubin. Ada kemungkinan besar yang disebut adalah
Muhammad Said Tattahari (nomor 2) adalah orang yang sama dengan Syekh Muhammad
Sa’id al-Barsisi yang dikuburkan di Tanah Ujug Lidah, Patani. Sedangkan syekh
Muhammad Daud menetap di Fathani dan kemungkinan kemudian pindah ke Betawi[15]
(sekarang, Jakarta)
Tokoh-tokoh
tersebut masih samar-samar, sebagaimana disebutkan sebelumnya juga bahwa Syekh
Muhammad Daud di Patani anak dari Raja dari Aceh ke Patani itu adalah keturunan
Bani Abbas, maka dapat dihubungkaitkan dengan Syekh Shafiyuddin (Tok Raja
Faqih). Dalam versi Patani sangat terkenal riwayatnya bahawa ulama ini dari Aceh
ke Patani dan beliau juga keturunan Bani Abbas. Jika benar yang dimaksudkan
dengan as-Saiyid Sheikh Muhammad Sa’id bin Abdullah al-Malikul Mubin yang
dikatakan jatuh ke Campa itu adalah Sheikh Muhammad Sa’id yang banyak
dibicarakan dalam beberapa versi sejarah Patani, ini bererti peranan Bani Abbas
sangat penting dalam perkembangan Islam di Aceh dan Patani.
Walau
bagaimanapun, nama Patani mulai dikenal pada abad ke-15 masehi dengan lokasi
yang sarna dengan tapak Langkasuka. Bersama nama Patani, wujud warga bangsa
Melayu dengan cahaya Islam. Dalam aspek ke-Islaman, hubungan antara Patani
dengan Tanah Melayu terutama dengan bahagian Utara Timur Laut sangat rapat
kerana kedatangan Islam ke kawasan Timur Laut Tanah Melayu telah dilakukan
melalui jalur Islam di Patani oleh seorang Syeikh berbangsa Arab bernama Syeikh
Ali Abdullah yang mengislamkan Raja Kelantan.[16] Dalam catatan lain menyebut
bahwa sekitar tahun 1150 M/ 544 H, telah datang seorang Syeikh dari Patani
menyebarkan agama Islam di Kelantan.[17]
Berbeda
dengan abad ke-18 dan 19 masehi, jaringan ulama terpenting di Nusantara
khususnya pada abad telah menunjukkan Patani menjadi penggerak utama seperti
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani, Syeikh Zainal Abidin bin Ahmad al-Fatani,
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fatani, Syeikh Nik Mat Kechik al-Fatani dan
lain-lainnya. Mereka telah menghasilkan satu jaringan penting menyampaikan
ilmu-ilmu agama dari satu generasi kepada generasi lain. Sistem halaqah baik
melalui institusi pendidikan pondok di Fathani maupun di Semenanjung Tanah
Melayu atau di Haramain menjadi perantaraan utama dalam mcmbangkitkan rangkaian
ulama ini.
Segitiga
Emas (Triangle) Islam Melayu
Banyak
sejarawan merujuk kepada bukti sumber primer di tanah Melayu yang berkaitan
dengan keagamaan dan jaringan intelektual ulama, karena faktor agama yang
menjadikan banyak dokumen-dokumen di tanah Melayu Nusantara tersalin atau
tertulis yang dapat ditemui saat ini. Sebelumnya, sangat sulit diperoleh bukti
otentik selain batu nisan, seperti di kulit binatang, pohon kayu, dan lainnya.
Dalam
bidang keagamaan, peranan mubaligh (pendakwah) dari Jazirah Arab sangat
berperan penting dalam perkembangan intelektual dan keagamaan di tanah Melayu
Nusantara, terutama kalangan istana. Hal tersebut dapat dilihat melalui Sejarah
Melayu yang menyebut bahawa Maulana Abu Bakar telah membawa sebuah kitab
teologi (ushuluddin) dan tasawuf yang ditulis oleh gurunya yaitu seorang sufi
bernama Abu Ishaq berjudul Durr al-Manzum kepada Sultan Mansur Shah (1459-1477)
di kesultanan Melaka. Kemudian baginda telah menitahkan supaya buku tersebut
dibawa ke Kesultanan Pasai untuk mendapatkan penjelasan dan tafsiran lanjut
sebelum dibawa ke Melaka semula untuk dipelajari oleh baginda sendiri. Ini
membuktikan bahwa Kesultanan Pasai terkenal sebagai sebuah kerajaan/kesultanan
awal menerima Islam dan masyhur dari segi pengajian agama dan kesusasteraan
Melayu-Islam. Maka ketiga wilayah tersebut, Aceh, Melayu dan Patani memiliki
nilai historis dan berharga sejak perkembangan keislaman di Asia Tenggara.
Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada beberapa aspek, selain ekonomi politik,
juga pada aspek keilmuan, keagamaan, tarekat, dan kesamaan etnis.
Wilayah
segitiga emas tersebut ternyata menjadi daerah strategis bagi masyarakat
pesisir pantai, dan memberikan pengaruh cepat pada budaya dan pemikiran
masyarakat setempat. Akulturasi budaya membangkitkan cara pikir praktis
terhadap perkembangan pemikiran dan intelektual masyarakat, sebagiannya akan
terpengaruh dengan tradisi baru dan sebagian lainnya akan menutup diri dan
menjadi kelompok mainstream terhadap pendatang baru. Karenanya,
kesultanan-kesultanan di pesisir pantai akan membuka diri untuk diplomasi dan
kerjasama dalam berbagai hal, termasuk transmisi keilmuan.
Tradisi
Keilmuan dan Keagamaan di Nusantara
1.
Tashih dan Tahqiq Kitab
Sebelumnya
disebutkan bahwa periode kolonialime Eropa di Melayu-Nusantara pada abad ke-19
dan 20 Masehi semakin kuat, dan peranan Aceh dengan wilayah-wilayah kerajaan
islam di sekitar Melayu-Nusantara berkurang. Akan tetapi, keilmuan dan tradisi
keagamaan tetap bertahan walaupun berpindah ke pusat keilmuan di Haramain dan
Mesir. Peran ulama-ulama Melayu-Nusantara –khususnya Aceh dan Fathani- pada
periode yang sama mungkin patut dijadikan catatan dalam menjaga resistensi
keagamaan dan keilmuan di tanah Melayu-Nusantara, utamanya ilmu agama dan
bahasa.
Tradisi ini berkembang pada akhir abad ke-18
Masehi dan abad ke-19 Masehi. Tradisi menjadi utama para ulama melihat kondisi
perkembangan “salinan” kitab-kitab keagamaan karya ulama berkembang cukup
banyak. Kitab salinan diperoleh dengan beragam asbab, antaranya:
1.
Tumbuh keinginan masyarakat Melayu Nusantara yang mengkaji agama Islam
disebabkan hubungan antar wilayah (negara). Tradisi penyalinan (salinan)
naskah-naskah lama (nuskhah/manuskrip) sangat banyak dan beragam sesuai dengan
konteks kedaerahan, tidak hanya pada bidang agama akan tetapi juga bidang
lainnya yang memiliki hubungan sosial keagamaan, kearifan lokal (local wisdom)
dan kesusasteraan.
2.
Hubungan antara negara (crosscountry) Jazirah Arab dan semenanjung Melayu telah
menghubungkan dua keilmuan agama kultural dan bahasa yang berbeda-beda. Oleh
sebab itu, perkembangan agama di tanah Melayu dan Nusantara dengan bahasa
“melayu lokal” yang berbeda-beda menjadikan beberapa ulama-ulama di Aceh dan Patani
merumuskan bahasa Melayu yang dapat dimengerti oleh banyak orang.
3.
Hubungan antara murid dan guru dalam tarekat (thariqah). Setiap murid dalam
belajar ilmu tarekat diwajibkan untuk mengamalkan amaliyah, doa dan tata cara
sesuai dengan tarekat masing-masing. Oleh karena itu, setiap murid diwajibkan
untuk menyalin doa-doa dan silsilah tarekatnya, untuk menghindari kealpaan dan
kesalahan.
4.
