Rabu, 28 Disember 2016

Keberadaan Orang Melayu Di Sulawesi Selatan Pada Peringkat Awal (Bahagian 2)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
     Artikel akademi bertajuk "Keberadaan Orang Melayu Di Sulawesi Selatan Pada Peringkat Awal" ini dibahagikan kepada 2 bahagian. Dan kali ini adalah bahagian ke 2. Artikel akademi ini di tulis oleh Dr. Muhlis Hadrawi, seorang pensyarah di Universiti Hasanuddin, Sulawesi Selatan. Inilah isi kandungan bahagian 2 :- 
             Dr. Muhlis  Hadrawi
D.Gowa-Tallo Sebagai Petempatan Penting Orang Melayu  Perkembangan  kerajaan Gowa-Tallo dengan kekuatan tentara maritim yang handal menjadi bahagian penting wujudnya bandar dan  pelabuhan niaga dalam pertengahan abad ke-16. Kedatangan bangsa Eropah ke timur Nusantara dalam rangka pencarian rempah-rempah dengan melalui jalur tengah yang ditemukan oleh orang Parsi, sehingga  Gowa menjadi laluan potensial dan pangkalan niaga antara Malaka dan Maluku. 

Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis menjadikan perjalanan Portugis mencapai pulau rempah Maluku semakin lancar. Situasi yang ada menjadi kesempatan bagi Gowa memanfatkan peluang perdagangan tersebut dengan menjalin hubungan dagang dan persahabatan dengan Portugis.


Hubungan dan integrasi yang lebih awal sebenarnya telah berlaku antara orang Melayu dengan Raja Gowa ke-7 bernama Batara Gowa yang mengawini seorang putri Melayu bernama I Rerasi. I Rerasi diidentifikasi sebagai putri daripada seorang Melayu yang berprofesi sebagai pedagang kapur di Sulawesi Selatan. Hasil perkahwinan inilah yang kemudian melahirkan putranya bernama I Pakkere’tau Karaeng Tunijallo, raja Gowa ke-8. Raja Gowa ini tidak lama memerintah karena disebut mati terbunuh, sehingga dia digantikan oleh saudara tirinya bernama Karaeng Tumaparrisi Kallonna. 

Perkahwinan Batara Gowa tersebut  menunjukkan salasilah orang Melayu sudah tercampur dengan darah bangsawan Makassar, memberikan makna integrasi sosial-politik  antara orang Melayu dengan bangsawan telah berlaku sejak awal.
Penaklukan kerajaan-kerajaan Makassar dan Bugis yang dilakukan oleh Gowa merupakan rangkaian daripada agenda untuk memegang hegemoni di Sulawesi Selatan. 

Kerajaan Siang dan Suppa’ yang lebih awal menjadi kota pelabuhan dan perdagangan maritim, tak luput daripada sasaran Gowa yang dilakukan oleh Karaeng Tumaparrisi’ Kallonna (1510-1546). Keduanya pun ditaklukkan dan dijadikan sebagai kerajaan bawahan (palili). Namun hal yang patut diketahui bahawa Suppa’ dan Siang tidak diperkenankan memiliki ruang untuk menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Kebijakan Raja Gowa adalah memusatkan perdagangan dan perniagaan antarpulau di pelabuhan kota Sombaopu. Penaklukan Siang dan kerajaan lainnya tercatat dalam naskhah lontara sebagai berikut.

Transliterasi:
Pannessaéngngi bilanna wanuwa nabétaé Karaéngngé ri Gowa riyasengngé Tomaparrisi’ Kallonna/ mula-mulanna Garessi’/ maduwana Kantingang/ matelluna Parigi/ maeppana Siyang/ malimana Sidenreng Manai’/ maennenna Lembanga/  mapitunna nalai sebbukkatinna Bulukumba/ maruwana Silaja /maserana betai Pannaikang/  maseppulona Madello/ maseppulona seddi Céppaga/ maseppulona duwana sialu’ adai to Maru’é to Polomabangkengngé.
(Sumber ARSIP Rol 30 no. 16.hlm. 96)

Terjemahan:
Yang mengisahkan jumlah negeri yang ditaklukkan Raja Gowa bernama Karaeng Tomaparrisi’ Kallonna/ pertama Garessi’/ kedua Kantingang/ ketiga Parigi/ keempat Siang/ kelima Sidenreng Manai’/ keenam Lembang/  ketujuh merebut pusaka Bulukumba/ kedelapan Selayar/ Sembilan Pannaikang/  sepuluh Madello/ sebelas Céppaga/ dua belas berdamai dengan orang Maros dan Polombangkeng.

Kerajaan Siang (Siyang) adalah salah satu dari kerajaan yang direbut oleh Tumaparrisi’ Kallonna bersama-sama dengan 11 (sebelas) kerajaan tempatan  lainnya. Orang-orang Melayu yang bertempatan di Siang dikerahkan oleh Raja Gowa menuju Sombaopu sebagai maksud menyokong pengelolaan pelabuhan dan kegiatan perdagangan di Sombaopu. 

Hal itu dipertegas oleh misionaris Portugis bernama Pinto ketika berkunjung di Makassar pada tahun 1544. Pinto sudah menjumpai banyak pedagang Islam daripada Johor, Pattani, dan Pahang.  Pedagang Melayu selalu memperoleh keamanan yang baik, sehingga meskipun kerapkali terjadi perang  antara Gowa  (Kareng Tunipallangga) dengan Bone (La Tenrirawé Bongkangngé), namun orang-orang Melayu  Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau, Jawa tetap tidak terpengaruh keberadaannya di Makassar.

Pertengahan abad XVI masa raja Gowa ke-10, Tunipallangga (1546-1565), orang-orang Melayu  semakin ramai berhijrah ke Makassar. Manuskrip  (ANRI Rol 30 no. 16 hlm 98-99) mengisahkan Raja ini yang memulakan pemisahan pejabat Syahbandar (Mks.: Sabennara) dan pejabat Urusan Pemerintahan Dalam Negeri bernama dipanggil Tomarilaleng (Mks.: Tumailalang). 

Oleh kerana itu Daeng Pamatte hanyalah menjabat sebagai Tomarilaleng, sementara jabatan Syahbandar diberikan kepada orang Melayu, Daeng Majalengka. Pada tahun 1548 salah seorang tokoh Melayu yang bernama Nakhoda Bonang (Bugis: Anakoda Bonang) datang sebagai pimpinan sebilangan orang Melayu yang kemudian melakukan perjanjian dengan Raja Gowa untuk petempatan di wilayah Gowa. Teks manuskrip dikutip sebagai berikut.