Berkembangnya terjemahan dan syarah dari kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa
Jawi. Selain itu juga berkembangnya syarah kitab ulama-ulama Jawi yang dianggap
perlu keselaran dan penyesuaian periode yang berbeda. Hal tersebut terlihat
pada ulama-ulama Melayu yang banyak fokus pada tashih dan tahqiq kitab,
termasuk ulama-ulama Aceh dan Patani. Di Aceh misalnya, ulama besar Syekh
Abdullah al-Asyi merupakan tokoh penting dalam dunia intelektual di Jazirah
Timur Tengah untuk jamaah al-Jawiyyin (kelompok dari Melayu) dan al-Asyiyyin
(kelompok dari Aceh). Syekh Isma’il bin ‘Abd al-Muthallib al-Asyi dan Syekh
Abdullah al-Asyi merupakan salah seorang yang mentashih kitab-kitab ulama Aceh
terdahulu dan mengklasifikasi sesuai tema untuk menjadi satu kajian, salah
satunya kitab Jam’u Jawami’ al-Mushannafat. Demikian juga terjadi pada ulama
Fathani, tradisi tashih berkembang pada era yang sama
Di
Aceh, tradisi menyalin ulang kitab-kitab ulama terdahulu di Melayu tidak hanya
terjadi di pondok (dayah/zawiyah) sebagai sentral keagamaan dan pengajian
kitab-kitab, atau bahkan sebagian menjadi skriptorium naskah/manuskrip, seperti
di zawiyah Tanoh Abee Aceh Besar dan Dayah Awee Geutah Bireuen. Di zawiyah
tersebut dan beberapa pondok lainnya, kegiatan santri selain mengaji juga
menyalin kitab-kitab lama, baik atas perintah guru dan syekhnya, ataupun
kemauan sendiri. Tradisi tersebut telah tumbuh menjadi tradisi menulis dan
merawat aksara Arab-Jawi.
Jaringan
Tarekat Aceh-Patani
Jaringan
Arab dengan wilayah Melayu-Nusantara telah terjalin sejak lama dalam berbagai
situasi dan aspek, baik politik, agama, budaya dan kultural. Tokoh utama Ahmad
al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani (1670-1733) merupakan jaringan penting antara
ulama Haramain dengan ulama Aceh dan Melayu-Nusantara. Ibrahim al-Kurani
sendiri menulis kitab Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh
an-Nabi. Kitab ini ditulis sebagai respon atas pertanyaan sahabat al-Jawiyyah
(ashhab al-Jawi) merupakan penjelasan terhadap kitab al-Tuhfat al-Mursalah ila
Ruh al-Nabi, karangan Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri, yang menjadi
pembahasan “hangat” periode tersebut, tidak hanya di Hijaz, Syiria, India,
tetapi juga di Nusantara.
Keterlibatan
ulama asal India dalam jaringan jelas membantu perluasan jaringan ulama di
Melayu Nusantara, termasuk Aceh dan Fathani. Lebih penting lagi, keberadaan
mereka memperluas ranah pengaruh tarekat, khususnya tarekat besar seperti
Syatariyah Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, yang sebelumnya terutama diasosiasikan
sebagai tasawuf Anak Benua India. Tarekat tersebut membesar setelah eksis di
Haramain, dan memberikan warna penting bagi masyarakat al-Jawiyah dan negeri
Hindi sendiri yang berada disana. Tokoh seperti Nuruddin al-Raniry dan pamannya
Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid al-Raniry merupakan bagian yang
mengikuti proses tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Bustan al-Salatin,
bahwa pamannya kembali ke Haramain setelah sekian lama berada di Kesultanan
Aceh.
Salah
satunya tarekat Syatariyah memiliki nilai sejarah tersendiri di Aceh dan
Melayu. Sejak kehadirannya dari Jazirah Arab, tokoh utama penyebaran ini simbol
jaringan intelektual di seluruh tanah Melayu dan Nusantara (Indonesia). Di
Aceh, tarekat Syattariyah masuk dan berkembang hampir bersamaan dengan atau
setelah tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abdurrauf al-Fansuri memiliki jaringan
terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama penyebar tarekat ini.
Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah”
kepada Syekh Ahmad al-Qushashi dan Syekh Ibrahim al-Kurani hingga dipercayakan
untuk mengembangkan ajaran tarekat di Melayu-Nusantara. Ia mampu mengorbitkan
ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di Aceh seperti Baba Dawud al-Jawi al-Rumi
bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha ‘Ali al-Rumi (dikenal Teungku Chik di
Leupue), dan ke seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin
Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari
Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari
Sulawesi, dan Syekh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736)
dari Terengganu.
Di
Aceh, jalur Abdurrauf bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syattariyah dari
dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara. Beberapa naskah
koleksi Tanoh Abee menyebutkan terhubungnya murid-murid tarekat Syatariyah di
sana tanpa melalui jalur Abdurrauf al-Fansuri. Sebagaimana yang disebut oleh
Oman Fathurahman dan Fakhriati dalam penelitian yang berbeda, bahwa silsilah
Syattariyah Tanoh Abee melalui jalur berbeda dengan ‘Abdurrauf al-Fansuri,
“dari Abu Dahlan diterima daripada Teungku Abdul Wahab (Abu Seulimum Tanoh
Abee), ia mengambil daripada Muhammad As’ad, ia mengambil daripada Muhammad Sa’id
bin Tahir..,” dan seterusnya hingga Ali bin Abi Thalib.[18]
Tokoh
utama tarekat Syattariyah periode selanjutnya adalah Syekh Muhammad Khatib
Langien. Ia lahir dan besar di gampong Langien, suatu daerah yang terletak di
wilayah Bandar Baru Kecamatan Lueng Putu, Pidie. Orang tuanya seorang ulama
besar di Pidie bernama Ahmad Khatib, atau juga dikenal Teungku Malem Pahlawan,
yang masih memiliki keturunan dengan Teungku Faqih Jalaluddin.[19] Karya-karya
Syekh Khatib Langien menunjukkan perkembangan keilmuan yang beragam dalam
tradisi tarekat itu sendiri, dari mulai proses hingga aktifitas di dalamnya.
Menurut
Wan Shaghir adalah, Muhammad Khatib Langien adalah generasi penyebar tarekat
setelah Syekh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani, karena guru Muhammad Khatib
Langien bernama Syekh Muhammad ‘Ali adalah sahabat Syekh Daud bin ‘Abdullah
al-Fathani. Keduanya mendapat ijazah tarekat Syattariyah dari Syekh Muhammad
As’ad. Apabila disesuaikan dengan tahun meninggalnya Daud bin ‘Abdullah
al-Fathani di Taif sekitar tahun 1265 H (1848 M). Maka, Muhammad Khatib Langien
dapat dipastikan berkiprah di Aceh pada pertengahan abad ke-19 M. Periode
tersebut dapat diperkirakan berkisar pada masa Sultan Muhammad Syah
(1824-1838), dan Sultan ‘Alauddin Sulaiman Syah (1836-1857 M).[20]
Apabila
merujuk kepada penanggalan naskah-naskah karyanya Muhammad Khatib Langien,
seperti yang disebut oleh Syekh Isma’il ‘Abd al-Mutallib al-Asyi dalam kitab
Jam’u al-Jawami’ al-Mushannafat pada bab teks Dawa’ al-Qulub min al-‘Uyub, yang
didapatkan tahun penyusunan –bukan penulisan sebagaimana disebutkan oleh
Shaghir- pada Sabtu, Rabi’ al-Akhir 1237 H (Desember 1821-January 1822 M)
periode tersebut merupakan jaringan antara Aceh dengan ulama Melayu-Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad Khatib Langien telah mengarang kitab ini
sebelum tahun tersebut, yang karyanya kemudian disadur dalam kumpulan karangan
oleh ulama Aceh. Syaikh Isma’il ‘Abd al-Mutallib al-Asyi yang saat berada di
Haramain telah menghubungkan jaringan ulama Langien dengan Koetaradja (Aceh)
dan Haramain dalam konstruksi pemikiran dan intelektual keagamaan.[21]
Bahasa
dan Sastra Keagamaan
Sebelum
tulisan Arab muncul di tanah Melayu, beberapa sarjana atau peneliti
mengungkapkan telah berkembang tulisan-tulisan yang beragam banyak di berbagai
wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara –sebagiannya dipengaruhi oleh Hindu dan
Budha-, tulisan yang digunakan oleh orang-orang Melayu sebelumnya yaitu tulisan
rencong atau runcing di Sumatera, tulisan kawi di tanah Jawa dan
tulisan-tulisan lain yang digunakan di Filipina, Sulawesi dan beberapa tempat
lain di Asia Tenggara.[22]
Ada
beberapa sumber primer yang mereferensikan sumber rujukan aksara Arab Jawi
(Aceh dikenal Jawoe) berasal dari (Kesultanan) Pasai. Hal tersebut dapat
ditemui di dalam teks manuskrip yang ditulis pada periode Kesultanan Aceh.
Klaim tersebut menunjukkan originalitas asal usul aksara Jawi yang dirumuskan
dan resmi digunakan Pasai dan seluruh wilayah Melayu Nusantara sebagai proses
Islamisasi di Nusantara menggantikan aksara (tulisan) sebelumnya.