Transliterasi
P.98…Yitona  naillauwi onrong  Jawa riasengngé Anakoda Bonang/  Nayi anu natiwiq-é  ri Karaéngngé  rinaéllaunna ttudang  komaiyé kuwaéna Kamalété sikaju,  sibatu  Bélo, aruwa pulona jujungenna Kasala,  sikaju Biludu, Cindé Sabbé sitengnga kodi/
Makkedai Anakoda Bonang ri Karaénta Tunipallangga: “Eppaq-I rupanna uwéllau-llau ridiq”.   Makkedai Karaéngngé: “Agana kuwaé muillau?”  Makkedai Anakoda Bonang: “Uwillau-llaui tenri  uttamaiyyé ri laleng sappommeng, tenri énrekiyé bolammeng, tenri gau’ bawangngé, narékko engka anammeng   tenri salosoi ko engka appasalammeng/ 
(Sumber: Naskhah Koleksi  ANRI Rol 30. No. 16)

Terjemahan:
p. 98…Kepadanyalah meminta tempat oleh orang Jawa bernama Anakoda Bonang/ Adapun benda persembahan kepada Karaeng atas permintaannya itu adalah satu bedil (kamalete), sebiji permata, delapan puluh lembar kain kasa, selembar beludru, kain cinde sutra setengah kodi/
Berkata Nakhoda Bonang pada Karaeng Tunipallangga: ada empat hal yang kami minta kepada Tuan/ Menjawab Karaeng: “Apa gerangan kau minta?”  Aku meminta:  tidak dimasuki pagar kami,  tidak dinaiki rumah kami, tidak sembarang kami diperlakukan, jika orang kami bersalah tidak langsung disanksi secara sepihak/  Karaeng menerima permintaan tersebut/…

Teks  di atas berupa hukum atau kontrak sosial-politik antara Raja Gowa Tunipallangga dengan orang-orang Melayu yang diwakili oleh Nakhoda Bonang dalam hal pertempatan ke atas  tanah  kekuasaan Gowa.  Melalui kontrak tersebut, orang Melayu yang terdiri atas  pedagang dan pemuka Islam diberikan tempat kediaman di kampung Mangallekana yang berlokasi di dekat Benteng Sombaopu.  Orang Melayu mendapat hak-hak istimewa, termasuk hak hukum teritori petempatan. Keunggulan hak orang Melayu tidak terlepas daripada peranan  Nakhoda Bonang, yang tak lain adalah Sunang Bonang, salah seorang daripada Walisongo di Jawa. Sunan Bonang diutus oleh Demak melalui kerjasama Johor/Melaka membawa rombongan orang-orang Melayu untuk mendapatkan jaminan petempatan di tanah kerajaan Gowa. 

Para pedagang Melayu yang tergabung dalam kumpulan pimpinan Nakhoda Bonang ialah orang Pahang, orang Patani, orang Campa (Champ), orang Minangkabau dan orang Johor. Di dalam rombongan itu terdapat kalangan santri yang membawa tugas pengislaman di Sulawesi Selatan.

Dipastikan  bahwa agama Islam sudah dibawa oleh orang-orang Melayu dibawa komando Sunang Bonang ke Sulawesi Selatan. Bukti tersebut didukung fakta pendirian masjid di Mangallekana oleh Raja Gowa Tunijallo (1565-1590) bagi warga muslim. Pada  masa abad ke-16 ini agama Islam sudah diterima secara terbatas oleh pihak-pihak tertentu di Sulawesi Selatan, namun belum menjadi agama rasmi dianut oleh raja-raja yang memerintah. Pada masa yang sama disebutkan agama kristen juga sudah masuk, namun maklumat  dan perilaku Portugis terhadap orang Melayu yang kurang menyenangkan sehingga tidak mendapat tempat yang luas di masyarakat Bugis-Makassar. 

Peristiwa pelarian  puteri Raja Suppa’ oleh kapal Portugis, menjadi noda hitam bagi Portugis di mata orang Bugis dan Makassar sehingga masa depan misi kristenisasinya  pun menemui kegagalan.
Keberadaan orang-orang Melayu di Makassar lebih istimewa kerana adanya konsensus politik   perihal peraturan petempatan yang diberikan bagi orang-orang Melayu  yang berguna bagi perlindungan dan hak-haknya di atas tanah kerajaan Gowa dan Tallo. Ada empat hak otonomi atas teritori orang Melayu yang diperoleh atas petempatannya iaitu:

1.Tidak boleh dimasuki pagar/pekarangan rumahnya tanpa izin.
2.Tidak boleh dinaiki rumahnya tanpa izin.
3.Tidak boleh diperlakukan secara semena-mena.
4.Jika bersalah tidak serta-merta diberi sanksi secara sepihak.

Kondisi sosial yang baik yang diterima orang-orang Melayu sehingga mereka berjaya melakukan integrasi dengan masyarakat luas dan lingkungan istana kerajaan. Sejak orang Melayu menetap di Makassar, banyak di antara mereka berjaya meraih jabatan tinggi  di briokrasi kerajaan Gowa-Tallo. Jabatan khas yang dicapai oleh orang-orang Melayu  sama ada sebagai Syahbandar, Juru tulis, dan Penasihat Raja. 

Jabatan Syahbandar kerajaan Gowa  menjadi sebagai sejarah kecemerlangan mengenai peranan orang-orang Melayu sepanjang masa.  Orang-orang Melayu secara berterusan yang menjabat Syahbandar dari awal hingga terakhir. Nama tokoh I Mangambari Kare Mangaweang adalah tokoh dari kalangan orang Melayu yang  masyhur sebagai pejabat syahbandar. 

Selain daripada itu, nama Amanna Gappa juga dikenal syahbandar penting kerana berjaya menyusun kembali hukum pelayaran bagi orang Bugis-Makassar. Jabatan Kepabeanan di Makassar setelah  Kare Mangaweang pada abad XVI berterusan diwarisi oleh orang Melayu sehingga Encik Husein manakala Perang Makassar meletus pada tahun 1666.

Hukum Kanun Pelayaran (Lontara Allopi-loping) yang disusun oleh Amanna Gappa sesungguhnya bagi Reid   merupakan pengaruh daripada hukum pelayaran Melaka yang disusun pada masa akhir kesultanan Melaka, Sultan Mahmud Syah (1488-1511). Reid mengungkapkan bahawa undang-undang laut model Melayu ini berpengaruh  juga dalam hukum kelautan Bugis, yang tertulis pada berbagai naskhah. 

Para anakoda terkemuka yang berbasis di  Melaka telah menyusun undang-undang laut menjadi undang-undang hukum kelautan Melayu yang disusun dengan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan lama sejak masa ketika kesultanan Melaka masih kuat.

Orang Melayu mendapat sambutan baik daripada orang Bugis-Makassar di daratan, disamping kerana pengetahuan  dan keunggulannya di bidang perdagangan, penganut agama sekaligus penyebar Islam yang utama, juga kerana kemampuannya melakukan adaptasi sosial yang baik.  Sunderland  mengungkapkan bahawa  orang Melayu  telah memberikan pengaruh signifikan bagi tatanan budaya bagi penduduk Sulawesi Selatan – bahkan meluas sampai ke wilayah timur di Maluku  dan Fiji. 