Salah
seorang ulama terkenal dan berpengaruh di Aceh dan Melayu-Nusantara, Syekh
Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri [As-Singkil] atau dikenal juga dengan Syiah Kuala
(w. 1693 M) merupakan tokoh yang menyebut asal usul Jawi di dalam kitabnya.
Tokoh utama penyebar tarekat Syattariyah di Nusantara ini sangat produktif
menulis di hampir seluruh aspek ilmu, yang sebagiannya masih menjadi rujukan
utama bagi muslim di wilayah Melayu Nusantara. Salah satunya kitab Mir’at
at-Thullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam as-Syar’iyyah lil-Maliki al-Wahhab(Mir’at
at-Thullab ) dan Mawa’id al-Badi’ah.
Setelah
meninggalkan Aceh pada tahun 1642 belajar ke negeri Arab, ia kembali lagi
setelah 19 tahun berada di sana. Tahun 1661 menjadi Qadhi Malik al-‘Adil dan
pada periode Sultanah Shafiyatuddin Tajul Alam (w. 1975) dan menyusun kitab
fiqh berjudul Mir’at at-Thullab dalam beberapa tahun bersamaan dengan
kitab-kitab lainnya. Di dalam teks ini ia menyebutkan bahwa karyanya ini
ditulis dengan bahasa melayu dan tulisan Arab-Jawi yang ia gunakan merujuk
kepada tulisan Pasai:
“Maka
bahwasanya adalah hadrat yang Maha Mulia bersabda kepadaku daripada sangat
labanya akan agama Rasulullah, bahwa kukarang baginya satu kitab dengan bahasa
Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj kepadanya orang yang
menjabat jabatan qadhi pada pekerjaan hukumnya daripada hukum syara’ Allah yang
mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada imam Syafi’i r.a…”[23]
Teks
Naskah Mir’at at-Thullab karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri
(koleksi
Museum Aceh)
Selain ulama Aceh terkenal di atas, Nuruddin
bin Ali Muhammad Jailani bin Muhammad Hamid Ar-Raniry juga menyebutkan tentang
asal aksara Jawi yang berkembang pesat di seluruh wilayah Asia Tenggara dan
masyarakat Melayu-Nusantara di Haramain (Mekkah-Madinah). Kitabnya Akbarul
Akhirah menyebutkan bahasa Jawi dari Pasai –walaupun sebagian teks salinan
tidak menyebut-, misalnya teks Akhbarul Akhirah koleksi Museum Aceh menyebutkan
kata bahasa Jawi Pasai. Tentunya, Nuruddin Ar-Raniry menyebutkan alasan utama
dalam menterjemahkan kitab-kitab Arab tersebut ke dalam bahasa Melayu, utamanya
untuk memudahkan pemahaman dan dimengerti oleh banyaknya para pembaca dengan
bahasa Melayu untuk pengembangan khazanah keilmuan dan keagamaan.
Sebagaimana
disebutkan dalam naskah Akhbarul Akhirah “Maka ku-jawi-kan kitab ini –Akhbarul
Akhirah- daripada kitab Daqaid al-Haqaiq dan Durratul Fakhirah keduanya dari
Kasyf ‘Ulum al-Akhirah karya Imam Ghazali, dan 'Ajaib al-Malakut karya Abu
Ja'far Muhammad ibn Abdullah al-Kasa'i daripada kitab Bustan karangan Faqih Abu
Laist.[24] Tak disangkal lagi, Nuruddin Ar-Raniry merupakan ulama besar dan
telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang kajian ilmu, khususnya
transmis keilmuan dan keagamaan. Perkembangan keilmuan keagamaan dan
intelektual di Aceh pada periode ke-17 M dapat disebut menembus batas geografis
kewilayahan. Ulama-ulama Aceh mampu berkiprah di pentas internasional dan
menjadi rujukan banyak ulama-ulama Melayu Nusantara.
Jauh
setelahnya, pada periode ke-19 masehi dianggap periode pan-islamisme di
Nusantara, termasuk Aceh. Beberapa ulama yang eksis di Haramain kembali
meningkatkan mutu pendidikan agama dan bahasa. Kitab-kitab ulama Melayu dalam
bahasa jawi disusun, ditahqiq, dan dikritisi, periode ini perlakuan tersebut
tidak sekedar penerjemahan dari kitab-kitab Arab, namun juga perumusan kembali
bahasa dan aksara Jawi dalam menghadapi modernisasi periode tersebut, sebab
memasuki era perdagangan bebas beberapa kolonial Eropa ke wilayah Nusantara.
Sebagaimana
diungkapkan di awal bahwa bahasa dan aksara Jawi Melayu telah dirumuskan dan
dikembangkan di Kesultanan Pasai, sejak awal masuk Islam ke Melayu-Nusantara.
Oleh karena itu, semua wilayah Melayu Nusantara menggunakan aksara ini,
disamping sebagiannya tetap mempertahankan aksara dasarnya. Perkembangan bahasa
dan aksara melayu terus disesuaikan dengan teks dan konteks yang berkembang
pasa zaman tertentu, dalam hal ini, maka istilah-istilah yang tidak umum
(arkeis) tidak digunakan lagi, dan diganti dengan bahasa yang dipakai/diucapkan
pada saat itu, guna mempertahankan bahasa dan aksara Jawi itu sendiri.
Pada
periode ke-18 dan 19 Masehi, hal tersebut jelas terlihat dengan masuknya
istilah Eropa ke tanah Melayu-Nusantara. Maka kekhawatiran ulama Aceh dan
Fathani pada periode ini juga sama, dengan mentashih kitab, menghidupkan
(merevitalisasi) syair atau puisi sastra Melayu, hingga menterjemahkan kitab
sastra Arab ke sastra Jawi terus digalakkan. Tradisi syair (sastra) keagamaan
dalam karya-karya ulama Aceh dan Patani menunjukkan perhatian mendalam dan
serius ditumbuhkan kembali, walaupun perkembangannya lebih dominann di
Haramain.
Syekh
Syekh Isma’il bin ‘Abd al-Muthallib al-Asyi misalnya, sebagai penyusun kitab
kitab Jam’ul Jawami’ Mushannafat yang juga mengurai mutiara syairnya dalam
bahasa Jawi. Syair itu ia tujukan kepada seluruh “anak Melayu”, disebut
“..wahai tuan anak penghulu, anak melayu tuha muda # ilmu syariat dan tarekat,
serta hakikat himpun disana..”. Sebuah ajakan dalam syair yang ditulis di
halaman awal sebelum menelaah kitab-kitab ulama.
Hal
yang sama dilakukan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani menjadi orang
ulama penting salam bidang bahasa dan sastra. Beberapa perannya menjadi
kitab-kitab ulama terdahulu lebih mudah dibaca, baik ia perbaiki kata-kata
(mufradat) yang dianggap tidak relevan pada zamannya, dan atau menambah puisi
untuk memikat hati pembaca seperti puisi dalam kitab Syarah Hikam Melayu,
digubah dalam tahun 1300 H/1882 M, puisi pada kita Hidayat as-Salikin, dan
Nazham Nur al-Anam, diselesaikan penulisannya tahun 1287 H 1870 M. Kemudian
disalin lagi petikan beberapa bait akhirnya, diusahakan oleh Haji Muhammad
Husein bin Abdul Lathif al-Fathani (Tok Kelaba), dan juga puisi pada Kitab
Bidayatul Hidayah, serta beberapa kitab lainnya.
Lebih
dari itu, tradisi kesusasteraan juga ditumbuhkan lagi dalam penerjemahan
kitab-kitab Arab ke bahasa dan aksara Jawi. Misalnya kitab Tanbihul Ghafilin
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh ulama Fathani, dna juga ke
bahasa Aceh oleh Syekh Jalaluddin Lam Gut seorang ulama Aceh. Demikian
kitab-kitab lainnya dalam bahasa Arab, yang dianggap memiliki nilai
kesusasteraan bagi pelajar Melayu di Haramain, dan bagi masyarakat Melayu di
negerinya sendiri.
Aksara
tulis Arab Jawi merupakan teks yang selalu berubah-rubah setiap periodenya.
Tulisannya tidak ada rumusan baku, sebab tulisannya tidak berbaris dan memiliki
beberapa bunyi kata yang sama dengan huruf yang sama tapi memiliki makna yang
berbeda. Oleh karena itu, peran ulama Aceh dan ulama Patani di Mekkah pada
periode yang sama dengan tujuan yang telah memperkuat eksistensi bahasa dan
aksara Jawi. Salah satunya dengan menghidupkan kembali “rasa sastrawan” di
dalam benak masyarakat Melayu-Nusantara.