Orang Melayu memiliki peran yang besar  dalam penyebaran Islam, pembentukan kultur baru berazaskan sendi-sendi Islam, menata tata-tertib berinteraksi, berpakaian, pertemuan adat, menggunakan keris (tatarappang), dan lain-lain. Penyebaran pengaruh orang Melayu yang cepat dan meluas tersebut  karena didukung oleh aktiviti perdagangan, pelayaran niaga. Sehingga pada tahun 1603  atau abad XVII Sulawesi Selatan memasuki babak pengislaman, ulama-ulama Melayu, Datuk Patimang, Datuk Ditiro, Datu Ribandang,  datang dari Minangkabau. 

Berikutnya, tahun  1632 datang pula bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela bersama keluarganya. Datuk Maharajalela kemudian tinggal di Makassar dan menjadi kepala kampung bagi orang-orang Melayu.

E.Kesimpulan
Sebelum agama Islam masuk dan dianut secara rasmi oleh raja-raja Sulawesi Selatan, hubungan timbal-balik antara orang Melayu dan Bugis-Makassar khususnya di bidang perdagangan, pelayaran, dan perniagaan telah terjalin dengan baik. 

Semenjak abad ke-15 orang-orang Melayu yang berprofesi sebagai pedagang telah berlabuh di daratan  kerajaan Suppa, Siang, Bantaeng, dan Selayar  serta-merta membina hubungan dengan penguasa-penguasa lokal. Kerajaan Suppa’, Siang, dan Gowa-Tallo merupakan  destinasi utama dan penting bagi orang-orang Melayu yang datang berdagang dan berhijrah ke Sulawesi Selatan.

Integrasi sosial dan perkahwinan terjalin antara orang-orang Melayu pendatang dengan bangsawan lokal kemudian menciptakan hubungan salasilah keturunan Melayu dan Bugis-Makassar. Istilah sosiologis Bugis-Melayu merupakan wujud daripada integrasi sosial antara orang Bugis-Makassar dan orang Melayu dari hasil permastautinan  sejak telah lama dan berterusan berlaku. 

Perkahwinan Puteri Malaka Wé Tépulingé dengan raja Bacukiki serta perkahwinan I Rérasi puteri seorang Pedagang Melayu dengan Batara Gowa, Raja Gowa ke-7, sebuah fakta yang mengkondisikan hubungan yang lebih mesrah bagi keberadaan orang Melayu di tanah Bugis-Makassar.

Manuskrip Bugis mencatatkan peranan orang Melayu dalam penubuhan kerajaan tempatan Bugis-Makasar, peranan dalam bidang perdagangan, birokrasi, Syahbandar, jurutulis Istana, dan penyebaran agama Islam pada awal abad ke-17 oleh ulama-ulama Melayu. Pada abad ke-17 orang Melayu semakin ramai berkedudukan di Makassar, Mangallekana, Salajo  dan Kampung Melayu sebagai petempatannya utama mereka. 

Mereka terlibat dalam kegiatan perdagangan di Sulawesi Selatan manakala Gowa muncul sebagai kerajaan maritim yang kuat menggantikan Suppa’ dan Siang. Pelabuhan Sombaopu menjadi pelabuhan internasional Gowa dan berada di tepi laluan baharu antara Melaka dan Maluku untuk perdagngan hasil-hasil bumi. 
Situasi pelik berlaku di Sulawesi Selatan manakala meletusnya Perang Makassar  (1666-1669). 

Perang ini  berimpak pada orang Melayu apalagi kerana mereka memilih berkongsi dengan raja Gowa dan melawan Arung Palakka, raja Bugis. Gowa yang dikenali sebagai kerajaan terbesar di kawasan Timur dengan tentara laut yang ditakuti, ternyata dikejutkan oleh perlawanan Arung Palakka yang disokong oleh Hollanda. 

Gowa tak dapat mengelak nasibnya, ia mengalami kekalahan perang daripada Bone. Tepatnya pada tanggal 18 November 1667 perjanjian Bungaya Gowa-Bugis-Hollanda ditandangani sebagai tanda takluknya Gowa. Fakta ekoran peristiwa ini membawa orang-orang Melayu yang telah memihak Gowa ramai meninggalkan Makassar dan menyebar ke pulau-pulau kecil gugusan Kepulauan Spermonde untuk menyelamatkan diri. 

Namun, beberapa waktu kemudian  orang Melayu dijemput datang lagi oleh Arung Palakka untuk menata ulang kehidupannya di kota Makassar. Pada akhirnya orang Melayu mendapat tempat baru di kota Makassar dan memulai kehidupan barunya, menggiatkan kembali aktiviti perdagangan yang memang sudah menjadi tamadun asasnya.
***

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: LEPHAS.

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. 2011. Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.  Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Ammarell, Gene. 1999. Bugis Navigation. Monograph 48. New Haven: Yale Southeast Asia Studies.

Andaya, Leonard Y..1987. Kerajaan Johor 1641-1728, Pembangunan Ekonomi dan Politik. Terjemahan: Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Edisi 1978 Januari-Februari TH. 1-4.Ujungpandang: Dicetak CV Usmah Akademis.

Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan  Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.

Chambert-Loir, Henri.2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim, Lima Teks Indonesia Lama. Naskah dan Dokumen Lama Seri XXIX. Jakarta: KPG, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, MANASSA, Pusat Kajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta.

Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Cence, A.A.1972. Bebrerapa Tjatatan Mengenai Penulisan Sedjarah Makassar-Bugis. Djakarta: Bhratara.

Collins, G.E.P..1992. Makassar Sailing. Singapore: Oxford University Press, Oxford New York.

Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gossip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Graffity Press.

de Graft, H.J. 2004. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos.  Yogyakarta: Tiara Wacana.
Denisova, Titiana A.2011. Refleksi Historiografi Alam Melayu. Kuala Lumpur: Univresiti Malaya.

Druce, Stephen Charles. 2009. The Lands West of The Lakes: A History of the Ajatappareng Kindoms of South Sulawesi,  1200 to 1600 CE.  Leiden: KITLV Press.

Ghani, Md.Nor bin Hj. Ab. Dkk. 2007. Kamus Dewan Edisi Keempat.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Gohlich, Ingeborg. 1990. Wo Die Menschen Gern Lachen: Eine Reise Durch Sud-Sulawesi. (Terj.Gairah Hidup di Bumi yang Hijau: Perjalanan Melalui Sulawesi Selatan).  Ujungpandang: Hasanuddin University Press.

Hadrawi, Muhlis. 2008. Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis. Makassar: Ininnawa.

Hashim, Muhammad Yusoff. 1992. The Malay Sultanate of Malacca. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Minstry of Education Malaysia.

Hussin, Nordin.2011. Perdagangan dan Peradaban di Laut Melayu. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia

Jannah, Sofyan, H. Drs. Kalender Hijriyah Dan Masehi 150 Tahun 1364 – 1513 H (1945 –2090 M). Yogyakarta: UII Press.

Kennedy, J..1993.  Histiry of Malaya (Third Edition).Kuala Lumpu: S.Abdul Majeed & Co.
KITLV, onder redactie van Harry A.Poeze en Pim Schoorl. 1991. Excusies in Celebes. Leiden-Netherlands: KITLV Uitgeverij.

Kuntowijoyo.2003. Metodologi Sejarah (Edisi Kedua).Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya

Mattulada, Prof. Dr. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah.  Ujung Pandang: Bhakti Baru-Berita Utama.

Miller, George. 2012. Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992.Jakarta: Komunitas Bambu.

Ming, Ding Choo. 2009. Pengajian di Alam Melayu, Dari Tradisi Manuskrip ke Maklumat Digital. Bangi: ATMA-UKM.

Ming, Ding Choo. Migration and the Spread of Pantun in Malay Archipelago. Southeast Asia Journal. Vol.21. No.3 (2012). hlm. 217-249.  Center for Southeast Asian Studies. Hankuk University of Foreign Studies.

Ming. Ding Choo. 2009. Manuskrip Melayu Sumber Maklumat Peribumi Melayu. Dipersembahkan sebagai Syarahan Perdana jawatan Profesor Universiti Kebangsaan Malaysia, pada 28 November 2008. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nomay, Usman. 2010. Orang Melayu di Makassar Abad XVI-XVII. Makassar: Rayhan Intermedia.

Noorduyn, Jacobus. 1955. Een Achttiende-Eeuwse Kroniek Van Wajo. Buginese Historiografie. Gravenhage: N.V. Nederlandse Boek En Staeendrukkerij
Noorduyn, Jacobus. 1972. Islamisasi Makassar. Djakarta: Bhratara.

Nogroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit , Peradaban Maritim KeTika Nusantara  Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Yayasan  Sulu Nuswantara Bakti.

Paeni, Mukhlis, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan.  Jakarta: Proyek Pemasyarakatan dan Desiminasi Kearsipan Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, Forum Jakarta-Paris Ecole fancaise d’Extreme-Orient.

Putten, Jan van der dan  Mary Kilcline Cody. Lost Times and Untold Tales from the Malay World. Singapura: NUS (National University of Singapore).

Rasyid, Abdul, dkk. 2000. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta: Peningkatan Proyek Kesadaran Sejarah Nasional  Direktorat Sejarah Nasional, Direktorat  Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depatemen Pendidikan Nasional.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Reid, Antony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Resink,G.J. 1973. Negara-Negara Pribumi di Kepulauan Timur. DJakarta: Bhratara.
Ricklefs, M.C.2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra  Tradisional Indonesia, dalam Bahasa dan Sastra thn. IV Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

--------, S.O. 1988. Principles of Indonesian  Philology. Dordrecht Providence: Foris Publication.

Sutherland, Heather. 2001. The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660-1790. Journal of Southeast Asian Studies, 32,pp 397-421 Oktober 2001. Printed in the United Kingdom. Singapore: NUS.

Sweeney, Amin, et.al.2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan Dalam Sastra.  Depok: Desantara.

Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Udayana Univresity Press.

Wan Teh, Wan Hashim dan A. Halim Ali. 1999. Rumpun Melayu Australia Barat.Bangi: Penerbit UKM.


RUJUKAN SUMBER LONTARA (Manuskripts)

Koleksi Lontara Badan ARSIP Nasional Dan Perpustakaan Wilayah Makassar:
1.Naskhah ANRI Rol 30 No. 16
2.Naskah ANRI Rol 50 No. 10

Isnin, 12 Disember 2016

Keberadaan Orang Melayu Di Sulawesi Selatan Pada Peringkat Awal (Bahagian 1)

Oleh Nik Abdul Rakib Bin Nik Hassan
     Dr. Muhlis Hadrawi, seorang kawan pensyarah di Universiti Hasanuddin, Pulau Sulawesi sangat berminat mengkaji tentang orang Melayu di Pulau Sulawesi. Beliau menulis sebuah artikel akademi dengan tajuk "Keberadaan Orang Melayu di Selawesi Selatan Pada Peringkat Awal". Dengan itu penulis akan muatkan isi artikel tersebut ke dalam blog ini dengan dibahagikan kepada 2 bahagian. Ini adalah bahagian Pertama :-
                                                           Dr. Muhlis Hadrawi
A.Pengantar
Keberadaan pelbagai kelompok orang Melayu di beberapa kepulauan Nusantara, tak terkecuali kehadiran orang Melayu di Sulawesi Selatan, dapat dijelaskan sebagai fenomena penghijraan. Manuskript  attoriolong (kronik) Bugis mengungkapkan keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan semenjak era pra-Islam sebagai gejala penghijraan disamping aktiviti perdagangan dan misi penyebaran agama Islam. Kajian ini mengungkapkan keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan pada peringkat awal pada akhir abad ke-15 sehingga pertengahan abad ke-16 berdasarkan pada sumber lokal (manuskrip) serta dukungan daripada sumber asing.

Naskhah-naskhah Bugis tidak luput mencatatkan peristiwa kedatangan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan. Pengisahan teks naskhah mencakup aspek khusus sama ada, tokoh atau tokoh komuniti Melayu, kontrak sosial-politik petempatannya dengan Raja Bugis-Makassar, hubungan perkahwinan dan jalinan silsilah dengan bangsawan tempatan, peranan orang Melayu di bidang ekonomi, perdagangan, birokrasi, politik, dan aspek-aspek lainnya. Hanya saja, setakad ini isu-isu tentang orang Melayu di Sulawesi Selatan belum banyak dikaji, sehingga maklumatnya juga masih sangat kurang.  

Sepatutnya dipahami bahawa keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan telah menyimpan  fakta historis  khas, unik, serta memiliki perbezaan dengan  fenomena orang Melayu di negara dan wilayah rantau lainnya. Oleh kerana itu, kajian Melayu di Sulawesi Selatan dapat memberikan lebih banyak maklumat tentang Melayu diaspora dan keunikan-keunikan berdasarkan konteks sosial-budaya pada setiap tanah rantau. Sebelum jauh masuk perbincangan terhadap orang Melayu di Sulawesi Selatan, perlu dikenali lebih awal konsep perihal “orang Melayu” dalam kaitannya dengan  etnik Bugis dan Makassar.

Pada dasarnya, orang Melayu merupakan sebuah komuniti tersendiri dan berbeza dengan etnik Bugis dan Makassar sebagai penduduk tempatan (local genius) Sulawesi Selatan. Konsep yang lebih tepat mengidentifikasi kelompok Melayu adalah dipakai istilah “etnik”,  sehingga  muncullah bahagian-bahagian masyarakat yang memiliki identiti dalam konteks rumpun    Melayu yang terdiri daripada satuan-satuan etnik atau sukubangsa. 