Penutup
Dapat
dipastikan, pada abad ke-16 dan ke-17 M, Aceh mencapai puncak keselarasan di
era Kesultanan Aceh yang sebelumnya juga pernah digapai oleh Kesultanan Pasai.
Pada periode tersebut Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan, pengembangan
keilmuan, dan perdagangan Internasional. Bukti ini dapat terlihat pada warizan
khazanah manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh dan Melayu dengan berbagai
disiplin ilmu. Lebih dari itu, hubungan antar wilayah Melayu Nusantara, antara
Aceh dengan Patani dan Semenanjung Melayu telah terjalin jauh sebelumnya, dan terekam
sejak periode Kesultanan Aceh dan hingga periode kolonialisme, yang menyatukan
patriotisme kebangsaan dan semangat kesusasteraan Jawi.
Antara
Aceh dan Patani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat
Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama
dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh
jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain.
Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19
masehi, sehingga antara ulama Aceh dan Fathani memiliki tiga karakateristik
yang sama pada era tersebut; pertama membentuk keilmuan yang kredibel dengan
tashih dan tahqiq kitab, kedua menjalin hubungan tarekat antar
Melayu-Nusantara, dan terakhir memajukan bahasa sastra Aceh dan Melayu.
Daftar
Pustaka:
A.
Hasjmy, Syi’ah Dan Ahlussunnah; Saling Rebut Pengaruh Dan Kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983,
Aboebakar
Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: Ramadhani, 1971
Andurrauf
Al-Jawi, Ms. Mir’at At-Thullab Fi Tashi Ahkam Asy-Syari’yah lil-Maliki
al-Wahhab, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh, 2014
Anthony
Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan (Charting the Shap of
Early Modern Southest Asia). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan
XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2005
Djajdiningrat,
Kesultanan Aceh, terj. T. Hamid. Banda Aceh: Depertemen P&K, 1984
Fakhriati,
Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh Lewat Naskah. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2008
H.A.R.
Gibb, Ibn Batuttah. Travels in Asia and Africa, London:,1929, Chapter X, No. 6
Hamka,
Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional, 1997
Hashim
Haji Muda, Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1999
Hermansyah, “Karakteristik Manuskrip Aceh-Jawi
di Nusantara”, Prosiding Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan
Tempatan “Memartabatkan Keintelektualan Melayu” Banda Aceh, Senin, 25 Februari
2013/ 14 Rabiul Akhir 1434.
Hermansyah,
“Mi‘raj al-Salikin ilá Martabat al-Wasilin bi Ja h Sayyid al-‘Arifin: Baqa’ al-Tariqah
al-Shatariyah fi Aceh Fatrat al-Isti‘marr”. Journal Studia Islamika, Indonesian
Journal for Islamic Studies, Vol. 20, No. 3, 2013, Jakarta.
Ibn
Bathutah, Rihlat Ibn Bathutah, Tuhfat an-Nadhhar fi ‘Ara’ib al-Amshar wa
‘Aja’ib al-Asfar. Mesir: Mathba’at Musthafa Muhammad 1358 H/1938.
James
T Siegel, The Rope of God. Berkeley: University of California, 1978
Liaw
Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik II. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1993
Louis-Charles
Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, 1995
Martin
van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995
M.
Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar
Muda, 1968, h. 8
M.
Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957.
Mohammad
Redzuan Othman, Islam dan Masyarakat Melayu: Peranan dan Pengaruh Timur Tengah,
Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005
Nuruddin
ar-Raniry, Bustan al-Salatin, peny. Teuku Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1966: 31-2.
Nuruddin
Ar-Raniry, Ms. Akhbar Al-Akhirat, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh, 2014, h.
3r
Oman
Fathurahman, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar (Jakarta: Komunitas
Bambu bekerjasama dengan TUFS, PIM, PKPM, Manassa, dan Dayah Tanoh Abee, 2008),
h. xxvii.
Teuku
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh, 1999
Teuku
Iskandar, Kesusateraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra, 1996, h. 8
T.W.
Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim
Faith, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1979
Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia
Melayu, Jilid 1-14. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1999-2002.
Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia
Melayu, Jilid 4. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1999
*
Hermansyah adalah dosen pada Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Email: herman.atjeh@gmail.com
[1]
Lihat tulisan buku Hj. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan
Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, Jilid 1-14. Kuala Lumpur: Khazanah
Fathaniyah, 1999-2002.