Mohd. Balwi (2005)   mengungkapkan, Melayu adalah sebuah  ras yang boleh dipecahkan ke dalam  ratusan  suku atau etnik yang mempunyai perbezaan  wilayah, dialek bahasa, tradisi dan kebudayaan. Suku-suku bangsa yang tergabung kedalam ras Melayu tersebut adalah Melayu-Riau, Jawa, Bugis,  Minangkabau, Acheh, Banjar, Batak, Mandailing, Rawa, Kerinci,  Patani,  Kelantan, Terengganu, Champa, dan sebagainya.  Sementara itu yang disebut sebagai Melayu Inti menurut Ismail Hussein dan Wan Hashim  iaitu merujuk kepada kawasan di sekitar daratan Sunda dan Semenanjung Tanah Melayu. 

Semenanjung Melayu, Melayu-Riau dan Minangkabau, dalam konteks Sulawesi Selatan adalah komuniti yang disebut sebagai orang Melayu yang datang sebagai penghijrah, pedagang, penyebar Islam, dan seterusnya. 
Melayu, Bugis, atau Makassar masing-masing merupakan sebagai suku bangsa tersendiri, mempunyai identiti antropologis khas seperti penuturan bahasa lokal sebagai bahasa inti budayanya, kekhasan budaya, tradisi dan sistem sosial, dan geografi permukiman adalah berbeza. Oleh kerana itu, orang Bugis dan Makassar  dipandang sebagai sebuah etnik bersendiri; demikian pula halnya dengan orang Melayu juga merupakan sebuah etnik bersendiri yakni  disebut sebagai komuniti pendatang. Ketiga kelompok ini masing-masing sebagai etnik, walaupun ketiganya sebagai rumpun Melayu  sebab berasal dari ras yang sama iaitu “Proto-Malay”. 

Secara historis, orang Melayu yang dimaksudkan dalam kajian ini berdasarkan pada teks-teks manuskrip adalah orang Melayu yang berasal daripada Sumatera (misalnya: Minangkabau dan  Palembang) dan  Semenanjung Tanah Melayu (Melaka, Johor, Pahang, Siam, Champa, dll). Adapun kelompok Melayu pendatang di Sulawesi Selatan dalam lontara mencakup orang Patani, Minangkabau, Johor/ Melaka, Champa, dan Pahang. Keseluruhan orang-orang Melayu yang berasal daripada arah barat ini kemudian disebut sebagai etnik Melayu utama atau Melayu Inti dalam konteks Melayu secara meluas. Meskipun demikian fakta sosial telah menunjukkan bahawa, sejak kehadiran orang Melayu pada wilayah Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, telah menjalani proses sejarah integrasi yang panjang.

Hubungan perkahwinan dan hubungan sosial, ekonomi, politik, telah merancang strategi integrasi orang Melayu masuk ke dalam lingkungan sosial-budaya Bugis dan Makassar.  Impak daripada itu menunjukkan orang-orang Melayu telah melebur menjadi orang Bugis dan Makassar. Wujudlah istilah Bugis-Melayu  yakni orang Bugis atau Makassar yang memiliki  keturunan  daripada Melayu.  Fakta sosial seperti di Sulawesi Selatan ini menunjukkan perbezaan dengan kehadiran orang Melayu penghijrah di Pulau Cocos dan Katanning  di negara Australia.

Korpus Melayu dalam naskhah Bugis-Makassar dalam berbagai genre juga mengungkapkan hal yang berkaitan dengan keberadaan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan dengan perihal: 

1) teks yang berkisah tentang kedatangan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan, 

2) teks tentang tokoh atau orang terkemuka  kalangan atau keturunan Melayu, 

3) teks tentang salasilah dan keturunan orang Melayu, 

4) maklumat tentang perkahwinan orang Melayu dengan bangsawan di istana kerajaan Bugis-Makassar, 

5) teks ulama Melayu penyiar Islam, 

6)   teks tentang ulama-ulama tasawuf dan ajaran-ajarannya, 

7) teks tentang posisi jabatan dalam  birokrasi kerajaan yang dicapai orang Melayu, dan teks ke-Melayuan lainnya.

Perbincangan keberadaan orang Melayu di Sulawesi Selatan menunjukkan beberapa aspek yang menarik untuk diungkapkan antara lain: kedatangan  dan petempatan orang Melayu pada peringkat awal khsusunya pada tiga kerajaan iaitu Suppa’ Siang dan Gowa-Tallo. Kedatangan orang Melayu memunjulkan fenomena sosial-budaya yang menarik iaitu proses integrasi sosial dan adaptasi budaya dengan etnik tempatan (Bugis-Makassar). 

Perkahwinan sebagai strategi integrasi sosial untuk petempatan orang Melayu menjadi hal penting dalam hubungan mesrah dengan penduduk tempatan. Integrasi dan adaptasi sosial berjaya dilakukan oleh orang Melayu di Sulawesi Selatan, sehingga komuniti Melayu melebur dan mereka tidak diposisikan sebagai etnik yang marginal di antara penduduk asli (local-genius).

A.Interaksi Bugis-Makassar dan Melayu Pada Masa-Masa Awal Baik naskhah-naskah lontara  (manuskript), ceritera-ceritera lisan, mahupun rekod-rekod daripada Eropah, mengungkapkan bahawa orang Bugis dan Melayu semenjak beberapa abad lampau telah menjalin hubungan baik dan rapat.  Zainal Abidin (1983)  mengungkapkan, pelaut Bugis telah berkunjung di pelabuhan kerajaan Melaka pada paruh kedua abad ke-15 masa pemerintahan  Sultan Mahmud Syah (1488-1511).  P

engetahuan navigasi orang Bugis-Makassar dipahami baik oleh raja Melaka. Raja Melaka sering memanggil pelaut Bugis untuk membagi maklumat mengenai navigasi dan tanah Bugis-Makassar di timur Nusantara. Perkenalan  pelaut Bugis dengan  pedagang Melayu mewujudkan ketertarikan pedagang-pedagang  Melayu  khususnya Melaka melakukan perkunjungan ke pulau Sulawesi (Celebes). 

Kunjungan timbal-balik orang Bugis-Makassar ke Tanah Melayu dan orang Melayu ke Sulawesi Selatan  pada awalnya kerana perdagangan. 
Dalam hal perdagangan, produk andalan daripada alam pedalaman Sulawesi sejak abad ke-15 adalah beras disebutkan sebagai  komoditi penting di pasar Melaka. Pinto (dalam Pelras, 2006) mengatakan, beras yang diekspor daripada tempat ini  ke Melaka sejak 1511 dapat memenuhi keperluan orang Portugis. 

Produk ekspor pertanian lainnya berasal dari Sulawesi Selatan adalah kelapa, mangga, pisang, dan sayur-sayuran; sedangkan produk haiwan berupa kerbau , babi, kambing, ayam, dan bebek. Barang ekspor lainnya dikenal di pasar pelabuhan Melaka berupa hasil hutan yang dikumpulkan daripada pulau-pulau sekitarnya, sama ada: kayu cendanya dari Kaili dan Palu, kayu sappang dari Bima, dan kayu gaharu, damar, mutiara dan cangkang kura-kura dari Sumbawa . 

Aktiviti perdagangan  dan perniagaan menciptakan situasi yang membuka terjalinnya  hubungan dan pergaulan yang lebih akrab antara orang-orang  Bugis dan orang Melayu. Pengenalan pulau Sulawesi oleh para pedagang dari Melayu menjadi penting kerana tanah Sulawesi Selatan kemudian menjadi tujuan utama penghijraan orang-orang Melayu pada masa-masa selanjutnya.

Hubungan dan perkongsian pelaut Bugis dengan  para pedagang Melayu, menurut  Pelras (2006)  semakin maju ketika memasuki abad ke-16, manakala pada masa itu kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan semakin banyak mengirim perahu-perahu dagangnya  ke wilayah barat Nusantara. Aktiviti pelayaran dan perdagangan oleh penguasa-penguasa  Bugis dan Makassar sangat cepat berkembang. 

Keberadaan Hukum Laut Amanagappa semakin membuka kemampuan pengelolaan  perahu, jalur pedagangan, dan perihal kepemilikan perahu. Impak daripada hubungan  antara Bugis dan Melayu yang semakin lancar dan intensif tersebut sehingga mobilitas orang-orang Melayu ke Sulawesi Selatan pun semakin tinggi.

Orang-orang Melayu khususnya yang bergerak dalam kegiatan perdagangan kian hari kian ramai datang ke Sulawesi Selatan, menyusul penemuan laluan baru (Jalur Tengah) oleh pelaut Parsi pada abad ke-16 sebagai jalan terpendek yang menghubungkan Melaka dan Maluku. Pemberitaan Tome Pires  mengenai jalur ini mengungkapkan bahawa pedagang Melayu telah menggunakan laluan ini untuk langsung ke Maluku dan semakin ramai yang menetap dan berdagang di Siang.  

Pada pertengahan abad ke-16 keberadaan orang Melayu daripada berbagai kerajaan tempatan di Semenanjung sama ada Melaka, Johor, Pahang, Siam, dan Patani mengalihkan perhatian ke wilayah Gowa manakala Sombaopu telah wujud sebagai pelabuhan utama di kawasan timur Nusantara. Pelabuhan Sombaopu menjadi perantaraan pelayaran antara Maluku dan Melaka, laluan baru perdagangan, serta sebagai bandar transito produk-produk rempah dari Maluku yang akan diangkut menuju Melaka.
Kehadiran orang Melayu di Sulawesi Selatan, baik sebagai perantau, mahupun sebagai pedagang tak terlepas dari situasi politik di kawasan Semenanjung yang kacau secara berterusan. Jawa Demak, Portugis, Aceh, Siam, dan Hollanda menyerang Melaka dan Johor secara bergantian.  

Berawal daripada situasi politik kerana jatuhnya Melaka  tahun 1511 dan Johor 1536 oleh Portugis serta kekisruhan politik di Johor, mengakibatkan orang Melayu ramai-ramai meninggalkan Tanah Semenanjung. Sulawesi Selatan pun menjadi salah satu daratan yang utama yang menjadi tujuan penghijraan orang Melayu.  Kedatangan orang Melayu di Sulawesi Selatan bermula abad XV sehingga memasuki masa  awal abad XVII masa Islamisasi berlangsung di Sulawesi Selatan. 

Kalangan ulama Melayu pun ikut kemudian mengambil  peranan utama sebagai pendatang dengan tujuan untuk menubuhkan Islam bagi raja-raja Bugis-Makassar.


B. Mitos Puteri Melayu Wé Tepulingé Tiba di Suppa’
Suppa’ telah dikenali sebagai sebuah kerajaan Bugis maritim di pesisir barat yang hadir lebih awal; manakala Siang adalah  sebuah kerajaan maritim pertama di kelompok Makassar kuno. Suppa’ dan Siang keduanya berlokasi di wilayah pesisir Barat Sulawesi Selatan dengan lautan Selat Makassar yang terbuka di hadapan sisi baratnya, pada masa yang sama kerajaan Bantaeng dan Tallo juga mengembangkan diri sebagai kerajaan maritim di pesisir Selatan. 

Meskipun belum ditemukan teks dalam lontara yang secara khusus menggambarkan secara lengkap mengenai petempatan orang Melayu di Siang dan Suppa’, namun mesej mitos We Tepulinge telah menyampaikan kesan kehadiran putri dari tanah Melayu mendarat di Suppa’. Putri tersebut menubuhkan Suppa’ menjadi sebuah kerajaan dan memulai kehidupan barunya dengan kekuatan maritim. Kerajaan Suppa’ disebutkan dalam manuskrip mampu berjaya dan lahir sebagai kerajaan yang kuat di pesisir barat Sulawesi Selatan. 

Wilayah kekuasaan Suppa’ meluas sehingga ke wilayah Mandar .
Kedatangan orang Melayu ke Suppa’ telah berlaku sebelum masa kejatuhan Melaka ke tangan Portugis, masa  yang sama dengan kehadiran Melayu di kerajaan Siang. Dikatakan demikian sebab keterangan menunjukkan bahawa pelabuhan Siang dan Suppa’ berada pada zona yang sama di pesisir barat Sulawesi Selatan. Posisi Suppa’ dan Siang berjiran dan terkoneksi dengan pelayaran dan perdagangan laut di sisi barat Sulawesi Selatan. 

Dalam kisah La Galigo kedua toponim itu disebutkan berada dan tergabung dalam  wilayah  kuno yang dipanggil kerajaan “Wewanriu” atau negeri yang banyak angin.

Terjemahan:
Manurungnge ri Bacukiki bernama La Bangengeq, dialah yang turun bersama tujuh istana di Cěmpa. Dialah kahwin dengan  Tompoe ri Lawaramparang yang muncul bersama sarung lumutnya, periuk emasnya, sendok nasi emasnya, gerabah emasnya; ialah yang digelar Lollong Sinrangěng (bersama perlengkapan) dan ia pula bernama We Tepulinge yang bertahta di Suppa’. Dia melahirkan tiga orang anak. Seorang bernama La Těddulloppo, dialah  yang bertahta di Suppaq. Seorang bernama We Pawawoi, dialah yang  bertahta di   Bacukiki. Seorang bernama La Botillangi, dialah yang berkuasa di Tanete Langi sebelah utara Bacukiki. We Pawawoi kahwin (bersuami) di Sidenreng dengan Manurungnge ri Loa  bernama Sukkumpulawěngnge yang bertahta di Sidenreng. Ia melahirkan anak bernama La Batara yang bertahta di Sidenreng. Dia keluar (pergi) kahwin (beristri) di Bulu Cenrana dengan E Cina, melahirkan tiga orang anak. Seorang bernama  La Pasappoi yang bertahta di Sidenreng, seorang bernama We Yabeng, dan seorang beranama La Mariyasěq yang bertahta di Bulu Cenrana…

Pada teks selanjutnya dikisahkan tentang pendidiran istana Raja Suppa yang kemudian diberikan nama Lamalaka  (sang MalakaI):

Inilah surat yang menerangkan pengabdian orang Mandar pada Ajatapparěng.  Orang Mandar tukang perahu dan tukang rumah diperintahkan. Tukang perahu dialah yang membuat  perahunya Makarai bernama Soena Gading, perahunya Arung Parěkki bernama Lapewajo, dan perahunya Paleteang  Sawitto  bernama Lapenikkěng. Demikian pula dia yang membuat Langkanae (istana) Suppaq bernama Lamalaka, dia pula yang membuat  Salassae (istana) Sawitto  bernama Lamancapai, Saworajae (istana) Alitta bernama Labeama, istana di Rappěng, dan Sawolocie (istana) Sidenreng. 