[2]
Keterangan lanjut lihat Hamka (1997), Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka
Nasional, h. 670-671. T.W. Arnold (1979), The Preaching of Islam: A History of
the Propagation of the Muslim Faith, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, h.. 367-368.
Mohammad Redzuan Othman (2005), Islam dan Masyarakat Melayu: Peranan dan
Pengaruh Timur Tengah, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, h. 8-12
[3]
H.A.R. Gibb, Ibn Batuttah. Travels in Asia and Africa, London:,1929, Chapter X,
No. 6
[4]
Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: Ramadhani,
1971, h. 15
[5]A.
Hasjmy, Syi’ah Dan Ahlussunnah; Saling Rebut Pengaruh Dan Kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983, h. 45.
Lihat juga, M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar
Muda, 1957.
[6]M.
Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar
Muda, 1968, h. 8
[7]Aboebakar
Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985.
[8]
Hermansyah, “Karakteristik Manuskrip Aceh-Jawi di Nusantara”, Prosiding Seminar
Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan “Memartabatkan
Keintelektualan Melayu” Banda Aceh, Senin, 25 Februari 2013/ 14 Rabiul Akhir
1434.
[9]
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan (Charting the
Shap of Early Modern Southest Asia). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, h.
5-6
[10]
Ibn Bathutah, Rihlat Ibn Bathutah, Tuhfat an-Nadhhar fi ‘Ara’ib al-Amshar wa
‘Aja’ib al-Asfar. Mesir: Mathba’at Musthafa Muhammad 1358 H/1938. 152
[11]
Nuruddin ar-Raniry, Bustan al-Salatin, peny. Teuku Iskandar. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966: 31-2.
[12]
Djajdiningrat, Kesultanan Aceh, terj. T.
Hamid. Banda Aceh: Depertemen P&K, 1984: 46-8
[13]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke
XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2005: 49-50.
[14]
H.M Zainuddin¸Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961,
h. 54
[15]
Hj. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat
Dunia Melayu, Jilid 4. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1999, h. 4
[16]
Wan. Mohd. Shaghir Abdullah, Perkembangan Ilmu Fiqh dan Tokoh-tokohnya di Asia
Tenggara... h. 9
[17]
Saad Syakni bin Haji Muda, Detik-detik Sejarah Kelantan, Kota Bharu: Pustaka
Aman Press, 1971, h. 27-28
[18]
Lihat Oman Fathurahman, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar (Jakarta:
Komunitas Bambu bekerjasama dengan TUFS, PIM, PKPM, Manassa, dan Dayah Tanoh
Abee, 2008), h. xxvii. Dan Fakhriati,
Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh Lewat Naskah (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2008), h. 66
[19]
Hasil tulisan Teuku Hasballah Teupin Raya, disadur oleh Fakhriati, Menelusuri
Tarekat Syattariyah.., 58
[20]
Kondisi periode tersebut pasca terjadinya krisis kepemimpinan Kesultanan Aceh
dan perebutan tahta kekuasaan antara Sultan keturunan Aceh dengan para keluarga
Syarif keturunan Arab. Perebutan tahta antara Sultan ‘Alauddin Jauhar al-Alam
yang memimpin dua periode secara terpisah antara tahun 1795-1815 dan 1818-1824,
yang sebelumnya diambil alih oleh Sultan Sharīf
Saif al-Alam (1815-1818 M), sebagai keturunan dari Sultan Badr al-Alam Sharif Hashim
Jamal al-Din (1699-1702), yaitu pengganti atas pemakzulan Sultanah Kamalat bin
Zainuddin Syah tahun 1699 M.
[21]
Hermansyah, Mi‘raj al-Salikin ilá Martabat al-Wasilin bi Jah Sayyid al-‘Arifin : Baqa’ al-Tariqah al-Shatariyah fi Aceh Fatrat al-Isti‘mar. Journal Studia
Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 20, No. 3, 2013,
Jakarta. ISSN. 0215-0492
[22]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h. 82-95
[23]Andurrauf
Al-Jawi, Ms. Mir’at At-Thullab Fi Tashi Ahkam Asy-Syari’yah lil-Maliki
al-Wahhab, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh, 2014
[24]Nuruddin
Ar-Raniry, Ms. Akhbar Al-Akhirat, No. 07.688. Banda Aceh: Museum Aceh, 2014, h.
3r