Adapun sebabnya  dinamakan Langkana (istana) di Suppaq Lamalaka karena tiang rumah yang hanyut dari  Malaka, dan di Ujullero mendarat dengan mempermimpikan dirinya. Datanglah orang Suppaq  mengambilnya dan adapula  sengo-nya (tali) dan pahatSnya.  Dijadikanlah sebagai  tiang pusat istana.
(Terjemahan berdasarkan teks lontara Koleksi ARNAS Rol 50. No. 10)

Kisah kerajaan Suppa’ memulakan  perjalanannya sebagai sebuah kerajaan dengan kemunculan seorang puteri yang bernama “Wé Tépulingé”.  Erti kata Wé Tépulingé adalah “lengkap bersama peralatannya” atau bersinonim “sang kaya”. Dikisahkan sang Puteri muncul bersama dengan pakaian lumutnya serta peralatan masak dan makannya yang terbuat daripada emas. 

Dewan hadat mengangkat Puteri Wé Tépulingé menjadi raja Suppa’. Wé Tépulingé yang disebut “Totompo” atau perempuan yang menjelma dari laut, kemudian  berkahwin dengan Tomanurung La Bangenge, raja Bacukiki. Bacukiki adalah  sebuah kerajaan tempatan di pedalaman yang berjiran dengan Suppa’. Perkahwinan We Tepulinge dan La Bangéngé mengawali hegemoni darah kebangsawanan raja-raja Bugis di kawasan barat dimana keturunannya menjadi pewaris tahta kerajaan-kerajaan Mallusetasi’ (kerajaan tepi laut) dan Ajatappareng (kerajaan di wilayah barat danau).

Mitos kemunculan seorang Puteri dari buih lautan yang bernama “We Tepulinge”  bermakna sebagai pengasas berdirinya kerajaan Suppa’, menjadi maklumat tentang asal-usul raja dan istana Suppa’ yang dipanggil Lamalaka. Nama istana Raja Suppa’ “Lamalaka” (sang Malaka) mengandung adanya unsur tamadun dan kehadiran pihak Melayu-Melaka dalam penubuhan kerajaan maritim Bugis tersebut. Meskipun mesej mitos ini tidak menyajikan penanda tentang Melayu secara lengkap lebih jelas,  namun kehadiran orang Melayu tidak dapat diragukan nuansa dan unsur ke-Melayuan-nya. 

Penanda-penanda di dalam teks cerita sebagai ciri kemelayuan secara simbolik dikemas dalam bentuk tradisional. Ketiadaan ayat tentang nama tokoh sebenar, serta masa atau tarikh yang pasti kedatangannya, asal daerahnya, dan maklumat penanda lainnya, sesungguhnya merupakan ciri khas penceritaan tradisional dalam khasanah teks historiografi Bugis. Tokoh-tokoh yang muncul seperti Tomanurung dan Totompo, selalu tidak diungkap latar belakangnya, akan tetapi latar depannya terdeskripsi secara jelas dan justeru sangat faktual, seperti perkahwinannya, keturunannya, pemerintahannya, kematiannya, serta peristiwa dan benda-benda sejarahnya.  Pola seperti itu nampak dalam teks cerita Wé Tépulingé di Suppa’.

Periode kemunculan Suppa’ pada abad  XIV atau paling tidak XV secara arkeologis telah dibuktikan oleh Fadillah dan Mahmud   sebagai periode dimana telah terjadi pertumbuhan secara ramai kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan pada fase tersebut. Pada masa itu kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan belum menerima Islam,  namun wilayah ini telah menjadi  koloni perdagangan  oleh pedagang-pedagang muslim daripada Semenanjung Malaysia dan pesisir Timur Sumatera.

Konsentrasi koloni dagang muslim Melayu iaitu kerajaan-kerajaan yang berkedudukan di tepi laut khususnya pesisir bahagian barat Sulawesi Selatan. Kerajaan Suppa’  telah masuk dalam zona koloni perdagangan Melayu yang dimaksud dan menjadi pelabuhan pengumpulan hasil-hasil alam dari wilayah pedalaman Bugis: Sidentreng, Sawitto, Soppeng, Rappang dan Nepo.

Kata kunci yang sangat penting daripada mitos Suppa’ iaitu “Lamalaka” sebagai nama sebuah istana. Mitos We Tepulinge  Putri  Melayu ini adalah sebuah narasi sejarah yang tradisinya meluas pada teks-teks attoriolong kerajaan lainnya seperti pada attoriolong Bone, Barru, Soppeng, Luwu, Sawitto, Barru atau Tanete, dan lain-lain. Membandingkan dengan susunan salasilah raja-raja Suppa’, maka dapat diperkirakan bahwa masa kahadiran We Tepulinge di Suppa’ diperkirakan pada awal abad ke-15 dengan dasar perhitungan  empat generasi sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan pada tahun 1605.

Kaedah-kaedah  mitos Wé Tépulingé menunjukkan sebuah model yang khasnya ciri mitos Melayu yang menyebar di berbagai rantau atau kepulauan Melayu. Mitos Suppa’ memiliki pola  yang mirip dengan  mitos asal usul raja Kutai dan beberapa daerah lainnya. Kemunculan sebuah kerajaan khasnya kerajaan di rantau Melayu, pada umumnya diformulasi dengan   hadirnya mitos-mitos asal-usul bertipe pra-Islam. Kemunculan puteri We Tépulingé di pesisir Suppa’ serupa dengan mitos kemunculan puteri Johor pada kerajaan Pancana, Barru. 

Kedua kerajaan ini dikisahkan dalam lontara hadirnya pihak elit Melayu yang mengambil peran dalam penubuhannya. Orang-orang Melayu yang datang berasal daripada kalangan pedagang, ulama atau santri,  serta ahli-ahli diraja atau kelompok bangsawan meningalkan Malaka dan Johor oleh kerana kekisruhan politik yang berketerusan. Penghijraan kelompok-kelompok Melayu dari Tanah Semenanjung ramai memilih arah timur Nusantara, terdapat orang Melayu memilih daratan Sulawesi Selatan sebagai tujuannya. Tujuan kedatangan mereka untuk mengamankan diri dan  menolak  kerjasama dengan Portugis. Orang Melayu yang datang itu   memulakan kehidupannya yang baharu kemudian melancarkan perdagangan dan perniagaan, serta menguatkan basis kekuatan Islam.

C.Keberadaan orang Melayu di Siang
Fadillah  dan Mahmud (2000)  dalam riset arkeologi, menyebutkan bahawa kerajaan Siang (mungkin) muncul sejak abad XII dan XIII di bawah kontrol elit bangsawan lokal dan dibawah pengaruh kerajaan Weweng Nriwu (author: Wéwanriu) yang berkembang pada masa kerajaan Luwu dan Tompo’tikka. 

Kerajaan Siang bertumbuh kerana sokongan masyarakatnya yang memiliki kecakapan mengolah hasil-hasil alamnya dan telah mengenali jaringan perdagangan laut yang luas.  Pusat kerajaan Siang Kuno berada di Sengkaé  yang geografisnya didukung oleh adanya Sungai Siang yang menjadi laluan perahu-perahu  besar, menjalin hubungan niaga secara langsung dengan para pedagang dari kepulauan  di sebelah barat,  Semenanjung Melayu. Kerajaan Siang mengalami kemuduran manakala kerajaan Gowa-Tallo telah muncul sebagai kerajaan kuat dengan mewujudkan pelabuhan Sombaopu sebagai pusat perdagangan. Peristiwa penaklukan Siang oleh raja Gowa, Karaeng Tumaparrisik Kallonna, pada awal abad XVI mengakibatkan Siang mengalami keruntuhannya.

Penaklukan Siang oleh kerajaan Gowa memiliki impak negatif bagi kehidupan kerajaan Siang pada masa selanjutnya. Ketika Siang berada di bawah tekanan politik Gowa, mengakibatkan pula aktifiti-aktifiti perdagangan semakin melemah, serta ramai orang Melayu meninggalkan pertempatannya di Siang. Disebutkan dalam berita-berita lokal bahawa raja Gowa mengangkut orang-orang Melayu pindah ke tanah  Makassar dengan maksud untuk memindahkan seluruh urusan perdagangan  dan perniagaan laut ke Sombaopu. 

Raja Gowa Tumaparrisi Kallaonna menganggap orang Melayu sebagai komuniti sangat penting kehadirannya di Gowa kerana ianya memiliki kecakapan mengelola pelabuhan dan menjalankan perdagangan. Hal tersebut menjadi momentum penting bagi kerajaan Gowa untuk tampil sebagai penguasa perdgangan dan pelabuhan di kawasan timur Nusantara. Hingga kini, tradisi tutur yang masih beredar di Pangkep mengatakan bahawa orang-orang Melayu yang menderita  tekanan dari prajurit Gowa mereka menolak ajakan pindah bergabung ke Gowa-Tallo, maka mereka memilih menyingkir ke pedalaman di wilayah pegunumgan sebelah timur  kerajaan Siang. 

Tempat penyingkiran itu dimana mereka bertempat tinggal manamakannya kampung “Malaka”.  Meskipun peristiwanya telah berlangsung sekitar lima abad lepas namun tradisi itu masih hidup hingga sekarang. Mereka masih mengenal dirinya sebagai keturunan orang Melayu yang dahulu melarikan diri dari kerajaan Siang ketika kalah perang oleh Gowa.

Lebih lanjut Fadillah dan Irfan (2006)  menunjukkan indikatif arkeologis, kawasan kerajaan Siang sudah berkembang  sejak abad ke-14 sampai pada abad ke-16. Kerajaan Siang telah tumbuh sebelum periode Islam  di Sulawesi Selatan dan melakukan kontak  dengan  pedagang Melayu dan Portugis. Periode kejayaan Siang tersebut muncul jauh sebelum kerajaan Gowa-Tallo  memainkan peran  politiknya di Sulawesi Selatan.


Kerajaan Siang (Ciom” atau “Ciam) dikenali sebagai salah satu petempatan Melayu pada peringkat awal di Sulawesi Selatan.  Catatan Tome Pires (dalam Pelras: 1981:237) memperkirakannya bermula kira-kira akhir abad XV orang-orang Melayu diyakini telah menetap di bandar niaga Siang. 

Informasi tentang jaringan perdagangan orang Melayu di Siang dapat diketahui dari catatan Tome Pires dan pemberitaan Antonio de Paiva yang mengunjungi Siang pada tahun 1542, menyatakan bahawa orang- orang Melayu telah menetap  di bandar niaga Siang sekitar tahun 1490. 

Tampaknya pengenalan wilayah Siang dan beberapa kerajaan pesisir barat Sulawesi Selatan  oleh pedagang Melaka telah memposisikan Siang sebagai tujuan koloni dagang yang utama manakala Melaka dirampas oleh Portugis tahun 1511. Pedagang Melayu menambah kesibukan kegiatan perdagangan di bandar  niaga Siang dan membuka kesempatan perkembangan kemajuannya secara pesat yang berterusan pada masa hadapan. 

Ketika Portugis mendarat di Suppa’ dan Siang kedua pelabuhan ini pun tetap dihubungkan  sehingga tetap membentuk mata-rantai  perdagangan  di kawasan  timur Nusantara .
Menurut Manuel Pinto , seorang Portugis yang mengunjungi Siang pada tahun 1545, menyebutkan penduduk Siang berjumlah sekitar 40.000 orang. Manurutnya angka ini sebuah bilangan dengan jumlah yang sangat banyak  jika dibandingkan dengan  populasi penduduk suatu bandar niaga lainnya yang ada pada masa itu. 

Pada masa yang sama di kampung Siang terdapat kumpulan orang Melayu yang hidup dengan memiliki organisasi tersendiri  yang berada dibawah koordinasi Syahbandar. Pada umumnya orang Melayu dan kelompok pendatang lainnya melakukan aktiviti berdagang, baik menunggu bertransaksi dengan pedagang rempah-rempah dari timur di Ambon, mahupun berdagang dan melakukan pelayaran antarpulau.


Selanjutnya, penghijraan orang Melayu ke Sulawesi Selatan mulai mengalami gelombang besar ketika peristiwa Melaka jatuh  ke tangan Portugis tahun 1511. Melaka mengalami kekacauan yang sangat parah. F.R. Thomaz (2010)  mengatakan bahwa rakyat Melaka   serta ahli-ahli keluarga diraja dirampas hartanya habis-habisan; orang Islam yang berwibawa dan pandai berperang, akhirnya  dikalahkan dan pada umumnya berhijrah ke daratan lain. Pihak Melayu yang tinggal adalah orang yang memuja  haiwan daratan seperti lembu dan sapi. Orang-orang Melayu yang pergi meninggalkan Melaka juga mengambil alasan yang tidak sudi hidup dan bekerjasama dengan orang Portugis yang dianggapnya “kafir”.